Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu

Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu

Oleh:  Syarlina  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 Peringkat
69Bab
54.8KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Hanifah tak mengira kesetiaannya selama ini pada suami dan ibu mertua berbuah pengkhianatan. Ia bahkan menutupi rahasia besar suaminya dan rela menjadi tameng yang disalahkan karena dianggap tak bisa memberikan keturunan. Merasa sudah dilukai terlalu dalam, Hanifah akhirnya memutuskan untuk melawan. Dia bahkan secara halus membuka aib yang selama ini disembunyikannya untuk melindungi harga diri suaminya tersebut. Rahasia apa yang telah disembunyikan Hanifah bertahun-tahun? Apa yang terjadi pada suaminya kelak andai rahasia itu terbongkar?

Lihat lebih banyak
Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Kokom Komariah
cerita nya sangat bagus
2023-09-14 12:49:24
2
69 Bab
Haruskah Kubuka Mas?
Deru mobil terdengar memasuki halaman rumah. Aku menatap sebentar ke arah kaca jendela depan dekat pintu utama, lalu kembali menyesap teh hangatku dengan pelan. Tampak Ibu mertua tersenyum merekah berjalan dengan tergesa menuju pintu. Wajahnya menunjukkan kebahagiaan. Hari ini dia bahkan memintaku memasak banyak makanan dengan menu istimewa pilihannya. Semua yang kumasak bukan makanan kesukaan Mas Akbar, apalagi favoritku. Bukan pula kesukaan Ibu mertua dan adik ipar. Katanya bakal ada yang datang berkunjung dan aku tahu itu siapa. "Hanifah, ayo sambut tamu kita, itu pasti mereka." Ibu mengajakku serta agar ikut dengannya ke depan teras, tapi langkahku berat. Aku tetap bertahan duduk di kursi tamu, menikmati teh tawar yang terasa sepahit kopi. Ada rasa yang menyesakkan dada, tapi kucoba menekannya dengan berpura-pura baik. Hanya menoleh sebentar saat namaku disebutnya, namun enggan mengikuti langkahnya. Tidak seperti biasanya, patuh dengar tiap titahnya. Kali ini aku memilih menungg
Baca selengkapnya
Drama Mangga Muda
"Hanifah!""Hanifah!"Terdengar suara Ibu mertua memanggilku diiringi ketukan pintu. Suara gedorannya terdengar mendesak tak sabaran minta segera dibukakan. Aku dengan langkah malas menuju ke arahnya. "Iya, Bu. Ada apa?" tanyaku setelah pintu kamar kubuka. Tampak Ibu tak sendiri. Di sampingnya ada Nita. Wajahnya terlihat murung. Wanita itu menunduk saat kutatap lekat. "Akbar kemana? Kamu minta dia ngapain?" jawab Ibu malah bertanya dengan nada kesal terlihat dari raut wajahnya. Keningku mengkerut. "Mas Akbar?" ulangku sembari menatap wanita yang berdiri di samping Ibu. "Iya, Akbar. Katanya pergi. Kemana? Kamu nyuruh dia beli apa? Baru juga datang sudah diminta pergi lagi, Han. Terlalu kamu!" Ibu menggerutu. "Oh, itu. Hani juga nggak tahu Bu. Hani nggak minta apa-apa sama Mas Akbar. Dia buru-buru pergi. Tidak bilang mau kemana. Memangnya kenapa?" tanyaku sok polos tak ingin disalahkan. Nada bicaraku masih kubuat sehalus mungkin. Tidak terbawa emosi sepertinyq. Apalagi menghadapi
Baca selengkapnya
Kok Kepanasan?
