Share

6. Memilih Diam

"Aku harus bagaimana?" Rani kalut sekali. Sama sekali tidak bisa berpikir jernih.

Rani berlari naik ke lantai atas. Mengeluarkan tas besar dan koper kecil dari dalam kamar. Berjalan cepat menuju pintu keluar. Langkah terhenti beberapa menit. Memejamkan mata dengan hati yang sangat terasa sesak.

"Mas, aku pamit. Mungkin semua sudah selesai sampai di sini." Rani membalikkan badan perlahan dengan air mata yang menetes di wajah penuh kesedihan.

Hanya beberapa langkah saja kembali berhenti. Duduk termenung di teras rumah. Sudah tidak mampu dan tahan lagi. Rani menangis cukup kencang sembari memukul tas besar di samping kaki kiri nya.

"Dia belum tentu mencari ku kalau aku pergi dari rumah ini," lirih Rani sambil membuka mata perlahan. Terasa sangat berat karena sepasang mata indah itu dipenuhi air mata.

"Kalau aku pulang, Bapak pasti curiga kalau keadaan ku menyedihkan seperti ini," lanjut Rani menjadi semakin ragu.

Rani paling tidak bisa kalau menyembunyikan kesedihan di depan Bapak. Seberat apa pun masalah yang Rani sembunyikan pasti Bapak akan segera tahu. Apalagi kondisi Bapak lemah dan masih sering kambuh.

"Ya Allah, aku bingung sekali!" Rani bersandar pada tiang putih yang cukup besar.

Di kantor...

"Sayang, aku 'kan sudah bilang sama kamu soal istri ku. Kenapa kamu masih saja marah sama aku?" 

"Mas, aku gak peduli sama istri mu yang kampungan itu! Kapan kamu menceraikan dia?" Teriak wanita berambut hitam dan bertubuh seksi.

Mungkin banyak yang tidak menyangka jika seorang Joniadi bisa tertarik dengan perempuan seksi dan berpakaian tidak menutup aurat. Bahkan, bagian depan yang privasi dari wanita itu terlihat sedikit terbuka. Berbeda sekali dengan Rani.

"Citra, jangan teriak! Pelan kan suara mu!" Adi berusaha membekap mulut Citra.

"Kenapa? Biar semua tahu hubungan kita!" Suara Citra semakin kencang.

Adi menggelengkan kepala seraya meletakkan tangan di kedua pinggang. Menarik napas sangat panjang. Citra merangkul Adi dari depan dengan manja dan merengek.

"Mas, kenapa kamu menikah sama dia?" tanya Citra dengan suara manja.

"Sayang, kenapa kamu masih juga bertanya? Kamu sendiri yang belum siap. Aku memilih Rani yang lebih siap," jawab Adi santai.

"Oke, aku mau malam ini kita makan malam. Bagaimana? Tetapi, yang sangat romantis dan aku minta hadiah cincin berlian," rayu Citra dengan kecupan mesra.

"Aku tidak bisa!"

Adi berjalan lesu menuju ke meja kerja. Membuka berkas satu per satu dengan tatapan yang sangat serius. Citra melipat tangan di depan dada sengaja memasang wajah acuh.

"Kenapa? Kamu takut sama istri mu? Dasar pria pengecut! Sama cewek kampungan dan norak kayak dia aja bisa buat kamu jadi pria pengecut! Ternyata aku salah pilih orang!" Citra meraih tas di atas sofa panjang lalu pergi dari hadapan Adi.

Adi membanting setumpuk berkas ke atas lantai. Sehingga sedikit terdengar dari luar ruangan. Citra berhenti sejenak lalu menoleh ke belakang. Terlihat beberapa orang lewat di depan ruang kerja CEO yang terkenal saleh dan berkharisma itu.

"Mbak, belum siap pakai hijab juga ya?" Terdengar sindiran pedas di sudut ruangan. Tepat di sebelah meja kerja Citra.

"Iya, Pak Adi 'kan sering mengingatkan kita untuk berlatih menutup aurat. Apalagi banyak godaan buat perempuan kayak kita. Lebih banyak pekerja pria di sini daripada wanita," lanjut nya tanpa basa basi.

Citra menaruh tas perlahan di atas meja sambil melirik kesal ke teman yang menurut nya sangat menyebalkan. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Citra.

