Adi tidak cepat menjawab pertanyaan Citra. Masih diam dengan pikiran yang terlempar ke masa lalu. Dahi berkerut sedikit lelah merasa hampir putus asa."Mas, aku 'kan tanya. Jawab donk!" Citra melipat tangan di depan dada."I-iya, Sayang. Udah ya, semua itu gak penting lagi. Karena mulai sekarang hanya ada kita.""Kamu ini amnesia atau gimana? Istrimu mau ditaruh di mana? Kamu cerai aja gak mau pakai bilang hanya ada kita!" Nada bicara Citra meninggi.Adi mau tidak mau kembali teringat ke masa lalu yang terpaksa harus diingat kembali. Di tengah lamunan Adi ada wanita yang nampak manyun dan sangat kesal.Flashback..."Rani, kamu mau cokelat atau sesuatu yang segar?""Em, gak usah. Aku bisa beli sendiri."Suasana taman sore hari itu cukup ramai. Udara sejuk dan terpaan sinar mentari senja yang menghangatkan badan. Terlihat dua manusia yang sekilas seperti orang yang tidak saling mengenal."Susah sekali mengambil hatimu, Ran. Aku harus gimana lagi?" Batin Adi yang bersandar pada pohon sam
Tatapan Adi semakin tajam melihat tingkah Citra yang aneh dan senyum sendiri. Tidak butuh waktu lama merebut ponsel yang ada di dalam tas."Mas, apa-apaan sih kamu! Lihat ini! Semua jadi jatuh berantakan kayak gini!"Pandangan Adi kaget melihat semua barang di dalam tas jatuh tersebar di atas lantai. Citra jongkok perlahan mengambil satu per satu sedikit kasar.Tangan kanan gesit meraih ponsel lalu dimasukkan ke dalam tas. Lalu berganti dengan barang yang lain. Nampak sekali wajah sangat kesal dengan bibir mengerucut sempurna."Mas, kamu kenapa kasar sekali! Semua sampai jatuh kayak gini!""Kamu pikir aku akan minta maaf?"Citra menoleh kesal ke belakang. Bibir bergetar menahan amarah yang sudah memuncak. Adi masih santai memalingkan wajah."Bos, permisi! Saya besok gak masuk kerja! Malas lihat tampang membosankan Anda!" Citra sengaja membenturkan pundak kiri ke pundak kanan bosnya.Adi menarik tangan Citra hingga tersentak ke belakang. Pandangan sama sekali belum pernah dirasakan Cit
"Dika, please! Kamu kenapa sih, Dik? Kenapa kamu lihatin aku terus?" Batin Rani sama sekali tidak berkedip.Dika dan Rani terhanyut dalam suasana yang hening dan dada kompak berdebar sangat kencang. Entah apa yang terjadi di antara mereka berdua. Rani sama sekali tidak menyadari dengan status istri detik itu."Rani, aku...aku..."Rani refleks berdehem lumayan kencang lalu menunduk merasa salah tingkah sekali. Sesekali melirik Dika yang lebih dulu memalingkan muka."Dik, a-aku mau pulang sekarang. Bisa antar sekarang atau kamu masih mau di sini?" Rani menoleh ke Dika lalu kembali menunduk."Oh, i-iya. Aku habiskan minumanku dulu terus baru aku antar pulang."Cukup berselang lama mereka hanya diam tanpa berkata atau mengobrol. Pandangan mereka lurus ke depan dan sangat canggung. Padahal kedua sahabat itu biasa bercanda dan ngobrol hingga lupa waktu."Ya Allah, kenapa jadi canggung kayak gini? Dika, juga dari tadi diam." Rani sedikit melirik lalu lihat ke depan lagi."Ran, kita pulang se
Rani terpaku diam hanya bisa menahan air mata yang sudah mulai memenuhi mata indahnya. Sama sekali tidak membalas pelukan yang detik itu terjadi."Rani?""Ya Allah, apa maksud Mas Adi melakukan semua ini? Apa mungkin suamiku sudah putus dari pacarnya?""Ran, kok diam?" Adi sedikit mengguncang tubuh mungil itu."A-aku gak papa kok, Mas. Kaget aja kamu tiba-tiba meluk aku."Adi tersenyum lalu menurunkan tangan perlahan. Menatap indah wajah istri di depannya. Lalu membalikkan badan melihat penampakan foto pernikahan di dinding kamar. "Kita bahagia ya, Ran?"Rani masih terhanyut dalam kebimbangan dan rasa bingung yang menumpuk di dada saat itu. Kurang memerhatikan omongan suami.Sementara itu Dika masih kaget seraya memegang dada yang berdebar sangat cepat. Berulang kali menyeka keringat dingin yang terus membasahi wajah gantengnya."R-rani, pelukan sama suaminya. Kenapa bisa terjadi?" Dika mencoba mengatur napas dan berpikir lebih jernih lagi. Dahi berkerut dengan irama napas yang memb
