Share

Kontrak Pengikat Pemuas Hasrat Tuan CEO
Kontrak Pengikat Pemuas Hasrat Tuan CEO
Author: NunaKoo

1. Di jual ke rumah bordil

“Kana, namamu itu seharusnya di ubah saja. Benar-benar pembawa sial!"

Tidak hanya sekali. Tapi sudah berulang kali pria itu mengucapkan kalimat yang sama.

"Hei pembawa sial!? Kau dengar tidak? Apa telingamu itu sudah tersumpal dengan kebodohan?! Atau otakmu sudah mencair bersama air matamu?!"

Lagi-lagi pria itu menambahkan kalimat yang membuat dada Kana tersengat. Suara berat dan terdengar seperti orang mabuk itu berasal dari pria yang kini duduk bersandar sambil membawa sebotol miras murahan dan sebelah tangannya membawa gesper yang terlihat usang. Pria yang terlihat kacau ini bernama, Alan Willson. Ayah Kana.

“Ibumu itu nasibnya tidak mujur sama sekali. Kenapa dia harus melahirkanmu? Dia mengorbankan nyawanya untuk anak yang tidak berguna sepertimu. Bahkan di usiamu yang sudah 17 tahun ini, Kau hanya bisa menyusahkanku.”

Tidak ada sahutan sama sekali dari bibir Kana. Dia masih menatap kosong butiran salju yang semakin lama semakin terlihat lebat.

Benar. Sekarang memasuki musim dingin. Apakah karena dingin salju inilah yang membuat semua luka yang ada di tubuhnya menjadi tidak perih lagi? Bahkan rasa sakit yang selalu gadis itu rasakan ketika sabetan gesper ayahnya mendarat di tubuhnya. Kalau benar adanya, Kana tidak akan merasa khawatir lagi.

Iya. Dia sudah terbiasa dengan ini. Ketika ayahnya pulang dalam keadaan mabuk, Kana yang selalu menjadi pelampiasan kemarahan. Dia bagai samsak tinju yang menjadi bulan-bulanan tanpa tahu apa alasan ayahnya melakukan itu.

“Kana? Kau tidur saat aku bicara denganmu?!” Volume suara ayahnya meninggi. Hampir saja Kana menutup matanya, mendengar suara lantang ayahnya membuat matanya yang sedikit sipit itu melebar lagi. Pun dia bangun dari rebahnya dengan sedikit menahan nyeri.

“Aku tidak tidur, Ayah.” Kana berusaha bangun dari rebahnya. Bibirnya yang sedikit sobek berusaha untuk tersenyum kecil.

Alan bangun dari duduknya. Lantas kembali memasang gesper ke setiap lubang celananya.”Di usiaku yang semakin menua ini, seharusnya aku merasakan apa itu kesuksesan. Punya banyak uang, serta bebas pergi kemanapun yang aku mau. Tapi semua gagal, saat kau tiba-tiba lahir dari rahim ibumu yang bagiku, hanya membuat semakin susah saja. Aku di pecat dari perusahaan dan tidak mempunyai pekerjaan tetap.”

“A-aku tidak tahu apa maksud ayah. Kenapa ayah menyalahkanku?” Jawab Kana dengan takut-takut.

Mendapatkan jawaban dari putrinya, mata Alan memerah. Dia membanting botol alkohol yang tadinya dia bawa sampai berhamburan. Kana hanya bisa berteriak ketakutan sambil menutup kedua telinganya.

“Kau sudah berani menjawab ucapanku?! Kemari kau, Jalang kecil!” teriak ayahnya menarik tangan Kana.

“Maaf, Ayah. Maafkan aku.”

“Anak kurang ajar sepertimu harus di beri pelajaran,” ucap Ayahnya menarik keluar Kana dari rumah kecilnya.

“Kemana ayah akan membawaku? Maafkan aku. Tolong lepaskan aku.”

Tak di dengarkan suara Kana yang saat itu meminta tolong untuk di lepaskan. Namun ayahnya tidak bergeming sedikitpun dan tetap saja menarik paksa Kana menuju ke arah tempat dimana ayahnya biasa mabuk, yaitu bar langganannya.

Saat itu salju masih turun, namun tidak selebat tadi. Jalanan terlihat mulai sepi apalagi Kana tinggal di salah satu gang. Kaki Kana terasa beku. Ayahnya tidak membiarkan dia memakai sepatu ataupun sandal. Teriakan kecilnya sudah tak sanggup dia keluarkan. Dia hanya mampu membisu serta menahan tangis. Kana pasrah saja saat dia sudah berada di jalanan besar.

Malam itu belum terlalu larut, terkadang ada beberapa pejalan kaki yang lewat tapi tak sekalipun mereka menolong Kana.

“Ayah akan membawaku kemana?” tanyanya gemetar dengan bibir memucat.

“Seharusnya sudah kulakukan ini dari dulu. Tapi aku selalu menahan diri. Kau harus membalas semua yang sudah ku berikan padamu.”

Kana tidak mengerti apa yang baru saja ayahnya katakan. Di tengah bingungnya dia, sebuah suara pria mengejutkannya.

“Hei, Paman?” panggilnya dari arah belakang dan tentu saja Kana serta ayahnya reflek berhenti.”Apa yang mau paman lakukan?” tanyanya.

Dia pria muda, seumuran Kana. Memakai kaos turtle neck putih dengan jaket winter berwarna kuning, wajahnya tertutup masker, memakai beanie hat berwarna gelap.

“Apa urusanmu, Anak kecil? Jangan ikut campur masalah orang!” Alan meninggikan suaranya. Namun sepertinya pria muda itu tidak takut sama sekali.

