"Aku harus bagaimana?" Rani kalut sekali. Sama sekali tidak bisa berpikir jernih.
Rani berlari naik ke lantai atas. Mengeluarkan tas besar dan koper kecil dari dalam kamar. Berjalan cepat menuju pintu keluar. Langkah terhenti beberapa menit. Memejamkan mata dengan hati yang sangat terasa sesak."Mas, aku pamit. Mungkin semua sudah selesai sampai di sini." Rani membalikkan badan perlahan dengan air mata yang menetes di wajah penuh kesedihan.Hanya beberapa langkah saja kembali berhenti. Duduk termenung di teras rumah. Sudah tidak mampu dan tahan lagi. Rani menangis cukup kencang sembari memukul tas besar di samping kaki kiri nya."Dia belum tentu mencari ku kalau aku pergi dari rumah ini," lirih Rani sambil membuka mata perlahan. Terasa sangat berat karena sepasang mata indah itu dipenuhi air mata."Kalau aku pulang, Bapak pasti curiga kalau keadaan ku menyedihkan seperti ini," lanjut Rani menjadi semakin ragu.Rani paling tidak bisa kalau menyembunyikan kesedihan di depan Bapak. Seberat apa pun masalah yang Rani sembunyikan pasti Bapak akan segera tahu. Apalagi kondisi Bapak lemah dan masih sering kambuh."Ya Allah, aku bingung sekali!" Rani bersandar pada tiang putih yang cukup besar.Di kantor..."Sayang, aku 'kan sudah bilang sama kamu soal istri ku. Kenapa kamu masih saja marah sama aku?" "Mas, aku gak peduli sama istri mu yang kampungan itu! Kapan kamu menceraikan dia?" Teriak wanita berambut hitam dan bertubuh seksi.Mungkin banyak yang tidak menyangka jika seorang Joniadi bisa tertarik dengan perempuan seksi dan berpakaian tidak menutup aurat. Bahkan, bagian depan yang privasi dari wanita itu terlihat sedikit terbuka. Berbeda sekali dengan Rani."Citra, jangan teriak! Pelan kan suara mu!" Adi berusaha membekap mulut Citra."Kenapa? Biar semua tahu hubungan kita!" Suara Citra semakin kencang.Adi menggelengkan kepala seraya meletakkan tangan di kedua pinggang. Menarik napas sangat panjang. Citra merangkul Adi dari depan dengan manja dan merengek."Mas, kenapa kamu menikah sama dia?" tanya Citra dengan suara manja."Sayang, kenapa kamu masih juga bertanya? Kamu sendiri yang belum siap. Aku memilih Rani yang lebih siap," jawab Adi santai."Oke, aku mau malam ini kita makan malam. Bagaimana? Tetapi, yang sangat romantis dan aku minta hadiah cincin berlian," rayu Citra dengan kecupan mesra."Aku tidak bisa!"Adi berjalan lesu menuju ke meja kerja. Membuka berkas satu per satu dengan tatapan yang sangat serius. Citra melipat tangan di depan dada sengaja memasang wajah acuh."Kenapa? Kamu takut sama istri mu? Dasar pria pengecut! Sama cewek kampungan dan norak kayak dia aja bisa buat kamu jadi pria pengecut! Ternyata aku salah pilih orang!" Citra meraih tas di atas sofa panjang lalu pergi dari hadapan Adi.Adi membanting setumpuk berkas ke atas lantai. Sehingga sedikit terdengar dari luar ruangan. Citra berhenti sejenak lalu menoleh ke belakang. Terlihat beberapa orang lewat di depan ruang kerja CEO yang terkenal saleh dan berkharisma itu."Mbak, belum siap pakai hijab juga ya?" Terdengar sindiran pedas di sudut ruangan. Tepat di sebelah meja kerja Citra."Iya, Pak Adi 'kan sering mengingatkan kita untuk berlatih menutup aurat. Apalagi banyak godaan buat perempuan kayak kita. Lebih banyak pekerja pria di sini daripada wanita," lanjut nya tanpa basa basi.Citra menaruh tas perlahan di atas meja sambil melirik kesal ke teman yang menurut nya sangat menyebalkan. