Share

7. Tidak Sudi Disentuh

"Rani, tatap mataku!" Adi memegang perlahan dagu Rani hingga menoleh ke arahnya.

Rani betah menunduk. Sementara Adi menatap dalam mimik wajah Rani. Adi mengedipkan mata berkali-kali. Sangat jelas sekali kalau Rani sangat sedih. Menurunkan tangan perlahan ke bawah. Memalingkan muka dari Rani dalam sekejap.

"Silakan kalau mau pulang ke Solo! Aku tidak akan mencegah kamu. Lagian juga kamu sudah terlihat sangat siap dengan tas yang terisi semua bajumu," ujar Adi penuh pasrah dan napas berat.

Adi menoleh ke tas besar yang membuat hatinya sedih. Berlalu begitu saja meninggalkan Rani sendirian di bawah. Tak lama kemudian terdengar suara pintu menutup sangat kencang.

"Astagfirullah, aku sudah membuat suamiku marah. Aku tidak bisa terus berpura-pura. Sebab aku memang sedang tidak baik-baik saja. Bapak, Rani minta maaf!" Rani duduk lemas di kursi sudut ruang tamu.

"Mas Adi, aku tidak akan pernah melepas kamu begitu saja. Aku harus bisa menemukan perempuan lain yang menjadi sandaran hatimu di luar sana," ujar Rani meremas tangan cukup kencang.

Rani tidak sadar sudah cukup lama berdiam sendiri melamun di ruang tamu. Adi membuat pelan langkah kakinya saat menuruni tangga. Sengaja berpura-pura tidak melihat sosok Rani di depan matanya.

"Mas Adi? Ternyata dia belum tidur. Tidak! Aku tidak boleh seperti ini." Rani menggelengkan kepala pelan.

Rani berjalan seperti biasa mendekati Adi. Menunduk cukup dalam sambil memainkan jari kuku. Adi sedikit melirik lalu kembali menutup pintu lemari es.

"Mas Adi!" Terdengar suara dari belakang punggung Adi.

Adi menoleh perlahan menatap wajah istri yang masih nampak sedih. Untuk yang kedua kalinya Adi merasa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, menahan agar bibir tidak bertanya.

"Iya, ada apa?" jawab Adi seraya memalingkan wajah.

"Aku mau pulang ke Solo. Kasihan kalau Bapak terlalu lama sendiri," ucap Rani tanpa menoleh ke Adi.

"Harus malam ini? Kamu lihat jam itu! Sudah jam berapa sekarang? Aku tidak mungkin membiarkan istriku sendiri di jam rawan seperti ini," kata Adi dengan tersenyum manis. Namun, tidak munafik hari kecil sedikit khawatir.

Rani menoleh ke arah jam dinding yang sangat besar di ruang tengah. Adi juga ikut menoleh sambil memerhatikan wajah istrinya.

"Jadi pulang ke Solo?" Adi memastikan kembali.

"Besok saja."

Rani membalikkan badan berjalan kembali ke ruang tamu. Pikiran menjadi semakin kalut karena tidak bisa membayangkan tidur seranjang dengan Adi.

"Ya Allah, apa ada wanita selain aku yang tidak ingin disentuh oleh suaminya sendiri," batin Rani merasa semakin sesak dan sesak sekali.

Tangan Rani bergetar saat akan mengambil dua tas di atas lantai. Tidak sadar jika ada suami yang mengawasi tiap jengkal gerak geriknya. Mengambil napas sangat dalam tetapi tidak kuat dan hampir terjatuh.

"Rani!" teriak Adi berlari menghampiri istrinya.

Sigap sekali tangan Adi menopang tubuh Rani. Mata berkunang-kunang dan mulai kabur. Rani memegang kening yang mulai berdenyut. Kepala serasa mau pecah.

"Sayang, kamu tidak apa-apa? Ayo, kita ke rumah sakit!" ajak Adi masih menahan berat badan Rani.

Rani berusaha membuka mata. Sedikit demi sedikit mulai dapat melihat dengan jelas. Pertama yang ia lihat adalah wajah Adi. Mereka bertatapan hanya dalam jarak sejengkal saja.

Jantung Rani berdebar sangat kencang diiringi napas yang memburu. Aroma napas Adi terasa sangat dingin. Adi tanpa berkedip menatap istrinya.

"Rani, aku akui kamu memang cantik. Wajahmu manis, anggun, dan pria mana yang bisa menolak pesona kecantikanmu," batin Adi tanpa sadar mengembangkan senyuman di wajah.

