Menjelang pagi hari Rani sudah bangun saat mendengar suara azan subuh. Adi masih tertidur pulas tepat di samping nya. Mungkin terlalu lelah bekerja lembur sampai menjelang pagi.
Setelah mengambil air wudu bergegas pergi ke kamar lagi membangunkan suami. Menggoyangkan tubuh Adi perlahan. Respon hanya menggeliat lalu berpindah posisi. Rani kembali menepuk punggung suami dengan pelan. Tapi, diam tidak merespon apapun.
"Mas Adi, kenapa tidak bangun saat mendengar azan? Oh, mungkin terlalu capek karena lembur." Rani menganggukkan kepala perlahan lalu kembali menepuk tangan suami lebih kencang.
"Ganggu orang tidur saja! Aku ngantuk sekali, Rani!" Adi menutup wajah dengan bantal lalu kembali tidur.
Rani tersentak sembari memegang dada. Raut wajah sedih dengan kerutan di sekitar alis. Tidak menyangka sama sekali kalau pria yang kini menjadi suami nya tidak bangun saat mendengar suara azan subuh. Padahal setahu Rani, Adi salah satu pria yang saleh dan selalu bergerak cepat mengambil air wudu saat waktu salat sudah tiba.
Rani bergeming dalam sekejap. Tatapan netra lurus ke arah punggung suami yang belum ada satu menit membentak dirinya secara halus. Perasaan kaget dan sedih melebur satu menjadi gumpalan kekecewaan.
"Aku salat sendiri saja." Rani beranjak berdiri mengambil posisi salat. Sebelum membaca niat salat kembali menengok ke belakang.
"Ya Allah, semoga aku tidak salah memilih imam dalam keluarga baru ku ini dan aku segera menemukan perempuan lain yang menjadi selingkuhan suami ku, " batin Rani sambil menatap Adi yang masih tertidur pulas.
Waktu sudah menunjukkan pukul 05.30. Rani menyiapkan makan pagi di meja makan. Menu yang tersaji cukup lengkap dengan teh hangat memenuhi dua cangkir berbahan kristal.
Adi keluar kamar dengan muka bantal. Masih memakai pakaian tidur panjang berjalan menuju kamar mandi. Rani mengintip suami dari balik tirai hijau manik-manik.
"Astagfirullah, dari tadi Mas Adi ternyata baru bangun." Rani sedikit kesal menyusul suami ke dalam kamar.
Adi memakai sarung dan berdiri tegak. Tangan terangkat ke atas bersiap untuk salat. Namun, Rani dengan cepat menegur.
"Mas Adi, baru salat subuh?" Rani bengong dan sangat terkejut. Adi menurunkan tangan lalu ikut terkejut menoleh cepat ke belakang.
"Iya, aku capek sekali karena lembur tadi malam dan aku juga tidak mendengar suara azan, Rani," terang Adi sambil nyengir.
Rani menghampiri suami perlahan dengan kedua tangan sedikit mengepal. Sangat wajar apa yang dirasakan Rani. Terkejut dan sama sekali tidak menyangka orang yang diagung-agung kan menjadi panutan justru sebaliknya.
"Ini jam berapa? Mas, gak malu sama ayam jago tetangga yang lebih dulu bangun dan berkokok? Rani, sudah membangunkan Mas Adi berkali-kali." Rani sedikit menaikkan nada bicara.
Adi hanya diam sesekali melirik ke wajah tegas istrinya. Menunduk sambil mendengarkan semua ocehan yang keluar dari mulut istri. Pasrah dan mengaku bersalah di dalam hati.
"Iya, aku minta maaf." Adi masih menunduk sambil sesekali masih melirik ke Rani.
Rani menghela napas panjang. Lalu membalikkan badan berlalu meninggalkan Adi. Perasaan jengkel dirasakan oleh Rani. Tidak menyangka suami yang menjadi imam untuk seumur hidup bisa terlambat bangun untuk salat.
Sekilas teringat sosok Raka yang selalu tepat saat mengerjakan salat dan ramah sekali ke Rani. Bahkan, Bapak juga sangat menyayangi Raka.
"Ah, dulu juga Mas Adi selalu salat tepat waktu. Tetapi, sekarang sudah tidak seperti dulu dan berbeda. Mungkin dulu hanya pencitraan." Rani mengeluh kesal duduk di meja makan.
"Rani, makan yang banyak! Jangan sampai kamu menggigil seperti kemarin." Adi mencolek dagu Rani yang halus.
"Mas, kalau kerja harus ingat waktu! Gak boleh seperti itu! Sayangi kesehatan mu! Kamu sudah tidak muda lagi!" Rani sedikit menaikkan nada bicara.