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Citra."Eh, kamu 'kan setiap hari selalu menemani Pak Adi. Sering masuk ke ruangan Pak Adi. Apa gak risih pakai pakaian seperti itu?" "Kamu bisa diam atau tidak? Ha! Telinga ku panas dari tadi dengar ceramah yang membosankan dari mulut mu!" Citra berdiri berhadapan dengan teman yang duduk di samping nya."Aku cuma ngasih tahu kamu! Pak Adi, sekarang juga sudah beristri. Kasihan kalau setiap hari melihat penampilan kamu seperti ini!" Pandangan menyeluruh dari ujung rambut sampai ujung kaki."Bukan urusan kamu! Lagian juga saya gak mungkin suka sama orang yang model nya kayak dia!" Citra sinis menoleh ke ruangan Adi.Suasana menjadi hening seketika. Semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Hanya Citra yang belum bisa fokus bekerja. Pikiran dan Hati belum bisa sinkron. Merasa tidak rela kalau Adi sudah menikah."Dasar perempuan murahan! Berani sekali kamu merebut Adi dari pelukan ku! Sudah miskin ditambah gak tahu diri!" batin Citra sangat dongkol dan kesal sekali."Aku penasaran sama istrinya Mas Adi. Sekilas memakai hijab dan sangat tertutup. Apa wajah nya juga cantik?" batin Citra sembari menoleh ke samping.***Adi pulang lebih cepat daripada biasanya. Sebelum menikah selalu pulang di atas jam 9 malam. Ada perasaan sedikit bersalah ke Rani.Membuka pintu perlahan sambil mengucapkan salam. Rani sibuk menyiapkan makan malam. Terlihat lelah sekali.Adi melihat Rani dari kejauhan. Tangan Adi mengepal saat tidak ada jawaban dari bibir Rani. Wajah Rani masih nampak datar dengan raut kesedihan yang sulit disembunyikan.Pandangan Adi beralih tepat ke tas besar di ruang tamu. Rani sama sekali tidak peduli dengan pria yang sedari tadi berdiri mengawasi nya penuh tatapan tajam."Dosa kalau tidak menjawab salam. Apalagi yang ngucapin salam itu suami mu sendiri," sindir Adi seraya naik ke lantai atas.Rani terdiam sejenak lalu meletakkan piring ke atas meja. Netra melihat lurus ke salah satu anak tangga. Wajah penuh kekecewaan nampak sekali terukir di wajah polos Rani."Wa'alaikum salam." Rani kembali berlalu ke dapur dengan wajah yang masih terlihat cuek. Adi masih sedikit kesal melihat sikap Rani. Bukan mencerminkan gambaran seorang istri yang salehah.Meja makan terasa hening dan sepi. Padahal ada sepasang suami istri yang menyantap makan malam hari itu. Sesekali Adi mencuri pandang lalu kembali menunduk. Rani menikmati makanan dengan pelan. Lidah terasa mati rasa tak dapat merasakan makanan malam hari itu."Kenapa ada dua tas di ruang tamu? Kamu mau pulang ke Solo malam ini?" tanya Adi penasaran.Rani hanya diam tidak menjawab sedikit pun. Masih santai menyantap nasi goreng di piring yang mulai habis. Rani beranjak berdiri lalu membawa piring dan gelas ke dapur."Rani! Kamu marah sama aku?" Adi berjalan cepat mengejar Rani.Tatapan Rani kosong tanpa memandang wajah Adi. Kembali berjalan tanpa mempedulikan semua pertanyaan yang dilontarkan Adi. Hati tidak bisa bohong sebab sangat kecewa sekali dengan sikap suami yang baru ia nikahi beberapa hari."Kita baru saja menikah. Kita juga belum merasakan indah nya malam pertama. Kenapa sikap mu seperti ini?" Adi mulai sedikit membentak Rani.Rani membalikkan badan diiringi setetes air mata yang menyusuri bawah netra. Tersenyum tipis seakan hati sudah ikhlas menerima semua perlakuan suami. Netra Adi ikut berkaca-kaca. Untuk kesekian kalinya kembali melihat air mata yang ditumpahkan Rani. Hati kecil sangat bingung dengan perubahan sikap Rani yang mendadak bagi nya."Aku punya kesalahan fatal hingga kamu mendiamkan aku? Bilang sama aku, Ran!" Adi memegang perlahan bahu Rani."Rani, tatap mataku!" Adi memegang perlahan dagu Rani hingga menoleh ke arahnya.Rani betah menunduk. Sementara Adi menatap dalam mimik wajah Rani. Adi mengedipkan mata berkali-kali. Sangat jelas sekali kalau Rani sangat sedih. Menurunkan tangan perlahan ke bawah. Memalingkan muka dari Rani dalam sekejap."Silakan kalau mau pulang ke Solo! Aku tidak akan mencegah kamu. Lagian juga kamu sudah terlihat sangat siap dengan tas yang terisi semua bajumu," ujar Adi penuh pasrah dan napas berat.Adi menoleh ke tas besar yang membuat hatinya sedih. Berlalu begitu saja meninggalkan Rani sendirian di bawah. Tak lama kemudian terdengar suara pintu menutup sangat kencang."Astagfirullah, aku sudah membuat suamiku marah. Aku tidak bisa terus berpura-pura. Sebab aku memang sedang tidak baik-baik saja. Bapak, Rani minta maaf!" Rani duduk lemas di kursi sudut ruang tamu."Mas Adi, aku tidak akan pernah melepas kamu begitu saja. Aku harus bisa menemukan perempuan lain yang menjadi sandaran hatimu di lu