"Aku tidak apa-apa, Mas."

Rani segera berdiri dan merapikan jilbab. Menahan sekuat tenaga agar tetap terlihat kuat di depan Adi. Menenteng dua tas besar sendiri menaiki tangga perlahan.

"Sudah, biar aku saja! Kamu nanti malah tambah sakit."

Rani hanya bisa diam tanpa berkata. Pasrah melihat Adi membawa dua tas besar miliknya. Langkah Adi agak cepat menaiki tangga demi tangga.

"Apa yang membuat istriku sangat berbeda?" Adi menoleh ke belakang.

Tanpa sengaja mereka kembali bertatapan. Wajah Rani menjadi lebih merah dan salah tingkah. Terlihat sangat gusar dan sesekali melirik ke muka Adi.

"Astagfirullah, rasanya kesal sekali melihat wajah Mas Adi. Aku teringat noda merah itu lagi," batin Rani berlalu dengan kasar.

Adi menarik napas panjang seraya menggelengkan kepala. Mengayunkan kaki lagi naik ke lantai atas. Masuk ke dalam kamar dengan sedikit lesu. Masih memikirkan sikap Rani.

"Aku ingin sekali pulang. Aku tidak bisa terus begini. Aku takut sekali," lirih Rani sekuat tenaga menahan tetesan air mata.

"Kalau aku pulang mungkin Bapak tidak akan curiga. Tetapi, pasti makin lama tahu kalau aku dan Mas Adi saling diam," lanjut Rani semakin galau.

"Rani, apa aku boleh nyentuh kamu?" Adi memegang pundak Rani dari belakang.

"Mas Adi!" teriak Rani.

Adi semakin kaget melihat istrinya yang terlihat jijik saat ia sentuh. Adi mengamati dua tangan berulang kali dan memastikan tidak ada kotoran di tangannya.

"Aku sekotor itukah?" Adi menaikkan nada bicara. Rani sedikit tersentak lalu kembali menatap Adi penuh tatapan kebencian.

Wajah Adi sudah nampak lelah dan pasrah. Memalingkan muka kesal menghadapi istrinya. Jika tidak malu mungkin sudah banyak mengeluarkan air mata.

Ranie nyelonong begitu saja dan acuh sekali. Meninggalkan suami di lantai bawah sendiri. Bergelut dengan rasa penasaran dan kesal yang semakin membuncah.

"Rani! Rani! Rani!" teriak Adi kencang mengejar istrinya.

Rani sedikit menoleh ke belakang. Terlihat Adi mengejar dari belakang. Menapaki anak tangga berusaha menyusul Rani. Langkah Rani semakin cepat hingga hampir terjatuh. Kaki tersandung salah satu anak tangga.

"Astagfirullah!"

"Rani! Tunggu!"

Rani menahan kaki perih segera berlari menutup pintu kamar tidur. Adi hampir menabrak pintu. Emosi Adi sudah susah untuk dikendalikan. Berulang kali mengetuk pintu kamar. Namun, Rani hanya diam sambil merintih kesakitan.

"Rani! Buka pintunya! Kamu jangan macam-macam sama saya!" Adi berteriak kencang memasang posisi mendobrak pintu.

"Ya Allah, aku takut sekali. Aku sudah tidak kuat lagi menahan pintu ini," lirih Rani diiringi keringat dingin mengucur deras.

Rani berjalan menjauh dari pintu dan dalam hitungan detik Adi berhasil mendobrak pintu hingga sedikit rusak. Rani berteriak ketakutan.

"Rani, jangan paksa aku untuk melakukan semua ini! Kita baru saja menikah, Ran! Jangan jadikan aku suami yang durhaka!" teriak Adi tepat di depan muka Rani.

"Lepas! Jangan sentuh aku! Singkirkan tanganmu dari wajahku!"

"Apa?" Adi sangat terkejut mendengar perkataan yang keluar enteng dari mulut Rani.

Rani memejamkan mata perlahan sambil menangis sesenggukan. Adi semakin bingung dan merasa aneh dengan sikap Rani.

"Rani, aku ini suamimu! Kamu jangan menolak sentuhan ku!" Adi berteriak kencang sambil meremas rambut sangat kesal dan seperti orang yang hampir depresi.

"Aku tidak mau kamu sentuh!"

"Jangan gila kamu, Ran! Kita sudah menikah!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status