Share

Kerah Baju Bernoda Merah
Kerah Baju Bernoda Merah
Author: Nana Rose

1. Pernikahan Hambar

Kirani tidak membayangkan akan menjadi istri seorang Joniadi. Di dalam hati sama sekali tidak terbersit sedikit pun akan melepas masa lajang dengan pria lain selain Raka. Memang tidak mungkin sebab Raka sudah tidak ada di dunia ini. Hari pernikahan akhirnya tiba. Seluruh tamu undangan terlihat sangat bahagia bisa menjadi saksi pernikahan Kirani dan Joniadi. Proses akad dan resepsi berjalan lancar dan tanpa halangan.

"Aku beruntung bisa menjadi suami mu, Rani," ujar Adi menatap lekat wajah istri tercinta.

"Alhamdulillah, Mas." Rani melirik wajah suami lalu kembali menunduk.

Perasaan hambar dirasakan seorang Rani. Sama sekali belum tumbuh perasaan cinta. Rasa sayang saja sama sekali tidak ada. Hanya permintaan dari Bapak yang membuat Rani terpaksa mau menikah dengan Joniadi.

"Ya Allah, aku menjalani pernikahan tanpa cinta. Aku harus bisa menumbuhkan benih-benih cinta ke Mas Adi. Dia sudah menjadi suami ku," batin Rani meremas gaun pernikahan yang bernuansa gold.

Tamu masih silih berganti berdatangan untuk datang ke pernikahan. Terpancar wajah bahagia dari Bapak Rani. Menyambut tamu undangan dengan senyum sumringah dan tidak terlihat raut lelah yang menghiasi wajah Bapak.

Tidak terasa waktu sudah memasuki senja dan sudah tidak terlihat lagi tamu yang datang. Bapak mengobrol dengan menantu di teras depan sambil menikmati teh hangat. Rani mengintip dari celah tirai ruang tamu.

"Kenapa tidak ikut bergabung dengan Bapak dan suami mu, Ran?"

"Oh iya, selamat ya Rani? Akhirnya kamu sekarang sudah menikah dan doakan agar aku segera menyusul." Lintang memeluk Rani dengan kecupan di pipi kanan dan kiri bergantian.

"Sini, Rani! Temani Adi dan Bapak duduk di sini!" Bapak melambaikan tangan menoleh ke belakang.

"Iya, Pak. Rani sama Lintang dulu ya, Pak." Rani berteriak dari ruang tamu lalu menunduk sangat dalam.

Adi senyum sendiri sambil memainkan ponsel di tangan kiri. Bapak santai sekali mengobrol dengan Adi. Sesekali terdengar tawa Bapak yang membuat teduh hati Rani.

"Sampai kapan?" Terdengar pertanyaan yang sekejap membuat Rani mengernyitkan alis.

"Maksud kamu?"

"Ran, kamu sudah mempunyai suami. Aku tahu belum ada perasaan cinta untuk Mas Adi. Aku ingin kamu perlahan bisa mencintai dia. Kamu akan dosa besar jika cuek dan acuh sama Mas Adi," ujar Lintang membelai wajah Rani.

Rani menghela napas panjang lalu mengembuskan perlahan. Dada terasa berat untuk bernapas. Pikiran tidak karuan dihantui rasa takut. Terbayang wajah Raka lalu berganti menjadi Adi.

Lintang sangat paham dan seperti ikut merasakan semua yang dirasakan Rani. Hanya mampu sebatas memberikan nasihat yang terbaik untuk sahabat baik nya itu.

"Berat. Ini semua terasa sangat berat, Lin. Aku belum terlalu mengenal Mas Adi. Dia dari dulu sangat menggebu sekali mengejar aku. Sangat risih sekali rasa nya, Lin," terang Rani sambil menampakkan wajah risih dan geli.

"Semua sudah menjadi takdir Allah SWT. Orang yang mengejar cinta mu sudah menjadi suami mu. Kamu harus bisa mencintai Mas Adi agar terhindar dari dosa seorang istri pada suami, Ran," ucap Lintang penuh penekanan.

"Kamu sudah menjadi anak yang berbakti sama Bapak. Kamu menuruti perintah beliau untuk segera menikah. Sekarang tinggal berbakti sama suami mu," tambah Lintang.

Lintang beranjak dari sofa lalu meraih pundak Rani. Mereka berpelukan cukup lama. Tangisan Rani tumpah di pelukan Lintang. Sebisa mungkin Lintang menahan air mata yang memenuhi kelopak mata indah nya.