Tidak lama guyuran air hujan turun perlahan. Rani masih betah duduk di tengah terpaan air dingin. Meratapi semua luka dan kepedihan yang tertahan sangat lama.Hanya berharap suami bisa kembali dan rumah tangganya baik-baik saja. Tapi apa? Kenyataannya nihil dan tidak berbuah apapun."Ya Allah, apa tidak bisa rumah tanggaku seperti dulu lagi?" Teriaknya di bawah air hujan yang semakin dingin.Berselang cukup lama memilih masuk ke dalam rumah. Berjalan tertatih merasa sangat hampa dan kosong. "Benar kalau Mas Adi tidak akan pulang lagi. Ini sudah hampir pagi. Sampai kapan aku kuat?"Rani bolak balik dari ruang tamu ke teras depan. Saat galau memikirkan suami yang diharapkan berubah, tapi sia-sia.***Ruangan tidur terlihat sepi dan sunyi. Padahal sinar mentari sudah menembus jendela kamar. Rani masih terlelap di antara bantal dan selimut tebal putih. Nampak wajah letih dan sangat pucat.Namun, tidak ada sosok Adi yang ada di sampingnya. Kosong dan tanpa siapapun di sana. Rani duduk pel
Kirani tidak membayangkan akan menjadi istri seorang Joniadi. Di dalam hati sama sekali tidak terbersit sedikit pun akan melepas masa lajang dengan pria lain selain Raka. Memang tidak mungkin sebab Raka sudah tidak ada di dunia ini. Hari pernikahan akhirnya tiba. Seluruh tamu undangan terlihat sangat bahagia bisa menjadi saksi pernikahan Kirani dan Joniadi. Proses akad dan resepsi berjalan lancar dan tanpa halangan. "Aku beruntung bisa menjadi suami mu, Rani," ujar Adi menatap lekat wajah istri tercinta. "Alhamdulillah, Mas." Rani melirik wajah suami lalu kembali menunduk. Perasaan hambar dirasakan seorang Rani. Sama sekali belum tumbuh perasaan cinta. Rasa sayang saja sama sekali tidak ada. Hanya permintaan dari Bapak yang membuat Rani terpaksa mau menikah dengan Joniadi. "Ya Allah, aku menjalani pernikahan tanpa cinta. Aku harus bisa menumbuhkan benih-benih cinta ke Mas Adi. Dia sudah menjadi suami ku," batin Rani meremas gaun pernikahan yang bernuansa gold. Tamu masih silih ber
"Bapak, Rani boleh ikut saya ke Jakarta?" tanya Adi setengah tidak yakin."Boleh, tentu saja boleh. Rani, sudah menjadi istrimu. Kamu berhak atas Rani," sahut Bapak senang.Rani ikut tersenyum lega mendengar perkataan Bapak. Adi sedikit meremas tangan Rani lalu melempar senyuman termanis nya untuk istri tercinta.Rani menyusul suami ke dalam kamar. Berhenti di pinggir pintu saat melihat Adi sibuk menyiapkan baju, tas, dan lainnya. Tanpa sadar senyuman tipis mengembang di wajah ayu nya."Mas, biar Rani saja yang menyiapkan semua. Aku 'kan sudah jadi istri nya mas Adi. Lupa ya?" Rani sedikit cemberut mendekati suami."Aku gak mau merepotkan kamu, Rani. Kamu sudah capek menyiapkan semua. Seharian menyambut tamu dengan senyuman tidak lah mudah." Adi mencubit hidung Rani yang mancung.Rani menggelengkan kepala dengan perasaan bahagia. Sedikit demi sedikit membantu menyiapkan kebutuhan suami untuk perjalanan ke Jakarta."Mas, soal tadi aku minta maaf, ya? Aku lelah sekali dan kamu juga past
Adi tidak berhenti mengguncang tubuh istri nya. Masih panik menyaksikan dengan kedua bola mata sendiri. Istri tercinta seakan membeku tidak bergerak sama sekali. Sesekali seperti orang menggigil. Pandangan Rani ke arah suami. Tatapan penuh kekecewaan dan ketakutan."Rani, kamu sakit? Atau kita ke rumah sakit saja?" Adi masih menggenggam tangan Rani dengan kencang."Kamu jangan pulang malam ini, ya! Aku cemas kalau terjadi sesuatu sama kamu," ujar Adi memeluk istri nya."Astagfirullah, Mas Adi!" Teriak Rani dalam hati."Kenapa kamu tega sekali selingkuh di belakang ku? Aku harus bagaimana, Ya Allah?" Rani terus membatin dengan tatapan penuh air mata ke suami.Adi beradu tatap dengan Rani. Suasana saat itu hening dan penuh kecemasan. Adi tidak memindahkan tangan sedikit pun dari genggaman Rani. Perasaan Adi sangat cemas dan panik."Sayang, badan mu juga tidak hangat. Apa kamu kecapekan?" Adi memegang kening Rani berulang kali tanpa jeda."Tidak, aku tidak boleh seperti ini! Mas Adi, gak