Share

4. Sikap Manis Adi

Adi terkejut membalikkan badan dan tidak sengaja ponsel terlepas dari tangan. Jatuh ke atas lantai dengan posisi layar menghadap ke atas. Rani melirik sedikit tulisan di layar ponsel Adi.

Dalam beberapa detik ponsel sudah tersimpan rapi dan aman di saku celana Adi. Wajah Adi sangat panik dan merah merona. Rani mengerutkan alis dengan pandangan yang tak lepas dari ponsel Adi.

"Mas, telepon dari siapa?" Rani kembali bertanya.

Adi mengusap keringat di dahi diiringi bola mata yang tidak berhenti berputar ke kanan dan kiri. Sibuk memikirkan alasan yang masuk akal.

Rani masih terdiam menunggu jawaban yang paling masuk akal. Tangan dilipat tepat di depan dada. Memasang wajah datar dan lugu khas Rani.

"Mas, kenapa gugup? Ponsel juga sampai jatuh." Rani masih tanpa ekspresi.

"Sayang, aku kaget sekali! Aku lagi serius ngobrol sama klien. Kamu tiba-tiba menepuk pundak ku. Wajar kalau aku sangat kaget karena yang aku tahu gak ada siapa-siapa di belakang ku." Adi menjelaskan panjang lebar dengan satu tarikan napas.

Rani mengangguk perlahan berusaha menerima semua penjelasan Adi. Meskipun berat sekali merasakan perih karena lelah dibohongi.

Adi merangkul Rani kembali menuju ke meja makan. Langkah Rani seperti tidak menapak di atas lantai. Berjalan lemas dan sama sekali tidak bertenaga. Sedikit melirik ke samping lalu kembali menghadap depan. Seluruh tubuh seperti mati rasa tidak bisa merasakan sentuhan Adi.

"Sayang, kamu mau hadiah?" Adi menawarkan banyak pilihan foto perhiasan di galeri ponsel.

Rani salah fokus dengan banyak foto perhiasan yang tersimpan di galeri ponsel milik Adi. Dahi berkerut menjadi bertanya-tanya kenapa banyak sekali foto perhiasan di ponsel sang suami.

"Lihat ini, Sayang! Ini cuma 50 juta. Oh, yang ini cantik sekali cuma 70 juta. Kamu mau yang mana?"  Pandangan Adi berpindah ke wajah ayu Rani.

"Mas, ini mahal sekali! Aku tidak mau kalau beli barang yang terlalu mahal." Rani menjauhkan ponsel Adi dari atas meja.

"Sayang, ini gak seberapa buat aku. Kamu mau yang mana? Besok pagi perhiasan ini sudah ada di meja rias mu," ujar Adi seraya tersenyum.

"Ya Allah, banyak sekali uang yang dimiliki suami ku. Aku tidak heran banyak wanita yang mendekati Mas Adi. Tetapi, aku baru menikah beberapa hari dan menemukan kenyataan yang pahit. Jangan-jangan banyak wanita yang dibelikan perhiasan mahal seperti ini," batin Rani sangat kecewa.

"Kalau tidak mau perhiasan lalu kamu mau apa, istri ku? Berlibur? Atau baju mahal? Rumah? Apa yang kamu minta, Sayang?" Adi mengelus tangan halus Rani.

Netra Rani menutup perlahan dengan helaan napas berat. Adi semakin bingung melihat gelagat Rani. Namun, berulang kali berusaha ditepis.

"Mas, aku hanya minta satu hal saja dari kamu. Apa kamu bisa menuruti permintaanku?" lirih Rani sambil menunduk.

"Pasti bisa! Apa saja yang kamu minta pasti aku belikan," ujar Adi yakin penuh percaya diri.

Rani menoleh ke arah wajah suami. Menatap muka tampan Adi dengan perasaan sakit. Netra Adi berkaca-kaca melihat Rani menitikkan air mata.

"Permintaanku sangat mahal. Bahkan, bisa lebih mahal dari semua perhiasan yang bisa kamu beli. Aku tidak yakin kamu bisa menuruti permintaan ku," ujar Rani seraya membuang muka.

"Jangan khawatir, Rani! Apa yang kamu minta?" Adi masih sangat yakin.

"Aku hanya minta kesetiaan dari kamu, Mas." Air mata Rani kembali terjun deras di wajah.

Adi sangat kaget mendengar permintaan Rani. Seharusnya sebagai seorang suami tidak perlu memasang muka terkejut dan panik. Sebab sudah sepantasnya suami harus selalu setia menjalankan amanah untuk menjaga kepercayaan istri.

"Kenapa? Kamu tidak bisa? Kenapa kamu tidak menjawab, Mas?" Rani sedikit memberi penekanan.

