Adi terkejut membalikkan badan dan tidak sengaja ponsel terlepas dari tangan. Jatuh ke atas lantai dengan posisi layar menghadap ke atas. Rani melirik sedikit tulisan di layar ponsel Adi.
Dalam beberapa detik ponsel sudah tersimpan rapi dan aman di saku celana Adi. Wajah Adi sangat panik dan merah merona. Rani mengerutkan alis dengan pandangan yang tak lepas dari ponsel Adi.
"Mas, telepon dari siapa?" Rani kembali bertanya.
Adi mengusap keringat di dahi diiringi bola mata yang tidak berhenti berputar ke kanan dan kiri. Sibuk memikirkan alasan yang masuk akal.
Rani masih terdiam menunggu jawaban yang paling masuk akal. Tangan dilipat tepat di depan dada. Memasang wajah datar dan lugu khas Rani.
"Mas, kenapa gugup? Ponsel juga sampai jatuh." Rani masih tanpa ekspresi.
"Sayang, aku kaget sekali! Aku lagi serius ngobrol sama klien. Kamu tiba-tiba menepuk pundak ku. Wajar kalau aku sangat kaget karena yang aku tahu gak ada siapa-siapa di belakang ku." Adi menjelaskan panjang lebar dengan satu tarikan napas.
Rani mengangguk perlahan berusaha menerima semua penjelasan Adi. Meskipun berat sekali merasakan perih karena lelah dibohongi.
Adi merangkul Rani kembali menuju ke meja makan. Langkah Rani seperti tidak menapak di atas lantai. Berjalan lemas dan sama sekali tidak bertenaga. Sedikit melirik ke samping lalu kembali menghadap depan. Seluruh tubuh seperti mati rasa tidak bisa merasakan sentuhan Adi.
"Sayang, kamu mau hadiah?" Adi menawarkan banyak pilihan foto perhiasan di galeri ponsel.
Rani salah fokus dengan banyak foto perhiasan yang tersimpan di galeri ponsel milik Adi. Dahi berkerut menjadi bertanya-tanya kenapa banyak sekali foto perhiasan di ponsel sang suami.
"Lihat ini, Sayang! Ini cuma 50 juta. Oh, yang ini cantik sekali cuma 70 juta. Kamu mau yang mana?" Pandangan Adi berpindah ke wajah ayu Rani.
"Mas, ini mahal sekali! Aku tidak mau kalau beli barang yang terlalu mahal." Rani menjauhkan ponsel Adi dari atas meja.
"Sayang, ini gak seberapa buat aku. Kamu mau yang mana? Besok pagi perhiasan ini sudah ada di meja rias mu," ujar Adi seraya tersenyum.
"Ya Allah, banyak sekali uang yang dimiliki suami ku. Aku tidak heran banyak wanita yang mendekati Mas Adi. Tetapi, aku baru menikah beberapa hari dan menemukan kenyataan yang pahit. Jangan-jangan banyak wanita yang dibelikan perhiasan mahal seperti ini," batin Rani sangat kecewa.
"Kalau tidak mau perhiasan lalu kamu mau apa, istri ku? Berlibur? Atau baju mahal? Rumah? Apa yang kamu minta, Sayang?" Adi mengelus tangan halus Rani.
Netra Rani menutup perlahan dengan helaan napas berat. Adi semakin bingung melihat gelagat Rani. Namun, berulang kali berusaha ditepis.
"Mas, aku hanya minta satu hal saja dari kamu. Apa kamu bisa menuruti permintaanku?" lirih Rani sambil menunduk.
"Pasti bisa! Apa saja yang kamu minta pasti aku belikan," ujar Adi yakin penuh percaya diri.
Rani menoleh ke arah wajah suami. Menatap muka tampan Adi dengan perasaan sakit. Netra Adi berkaca-kaca melihat Rani menitikkan air mata.
"Permintaanku sangat mahal. Bahkan, bisa lebih mahal dari semua perhiasan yang bisa kamu beli. Aku tidak yakin kamu bisa menuruti permintaan ku," ujar Rani seraya membuang muka.
"Jangan khawatir, Rani! Apa yang kamu minta?" Adi masih sangat yakin.
"Aku hanya minta kesetiaan dari kamu, Mas." Air mata Rani kembali terjun deras di wajah.
Adi sangat kaget mendengar permintaan Rani. Seharusnya sebagai seorang suami tidak perlu memasang muka terkejut dan panik. Sebab sudah sepantasnya suami harus selalu setia menjalankan amanah untuk menjaga kepercayaan istri.
"Kenapa? Kamu tidak bisa? Kenapa kamu tidak menjawab, Mas?" Rani sedikit memberi penekanan.
Adi mendekati istri tercinta sambil memeluk erat tubuh kecil nan ramping itu. Rani kaget menerima perlakuan manis dari Adi.