Wajah Adi terlihat sangat kesal sambil menunduk ke layar ponsel. Tangan kiri menggenggam sambil mengetik sesuatu di ponsel. Rani tampak sedikit takut melihat wajah Adi.
"Diam kamu! Cerewet!" Adi mengambil selembar roti tawar dan selai cokelat di dekat Rani.
Mulut Rani melongo cukup lebar dengan netra yang ikut membulat. Sama sekali tidak mengedipkan netra. Tatapan lurus ke wajah suami yang nampak kesal dan emosi.
"Mas Adi?" Rani terbata-bata memanggil satu nama dengan netra mulai hangat.
Adi masih sibuk menatap ponsel. Dahi berkerut dan wajah mulai merah. Seperti menahan amarah tetapi sungkan untuk diluapkan.
"Mas Adi, seperti nya marah karena aku nasihati," batin Rani sembari memainkan sendok di tangan.
Tidak berselang lama Adi bangkit dari kursi lalu berlalu meninggalkan Rani. Wajar jika Rani terkejut untuk kedua kalinya. Reflek ikut berdiri dengan tangan mengepal.
"Mas Adi, kenapa terburu-buru? Ini baru jam berapa? Kamu juga tidak pamit sama aku?" Rani menarik lengan suami.
Langkah Adi seketika terhenti menghadap ke wajah Rani. Suami istri itu bertatapan beberapa detik tanpa keluar sepatah kata. Adi melepas tangan Rani agak kasar lalu kembali berjalan.
Rani terpaku diam menatap Adi hilang dari pandangan mata. Mata mulai basah diselimuti banyak kecurigaan ke suami. Berjalan cepat menyusul Adi. Mengetuk pintu kaca mobil agak kencang.
"Ada apa?" bentak Adi sambil melotot.
"Kamu kenapa mendadak berubah? Tadi malam kamu sangat manis. Lalu kenapa pagi ini menjadi kasar sama aku?" tanya Rani memegang punggung tangan Adi.
Rani memejamkan mata sambil menunduk sangat dalam. Teringat kembali pesan Bapak untuk menikah dengan Adi karena sosok seperti Adi sangat langka untuk didapatkan. Apalagi umur Rani juga sudah tidak muda lagi. Ejekan perawan tua selalu membayangi diri nya waktu sebelum menikah dengan Adi.
"Dan sekarang hidup ku jauh lebih menderita setelah menikah dengan Mas Adi," batin Rani sangat sesak dan perih.
"Aku mau kerja! Aku sudah terlambat! Perkara salat saja menjadi masalah besar buat kamu! Persetan kamu, Rani!" Adi membentak Rani cukup keras.
"Astagfirullah, Mas Adi!" Rani balik membentak suami.
Adi membuang muka sambil mendengus kesal. Sama sekali tidak peduli dengan semua yang dikatakan Rani. Sebaliknya, Rani tidak berhenti selalu menyebut nama Allah SWT di dalam hati.
"Mas Adi, ini sifat asli mu? Adi yang dikenal saleh, alim, tidak neko-neko itu seperti ini wujud asli nya?" sindir Rani dengan muka penuh amarah.
"Makin lama cerewet sekali si Rani! Beda dengan Citra. Sangat jauh berbeda. Aku menjadi menyesal sudah menikahi Rani," batin Adi menahan amarah di dalam dada.
"Aku hari ini pulang malam! Kamu tidak usah menunggu! Makan sendiri dan tidur sendiri saja!" Adi perlahan menutup kaca mobil. Sama sekali tidak menoleh ke Rani.
"Aku tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Dan kamu sebagai suami harus juga tahu apa yang boleh dan tidak boleh kamu lakukan!" Rani berlalu masuk ke dalam rumah. Menutup pintu rumah sangat kencang.
"Apa maksud perkataan Rani?" Adi mengerutkan dahi sembari mengelus dagu berulang kali.
"Mas, aku yakin sekali kalau kamu menerima pesan dari wanita itu. Ada ucapan yang dia katakan hingga membuat kamu marah. Aku harus mencari tahu siapa perempuan yang sudah menjadi benalu di pernikahan kita," ucap Rani seraya duduk tertegun di sofa ruang tamu.
