"Bapak, Rani boleh ikut saya ke Jakarta?" tanya Adi setengah tidak yakin.
"Boleh, tentu saja boleh. Rani, sudah menjadi istrimu. Kamu berhak atas Rani," sahut Bapak senang.
Rani ikut tersenyum lega mendengar perkataan Bapak. Adi sedikit meremas tangan Rani lalu melempar senyuman termanis nya untuk istri tercinta.
Rani menyusul suami ke dalam kamar. Berhenti di pinggir pintu saat melihat Adi sibuk menyiapkan baju, tas, dan lainnya. Tanpa sadar senyuman tipis mengembang di wajah ayu nya.
"Mas, biar Rani saja yang menyiapkan semua. Aku 'kan sudah jadi istri nya mas Adi. Lupa ya?" Rani sedikit cemberut mendekati suami.
"Aku gak mau merepotkan kamu, Rani. Kamu sudah capek menyiapkan semua. Seharian menyambut tamu dengan senyuman tidak lah mudah." Adi mencubit hidung Rani yang mancung.
Rani menggelengkan kepala dengan perasaan bahagia. Sedikit demi sedikit membantu menyiapkan kebutuhan suami untuk perjalanan ke Jakarta.
"Mas, soal tadi aku minta maaf, ya? Aku lelah sekali dan kamu juga pasti juga lelah. Aku tidak tega kalau harus merepotkan mu." Rani melirik suami sembari melipat baju.
"Rani, kita sama-sama lelah. Wajar kalau kamu masih ingat sama Raka. Tidak perlu minta maaf," sahut Adi menoleh ke istri nya sebentar.
Rani dan Adi sibuk menyiapkan baju, celana, peralatan yang dibawa ke Jakarta. Tanpa mereka sadari ada yang memerhatikan dengan wajah sedih, Bapak.
"Kamu sekarang sudah menikah, Ran. Bapak, juga sudah mempersiapkan mental dan fisik untuk sendiri tanpa kamu dari dulu," lirih Bapak di dekat pintu kamar.
***
"Bapak, Rani dan Mas Adi ke Jakarta dulu, ya? Bapak, hati-hati di rumah. Sudah ada makanan yang bisa tinggal dihangatkan saja. Rani, juga sudah pesan ke Bu Ratna buat..."
"Rani, stop! Bapak, ini bukan anak kecil. Kamu dan Adi tenang saja. Bapak, bisa sendiri di rumah." Bapak tersenyum memegang pundak Rani dan Adi.
Netra Rani dan Adi saling berpandangan sekejap lalu menunduk. Bapak mulai merasakan kalau anak dan mantu tidak tega meninggalkan di Solo sendiri.
"Sudah, cepat berangkat! Nanti keburu malam." Bapak mengecup kedua pipi Rani dan Adi secara bergantian.
Rani bergandengan dengan Adi menuju ke mobil. Baru beberapa langkah sudah menoleh ke belakang. Rani berusaha sebisa mungkin agar tidak meneteskan air mata. Adi merangkul istri nya dengan sedikit bisikan kata di telinga.
Rani mengangguk dengan wajah sendu lalu berjalan lurus ke depan. Adi membuka kan pintu mobil untuk Rani dengan melambaikan tangan ke Bapak.
"Iya, Nak! Kalian hati-hari di jalan! Kalau sudah sampai di Jakarta hubungi Bapak!" Bapak berteriak agak kencang.
Air mata sudah tidak kuat lagi untuk ditahan. Perlahan menetes menyusuri wajah keriput paruh baya. Menurunkan tangan dengan helaan napas yang berat.
Melepas Rani adalah pilihan yang tidak mudah. Namun, jika tidak dilepas maka Rani tidak akan menemukan sosok suami yang kini ada di samping nya.
"Bu, Bapak sekarang sendiri. Tidak ada siapa-siapa lagi. Rani, sudah bahagia dengan suami nya. Bapak, juga ikut bahagia, Bu," lirih Bapak sambil menunduk sangat dalam. Tetesan air mata tidak berhenti mengiringi kepergian Rani ke Jakarta.
Selama perjalanan Rani hanya diam. Menangis karena tidak tega meninggalkan Bapak sendiri di Solo. Adi tidak berhenti mengelus punggung tangan Rani.
"Rani, besok malam kamu bisa pulang lagi. Saya antar ke bandara. Jarak Jakarta dan Solo 'kan tidak begitu jauh." Adi berusaha menghibur Rani. Wajah dipenuhi air mata kesedihan.
"Iya, Mas Adi. Rani, juga bimbang. Mas Adi di Jakarta, tetapi Bapak di Solo sendirian, Mas." Rani mengusap air mata dengan jari tangan.
