"Rani, tatap mataku!" Adi memegang perlahan dagu Rani hingga menoleh ke arahnya.
Rani betah menunduk. Sementara Adi menatap dalam mimik wajah Rani. Adi mengedipkan mata berkali-kali. Sangat jelas sekali kalau Rani sangat sedih. Menurunkan tangan perlahan ke bawah. Memalingkan muka dari Rani dalam sekejap."Silakan kalau mau pulang ke Solo! Aku tidak akan mencegah kamu. Lagian juga kamu sudah terlihat sangat siap dengan tas yang terisi semua bajumu," ujar Adi penuh pasrah dan napas berat.Adi menoleh ke tas besar yang membuat hatinya sedih. Berlalu begitu saja meninggalkan Rani sendirian di bawah. Tak lama kemudian terdengar suara pintu menutup sangat kencang."Astagfirullah, aku sudah membuat suamiku marah. Aku tidak bisa terus berpura-pura. Sebab aku memang sedang tidak baik-baik saja. Bapak, Rani minta maaf!" Rani duduk lemas di kursi sudut ruang tamu."Mas Adi, aku tidak akan pernah melepas kamu begitu saja. Aku harus bisa menemukan perempuan lain yang menjadi sandaran hatimu di luar sana," ujar Rani meremas tangan cukup kencang.Rani tidak sadar sudah cukup lama berdiam sendiri melamun di ruang tamu. Adi membuat pelan langkah kakinya saat menuruni tangga. Sengaja berpura-pura tidak melihat sosok Rani di depan matanya."Mas Adi? Ternyata dia belum tidur. Tidak! Aku tidak boleh seperti ini." Rani menggelengkan kepala pelan.Rani berjalan seperti biasa mendekati Adi. Menunduk cukup dalam sambil memainkan jari kuku. Adi sedikit melirik lalu kembali menutup pintu lemari es."Mas Adi!" Terdengar suara dari belakang punggung Adi.Adi menoleh perlahan menatap wajah istri yang masih nampak sedih. Untuk yang kedua kalinya Adi merasa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, menahan agar bibir tidak bertanya."Iya, ada apa?" jawab Adi seraya memalingkan wajah."Aku mau pulang ke Solo. Kasihan kalau Bapak terlalu lama sendiri," ucap Rani tanpa menoleh ke Adi."Harus malam ini? Kamu lihat jam itu! Sudah jam berapa sekarang? Aku tidak mungkin membiarkan istriku sendiri di jam rawan seperti ini," kata Adi dengan tersenyum manis. Namun, tidak munafik hari kecil sedikit khawatir.Rani menoleh ke arah jam dinding yang sangat besar di ruang tengah. Adi juga ikut menoleh sambil memerhatikan wajah istrinya."Jadi pulang ke Solo?" Adi memastikan kembali."Besok saja."Rani membalikkan badan berjalan kembali ke ruang tamu. Pikiran menjadi semakin kalut karena tidak bisa membayangkan tidur seranjang dengan Adi."Ya Allah, apa ada wanita selain aku yang tidak ingin disentuh oleh suaminya sendiri," batin Rani merasa semakin sesak dan sesak sekali.Tangan Rani bergetar saat akan mengambil dua tas di atas lantai. Tidak sadar jika ada suami yang mengawasi tiap jengkal gerak geriknya. Mengambil napas sangat dalam tetapi tidak kuat dan hampir terjatuh."Rani!" teriak Adi berlari menghampiri istrinya.Sigap sekali tangan Adi menopang tubuh Rani. Mata berkunang-kunang dan mulai kabur. Rani memegang kening yang mulai berdenyut. Kepala serasa mau pecah."Sayang, kamu tidak apa-apa? Ayo, kita ke rumah sakit!" ajak Adi masih menahan berat badan Rani.Rani berusaha membuka mata. Sedikit demi sedikit mulai dapat melihat dengan jelas. Pertama yang ia lihat adalah wajah Adi. Mereka bertatapan hanya dalam jarak sejengkal saja.Jantung Rani berdebar sangat kencang diiringi napas yang memburu. Aroma napas Adi terasa sangat dingin. Adi tanpa berkedip menatap istrinya."Rani, aku akui kamu memang cantik. Wajahmu manis, anggun, dan pria mana yang bisa menolak pesona kecantikanmu," batin Adi tanpa sadar mengembangkan senyuman di wajah."Aku tidak apa-apa, Mas."Rani segera berdiri dan merapikan jilbab. Menahan sekuat tenaga agar tetap terlihat kuat di depan Adi. Menenteng dua tas besar sendiri menaiki tangga