"Aku Mencintai mu lebih dari apapun, Kirani Adriani!" Adi berbisik ke telinga istri tercinta.
"Jangan kau kira aku akan mudah tertipu dengan mulut manis mu, Mas Adi," batin Rani menahan perih.
Adi melepas pelukan sambil mengusap air mata Rani. Melempar senyuman manis ke arah bidadari hatinya. Rani sedikit tersenyum agar Adi tidak menaruh curiga.
"Rani, aku akan setia sama kamu. Seumur hidup ku hanya untuk mu. Bahkan, nyawa ku akan ku pertaruhkan untuk istri ku satu-satu nya," ucap Adi seraya menepuk dada agak kencang.
"Iya, aku percaya sama kamu." Rani mengangguk sambil meneguk air hangat di gelas bening.
Adi ikut meneguk air dengan gelisah. Terdengar suara keras saat menelan air putih. Jantung Adi berdebar kencang dan napas susah diatur.
"Sayang, aku keluar sebentar, ya! Aku mau beli sesuatu buat kamu," ujar Adi seraya berdiri cepat.
Adi mengecup kening Rani lalu berlalu meninggalkan istri tercinta sendiri di meja makan. Hanya anggukan lemas yang Rani tunjukkan. Tak lama kemudian terdengar suara pintu pagar tertutup kencang.
Rani berlari ke dekat jendela ruang tamu. Air mata menetes deras sambil memukul kaca jendela berulang kali hingga tangan terasa sakit.
"Mas, kamu ke mana? Apa kamu sedang bertemu dengan perempuan lain di luar sana?" Rani menutup wajah. Terdengar suara tangisan yang sangat menyayat hati.
Rani terkulai lemas di balik pintu yang menjadi saksi kepedihan nya. Sekilas pintu yang terlihat sangat mahal dan mewah bisa turut merasakan perasaan Rani saat itu. Memejamkan mata sejenak menenangkan pikiran dan hati yang remuk redam.
Selang 30 menit terdengar suara mobil masuk ke dalam halaman rumah. Rani bergegas berdiri lalu berlari ke dalam kamar. Bersandar pada sebuah bantal di belakang punggung nya. Mengatur napas sembari sibuk mengusap air mata.
Adi masuk kedalam kamar dihiasi senyum lebar di wajah nya. Rani masih sibuk melihat layar ponsel dan berpura-pura tidak melihat kedatangan suami.
"Sayang, aku bawa sesuatu. Aku sangat yakin kalau kamu pasti sangat suka." Adi melirik wajah Rani yang masih menunduk.
"Apa itu, Mas?" Rani menyimpan ponsel di bawah bantal.
Adi memberikan buket bunga mawar yang cantik dan sekotak cokelat berbentuk hati. Rani terdiam sejenak lalu dalam sekejap bunga dan cokelat sudah berpindah tangan.
"Kamu suka?"
"Iya, Mas. Terima kasih ya, Mas? Lain kali tidak perlu seperti ini," ujar Rani menahan malu.
"Alhamdulillah, kalau kamu suka. Aku sekalian izin sama kamu, ya? Aku harus lembur di ruang kerja. Banyak kerjaan yang belum selesai. Kamu tidur duluan saja ya, Sayang," kata Adi seraya mencium kening Rani.
"Iya, kalau sudah selesai masuk saja ke dalam kamar. Pintu tidak dikunci dan jangan terlalu malam kerja nya," ujar Rani penuh nasihat ke suami yang baru dinikahi belum ada tiga hari.
Adi menutup pintu perlahan seraya tangan kiri sibuk mengetik tulisan di ponsel. Rani memandang arah pintu hingga bayangan suami nya menghilang.
Rani menghela napas panjang lalu membuang muka. Memijit kepala yang terasa mau pecah. Bunga dan cokelat dilempar ke atas meja. Menutup seluruh tubuh dengan selimut.
"Jam berapa ini?" Pandangan Rani tepat ke jam dinding cukup besar di depan mata.
"Oh, sudah jam 1 pagi. Mas Adi, masih kerja?" Rani menoleh ke samping. Tidak ada bekas atau tanda Adi di sebelah nya.
"Ya Allah, aku sungguh sangat berdosa sebagai seorang istri. Setiap detik selalu merasa curiga ke suami. Apa Mas Adi lagi telponan sama wanita lain? Siapa perempuan itu? Tega sekali berbuat hal kotor di belakang ku," lirih Rani duduk termenung duduk di sudut ranjang.