"Aku harus bagaimana?" Rani kalut sekali. Sama sekali tidak bisa berpikir jernih.Rani berlari naik ke lantai atas. Mengeluarkan tas besar dan koper kecil dari dalam kamar. Berjalan cepat menuju pintu keluar. Langkah terhenti beberapa menit. Memejamkan mata dengan hati yang sangat terasa sesak."Mas, aku pamit. Mungkin semua sudah selesai sampai di sini." Rani membalikkan badan perlahan dengan air mata yang menetes di wajah penuh kesedihan.Hanya beberapa langkah saja kembali berhenti. Duduk termenung di teras rumah. Sudah tidak mampu dan tahan lagi. Rani menangis cukup kencang sembari memukul tas besar di samping kaki kiri nya."Dia belum tentu mencari ku kalau aku pergi dari rumah ini," lirih Rani sambil membuka mata perlahan. Terasa sangat berat karena sepasang mata indah itu dipenuhi air mata."Kalau aku pulang, Bapak pasti curiga kalau keadaan ku menyedihkan seperti ini," lanjut Rani menjadi semakin ragu.Rani paling tidak bisa kalau menyembunyikan kesedihan di depan Bapak. Seber
"Rani, tatap mataku!" Adi memegang perlahan dagu Rani hingga menoleh ke arahnya.Rani betah menunduk. Sementara Adi menatap dalam mimik wajah Rani. Adi mengedipkan mata berkali-kali. Sangat jelas sekali kalau Rani sangat sedih. Menurunkan tangan perlahan ke bawah. Memalingkan muka dari Rani dalam sekejap."Silakan kalau mau pulang ke Solo! Aku tidak akan mencegah kamu. Lagian juga kamu sudah terlihat sangat siap dengan tas yang terisi semua bajumu," ujar Adi penuh pasrah dan napas berat.Adi menoleh ke tas besar yang membuat hatinya sedih. Berlalu begitu saja meninggalkan Rani sendirian di bawah. Tak lama kemudian terdengar suara pintu menutup sangat kencang."Astagfirullah, aku sudah membuat suamiku marah. Aku tidak bisa terus berpura-pura. Sebab aku memang sedang tidak baik-baik saja. Bapak, Rani minta maaf!" Rani duduk lemas di kursi sudut ruang tamu."Mas Adi, aku tidak akan pernah melepas kamu begitu saja. Aku harus bisa menemukan perempuan lain yang menjadi sandaran hatimu di lu
Suasana sangat mencekam terasa sekali kala malam itu. Suara Adi masih terasa menggema di lingkup dalam rumah. Rani meremas ujung hijab hingga kusut. Sekilas teringat kembali noda merah bekas perempuan yang tega menjadi perusak rumah tangga mereka."Apa tujuan mu menikahi aku, Mas?" Terdengar suara serak yang keluar dari bibir Rani yang sedikit terkelupas.Adi terdiam tak mengerti maksud istrinya. Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu untuk dipertanyakan lagi. Entahlah, Adi semakin pusing dan bingung.Berpikir lagi mencerna kata yang dilontarkan Rani sedikit demi sedikit. Namun, tetap tidak menemukan jawaban."Kenapa cuma diam?"Adi mendekati Rani perlahan. Pelan sekali. Rani mundur satu langkah ke belakang saat Adi maju selangkah ke depan. Tidak sadar bagian tubuh Rani bagian belakang sudah menyentuh jendela kamar."Mau ke mana lagi kamu, Ran? Masih mau jalan mundur?" Adi menyeringai kesal.Rani menoleh ke belakang. Pemandangan di bawah hanya rerumputan hijau yang terlihat sangat ter
Adi masih serius berbicara lewat telepon. Sangat lama sekali hingga membuat Rani mengerutkan kening. Berdiri lalu kembali duduk. Berulang terus dan Rani merasa semakin lelah. Namun, suami tak kunjung kembali."Mas Adi, kenapa lama sekali?" Rani bertambah panik. Tidak munafik ada rasa cemburu dan curiga yang semakin tebal."Apa aku menyusul ke depan saja, ya? Tetapi aku canggung," lirih Rani memegang dada yang semakin berdebar.Rani kembali duduk diselimuti perasaan yang tidak enak. Sama sekali tidak enak. Pandangan tidak lepas dari jam dinding. Pikiran semakin tidak karuan.Rani mengayunkan kaki setengah tidak yakin. Baru dua langkah kembali duduk. Membuang napas kasar sekilas teringat noda merah di kemeja Adi."Enggak! Kalau aku mendengar Mas Adi bicara mesra di telepon. Ah, tidak! Mending aku diam di sini saja. Aku gak mau tambah terluka," ujar Rani sesekali menoleh ke pintu kamar yang sedikit terbuka.Tak lama kemudian Adi masuk lalu menutup pintu kamar. Rani menunduk sibuk memaink
