Share

2. Noda Merah

"Bapak, Rani boleh ikut saya ke Jakarta?" tanya Adi setengah tidak yakin.

"Boleh, tentu saja boleh. Rani, sudah menjadi istrimu. Kamu berhak atas Rani," sahut Bapak senang.

Rani ikut tersenyum lega mendengar perkataan Bapak. Adi sedikit meremas tangan Rani lalu melempar senyuman termanis nya untuk istri tercinta.

Rani menyusul suami ke dalam kamar. Berhenti di pinggir pintu saat melihat Adi sibuk menyiapkan baju, tas, dan lainnya. Tanpa sadar senyuman tipis mengembang di wajah ayu nya.

"Mas, biar Rani saja yang menyiapkan semua. Aku 'kan sudah jadi istri nya mas Adi. Lupa ya?" Rani sedikit cemberut mendekati suami.

"Aku gak mau merepotkan kamu, Rani. Kamu sudah capek menyiapkan semua. Seharian menyambut tamu dengan senyuman tidak lah mudah." Adi mencubit hidung Rani yang mancung.

Rani menggelengkan kepala dengan perasaan bahagia. Sedikit demi sedikit membantu menyiapkan kebutuhan suami untuk perjalanan ke Jakarta.

"Mas, soal tadi aku minta maaf, ya? Aku lelah sekali dan kamu juga pasti juga lelah. Aku tidak tega kalau harus merepotkan mu." Rani melirik suami sembari melipat baju.

"Rani, kita sama-sama lelah. Wajar kalau kamu masih ingat sama Raka. Tidak perlu minta maaf," sahut Adi menoleh ke istri nya sebentar.

Rani dan Adi sibuk menyiapkan baju, celana, peralatan yang dibawa ke Jakarta. Tanpa mereka sadari ada yang memerhatikan dengan wajah sedih, Bapak.

"Kamu sekarang sudah menikah, Ran. Bapak, juga sudah mempersiapkan mental dan fisik untuk sendiri tanpa kamu dari dulu," lirih Bapak di dekat pintu kamar.

***

"Bapak, Rani dan Mas Adi ke Jakarta dulu, ya? Bapak, hati-hati di rumah. Sudah ada makanan yang bisa tinggal dihangatkan saja. Rani, juga sudah pesan ke Bu Ratna buat..."

"Rani, stop! Bapak, ini bukan anak kecil. Kamu dan Adi tenang saja. Bapak, bisa sendiri di rumah." Bapak tersenyum memegang pundak Rani dan Adi.

Netra Rani dan Adi saling berpandangan sekejap lalu menunduk. Bapak mulai merasakan kalau anak dan mantu tidak tega meninggalkan di Solo sendiri.

"Sudah, cepat berangkat! Nanti keburu malam." Bapak mengecup kedua pipi Rani dan Adi secara bergantian.

Rani bergandengan dengan Adi menuju ke mobil. Baru beberapa langkah sudah menoleh ke belakang. Rani berusaha sebisa mungkin agar tidak meneteskan air mata. Adi merangkul istri nya dengan sedikit bisikan kata di telinga.

Rani mengangguk  dengan wajah sendu lalu berjalan lurus ke depan. Adi membuka kan pintu mobil untuk Rani dengan melambaikan tangan ke Bapak.

"Iya, Nak! Kalian hati-hari di jalan! Kalau sudah sampai di Jakarta hubungi Bapak!" Bapak berteriak agak kencang.

Air mata sudah tidak kuat lagi untuk ditahan. Perlahan menetes menyusuri wajah keriput paruh baya. Menurunkan tangan dengan helaan napas yang berat.

Melepas Rani adalah pilihan yang tidak mudah. Namun, jika tidak dilepas maka Rani tidak akan menemukan sosok suami yang kini ada di samping nya.

"Bu, Bapak sekarang sendiri. Tidak ada siapa-siapa lagi. Rani, sudah bahagia dengan suami nya. Bapak, juga ikut bahagia, Bu," lirih Bapak sambil menunduk sangat dalam. Tetesan air mata tidak berhenti mengiringi kepergian Rani ke Jakarta.

Selama perjalanan Rani hanya diam. Menangis karena tidak tega meninggalkan Bapak sendiri di Solo. Adi tidak berhenti mengelus punggung tangan Rani.

"Rani, besok malam kamu bisa pulang lagi. Saya antar ke bandara. Jarak Jakarta dan Solo 'kan tidak begitu jauh." Adi berusaha menghibur Rani. Wajah dipenuhi air mata kesedihan.

"Iya, Mas Adi. Rani, juga bimbang. Mas Adi di Jakarta, tetapi Bapak di Solo sendirian, Mas." Rani mengusap air mata dengan jari tangan.