Suasana sangat mencekam terasa sekali kala malam itu. Suara Adi masih terasa menggema di lingkup dalam rumah. Rani meremas ujung hijab hingga kusut. Sekilas teringat kembali noda merah bekas perempuan yang tega menjadi perusak rumah tangga mereka."Apa tujuan mu menikahi aku, Mas?" Terdengar suara serak yang keluar dari bibir Rani yang sedikit terkelupas.Adi terdiam tak mengerti maksud istrinya. Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu untuk dipertanyakan lagi. Entahlah, Adi semakin pusing dan bingung.Berpikir lagi mencerna kata yang dilontarkan Rani sedikit demi sedikit. Namun, tetap tidak menemukan jawaban."Kenapa cuma diam?"Adi mendekati Rani perlahan. Pelan sekali. Rani mundur satu langkah ke belakang saat Adi maju selangkah ke depan. Tidak sadar bagian tubuh Rani bagian belakang sudah menyentuh jendela kamar."Mau ke mana lagi kamu, Ran? Masih mau jalan mundur?" Adi menyeringai kesal.Rani menoleh ke belakang. Pemandangan di bawah hanya rerumputan hijau yang terlihat sangat ter
Adi masih serius berbicara lewat telepon. Sangat lama sekali hingga membuat Rani mengerutkan kening. Berdiri lalu kembali duduk. Berulang terus dan Rani merasa semakin lelah. Namun, suami tak kunjung kembali."Mas Adi, kenapa lama sekali?" Rani bertambah panik. Tidak munafik ada rasa cemburu dan curiga yang semakin tebal."Apa aku menyusul ke depan saja, ya? Tetapi aku canggung," lirih Rani memegang dada yang semakin berdebar.Rani kembali duduk diselimuti perasaan yang tidak enak. Sama sekali tidak enak. Pandangan tidak lepas dari jam dinding. Pikiran semakin tidak karuan.Rani mengayunkan kaki setengah tidak yakin. Baru dua langkah kembali duduk. Membuang napas kasar sekilas teringat noda merah di kemeja Adi."Enggak! Kalau aku mendengar Mas Adi bicara mesra di telepon. Ah, tidak! Mending aku diam di sini saja. Aku gak mau tambah terluka," ujar Rani sesekali menoleh ke pintu kamar yang sedikit terbuka.Tak lama kemudian Adi masuk lalu menutup pintu kamar. Rani menunduk sibuk memaink
Rani mengusap air mata dengan kedua tangan. Menarik tas koper besar keluar dari kamar. Tidak sengaja Adi mendengar suara pintu kamar yang menutup."Aduh, semoga Mas Adi tidak dengar."Rani berjalan sangat pelan menuruni anak tangga. Sangat pelan sekali sesekali menengok ke belakang. Khawatir jika Adi mendengar langkah kakinya."Sepertinya aman. Bismillah, semoga aku sampai rumah dengan selamat," ucap Rani sambil memejamkan netra seraya berdoa.Rani berjalan seperti biasa dengan tentengan tas besar dan tas kecil di kedua tangan. Hati rasanya sakit sekali dan masih tidak percaya kejadian yang dialami banyak perempuan di luar sana bisa menimpa rumah tangganya sendiri."Mau ke mana kamu?" Langkah Rani mendadak terhenti. Jelas sekali kalau yang didengar adalah suara Adi. Dada berdebar dua kali lipat lebih cepat. Tidak mampu dan berani untuk menengok ke belakang.Adi masih diam berdiri melipat tangan di depan dada. Sorot mata Adi nampak menakutkan diiringi dengan bibir yang bergetar. T