perlahan. "Sudah, biar aku saja! Kamu nanti malah tambah sakit."Rani hanya bisa diam tanpa berkata. Pasrah melihat Adi membawa dua tas besar miliknya. Langkah Adi agak cepat menaiki tangga demi tangga."Apa yang membuat istriku sangat berbeda?" Adi menoleh ke belakang.Tanpa sengaja mereka kembali bertatapan. Wajah Rani menjadi lebih merah dan salah tingkah. Terlihat sangat gusar dan sesekali melirik ke muka Adi."Astagfirullah, rasanya kesal sekali melihat wajah Mas Adi. Aku teringat noda merah itu lagi," batin Rani berlalu dengan kasar.Adi menarik napas panjang seraya menggelengkan kepala. Mengayunkan kaki lagi naik ke lantai atas. Masuk ke dalam kamar dengan sedikit lesu. Masih memikirkan sikap Rani."Aku ingin sekali pulang. Aku tidak bisa terus begini. Aku takut sekali," lirih Rani sekuat tenaga menahan tetesan air mata."Kalau aku pulang mungkin Bapak tidak akan curiga. Tetapi, pasti makin lama tahu kalau aku dan Mas Adi saling diam," lanjut Rani semakin galau."Rani, apa aku boleh nyentuh kamu?" Adi memegang pundak Rani dari belakang."Mas Adi!" teriak Rani.Adi semakin kaget melihat istrinya yang terlihat jijik saat ia sentuh. Adi mengamati dua tangan berulang kali dan memastikan tidak ada kotoran di tangannya."Aku sekotor itukah?" Adi menaikkan nada bicara. Rani sedikit tersentak lalu kembali menatap Adi penuh tatapan kebencian.Wajah Adi sudah nampak lelah dan pasrah. Memalingkan muka kesal menghadapi istrinya. Jika tidak malu mungkin sudah banyak mengeluarkan air mata.Ranie nyelonong begitu saja dan acuh sekali. Meninggalkan suami di lantai bawah sendiri. Bergelut dengan rasa penasaran dan kesal yang semakin membuncah."Rani! Rani! Rani!" teriak Adi kencang mengejar istrinya.Rani sedikit menoleh ke belakang. Terlihat Adi mengejar dari belakang. Menapaki anak tangga berusaha menyusul Rani. Langkah Rani semakin cepat hingga hampir terjatuh. Kaki tersandung salah satu anak tangga."Astagfirullah!""Rani! Tunggu!"Rani menahan kaki perih segera berlari menutup pintu kamar tidur. Adi hampir menabrak pintu. Emosi Adi sudah susah untuk dikendalikan. Berulang kali mengetuk pintu kamar. Namun, Rani hanya diam sambil merintih kesakitan."Rani! Buka pintunya! Kamu jangan macam-macam sama saya!" Adi berteriak kencang memasang posisi mendobrak pintu."Ya Allah, aku takut sekali. Aku sudah tidak kuat lagi menahan pintu ini," lirih Rani diiringi keringat dingin mengucur deras.Rani berjalan menjauh dari pintu dan dalam hitungan detik Adi berhasil mendobrak pintu hingga sedikit rusak. Rani berteriak ketakutan."Rani, jangan paksa aku untuk melakukan semua ini! Kita baru saja menikah, Ran! Jangan jadikan aku suami yang durhaka!" teriak Adi tepat di depan muka Rani."Lepas! Jangan sentuh aku! Singkirkan tanganmu dari wajahku!""Apa?" Adi sangat terkejut mendengar perkataan yang keluar enteng dari mulut Rani.Rani memejamkan mata perlahan sambil menangis sesenggukan. Adi semakin bingung dan merasa aneh dengan sikap Rani."Rani, aku ini suamimu! Kamu jangan menolak sentuhan ku!" Adi berteriak kencang sambil meremas rambut sangat kesal dan seperti orang yang hampir depresi."Aku tidak mau kamu sentuh!""Jangan gila kamu, Ran! Kita sudah menikah!"Suasana sangat mencekam terasa sekali kala malam itu. Suara Adi masih terasa menggema di lingkup dalam rumah. Rani meremas ujung hijab hingga kusut. Sekilas teringat kembali noda merah bekas perempuan yang tega menjadi perusak rumah tangga mereka."Apa tujuan mu menikahi aku, Mas?" Terdengar suara serak yang keluar dari bibir Rani yang sedikit terkelupas.Adi terdiam tak mengerti maksud istrinya. Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu untuk dipertanyakan lagi. Entahlah, Adi semakin pusing dan bingung.Berpikir lagi mencerna kata yang dilontarkan Rani sedikit demi sedikit. Namun, tetap tidak menemukan jawaban."Kenapa cuma diam?"Adi mendekati Rani perlahan. Pelan sekali. Rani mundur satu langkah ke belakang saat Adi maju selangkah ke depan. Tidak sadar bagian tubuh Rani bagian belakang sudah menyentuh jendela kamar."Mau ke mana lagi kamu, Ran? Masih mau jalan mundur?" Adi menyeringai kesal.Rani menoleh ke belakang. Pemandangan di bawah hanya rerumputan hijau yang terlihat sangat ter