Setelah menempuh perjalan yang jauh, Rani dan Adi sudah sampai di Jakarta. Adi membangunkan Rani perlahan.
"Sayang, kita sudah sampai." Adi meniup wajah istrinya masih lelap.
"Sudah sampai? Ini rumah nya?" Mata Rani terbelalak kaget. Melihat penampakan rumah yang besar dengan taman hijau di depan. Ada beberapa lampu untuk menerangi taman.
Pandangan Rani tidak hanya berhenti sampai di situ. Bertambah kaget lagi saat menoleh ke belakang ada pintu pagar tinggi dan besar. Adi memutar dagu Rani perlahan.
"Kamu kenapa? Ada yang aneh sama rumah kita?" Adi heran diselingi senyuman manis.
"Rumah kita? Rumah sebesar ini punya mas Adi?" Rani melongo dan tidak mengedipkan mata.
"Iya, Rani. Ini rumah ku sendiri. Sekarang menjadi rumah kita. Aku sudah kerja hampir sepuluh tahun. Wajar kalau aku mendapatkan semua ini." Adi merangkul Rani masuk ke dalam rumah.
Rani mendongak ke atas masih belum berhenti terpana. Rumah Adi sangat bagus dan mewah. Rani tidak menyangka kalau Adi di Jakarta sudah menjadi orang yang sukses.
"Mas, gak kesepian di rumah besar seperti ini?" tanya Rani heran.
"Mas, sudah terbiasa sendiri. Sekarang 'kan juga ada kamu." Adi mengunci pintu rumah lalu berjalan mendekati Rani.
"Iya, Mas. Rani, akan di sini menemani Mas Adi. Bapak, juga sudah tahu kalau kita sudah sampai di Jakarta." Rani duduk di kursi empuk berwarna silver.
Adi merangkul istrinya dengan erat. Kepala Rani bersandar di bahu Adi. Merasa sangat nyaman dan hangat sekali. Keduanya memejamkan mata.
***
"Rani, kasihan Bapak di rumah sendiri. Kamu menyusul ke sini seminggu sekali atau dua minggu sekali tidak masalah." Adi bersiap memakai pakaian kerja.
"Mas, terima kasih sudah sayang dan perhatian ke Bapak. Iya, Rani akan nurut sama Mas Adi. Rani, pulangnya sore nanti saja, ya? Nunggu Mas Adi pulang kerja." Rani merapikan dasi dan kerah baju Adi.
"Mas, nanti akan segera pulang. Kamu naik pesawat saja, ya? Maaf, aku tidak bisa mengantar sampai Solo pakai mobil," ujar Adi memeluk tubuh Rani.
Selama Adi di kantor, Rani sibuk membereskan rumah. Memasak makanan dan melakukan apa pun agar tidak bosan di rumah. Tanpa sadar sudah terdengar azan ashar.
Langkah Rani berhenti saat mendengar suara mobil masuk ke dalam halaman rumah. Segera bergegas keluar menyambut suami tersayang.
"Mas Adi, terima kasih? Melihat hati mu yang baik dan sayang sama Bapak membuat aku makin luluh. Kamu juga ternyata sayang sekali sama aku." Rani membatin dengan senyuman mengembang di wajah.
"Rani, semua sudah siap? Istri ku, cantik sekali." Adi mengecup kening Rani.
Rani membawakan tas suami lalu bergandengan tangan masuk ke dalam rumah. Adi mencium aroma masakan yang harum sekali.
"Ayo, makan! Aku sudah tidak sabar!" Adi beranjak berdiri lalu dihadang oleh Rani.
"Ganti baju dulu! Cuci tangan baru makan." Rani tersenyum hangat membantu suami melepas kemeja putih.
"Aku ambil baju dulu di dalam kamar." Adi menaiki tangga dengan langkah cepat. Tidak sabar menikmati masakan istri tercinta.
Rani tersenyum geli melihat tingkah suami lalu menunduk. Pandangan Rani teralihkan ke noda merah di kerah kemeja Adi.
"Apa ini?" Rani meraba bekas merah yang menempel di kerah pakaian Adi.
"Ini 'kan? Astagfirullah, tidak mungkin!" Rani tidak berhenti menggosok bekas merah itu dengan kasar.
Rani terduduk lemas di atas lantai. Tangan dan bibir Rani bergetar dengan wajah mendadak pucat. Memejamkan mata diiringi keringat dingin membasahi seluruh tubuh.
"Sayang, kamu kenapa menggigil? Kamu sakit?" tanya Adi panik berjalan cepat turun dari tangga.
