Share

3. Kecurigaan Rani

Adi tidak berhenti mengguncang tubuh istri nya. Masih panik menyaksikan dengan kedua bola mata sendiri. Istri tercinta seakan membeku tidak bergerak sama sekali. Sesekali seperti orang menggigil. Pandangan Rani ke arah suami. Tatapan penuh kekecewaan dan ketakutan.

"Rani, kamu sakit? Atau kita ke rumah sakit saja?" Adi masih menggenggam tangan Rani dengan kencang.

"Kamu jangan pulang malam ini, ya! Aku cemas kalau terjadi sesuatu sama kamu," ujar Adi memeluk istri nya.

"Astagfirullah, Mas Adi!" Teriak Rani dalam hati.

"Kenapa kamu tega sekali selingkuh di belakang ku? Aku harus bagaimana, Ya Allah?" Rani terus membatin dengan tatapan penuh air mata ke suami.

Adi beradu tatap dengan Rani. Suasana saat itu hening dan penuh kecemasan. Adi tidak memindahkan tangan sedikit pun dari genggaman Rani. Perasaan Adi sangat cemas dan panik.

"Sayang, badan mu juga tidak hangat. Apa kamu kecapekan?" Adi memegang kening Rani berulang kali tanpa jeda.

"Tidak, aku tidak boleh seperti ini! Mas Adi, gak boleh tahu! Aku harus bersandiwara!" Rani masih terus membatin dengan rasa takut yang luar biasa.

Selang beberapa menit, Rani mengedipkan mata seraya mencengkeram kemeja Adi di atas paha. Tatapan Adi masih lurus ke wajah Rani penuh seribu tanda tanya.

"Mas, aku baru ingat kalau dari pagi belum makan." Rani membalas genggaman tangan Adi.

Adi bernapas lega di bahu Rani. Terasa sangat lemas dan tidak berdaya. Hati seketika menjadi tenang seperti tenggorokan yang diguyur air saat berbuka puasa. Sangat lega lalu memeluk istri nya sangat erat.

"Ran, aku takut kamu sakit. Aku sangat khawatir." Adi mengajak Rani untuk berdiri. Membantu perlahan dengan memapah menuju meja makan.

Langkah Rani mendadak berhenti. Adi melepas pegangan tangan hangat di punggung Rani. Senyuman Rani lepas kala menatap wajah Adi.

"Mas, aku ke belakang dulu, ya? Mau naruh kemeja kotor ini. Sebentar saja kok, Mas," ucap Rani meletakkan kemeja di belakang punggung nya.

"Sayang, biar aku saja. Kamu makan dulu dan jangan terlalu capek," lirih Adi.

"Aku gak apa-apa kok, Mas. Aku biasa kalau telat makan memang seperti tadi. Kamu kaget, ya?" Rani tersenyum sambil membelai rambut Adi.

Adi berusaha merebut kemeja di tangan Rani. Lelaki mana pun akan cemas saat melihat istri tersayang menggigil seperti orang yang kedinginan dan kesakitan. Dan ternyata semua itu karena lupa makan dari pagi. Setahu Adi memang seperti itu.

"Mas, aku ke belakang dulu!" Rani mempercepat langkah kaki pergi ke tempat untuk mencuci baju.

Tubuh Rani terkulai lemas di atas lantai. Tepat di samping mesin cuci yang lumayan besar. Adi masih sibuk memikirkan Rani di meja makan. Terdengar helaan napas yang berat.

"Ya Allah, apa suami ku selingkuh dengan perempuan lain?" Air mata Rani jatuh bercucuran di atas bekas noda merah. Napas Rani seperti sesak sambil memukul dada pelan.

Rani tidak menyadari kalau sudah terlalu lama meratapi nasib nya di belakang. Adi terus menerus memanggil nama nya. Rani segera berdiri sambil mengusap air mata yang membasahi wajah.

"Iya, Mas! Sebentar!" Rani dengan cepat mengeluarkan ponsel dari saku lalu mengambil gambar bekas noda merah itu.

Rani meletakkan kemeja ke cucian yang kotor. Kembali mengusap air mata lalu berjalan cepat menemani Adi di meja makan.

"Sayang, kamu kenapa lama sekali? Kamu harus makan yang banyak. Jangan kayak tadi lagi, ya. Aku cemas sekali," ucap Adi membelai jilbab yang dipakai Rani.

Adi mengambilkan banyak makanan di piring Rani. Pandangan Rani masih kosong. Pikiran dan hati diselimuti rasa curiga yang tebal. Merasa seakan tidak sudi disentuh oleh tangan Adi. Dalam hati sangat jijik dan ingin mandi sebanyak 7 kali.