"Eh, kamu 'kan setiap hari selalu menemani Pak Adi. Sering masuk ke ruangan Pak Adi. Apa gak risih pakai pakaian seperti itu?" 

"Kamu bisa diam atau tidak? Ha! Telinga ku panas dari tadi dengar ceramah yang membosankan dari mulut mu!" Citra berdiri berhadapan dengan teman yang duduk di samping nya.

"Aku cuma ngasih tahu kamu! Pak Adi, sekarang juga sudah beristri. Kasihan kalau setiap hari melihat penampilan kamu seperti ini!" Pandangan menyeluruh dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Bukan urusan kamu! Lagian juga saya gak mungkin suka sama orang yang model nya kayak dia!" Citra sinis menoleh ke ruangan Adi.

Suasana menjadi hening seketika. Semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Hanya Citra yang belum bisa fokus bekerja. Pikiran dan Hati belum bisa sinkron. Merasa tidak rela kalau Adi sudah menikah.

"Dasar perempuan murahan! Berani sekali kamu merebut Adi dari pelukan ku! Sudah miskin ditambah gak tahu diri!" batin Citra sangat dongkol dan kesal sekali.

"Aku penasaran sama istrinya Mas Adi. Sekilas memakai hijab dan sangat tertutup. Apa wajah nya juga cantik?" batin Citra sembari menoleh ke samping.

***

Adi pulang lebih cepat daripada biasanya. Sebelum menikah selalu pulang di atas jam 9 malam. Ada perasaan sedikit bersalah ke Rani.

Membuka pintu perlahan sambil mengucapkan salam. Rani sibuk menyiapkan makan malam. Terlihat lelah sekali.

Adi melihat Rani dari kejauhan. Tangan Adi mengepal saat tidak ada jawaban dari bibir Rani. Wajah Rani masih nampak datar dengan raut kesedihan yang sulit disembunyikan.

Pandangan Adi beralih tepat ke tas besar di ruang tamu. Rani sama sekali tidak peduli dengan pria yang sedari tadi berdiri mengawasi nya penuh tatapan tajam.

"Dosa kalau tidak menjawab salam. Apalagi yang ngucapin salam itu suami mu sendiri," sindir Adi seraya naik ke lantai atas.

Rani terdiam sejenak lalu meletakkan piring ke atas meja. Netra melihat lurus ke salah satu anak tangga. Wajah penuh kekecewaan nampak sekali terukir di wajah polos Rani.

"Wa'alaikum salam." 

Rani kembali berlalu ke dapur dengan wajah yang masih terlihat cuek. Adi masih sedikit kesal melihat sikap Rani. Bukan mencerminkan gambaran seorang istri yang salehah.

Meja makan terasa hening dan sepi. Padahal ada sepasang suami istri yang menyantap makan malam hari itu. Sesekali Adi mencuri pandang lalu kembali menunduk. Rani menikmati makanan dengan pelan. Lidah terasa mati rasa tak dapat merasakan makanan malam hari itu.

"Kenapa ada dua tas di ruang tamu? Kamu mau pulang ke Solo malam ini?" tanya Adi penasaran.

Rani hanya diam tidak menjawab sedikit pun. Masih santai menyantap nasi goreng di piring yang mulai habis. Rani beranjak berdiri lalu membawa  piring dan gelas ke dapur.

"Rani! Kamu marah sama aku?" Adi berjalan cepat mengejar Rani.

Tatapan Rani kosong tanpa memandang wajah Adi. Kembali berjalan tanpa mempedulikan semua pertanyaan yang dilontarkan Adi. Hati tidak bisa bohong sebab sangat kecewa sekali dengan sikap suami yang baru ia nikahi beberapa hari.

"Kita baru saja menikah. Kita juga belum merasakan indah nya malam pertama. Kenapa sikap mu seperti ini?" Adi mulai sedikit membentak Rani.

Rani membalikkan badan diiringi setetes air mata yang menyusuri bawah netra. Tersenyum tipis seakan hati sudah ikhlas menerima semua perlakuan suami. 

Netra Adi ikut berkaca-kaca. Untuk kesekian kalinya kembali melihat air mata yang ditumpahkan Rani. Hati kecil sangat bingung dengan perubahan sikap Rani yang mendadak bagi nya.

"Aku punya kesalahan fatal hingga kamu mendiamkan aku? Bilang sama aku, Ran!" Adi memegang perlahan bahu Rani.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status