Rani mengusap air mata dengan kedua tangan. Menarik tas koper besar keluar dari kamar. Tidak sengaja Adi mendengar suara pintu kamar yang menutup."Aduh, semoga Mas Adi tidak dengar."Rani berjalan sangat pelan menuruni anak tangga. Sangat pelan sekali sesekali menengok ke belakang. Khawatir jika Adi mendengar langkah kakinya."Sepertinya aman. Bismillah, semoga aku sampai rumah dengan selamat," ucap Rani sambil memejamkan netra seraya berdoa.Rani berjalan seperti biasa dengan tentengan tas besar dan tas kecil di kedua tangan. Hati rasanya sakit sekali dan masih tidak percaya kejadian yang dialami banyak perempuan di luar sana bisa menimpa rumah tangganya sendiri."Mau ke mana kamu?" Langkah Rani mendadak terhenti. Jelas sekali kalau yang didengar adalah suara Adi. Dada berdebar dua kali lipat lebih cepat. Tidak mampu dan berani untuk menengok ke belakang.Adi masih diam berdiri melipat tangan di depan dada. Sorot mata Adi nampak menakutkan diiringi dengan bibir yang bergetar. T
Rani bergegas lari saat tahu Adi mendekati dirinya. Berlari tanpa melihat ke arah depan. Cemas sekali karena Adi berlari mencoba meraih tubuhnya."Rani! Tunggu! Jangan lari!" "Berhenti! Jangan ikuti aku!" Rani berteriak sambil terus berlari.Rani sama sekali tidak menghadap ke depan. Adi terus mengejar tanpa peduli orang di sekitar. Padahal hampir semua orang memerhatikan tingkah polah mereka. Suasana mendadak ikut riuh. Adi dan Rani seolah sudah tidak peduli lagi."Aduh! Sakit!" teriak Rani cukup keras."Rani!" Adi berteriak saat melihat Rani tersandung hingga tersungkur ke jalanan.Adi sigap membantu berdiri. Namun, dengan cepat Rani menangkis agak kasar. Kedua tangan Adi refleks terangkat ke atas. Rani berdiri sempoyongan sendiri tanpa bantuan suami. Pandangan Adi menyapu sekitar. Banyak orang yang berbisik dan sibuk melihat istrinya."Rani, ayo masuk ke mobil!""Aku gak mau! Aku mau pulang ke Solo!" teriak Rani menyingkirkan tangan Adi.Adi masih menoleh kanan dan kiri. Semakin
Tubuh Rani seolah kaku dan tidak dapat bergerak sedikit pun. Selang beberapa detik dari ujung rambut hingga ujung kaki terasa bergetar dan bulu kuduk berdiri. Berusaha sekuat tenaga melepas pelukan Adi tetapi tidak berhasil. "Rani, jangan bergerak! Ada Bapak di belakang. Beliau tersenyum melihat kita." Adi berbisik sangat pelan di telinga istrinya.Rani menjadi lemas seketika. Tidak ada kekuatan untuk menolak dan mendorong tubuh suami ke belakang. Dia hanya bisa pasrah dan menerima semua perlakuan Adi."Bagus. Bapak, mulai berjalan ke sini. Kamu tetap diam, ya."Sedikit memiringkan kepala sama sekali tidak ada keberanian untuk menoleh ke samping atau bahkan ke belakang. Adi masih erat memeluk istrinya dengan hati berdebar kencang. Mencium aroma wangi Rani dan tanpa sadar memeluk lebih erat sambil memejamkan mata.Rani serasa mati rasa sudah tidak bisa membedakan mana pelukan dan jantung berdebar karena Bapak. Hanya diam dan terpaksa dipeluk suami sangat kencang. Sengaja dilakukan ag
"Jangan mendekat! Aku bilang jangan mendekat!" teriak Rani mundur ke belakang.Adi terus mendekati Rani penuh tatapan menjijikkan bagi Rani. Baru pertama itu melihat wajah pria yang sangat menyebalkan dan membuat Rani ingin muntah."Rani, sini Sayang! Ayo, ke sini? Ke pelukanku, Sayang," rayu Adi seraya mengedipkan mata genit ke istri."Mundur! Jangan macam-macam!" Rani menabrak sesuatu benda keras di belakang. Dia meraba penuh getaran. Ada dinding di belakang Rani. Terpojok di sudut ruangan kamar. Adi tambah semangat untuk lebih mendekat karena nafsu."Diam kamu, Sayang! Ayolah, sini aku peluk.""Jangan!" Rani berteriak sangat kencang."Rani, ada apa? Kenapa kamu teriak?" Adi bergegas berdiri mendekati istri.Pundak Rani naik turun memburu sangat cepat. Sangat susah mengatur napas. Meraba dada seraya berdiri di dekat jendela. Mengelap kucuran keringat dingin yang membasahi seluruh wajah."Kamu kenapa?" tanya Adi sangat panik.Rani masih sibuk mengatur napas. Memberi tanda ke suami s