"Kenyang ah, aku nggak sanggup ngabisinnya." Kuletakkan kembali garpu kecil di atas piring yang berisi mangga muda. Tertinggal setengah piring dari yang awalnya penuh. "Nita, kamu mau?" tanyaku menawarkan. Kutatap kedua manik biru miliknya yang tentu saja bukan warna mata sebenarnya. Dia pasti mengenakan soflen. Memang jadi terlihat lebih cantik dipandang. Bisa jadi daya tariknya untuk menggaet suamiku. Buktinya laki-laki itu kecantol hingga mau menikahi siri. Nita menggeleng dengan wajah datar. Tak seperti di awal dia penuh senyum padaku. "Kamu ini, sudah mau habis baru ditawarkan ke Nita. Ya sudah malas lah, Han." Ibu mertua menimpali dengan nada ketus. "Aduh, maaf, Bu, maaf Nita. Aku kelupaan kalau ada kamu di sini. Ingatnya cuma Ibu dan Mas Akbar dan kalian berdua tidak makan ini." Tak mau kalah aku beralasan. Matanya melebar tanda tak percaya dengan apa yang barusan kuucapkan. Namun aku tak peduli. Aku memasang wajah tak bersalah di hadapan semuanya. "Aku sudah selesai, su
Baca selengkapnya
Aku Sekarang, Bukan yang Dulu
"Sayang.""Sayang, bangun.""Hanifah."Sayup terdengar namaku dipanggil dengan lembut. Aku mengerjapkan mata sambil menguap. Pura-pura terbangun karena panggilan tersebut. Mas Akbar, dia yang membangunkanku. Pasti dia heran kenapa di jam segini aku masih tertidur di kamar. Harusnya sudah sibuk berada di dapur setelah melaksanakan kewajiban dua rakaat. "Iya, Mas," ujarku seraya mengucek mata memaksimalkan sandiwaraku di hadapannya. "Kok kamu baru bangun, Han? Ini sudah pagi." Sudah kuduga ia akan menanyakan hal tersebut. Aku yang pura-pura baru bangun terkejut dengan pertanyaannya. "Hah! Apa, Mas. Sudah pagi ya? Maaf kesiangan." Dengan gerakan cepat aku segera duduk. Mataku riap-riap seperti orang khas bangun tidur. Tampak Mas Akbar menghela napasnya. Seperti menyesali perbuatanku kali ini. "Ya sudah, cepat bangun dan pergi ke dapur. Ibu sepertinya kesal karena kamu belum masak."Aku mengulum senyum dan memalingkan muka ke arah lain agar tak dilihat Mas Akbar. Sebenarnya memang i
Baca selengkapnya
Akhirnya Jujur
Aku makan dalam diam. Tatapan sengit Ibu kuabaikan. Pasti beliau masih jengkel padaku karena menolak permintaannya untuk masak hari ini. Apalagi tanpa rasa bersalah dan tidak tahu malu aku duduk, ikut makan setelah masakannya siap tersaji di atas meja. Bahkan aku tak membantunya menyiapkan meja makan dan menyajikan masakannya tersebut di atas sana. Tentu hal tersebut bukan kebiasaanku selama tinggal satu atap dengannya. Tak pernah sekalipun aku membiarkannya memasak di rumah ini. Kalaupun beliau ingin sendiri, aku dengan sigap ikut membantunya. Namun kali ini kubiarkan saja seolah tak peduli sama sekali. Menantu barunya saja tak peduli setelah insiden di dapur lalu kenapa aku yang harus berbaik hati? Apa sikapku berlebihan? Aku yang terlalu peka atau pikiran negatifku yang berlebihan, hingga merasa ketiga orang yang duduk bersamaku saat ini menyantap sarapan pagi dengan raut wajah yang aneh. Saling melempar kode lewat tatapan mata seolah ada yang ingin mereka katakan. Dari ekor mat
Baca selengkapnya
Minta Revisi?
"Yang, Mas mau bicara." Aku menoleh ke asal suara yang baru saja masuk ke dalam kamar. Memasang senyum palsu saat laki-laki yang bergelar suami tersebut datang menghampiri. Pintu kamar ditutupnya rapat dan dikunci dari dalam. Sepertinya ini pembicaraan serius. Tentu saja setelah hampir setengah jam laki-laki itu masih di ruang dapur, sedang diinterogasi ibunya. Entah apa yang dibicarakan mereka, aku tak tertarik untuk menguping. Biarkan saja. Lebih baik aku ke kamar meredakan gejolak emosi yang hampir membuncah tak tertahankan lagi. "Bicara saja. Bebas kok," balasku terdengar santai dan yang segera ambil posisi duduk setelah dari rebahan. "Mas minta maaf. Mas terpaksa menikah lagi. Ibu yang paksa Mas, Han." Mas Akbar tiba-tiba merosot ke bawah dan memohon dalam posisi berlutut di depanku, mengakui kesalahannya. Kedua tangannya berada di atas pahaku.Aku menengadahkan kepala ke atas tak ingin melihat mimik wajah bersalahnya. Bukan takut luluh, tapi untuk menahan emosi yang tertahan
Baca selengkapnya
Mas Akbar Tidak Jujur