"Ran, kamu kenapa melamun? Nanti malah sakit!" Adi memegang sendok untuk menyuapi istri nya.

"Maaf ya, Mas? Aku bisa makan sendiri. Mas Adi, juga makan yang banyak." Rani tersenyum tipis sambil menyantap makanan.

"Sayang, enak sekali! Kamu pintar sekali memasak! Aku bersyukur bisa mendapatkan istri cantik dan pintar seperti kamu," puji Adi seraya mengelus wajah Rani.

Namun, Rani tidak sadar sedikit menghindar dari Adi. Mulut Adi seketika berhenti mengunyah sebab melihat sikap Rani.

"Sayang, kamu kenapa tidak mau disentuh? Aku 'kan suami mu!" Nada bicara Adi menjadi lebih lembut. Di sisi lain hati sangat kaget dengan sikap Rani.

"Ya Allah, aku tidak bisa seperti ini! Aku merasa jijik disentuh suami ku," lirih Rani di dalam hati sambil terpejam.

"Mas, kita baru menikah beberapa hari. Aku kadang masih kaget kalau disentuh oleh lelaki," sahut Rani lembut.

Respon Adi tidak kesal dan marah diperlakukan Rani seperti bukan layak nya seorang suami. Adi justru tersenyum lepas sambil mengangguk perlahan.

"Aku beruntung sekali bisa memiliki kamu, Rani. Apa kamu merasa yang sama seperti yang aku rasakan?" Adi balik bertanya.

Rani menoleh perlahan ke wajah Adi. Tidak mampu menahan tetasan bulir air mata yang memenuhi kelopak mata. Turun setetes perlahan membasahi pipi.

"Rani? Kami tidak bahagia?" Wajah Adi mendadak menjadi sedih.

"Aku bahagia sekali bisa menjadi istri mu, Mas Adi." Rani memalingkan wajah dengan cepat.

Adi memeluk istri nya dari samping. Merasa sangat lega dan sangat terharu. Rani memejamkan netra menahan sakit dan perih hati tersayat-sayat karena ulah Adi.

"Kenapa Mas Adi kejam sekali? Tega sekali melakukan semua ini. Mas Raka, aku kangen sama kamu. Kamu yang terbaik, Mas! Kita tidak pernah bersentuhan dan berdekatan. Aku merasa tenang dan nyaman sama kamu," batin Rani memegang kuat dada yang terasa sesak dengan netra yang terpejam perlahan.

Ingatan Rani kembali terlempar pada sosok lelaki yang saleh dan menjadi impian nya. Beberapa tahun yang lalu calon suami Rani mengalami kecelakaan hebat saat hendak menuju ke rumah Rani. Pernikahan hanya tinggal menghitung hari akan tetapi takdir berkata lain. Raka meninggal dunia di lokasi kejadian kecelakaan. Rani belum bisa melupakan sosok Raka.

"Rani, kamu kenapa? Kenapa kamu menangis?" Adi memutar perlahan dagu Rani.

"Astagfirullah, aku tidak sadar kembali teringat Mas Raka." Rani mengusap air mata lalu tersenyum tipis.

Tidak munafik kalau Adi masih memikirkan sikap yang ditunjukkan Rani. Namun, berusaha sekuat mungkin untuk menepis. Sebab dia sangat bahagia bisa menikah dengan Rani.

Tak lama kemudian ponsel Adi berbunyi. Rani sedikit melirik akan tetapi sama sekali tidak terlihat. Adi mendorong kursi ke belakang sambil mengusap wajah Rani.

"Sayang, aku angkat telepon dulu, ya? Kamu lanjut makan dulu!" Adi berjalan agak cepat ke belakang. Pandangan tidak lepas dari layar ponsel. Wajah Adi terlihat gelisah.

"Sayang, ada apa? Besok kita 'kan ketemu. Jangan hubungi aku di rumah! Ada istri ku di sini," lirih Adi sambil sesekali mengawasi belakang.

Terdengar suara centil dan manja seorang perempuan dari seberang telepon sana. Adi masih menutup mulut sambil bicara serius dengan perempuan itu.

Rani berjalan perlahan mengawasi suami dari belakang. Kening berkerut dan keringat dingin membasahi tubuh. Adi bicara sangat pelan dengan hati sangat cemas.

Rani semakin curiga melihat gelagat suami. Berusaha lebih mendekat dan terus mendekat. Adi sama sekali tidak menyadari kalau Rani berdiri di belakang nya.

"Siapa yang telpon, Mas?" Rani menepuk pundak Adi perlahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status