Adi mendekati istri tercinta sambil memeluk erat tubuh kecil nan ramping itu. Rani kaget menerima perlakuan manis dari Adi.

"Aku Mencintai mu lebih dari apapun, Kirani Adriani!" Adi berbisik ke telinga istri tercinta.

"Jangan kau kira aku akan mudah tertipu dengan mulut manis mu, Mas Adi," batin Rani menahan perih.

Adi melepas pelukan sambil mengusap air mata Rani. Melempar senyuman manis ke arah bidadari hatinya. Rani sedikit tersenyum agar Adi tidak menaruh curiga.

"Rani, aku akan setia sama kamu. Seumur hidup ku hanya untuk mu. Bahkan, nyawa ku akan ku pertaruhkan untuk istri ku satu-satu nya," ucap Adi seraya menepuk dada agak kencang.

"Iya, aku percaya sama kamu." Rani mengangguk sambil meneguk air hangat di gelas bening.

Adi ikut meneguk air dengan gelisah. Terdengar suara keras saat menelan air putih. Jantung Adi berdebar kencang dan napas susah diatur.

"Sayang, aku keluar sebentar, ya! Aku mau beli sesuatu buat kamu," ujar Adi seraya berdiri cepat.

Adi mengecup kening Rani lalu berlalu meninggalkan istri tercinta sendiri di meja makan. Hanya anggukan lemas yang Rani tunjukkan. Tak lama kemudian terdengar suara pintu pagar tertutup kencang.

Rani berlari ke dekat jendela ruang tamu. Air mata menetes deras sambil memukul kaca jendela berulang kali hingga tangan terasa sakit.

"Mas, kamu ke mana? Apa kamu sedang bertemu dengan perempuan lain di luar sana?" Rani menutup wajah. Terdengar suara tangisan yang sangat menyayat hati.

Rani terkulai lemas di balik pintu yang menjadi saksi kepedihan nya. Sekilas pintu yang terlihat sangat mahal dan mewah bisa turut merasakan perasaan Rani saat itu. Memejamkan mata sejenak menenangkan pikiran dan hati yang remuk redam.

Selang 30 menit terdengar suara mobil masuk ke dalam halaman rumah. Rani bergegas berdiri lalu berlari ke dalam kamar. Bersandar pada sebuah bantal di belakang punggung nya. Mengatur napas sembari sibuk mengusap air mata.

Adi masuk kedalam kamar dihiasi senyum lebar di wajah nya. Rani masih sibuk melihat layar ponsel dan berpura-pura tidak melihat kedatangan suami.

"Sayang, aku bawa sesuatu. Aku sangat yakin kalau kamu pasti sangat suka." Adi melirik wajah Rani yang masih menunduk.

"Apa itu, Mas?" Rani menyimpan ponsel di bawah bantal.

Adi memberikan buket bunga mawar yang cantik dan sekotak cokelat berbentuk hati. Rani terdiam sejenak lalu dalam sekejap bunga dan cokelat sudah berpindah tangan.

"Kamu suka?"

"Iya, Mas. Terima kasih ya, Mas? Lain kali tidak perlu seperti ini," ujar Rani menahan malu.

"Alhamdulillah, kalau kamu suka. Aku sekalian izin sama kamu, ya? Aku harus lembur di ruang kerja. Banyak kerjaan yang belum selesai. Kamu tidur duluan saja ya, Sayang," kata Adi seraya mencium kening Rani.

"Iya, kalau sudah selesai masuk saja ke dalam kamar. Pintu tidak dikunci dan jangan terlalu malam kerja nya," ujar Rani penuh nasihat ke suami yang baru dinikahi belum ada tiga hari.

Adi menutup pintu perlahan seraya tangan kiri sibuk mengetik tulisan di ponsel. Rani memandang arah pintu hingga bayangan suami nya menghilang.

Rani menghela napas panjang lalu membuang muka. Memijit kepala yang terasa mau pecah. Bunga dan cokelat dilempar ke atas meja. Menutup seluruh tubuh dengan selimut.

"Jam berapa ini?" Pandangan Rani tepat ke jam dinding cukup besar di depan mata.

"Oh, sudah jam 1 pagi. Mas Adi, masih kerja?" Rani menoleh ke samping. Tidak ada bekas atau tanda Adi di sebelah nya.

"Ya Allah, aku sungguh sangat berdosa sebagai seorang istri. Setiap detik selalu merasa curiga ke suami. Apa Mas Adi lagi telponan sama wanita lain? Siapa perempuan itu? Tega sekali berbuat hal kotor di belakang ku," lirih Rani duduk termenung duduk di sudut ranjang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status