Pria muda itu tertawa kecil di balik maskernya.”Paman, paman mau menculik gadis ini ya? Kau tahu teknologi dunia sudah canggih, kan? Aku mempunyai ponsel. Aku bisa melaporkanmu ke polisi.”

Alan terlihat geram. Lantas melepaskan keratan tangannya dari pergelangan tangan Kana. Dia berjalan menuju pria muda itu berdiri, dengan nada yang penuh emosi namun dia tahan, Alan berkata,”Gadis ini anakku. Dia ketahuan mencuri di toko roti di ujung jalan sana. Apa kau masih mau melaporkan anakku ini? Silahkan saja. Aku akan terbantu jika kau benar melakukan itu.”

Pria muda itu terdiam. Namun tatapannya melirik ke arah Kana yang kini menunduk. Dia tidak mempunyai keberanian untuk menyangkal kebohongan ayahnya.

“Benarkah itu? Hei kau? Apakah benar dia ini ayahmu?” tanya pria muda tadi dengan sedikit berteriak. Dengan takut-takut Kana mengangguk pelan.

Mendengar itu pria muda yang tadinya ingin menolong Kana, hanya menghembuskan nafas lelah. Hampir saja dia melakukan hal yang sia-sia karena ikut campur masalah orang lain.

“Apakah urusanmu sudah selesai dengan kami?” tanya Alan di sertai nada mengejek. Bukannya menjawab, pria muda tadi malah melepas sepatunya, lantas berjalan ke arah Kana dan meletakkan sepatu yang ia lepaskan tadi di bawah kaki Kana.

“Pakai ini, dan ini...” Pria muda itu merogoh sesuatu dari dalam jaket tebalnya lantas meraih sebelah tangan Kana.”Tenang saja, aku baru saja membelinya. Siapa namamu?”

“Kana,” jawab Kana menatap yogurt yang tidak begitu besar. Seukuran telapak tangannya. Ayahnya hanya mendengus kesal, lantas kembali menarik tangan Kana setelah dia memakai sepatu yang pria muda tadi berikan.

Pria muda tadi hanya termangu saja saat Kana semakin terlihat jauh. Kalau tidak salah dan tentu saja bisa dia lihat, kedua mata gadis yang tidak dia kenal itu seperti tengah meminta pertolongan. Namun tidak bisa melakukan apa-apa kalau sudah berhubungan dengan keluarga.

“Hei bodoh! Apa yang kau lakukan di sana?! Ayo kita pergi!” panggil seorang pria muda lain dari sisi mobil yang berhenti.

Di sisi lain...

“Kau terlihat sedikit senang saat ada yang memperhatikanmu, kan?” tanya ayahnya masih menarik tangan Kana menuju gang sempit namun terlihat ramai.”Tenang saja, setelah ini kau akan mendapatkan lebih dari cukup perhatian dari semua pria yang kau inginkan.”

Kana yang terlihat bingung, semakin bingung saja saat kakinya menapak di sebuah bar yang terlihat akan tutup.

”Ayah, kita sedang ada dimana? Aku tidak mau di sini. Aku mau pulang. Tolong bawa aku pulang, Ayah. Aku tidak ingin berada di sini.”

Air mata Kana jatuh lagi. Dia sangat ketakutan. Di tambah lagi banyak pria tua yang kini memperhatikannya.

“Diam kau! Ini adalah tempat tinggalmu untuk besok dan seterusnya.”

“A-apa maksud ayah? Aku tidak mau ada disini. Aku takut. Tolong bawa aku pergi dari sini!”

Seorang wanita paruh baya keluar saat mendengar keributan. Wanita dengan dandanan menor berambut pirang itu berjalan menuju mereka berdua dan terlihat kesal.

"Alan? Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau membuat keributan di tempatku,hah?! Kau menganggu bisnisku, Kau tahu?” ucapnya.

“Maafkan aku, Madam. Ini putriku yang pernah aku janjikan. Usianya sudah 17 tahun. Dia masih gadis. Belum pernah terjamah siapapun.”

Mendengar itu, wanita yang Alan panggil Madam terlihat sedikit terkejut. Kedua matanya melihat Kana dari atas sampai bawah dan nampak takjub.

"Apa yang kau lakukan pada wajah putrimu, Alan?! Kau ini bodoh ya? Kau sudah menggores mutiara berharga."

Alan nampak salah tingkah,"Aku hanya memberi sedikit pelajaran untuknya, Madam. Ta-tapi tetap saja_"

"Diam! Tutup mulutmu!" Sentak Madam menghentikan ocehan Alan. Dia beralih menatap Kana dan tersenyum lantas sedikit menunduk dia bertanya,"Siapa namamu, Cantik?”

“Ka-kana.”

“Kana? Kau terlihat luar biasa. Aku akan membuatmu semakin cantik, terurus dan kau bisa memiliki apapun yang kau mau. Tapi tentu saja kalau kau mau bekerja di sini sebagai anak buahku.”

“Saya harus bekerja di sini? Ta-tapi_”

Ayahnya menyahut,”Tutup mulutmu, Kana! Mulai sekarang, ikuti semua perintah Madam atau aku akan membuat kedua kakimu cacat. Kau mengerti?!” Untuk kalimat ancaman itu, ayahnya terdengar sangat serius dan menakutkan. Kana hanya tersentak saja sambil terus menahan tangis.

Pun ayahnya pergi dari tempat itu dengan masih di sertai omelan dan menghilang entah kemana meninggalkan Kana sendirian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status