Adi tidak berhenti mengguncang tubuh istri nya. Masih panik menyaksikan dengan kedua bola mata sendiri. Istri tercinta seakan membeku tidak bergerak sama sekali. Sesekali seperti orang menggigil. Pandangan Rani ke arah suami. Tatapan penuh kekecewaan dan ketakutan."Rani, kamu sakit? Atau kita ke rumah sakit saja?" Adi masih menggenggam tangan Rani dengan kencang."Kamu jangan pulang malam ini, ya! Aku cemas kalau terjadi sesuatu sama kamu," ujar Adi memeluk istri nya."Astagfirullah, Mas Adi!" Teriak Rani dalam hati."Kenapa kamu tega sekali selingkuh di belakang ku? Aku harus bagaimana, Ya Allah?" Rani terus membatin dengan tatapan penuh air mata ke suami.Adi beradu tatap dengan Rani. Suasana saat itu hening dan penuh kecemasan. Adi tidak memindahkan tangan sedikit pun dari genggaman Rani. Perasaan Adi sangat cemas dan panik."Sayang, badan mu juga tidak hangat. Apa kamu kecapekan?" Adi memegang kening Rani berulang kali tanpa jeda."Tidak, aku tidak boleh seperti ini! Mas Adi, gak
Adi terkejut membalikkan badan dan tidak sengaja ponsel terlepas dari tangan. Jatuh ke atas lantai dengan posisi layar menghadap ke atas. Rani melirik sedikit tulisan di layar ponsel Adi.Dalam beberapa detik ponsel sudah tersimpan rapi dan aman di saku celana Adi. Wajah Adi sangat panik dan merah merona. Rani mengerutkan alis dengan pandangan yang tak lepas dari ponsel Adi."Mas, telepon dari siapa?" Rani kembali bertanya.Adi mengusap keringat di dahi diiringi bola mata yang tidak berhenti berputar ke kanan dan kiri. Sibuk memikirkan alasan yang masuk akal.Rani masih terdiam menunggu jawaban yang paling masuk akal. Tangan dilipat tepat di depan dada. Memasang wajah datar dan lugu khas Rani."Mas, kenapa gugup? Ponsel juga sampai jatuh." Rani masih tanpa ekspresi."Sayang, aku kaget sekali! Aku lagi serius ngobrol sama klien. Kamu tiba-tiba menepuk pundak ku. Wajar kalau aku sangat kaget karena yang aku tahu gak ada siapa-siapa di belakang ku." Adi menjelaskan panjang lebar dengan s
Menjelang pagi hari Rani sudah bangun saat mendengar suara azan subuh. Adi masih tertidur pulas tepat di samping nya. Mungkin terlalu lelah bekerja lembur sampai menjelang pagi.Setelah mengambil air wudu bergegas pergi ke kamar lagi membangunkan suami. Menggoyangkan tubuh Adi perlahan. Respon hanya menggeliat lalu berpindah posisi. Rani kembali menepuk punggung suami dengan pelan. Tapi, diam tidak merespon apapun."Mas Adi, kenapa tidak bangun saat mendengar azan? Oh, mungkin terlalu capek karena lembur." Rani menganggukkan kepala perlahan lalu kembali menepuk tangan suami lebih kencang."Ganggu orang tidur saja! Aku ngantuk sekali, Rani!" Adi menutup wajah dengan bantal lalu kembali tidur.Rani tersentak sembari memegang dada. Raut wajah sedih dengan kerutan di sekitar alis. Tidak menyangka sama sekali kalau pria yang kini menjadi suami nya tidak bangun saat mendengar suara azan subuh. Padahal setahu Rani, Adi salah satu pria yang saleh dan selalu bergerak cepat mengambil air wudu s
"Aku harus bagaimana?" Rani kalut sekali. Sama sekali tidak bisa berpikir jernih.Rani berlari naik ke lantai atas. Mengeluarkan tas besar dan koper kecil dari dalam kamar. Berjalan cepat menuju pintu keluar. Langkah terhenti beberapa menit. Memejamkan mata dengan hati yang sangat terasa sesak."Mas, aku pamit. Mungkin semua sudah selesai sampai di sini." Rani membalikkan badan perlahan dengan air mata yang menetes di wajah penuh kesedihan.Hanya beberapa langkah saja kembali berhenti. Duduk termenung di teras rumah. Sudah tidak mampu dan tahan lagi. Rani menangis cukup kencang sembari memukul tas besar di samping kaki kiri nya."Dia belum tentu mencari ku kalau aku pergi dari rumah ini," lirih Rani sambil membuka mata perlahan. Terasa sangat berat karena sepasang mata indah itu dipenuhi air mata."Kalau aku pulang, Bapak pasti curiga kalau keadaan ku menyedihkan seperti ini," lanjut Rani menjadi semakin ragu.Rani paling tidak bisa kalau menyembunyikan kesedihan di depan Bapak. Seber