Menjelang pagi hari Rani sudah bangun saat mendengar suara azan subuh. Adi masih tertidur pulas tepat di samping nya. Mungkin terlalu lelah bekerja lembur sampai menjelang pagi.Setelah mengambil air wudu bergegas pergi ke kamar lagi membangunkan suami. Menggoyangkan tubuh Adi perlahan. Respon hanya menggeliat lalu berpindah posisi. Rani kembali menepuk punggung suami dengan pelan. Tapi, diam tidak merespon apapun."Mas Adi, kenapa tidak bangun saat mendengar azan? Oh, mungkin terlalu capek karena lembur." Rani menganggukkan kepala perlahan lalu kembali menepuk tangan suami lebih kencang."Ganggu orang tidur saja! Aku ngantuk sekali, Rani!" Adi menutup wajah dengan bantal lalu kembali tidur.Rani tersentak sembari memegang dada. Raut wajah sedih dengan kerutan di sekitar alis. Tidak menyangka sama sekali kalau pria yang kini menjadi suami nya tidak bangun saat mendengar suara azan subuh. Padahal setahu Rani, Adi salah satu pria yang saleh dan selalu bergerak cepat mengambil air wudu s
"Aku harus bagaimana?" Rani kalut sekali. Sama sekali tidak bisa berpikir jernih.Rani berlari naik ke lantai atas. Mengeluarkan tas besar dan koper kecil dari dalam kamar. Berjalan cepat menuju pintu keluar. Langkah terhenti beberapa menit. Memejamkan mata dengan hati yang sangat terasa sesak."Mas, aku pamit. Mungkin semua sudah selesai sampai di sini." Rani membalikkan badan perlahan dengan air mata yang menetes di wajah penuh kesedihan.Hanya beberapa langkah saja kembali berhenti. Duduk termenung di teras rumah. Sudah tidak mampu dan tahan lagi. Rani menangis cukup kencang sembari memukul tas besar di samping kaki kiri nya."Dia belum tentu mencari ku kalau aku pergi dari rumah ini," lirih Rani sambil membuka mata perlahan. Terasa sangat berat karena sepasang mata indah itu dipenuhi air mata."Kalau aku pulang, Bapak pasti curiga kalau keadaan ku menyedihkan seperti ini," lanjut Rani menjadi semakin ragu.Rani paling tidak bisa kalau menyembunyikan kesedihan di depan Bapak. Seber
"Rani, tatap mataku!" Adi memegang perlahan dagu Rani hingga menoleh ke arahnya.Rani betah menunduk. Sementara Adi menatap dalam mimik wajah Rani. Adi mengedipkan mata berkali-kali. Sangat jelas sekali kalau Rani sangat sedih. Menurunkan tangan perlahan ke bawah. Memalingkan muka dari Rani dalam sekejap."Silakan kalau mau pulang ke Solo! Aku tidak akan mencegah kamu. Lagian juga kamu sudah terlihat sangat siap dengan tas yang terisi semua bajumu," ujar Adi penuh pasrah dan napas berat.Adi menoleh ke tas besar yang membuat hatinya sedih. Berlalu begitu saja meninggalkan Rani sendirian di bawah. Tak lama kemudian terdengar suara pintu menutup sangat kencang."Astagfirullah, aku sudah membuat suamiku marah. Aku tidak bisa terus berpura-pura. Sebab aku memang sedang tidak baik-baik saja. Bapak, Rani minta maaf!" Rani duduk lemas di kursi sudut ruang tamu."Mas Adi, aku tidak akan pernah melepas kamu begitu saja. Aku harus bisa menemukan perempuan lain yang menjadi sandaran hatimu di lu
Suasana sangat mencekam terasa sekali kala malam itu. Suara Adi masih terasa menggema di lingkup dalam rumah. Rani meremas ujung hijab hingga kusut. Sekilas teringat kembali noda merah bekas perempuan yang tega menjadi perusak rumah tangga mereka."Apa tujuan mu menikahi aku, Mas?" Terdengar suara serak yang keluar dari bibir Rani yang sedikit terkelupas.Adi terdiam tak mengerti maksud istrinya. Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu untuk dipertanyakan lagi. Entahlah, Adi semakin pusing dan bingung.Berpikir lagi mencerna kata yang dilontarkan Rani sedikit demi sedikit. Namun, tetap tidak menemukan jawaban."Kenapa cuma diam?"Adi mendekati Rani perlahan. Pelan sekali. Rani mundur satu langkah ke belakang saat Adi maju selangkah ke depan. Tidak sadar bagian tubuh Rani bagian belakang sudah menyentuh jendela kamar."Mau ke mana lagi kamu, Ran? Masih mau jalan mundur?" Adi menyeringai kesal.Rani menoleh ke belakang. Pemandangan di bawah hanya rerumputan hijau yang terlihat sangat ter