Adi masih serius berbicara lewat telepon. Sangat lama sekali hingga membuat Rani mengerutkan kening. Berdiri lalu kembali duduk. Berulang terus dan Rani merasa semakin lelah. Namun, suami tak kunjung kembali."Mas Adi, kenapa lama sekali?" Rani bertambah panik. Tidak munafik ada rasa cemburu dan curiga yang semakin tebal."Apa aku menyusul ke depan saja, ya? Tetapi aku canggung," lirih Rani memegang dada yang semakin berdebar.Rani kembali duduk diselimuti perasaan yang tidak enak. Sama sekali tidak enak. Pandangan tidak lepas dari jam dinding. Pikiran semakin tidak karuan.Rani mengayunkan kaki setengah tidak yakin. Baru dua langkah kembali duduk. Membuang napas kasar sekilas teringat noda merah di kemeja Adi."Enggak! Kalau aku mendengar Mas Adi bicara mesra di telepon. Ah, tidak! Mending aku diam di sini saja. Aku gak mau tambah terluka," ujar Rani sesekali menoleh ke pintu kamar yang sedikit terbuka.Tak lama kemudian Adi masuk lalu menutup pintu kamar. Rani menunduk sibuk memaink
Rani mengusap air mata dengan kedua tangan. Menarik tas koper besar keluar dari kamar. Tidak sengaja Adi mendengar suara pintu kamar yang menutup."Aduh, semoga Mas Adi tidak dengar."Rani berjalan sangat pelan menuruni anak tangga. Sangat pelan sekali sesekali menengok ke belakang. Khawatir jika Adi mendengar langkah kakinya."Sepertinya aman. Bismillah, semoga aku sampai rumah dengan selamat," ucap Rani sambil memejamkan netra seraya berdoa.Rani berjalan seperti biasa dengan tentengan tas besar dan tas kecil di kedua tangan. Hati rasanya sakit sekali dan masih tidak percaya kejadian yang dialami banyak perempuan di luar sana bisa menimpa rumah tangganya sendiri."Mau ke mana kamu?" Langkah Rani mendadak terhenti. Jelas sekali kalau yang didengar adalah suara Adi. Dada berdebar dua kali lipat lebih cepat. Tidak mampu dan berani untuk menengok ke belakang.Adi masih diam berdiri melipat tangan di depan dada. Sorot mata Adi nampak menakutkan diiringi dengan bibir yang bergetar. T
Rani bergegas lari saat tahu Adi mendekati dirinya. Berlari tanpa melihat ke arah depan. Cemas sekali karena Adi berlari mencoba meraih tubuhnya."Rani! Tunggu! Jangan lari!" "Berhenti! Jangan ikuti aku!" Rani berteriak sambil terus berlari.Rani sama sekali tidak menghadap ke depan. Adi terus mengejar tanpa peduli orang di sekitar. Padahal hampir semua orang memerhatikan tingkah polah mereka. Suasana mendadak ikut riuh. Adi dan Rani seolah sudah tidak peduli lagi."Aduh! Sakit!" teriak Rani cukup keras."Rani!" Adi berteriak saat melihat Rani tersandung hingga tersungkur ke jalanan.Adi sigap membantu berdiri. Namun, dengan cepat Rani menangkis agak kasar. Kedua tangan Adi refleks terangkat ke atas. Rani berdiri sempoyongan sendiri tanpa bantuan suami. Pandangan Adi menyapu sekitar. Banyak orang yang berbisik dan sibuk melihat istrinya."Rani, ayo masuk ke mobil!""Aku gak mau! Aku mau pulang ke Solo!" teriak Rani menyingkirkan tangan Adi.Adi masih menoleh kanan dan kiri. Semakin