Rani bergegas lari saat tahu Adi mendekati dirinya. Berlari tanpa melihat ke arah depan. Cemas sekali karena Adi berlari mencoba meraih tubuhnya."Rani! Tunggu! Jangan lari!" "Berhenti! Jangan ikuti aku!" Rani berteriak sambil terus berlari.Rani sama sekali tidak menghadap ke depan. Adi terus mengejar tanpa peduli orang di sekitar. Padahal hampir semua orang memerhatikan tingkah polah mereka. Suasana mendadak ikut riuh. Adi dan Rani seolah sudah tidak peduli lagi."Aduh! Sakit!" teriak Rani cukup keras."Rani!" Adi berteriak saat melihat Rani tersandung hingga tersungkur ke jalanan.Adi sigap membantu berdiri. Namun, dengan cepat Rani menangkis agak kasar. Kedua tangan Adi refleks terangkat ke atas. Rani berdiri sempoyongan sendiri tanpa bantuan suami. Pandangan Adi menyapu sekitar. Banyak orang yang berbisik dan sibuk melihat istrinya."Rani, ayo masuk ke mobil!""Aku gak mau! Aku mau pulang ke Solo!" teriak Rani menyingkirkan tangan Adi.Adi masih menoleh kanan dan kiri. Semakin
Tubuh Rani seolah kaku dan tidak dapat bergerak sedikit pun. Selang beberapa detik dari ujung rambut hingga ujung kaki terasa bergetar dan bulu kuduk berdiri. Berusaha sekuat tenaga melepas pelukan Adi tetapi tidak berhasil. "Rani, jangan bergerak! Ada Bapak di belakang. Beliau tersenyum melihat kita." Adi berbisik sangat pelan di telinga istrinya.Rani menjadi lemas seketika. Tidak ada kekuatan untuk menolak dan mendorong tubuh suami ke belakang. Dia hanya bisa pasrah dan menerima semua perlakuan Adi."Bagus. Bapak, mulai berjalan ke sini. Kamu tetap diam, ya."Sedikit memiringkan kepala sama sekali tidak ada keberanian untuk menoleh ke samping atau bahkan ke belakang. Adi masih erat memeluk istrinya dengan hati berdebar kencang. Mencium aroma wangi Rani dan tanpa sadar memeluk lebih erat sambil memejamkan mata.Rani serasa mati rasa sudah tidak bisa membedakan mana pelukan dan jantung berdebar karena Bapak. Hanya diam dan terpaksa dipeluk suami sangat kencang. Sengaja dilakukan ag
"Jangan mendekat! Aku bilang jangan mendekat!" teriak Rani mundur ke belakang.Adi terus mendekati Rani penuh tatapan menjijikkan bagi Rani. Baru pertama itu melihat wajah pria yang sangat menyebalkan dan membuat Rani ingin muntah."Rani, sini Sayang! Ayo, ke sini? Ke pelukanku, Sayang," rayu Adi seraya mengedipkan mata genit ke istri."Mundur! Jangan macam-macam!" Rani menabrak sesuatu benda keras di belakang. Dia meraba penuh getaran. Ada dinding di belakang Rani. Terpojok di sudut ruangan kamar. Adi tambah semangat untuk lebih mendekat karena nafsu."Diam kamu, Sayang! Ayolah, sini aku peluk.""Jangan!" Rani berteriak sangat kencang."Rani, ada apa? Kenapa kamu teriak?" Adi bergegas berdiri mendekati istri.Pundak Rani naik turun memburu sangat cepat. Sangat susah mengatur napas. Meraba dada seraya berdiri di dekat jendela. Mengelap kucuran keringat dingin yang membasahi seluruh wajah."Kamu kenapa?" tanya Adi sangat panik.Rani masih sibuk mengatur napas. Memberi tanda ke suami s
Air mata Adi menetes dengan sendirinya. Bibir bergetar tidak sanggup menatap wajah istri. Hati ikut terasa sesak mendengar pertanyaan yang sama sekali tidak terbayang akan diucapkan istrinya."Rani, kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanya Adi seraya mengusap air mata. Kelopak mata sebelah kembali meneteskan air mata. Dengan cepat dihapus sambil membelakangi istri."Mas, aku tidak tahu kalau menikah akan menyedihkan seperti ini." Rani menangis lemas di atas lantai. Membungkuk sangat dalam terdengar menyayat hati. Meremas ujung jilbab yang basah terkena air mata.Adi menghela napas panjang mulai susah bernapas. Menahan tangis dan air mata agar tidak keluar sangat tidak mudah. Wajar jika Adi merasa dadanya sesak."Aku takut kalau pernikahan ini tetap dilanjutkan."Adi berlari diiringi air mata lalu memeluk istrinya dengan erat. Mereka menangis bersama dengan alasan yang tidak sama tanpa mereka sadari. Ada alasan Rani mengatakan semua itu. Tetapi, berbeda dengan Adi. "Sayang, kamu jang