"Jangan gitu, Han. Mas tuh cinta sama kamu. Serius. Mas nggak bohong. Mas cuma butuh Nita buat punya anak. Ibu nggak sabar nunggu kamu punya anak. Beliau jadinya nekan Mas buat nikahi wanita lain." Mas Akbar protes, membela diri. Kebanyakan lelaki memang begitu, kalau salah masih saja mengelak dan mencari pembelaan. "Bukankah di awal Mas sudah tahu kalau Hani nggak mau dimadu? Kenapa masih nekat? Kalau mau nikah lagi ya Mas ceraikan Hani dulu. Gampang kan? Poin di perjanjian itu tak kan kena Mas sekarang karena jatuhnya Hani yang mengundurkan diri, bukan karena Mas ketahuan selingkuh." Aku mencak kesal karena mendengar jawabannya. Mas Akbar terdiam mendengar penjelasanku. Mungkin dia baru menyadarinya atau menyesal kenapa tidak menceraikanku lebih dulu baru menikah lagi. "Jadi Mas pilih yang mana?" Aku kembali mendesaknya, melihatnya cuma diam. Mas Akbar terlihat lemas. Terdengar desahan panjang menandakan ada beban berat yang sedang dipikulnya. 'Salah sendiri.' Aku bergumam dala
Baca selengkapnya
Terpaksa Bersabar
"Oh, Mas Akbar belum cerita ya?" "Cerita apa? Kenapa kamu senyum-senyum begitu?" Wajah Ibu menyiratkan keheranan. Ia memandangku lekat penuh tanya, mungkin penasaran dengan apa yang kumaksud barusan. "Begini, Bu. Kami mempunyai perjanjian pranikah kalau siapa pun diantara kami yang selingkuh, maka dia harus pergi dari rumah ini tanpa membawa apa pun." Aku mencoba menjelaskan dengan pelan. "Lalu, apa hubungannya dengan …." Ibu menggantung ucapannya dan aku mengangguk mengisyaratkan kalau apa yang sedang dipikirkannya adalah benar. "Mas Akbar harus keluar dari rumah ini karena dia yang berkhianat lebih dulu," lanjutku memperjelas. "T–tidak! Itu tidak bisa dijadikan tolak ukur. Anakku juga tidak selingkuh. Dia menikah atas restuku. Dia juga berhak menikah lagi karena kamu sebagai istri tidak bisa memberikannya anak." Ibu protes keras tidak setuju dengan apa yang telah kukatakan. "Mas Akbar tidak bilang dia menikah lagi. Dia juga tidak izin sama Hani, Bu. Tiba-tiba saja sekarang ini
Baca selengkapnya
Dighibahin, balas dengan elegan
Setelah lama mengurung diri di dalam kamar, aku memutuskan keluar. Aku ingin tahu keadaan di luar kamar, apa yang terjadi. Sejak di dalam kamar, tak ada panggilan lagi dari Ibu mertua. Aku jadi penasaran, apa yang dilakukannya di luar sana. Saat keluar, kadaan di ruang tengah sepi. Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Tak terlihat ada Ibu maupun Nita. Apa mereka juga ikut mengurung diri di kamar? Untuk apa? Setahuku jam segini, Ibu sudah duduk di depan tivi. Menonton siaran drama kesukaannya. Belum beranjak dari ruang tengah terdengar suara orang bicara dari arah dapur. Aku berjalan ke arah sana memastikan, seraya menajamkan indra pendengaran. "Masaknya gini."Suara Ibu mertua yang berbicara. Ternyata ia sedang masak bersama Nita di dapur. Lebih tepatnya Ibu yang tampak sibuk memasak, sedang Nita berdiri di sampingnya sedang memperhatikan. Aku memperhatikan mereka dari ambang pintu dapur. Posisi mereka membelakangiku, jadi tentu saja tidak tahu akan keberadaanku yang memperhat
Baca selengkapnya
Akhirnya Pulang
"Nita, ayo makan yang banyak, Nak. Demi bayi dalam kandunganmu. Masakan Ibu enak kan?"Mendengar ucapan ibu mertua, aku refleks menoleh ke arahnya. Lalu memperhatikan Nita yang duduk di sebelahnya yang tampak kurang semangat untuk makan. Dia terlihat cuma mengaduk-aduk makanan tersebut. "Enak sih Bu. Tapi nggak tahu kenapa, lagi nggak selera aja. Mungkin bawaan bayi, Bu, kayaknya lagi malas makan." Saat mengatakannya, wanita yang duduk di depanku ini melirik padaku. Entah apa maksudnya. Oh. Aku hanya ber-oh ria dalam hati. Bisa jadi ucapannya benar. Katanya orang hamil ada dua type saat makan, makan lahap atau malas makan, bahkan ada yang sakit gara-gara malas makan karena keseringan dimuntahkan tiap kali makan. Aku cuma mendengar, belum pernah merasakan. Jadi, tidak juga peduli dengan apa yang terjadi pada Nita. Sudah ada Ibu mertua yang memperhatikan. Jadi, aku kembali fokus makan dengan menuku sendiri yang berbeda dari Ibu dan Nita. Bukan maksudnya ingin beda sendiri, hanya saja
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status