Tubuh Rani seolah kaku dan tidak dapat bergerak sedikit pun. Selang beberapa detik dari ujung rambut hingga ujung kaki terasa bergetar dan bulu kuduk berdiri. Berusaha sekuat tenaga melepas pelukan Adi tetapi tidak berhasil. "Rani, jangan bergerak! Ada Bapak di belakang. Beliau tersenyum melihat kita." Adi berbisik sangat pelan di telinga istrinya.Rani menjadi lemas seketika. Tidak ada kekuatan untuk menolak dan mendorong tubuh suami ke belakang. Dia hanya bisa pasrah dan menerima semua perlakuan Adi."Bagus. Bapak, mulai berjalan ke sini. Kamu tetap diam, ya."Sedikit memiringkan kepala sama sekali tidak ada keberanian untuk menoleh ke samping atau bahkan ke belakang. Adi masih erat memeluk istrinya dengan hati berdebar kencang. Mencium aroma wangi Rani dan tanpa sadar memeluk lebih erat sambil memejamkan mata.Rani serasa mati rasa sudah tidak bisa membedakan mana pelukan dan jantung berdebar karena Bapak. Hanya diam dan terpaksa dipeluk suami sangat kencang. Sengaja dilakukan ag
"Jangan mendekat! Aku bilang jangan mendekat!" teriak Rani mundur ke belakang.Adi terus mendekati Rani penuh tatapan menjijikkan bagi Rani. Baru pertama itu melihat wajah pria yang sangat menyebalkan dan membuat Rani ingin muntah."Rani, sini Sayang! Ayo, ke sini? Ke pelukanku, Sayang," rayu Adi seraya mengedipkan mata genit ke istri."Mundur! Jangan macam-macam!" Rani menabrak sesuatu benda keras di belakang. Dia meraba penuh getaran. Ada dinding di belakang Rani. Terpojok di sudut ruangan kamar. Adi tambah semangat untuk lebih mendekat karena nafsu."Diam kamu, Sayang! Ayolah, sini aku peluk.""Jangan!" Rani berteriak sangat kencang."Rani, ada apa? Kenapa kamu teriak?" Adi bergegas berdiri mendekati istri.Pundak Rani naik turun memburu sangat cepat. Sangat susah mengatur napas. Meraba dada seraya berdiri di dekat jendela. Mengelap kucuran keringat dingin yang membasahi seluruh wajah."Kamu kenapa?" tanya Adi sangat panik.Rani masih sibuk mengatur napas. Memberi tanda ke suami s
Air mata Adi menetes dengan sendirinya. Bibir bergetar tidak sanggup menatap wajah istri. Hati ikut terasa sesak mendengar pertanyaan yang sama sekali tidak terbayang akan diucapkan istrinya."Rani, kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanya Adi seraya mengusap air mata. Kelopak mata sebelah kembali meneteskan air mata. Dengan cepat dihapus sambil membelakangi istri."Mas, aku tidak tahu kalau menikah akan menyedihkan seperti ini." Rani menangis lemas di atas lantai. Membungkuk sangat dalam terdengar menyayat hati. Meremas ujung jilbab yang basah terkena air mata.Adi menghela napas panjang mulai susah bernapas. Menahan tangis dan air mata agar tidak keluar sangat tidak mudah. Wajar jika Adi merasa dadanya sesak."Aku takut kalau pernikahan ini tetap dilanjutkan."Adi berlari diiringi air mata lalu memeluk istrinya dengan erat. Mereka menangis bersama dengan alasan yang tidak sama tanpa mereka sadari. Ada alasan Rani mengatakan semua itu. Tetapi, berbeda dengan Adi. "Sayang, kamu jang
"Rani!" Lintang ikut berteriak. Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba saat melihat Dika ikut jongkok di dekat Rani. Deg..."Ya Allah, kenapa hatiku berdebar cepat seperti ini. Aku merasa tidak suka kalau Rani dan Dika dekat." Lintang kembali masuk ke dalam rumah. Mengawasi dari balik tirai ruang tamu. Masih memegang dada yang tidak berhenti berdetak kencang."Rani, kamu kenapa? Astaga, muka mu pucat sekali. Ada apa, Ran?" Dika cemas sekali seraya mengambil ponsel yang jatuh di bawah."Halo, Rani! Sayang! Halo!"Dika menyerahkan ponsel ke Rani dengan hati-hati. Rani tertunduk lesu memalingkan wajah. Dika paham betul gelagat teman baiknya itu. Segera mematikan panggilan telepon lalu menyimpan ponsel ke dalam saku."Tenangkan dirimu dulu, Ran. Ayo, masuk ke dalam! Kamu bisa cerita sama aku dan Lintang."Rani perlahan berdiri sempoyongan berjalan pelan sekali. Adi mengikuti dari belakang dengan perasaan yang bercampur aduk jadi satu kebingungan. Lintang segera berlari melihat Rani menangi