"Rani, tatap mataku!" Adi memegang perlahan dagu Rani hingga menoleh ke arahnya.Rani betah menunduk. Sementara Adi menatap dalam mimik wajah Rani. Adi mengedipkan mata berkali-kali. Sangat jelas sekali kalau Rani sangat sedih. Menurunkan tangan perlahan ke bawah. Memalingkan muka dari Rani dalam sekejap."Silakan kalau mau pulang ke Solo! Aku tidak akan mencegah kamu. Lagian juga kamu sudah terlihat sangat siap dengan tas yang terisi semua bajumu," ujar Adi penuh pasrah dan napas berat.Adi menoleh ke tas besar yang membuat hatinya sedih. Berlalu begitu saja meninggalkan Rani sendirian di bawah. Tak lama kemudian terdengar suara pintu menutup sangat kencang."Astagfirullah, aku sudah membuat suamiku marah. Aku tidak bisa terus berpura-pura. Sebab aku memang sedang tidak baik-baik saja. Bapak, Rani minta maaf!" Rani duduk lemas di kursi sudut ruang tamu."Mas Adi, aku tidak akan pernah melepas kamu begitu saja. Aku harus bisa menemukan perempuan lain yang menjadi sandaran hatimu di lu
Suasana sangat mencekam terasa sekali kala malam itu. Suara Adi masih terasa menggema di lingkup dalam rumah. Rani meremas ujung hijab hingga kusut. Sekilas teringat kembali noda merah bekas perempuan yang tega menjadi perusak rumah tangga mereka."Apa tujuan mu menikahi aku, Mas?" Terdengar suara serak yang keluar dari bibir Rani yang sedikit terkelupas.Adi terdiam tak mengerti maksud istrinya. Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu untuk dipertanyakan lagi. Entahlah, Adi semakin pusing dan bingung.Berpikir lagi mencerna kata yang dilontarkan Rani sedikit demi sedikit. Namun, tetap tidak menemukan jawaban."Kenapa cuma diam?"Adi mendekati Rani perlahan. Pelan sekali. Rani mundur satu langkah ke belakang saat Adi maju selangkah ke depan. Tidak sadar bagian tubuh Rani bagian belakang sudah menyentuh jendela kamar."Mau ke mana lagi kamu, Ran? Masih mau jalan mundur?" Adi menyeringai kesal.Rani menoleh ke belakang. Pemandangan di bawah hanya rerumputan hijau yang terlihat sangat ter
Adi masih serius berbicara lewat telepon. Sangat lama sekali hingga membuat Rani mengerutkan kening. Berdiri lalu kembali duduk. Berulang terus dan Rani merasa semakin lelah. Namun, suami tak kunjung kembali."Mas Adi, kenapa lama sekali?" Rani bertambah panik. Tidak munafik ada rasa cemburu dan curiga yang semakin tebal."Apa aku menyusul ke depan saja, ya? Tetapi aku canggung," lirih Rani memegang dada yang semakin berdebar.Rani kembali duduk diselimuti perasaan yang tidak enak. Sama sekali tidak enak. Pandangan tidak lepas dari jam dinding. Pikiran semakin tidak karuan.Rani mengayunkan kaki setengah tidak yakin. Baru dua langkah kembali duduk. Membuang napas kasar sekilas teringat noda merah di kemeja Adi."Enggak! Kalau aku mendengar Mas Adi bicara mesra di telepon. Ah, tidak! Mending aku diam di sini saja. Aku gak mau tambah terluka," ujar Rani sesekali menoleh ke pintu kamar yang sedikit terbuka.Tak lama kemudian Adi masuk lalu menutup pintu kamar. Rani menunduk sibuk memaink
Rani mengusap air mata dengan kedua tangan. Menarik tas koper besar keluar dari kamar. Tidak sengaja Adi mendengar suara pintu kamar yang menutup."Aduh, semoga Mas Adi tidak dengar."Rani berjalan sangat pelan menuruni anak tangga. Sangat pelan sekali sesekali menengok ke belakang. Khawatir jika Adi mendengar langkah kakinya."Sepertinya aman. Bismillah, semoga aku sampai rumah dengan selamat," ucap Rani sambil memejamkan netra seraya berdoa.Rani berjalan seperti biasa dengan tentengan tas besar dan tas kecil di kedua tangan. Hati rasanya sakit sekali dan masih tidak percaya kejadian yang dialami banyak perempuan di luar sana bisa menimpa rumah tangganya sendiri."Mau ke mana kamu?" Langkah Rani mendadak terhenti. Jelas sekali kalau yang didengar adalah suara Adi. Dada berdebar dua kali lipat lebih cepat. Tidak mampu dan berani untuk menengok ke belakang.Adi masih diam berdiri melipat tangan di depan dada. Sorot mata Adi nampak menakutkan diiringi dengan bibir yang bergetar. T