"Iya, Lintang. Semua nasihat mu akan aku lakukan. Aku akan menjalankan kewajiban ku sebagai seorang istri. Terima kasih ya, Lintang? Semoga kamu juga cepat menemukan jodoh mu kembali." Rani memeluk erat tubuh Lintang yang mungil.

Lintang berpamitan dengan Bapak Rani dan Adi dengan melempar senyuman. Berjalan pelan menuju halaman rumah. Rani duduk di samping Adi dengan senyuman manis ke arah Lintang. Adi terkesima menatap wajah Rani tanpa riasan pengantin. Sangat anggun dan aura kecantikan sangat terpancar.

"Ran, teman mu itu yang pernah kamu ceritakan dulu?" Adi menoleh ke Lintang yang sudah menaiki sepeda.

"Iya, Mas. Suami Lintang meninggal setahun yang lalu. Tapi, dia wanita yang tegar dan kuat. Berbeda dengan..."

"Sudah, Rani! Bapak, sangat bahagia sekali hari ini! Sangat bahagia! Bapak, gak mau kalau Rani atau Adi hari ini merasa sedih! Harus bahagia!" Bapak merangkul Adi dan Rani dengan haru bahagia.

Adi melirik Rani dengan tatapan tajam tanpa senyuman. Sedangkan, Rani menunduk diam dan tanpa senyuman kembali teringat Raka.

Sekilas ingatan Rani kembali terlempar ke masa sebelum menikah dengan Adi. Meremas kedua tangan seakan obrolan Bapak dan Adi tidak bisa ia dengar.

Saat sore hari menjelang malam hati Rani tersentak untuk menceritakan semua yang terjadi ke Bapak. Tidak ingin menunda lagi karena yang terpikir hanya satu, kesehatan Bapak.

"Bapak, Rani mau cerita sesuatu," ujar Rani sambil menunduk dalam.

Bapak mengangkat dua alis dengan lirikan penuh rasa penasaran. Ditatapnya putri tercinta dengan senyuman teduh seorang Bapak.

Perasaan Rani kala itu sangat nyaman dan terasa begitu hangat. Tanpa sadar memeluk tubuh yang renta itu dengan erat. Bapak semakin penasaran dengan perubahan sikap Rani.

Seperti memendam suatu masalah tapi berat untuk diceritakan. Tapi, seorang Ayah tidak akan menyerah sampai anaknya mau bercerita. Yang dimiliki Rani hanya Ayah. Ibu sudah lama meninggalkan mereka berdua.

"Bapak, Rani..."

"Rani, cerita saja! Bapak, siap mendengar. Apa ini menyangkut Adi?" Bapak menjurus pada poin masalah.

Rani mengangguk cepat seraya meremas tas di atas kedua paha. Wajah Bapak menjadi sendu dalam sekejap. Seperti paham dengan apa yang akan dikatakan Rani.

"Iya, Bapak paham sekali. Rani, tidak ingin menikah dengan Adi. Cinta memang tidak bisa dipaksakan dan Bapak ini juga semakin tua, Rani." Bapak beranjak berdiri perlahan sembari memegang tongkat di tangan kanan.

Rani turut beranjak berdiri menghampiri Bapak. Menatap wajah yang semakin tua itu dengan tatapan nanar dan sedih. Perlahan memegang kedua tangan Bapak.

"Pak, Rani dan Mas Adi sebentar lagi akan menikah." Rani tersenyum sambil sekuat tenaga menahan tetesan air mata.

"Apa?" Bapak terpaku tidak bergerak beberapa detik.

Dalam hati sangat bahagia sekali melihat putri tercinta akan segera menikah. Rasa senang yang berlebihan membuat jantung Bapak kambuh lagi.

"Bapak! Sudah, istirahat saja! Rani, mau masak makanan malam dulu untuk Bapak. Ayo, masuk kamar!" Rani memapah Bapak sedikit demi sedikit menuju ke kamar.

"Rani! Kamu melamun? Bapak, dari tadi memanggil nama mu," kata Adi menepuk agak kencang pundak Rani.

"Iya? Ada apa, Mas?" Rani panik lalu menoleh ke Bapak.

"Rani, kamu kenapa? Aku ingin mengajak kamu ke Jakarta. Apakah kamu mau?" tanya Adi setengah ragu.

"Jakarta? Kenapa mendadak? Bapak tidak mungkin sendiri di sini," jawab Rani cemas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status