Adi masih serius berbicara lewat telepon. Sangat lama sekali hingga membuat Rani mengerutkan kening. Berdiri lalu kembali duduk. Berulang terus dan Rani merasa semakin lelah. Namun, suami tak kunjung kembali."Mas Adi, kenapa lama sekali?" Rani bertambah panik. Tidak munafik ada rasa cemburu dan curiga yang semakin tebal."Apa aku menyusul ke depan saja, ya? Tetapi aku canggung," lirih Rani memegang dada yang semakin berdebar.Rani kembali duduk diselimuti perasaan yang tidak enak. Sama sekali tidak enak. Pandangan tidak lepas dari jam dinding. Pikiran semakin tidak karuan.Rani mengayunkan kaki setengah tidak yakin. Baru dua langkah kembali duduk. Membuang napas kasar sekilas teringat noda merah di kemeja Adi."Enggak! Kalau aku mendengar Mas Adi bicara mesra di telepon. Ah, tidak! Mending aku diam di sini saja. Aku gak mau tambah terluka," ujar Rani sesekali menoleh ke pintu kamar yang sedikit terbuka.Tak lama kemudian Adi masuk lalu menutup pintu kamar. Rani menunduk sibuk memaink
Rani mengusap air mata dengan kedua tangan. Menarik tas koper besar keluar dari kamar. Tidak sengaja Adi mendengar suara pintu kamar yang menutup."Aduh, semoga Mas Adi tidak dengar."Rani berjalan sangat pelan menuruni anak tangga. Sangat pelan sekali sesekali menengok ke belakang. Khawatir jika Adi mendengar langkah kakinya."Sepertinya aman. Bismillah, semoga aku sampai rumah dengan selamat," ucap Rani sambil memejamkan netra seraya berdoa.Rani berjalan seperti biasa dengan tentengan tas besar dan tas kecil di kedua tangan. Hati rasanya sakit sekali dan masih tidak percaya kejadian yang dialami banyak perempuan di luar sana bisa menimpa rumah tangganya sendiri."Mau ke mana kamu?" Langkah Rani mendadak terhenti. Jelas sekali kalau yang didengar adalah suara Adi. Dada berdebar dua kali lipat lebih cepat. Tidak mampu dan berani untuk menengok ke belakang.Adi masih diam berdiri melipat tangan di depan dada. Sorot mata Adi nampak menakutkan diiringi dengan bibir yang bergetar. T
Rani bergegas lari saat tahu Adi mendekati dirinya. Berlari tanpa melihat ke arah depan. Cemas sekali karena Adi berlari mencoba meraih tubuhnya."Rani! Tunggu! Jangan lari!" "Berhenti! Jangan ikuti aku!" Rani berteriak sambil terus berlari.Rani sama sekali tidak menghadap ke depan. Adi terus mengejar tanpa peduli orang di sekitar. Padahal hampir semua orang memerhatikan tingkah polah mereka. Suasana mendadak ikut riuh. Adi dan Rani seolah sudah tidak peduli lagi."Aduh! Sakit!" teriak Rani cukup keras."Rani!" Adi berteriak saat melihat Rani tersandung hingga tersungkur ke jalanan.Adi sigap membantu berdiri. Namun, dengan cepat Rani menangkis agak kasar. Kedua tangan Adi refleks terangkat ke atas. Rani berdiri sempoyongan sendiri tanpa bantuan suami. Pandangan Adi menyapu sekitar. Banyak orang yang berbisik dan sibuk melihat istrinya."Rani, ayo masuk ke mobil!""Aku gak mau! Aku mau pulang ke Solo!" teriak Rani menyingkirkan tangan Adi.Adi masih menoleh kanan dan kiri. Semakin
Tubuh Rani seolah kaku dan tidak dapat bergerak sedikit pun. Selang beberapa detik dari ujung rambut hingga ujung kaki terasa bergetar dan bulu kuduk berdiri. Berusaha sekuat tenaga melepas pelukan Adi tetapi tidak berhasil. "Rani, jangan bergerak! Ada Bapak di belakang. Beliau tersenyum melihat kita." Adi berbisik sangat pelan di telinga istrinya.Rani menjadi lemas seketika. Tidak ada kekuatan untuk menolak dan mendorong tubuh suami ke belakang. Dia hanya bisa pasrah dan menerima semua perlakuan Adi."Bagus. Bapak, mulai berjalan ke sini. Kamu tetap diam, ya."Sedikit memiringkan kepala sama sekali tidak ada keberanian untuk menoleh ke samping atau bahkan ke belakang. Adi masih erat memeluk istrinya dengan hati berdebar kencang. Mencium aroma wangi Rani dan tanpa sadar memeluk lebih erat sambil memejamkan mata.Rani serasa mati rasa sudah tidak bisa membedakan mana pelukan dan jantung berdebar karena Bapak. Hanya diam dan terpaksa dipeluk suami sangat kencang. Sengaja dilakukan ag