Setelah menempuh perjalan yang jauh, Rani dan Adi sudah sampai di Jakarta. Adi membangunkan Rani perlahan.

"Sayang, kita sudah sampai." Adi meniup wajah istrinya masih lelap.

"Sudah sampai? Ini rumah nya?" Mata Rani terbelalak kaget. Melihat penampakan rumah yang besar dengan taman hijau di depan. Ada beberapa lampu untuk menerangi taman.

Pandangan Rani tidak hanya berhenti sampai di situ. Bertambah kaget lagi saat menoleh ke belakang ada pintu pagar tinggi dan besar. Adi memutar dagu Rani perlahan.

"Kamu kenapa? Ada yang aneh sama rumah kita?" Adi heran diselingi senyuman manis.

"Rumah kita? Rumah sebesar ini punya mas Adi?" Rani melongo dan tidak mengedipkan mata.

"Iya, Rani. Ini rumah ku sendiri. Sekarang menjadi rumah kita. Aku sudah kerja hampir sepuluh tahun. Wajar kalau aku mendapatkan semua ini." Adi merangkul Rani masuk ke dalam rumah.

Rani mendongak ke atas masih belum berhenti terpana. Rumah Adi sangat bagus dan mewah. Rani tidak menyangka kalau Adi di Jakarta sudah menjadi orang yang sukses.

"Mas, gak kesepian di rumah besar seperti ini?" tanya Rani heran.

"Mas, sudah terbiasa sendiri. Sekarang 'kan juga ada kamu." Adi mengunci pintu rumah lalu berjalan mendekati Rani.

"Iya, Mas. Rani, akan di sini menemani Mas Adi. Bapak, juga sudah tahu kalau kita sudah sampai di Jakarta." Rani duduk di kursi empuk berwarna silver.

Adi merangkul istrinya dengan erat. Kepala Rani bersandar di bahu Adi. Merasa sangat nyaman dan hangat sekali. Keduanya memejamkan mata.

***

"Rani, kasihan Bapak di rumah sendiri. Kamu menyusul ke sini seminggu sekali atau dua minggu sekali tidak masalah." Adi bersiap memakai pakaian kerja.

"Mas, terima kasih sudah sayang dan perhatian ke Bapak. Iya, Rani akan nurut sama Mas Adi. Rani, pulangnya sore nanti saja, ya? Nunggu Mas Adi pulang kerja." Rani merapikan dasi dan kerah baju Adi.

"Mas, nanti akan segera pulang. Kamu naik pesawat saja, ya? Maaf, aku tidak bisa mengantar sampai Solo pakai mobil," ujar Adi memeluk tubuh Rani.

Selama Adi di kantor, Rani sibuk membereskan rumah. Memasak makanan dan melakukan apa pun agar tidak bosan di rumah. Tanpa sadar sudah terdengar azan ashar.

Langkah Rani berhenti saat mendengar suara mobil masuk ke dalam halaman rumah. Segera bergegas keluar menyambut suami tersayang.

"Mas Adi, terima kasih? Melihat hati mu yang baik dan sayang sama Bapak membuat aku makin luluh. Kamu juga ternyata sayang sekali sama aku." Rani membatin dengan senyuman mengembang di wajah.

"Rani, semua sudah siap? Istri ku, cantik sekali." Adi mengecup kening Rani.

Rani membawakan tas suami lalu bergandengan tangan masuk ke dalam rumah. Adi mencium aroma masakan yang harum sekali.

"Ayo, makan! Aku sudah tidak sabar!" Adi beranjak berdiri lalu dihadang oleh Rani.

"Ganti baju dulu! Cuci tangan baru makan." Rani tersenyum hangat membantu suami melepas kemeja putih.

"Aku ambil baju dulu di dalam kamar." Adi menaiki tangga dengan langkah cepat. Tidak sabar menikmati masakan istri tercinta.

Rani tersenyum geli melihat tingkah suami lalu menunduk. Pandangan Rani teralihkan ke noda merah di kerah kemeja Adi.

"Apa ini?" Rani meraba bekas merah yang menempel di kerah pakaian Adi.

"Ini 'kan? Astagfirullah, tidak mungkin!" Rani tidak berhenti menggosok bekas merah itu dengan kasar.

Rani terduduk lemas di atas lantai. Tangan dan bibir Rani bergetar dengan wajah mendadak pucat. Memejamkan mata diiringi keringat dingin membasahi seluruh tubuh.

"Sayang, kamu kenapa menggigil? Kamu sakit?" tanya Adi panik berjalan cepat turun dari tangga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status