Share

Drama Mangga Muda

"Hanifah!"

"Hanifah!"

Terdengar suara Ibu mertua memanggilku diiringi ketukan pintu. Suara gedorannya terdengar mendesak tak sabaran minta segera dibukakan.

Aku dengan langkah malas menuju ke arahnya.

"Iya, Bu. Ada apa?" tanyaku setelah pintu kamar kubuka.

Tampak Ibu tak sendiri. Di sampingnya ada Nita. Wajahnya terlihat murung. Wanita itu menunduk saat kutatap lekat.

"Akbar kemana? Kamu minta dia ngapain?" jawab Ibu malah bertanya dengan nada kesal terlihat dari raut wajahnya.

Keningku mengkerut. "Mas Akbar?" ulangku sembari menatap wanita yang berdiri di samping Ibu.

"Iya, Akbar. Katanya pergi. Kemana? Kamu nyuruh dia beli apa? Baru juga datang sudah diminta pergi lagi, Han. Terlalu kamu!" Ibu menggerutu.

"Oh, itu. Hani juga nggak tahu Bu. Hani nggak minta apa-apa sama Mas Akbar. Dia buru-buru pergi. Tidak bilang mau kemana. Memangnya kenapa?" tanyaku sok polos tak ingin disalahkan. Nada bicaraku masih kubuat sehalus mungkin. Tidak terbawa emosi sepertinyq. Apalagi menghadapi orang tua yang dulu kuanggap seperti ibuku sendiri.

"Kok bisa tidak tahu suamimu pergi kemana? Harusnya kamu tanya, Han!" Kali ini suaranya lebih meninggi dan terdengar sewot. Biasanya Ibu tak pernah seketus ini bicara padaku.

Kulirik sekilas wanita di samping ibu mertua. "Ya, nggak sempat. Mas Akbar tiba-tiba pergi begitu saja, Bu. Memangnya ada apa? Ada yang bisa Hani bantu? Hm, Nita kenapa Bu? Kok wajahnya sembab begitu?" tanyaku heran mengalihkan pandangan ke wanita tersebut. Nampak sekali Nita seperti orang yang habis menangis.

"Oh, ini. Nggak papa. Anu, … ee … kejedot pintu. Iya tadi kejedot pintu dahinya." Ibu beralasan. "Jadi benar kamu nggak tahu Akbar kemana?"

Ibu mengulangi pertanyaannya seolah ingin memastikan kalau aku tidak berbohong.

Kepalaku mengangguk mengiakan.

"Teleponnya aktif, tapi nggak diangkat, Bu."

Nita menyela dengan nada merajuk. Ia fokus menatap ponsel di tangannya.

"Memang ada apa, Bu? Kok sepertinya penting sekali sampai menghubungi Mas Akbar. Ada masalah penting?"

Aku mencoba menyelidik. Entah kenapa mereka menginginkan Mas Akbar. Apa memanggil untuk makan siang? Ini kan sudah waktunya makan siang. Awalnya sudah kutawarkan, tapi Mas Akbar menolak dengan alasan capek.

"Oh, itu. Nggak papa kok. Ada yang hm …, Ya, sudahlah, Nit. Nanti Akbar juga balik. Ehm, Han. Anu, Ibu bisa minta tolong?" Sekarang nada bicaranya lembut. Beda dari sebelumnya. Secepat itu Ibu berubah kalau ada maunya. Entah apa yang diinginkannya dariku.

"Ya, ada apa, Bu?"

"Di kulkas, Ibu lihat tidak ada simpanan buah, ehm, anu, Ibu lagi mau makan buah. Kalau bisa mangga muda. Kamu bisa belikan?"

Hah? Mendengar perkataan Ibu barusan membuatku terkejut dan ingin juga rasanya tertawa.

Ibu ingin mangga muda? Buat Ibu atau dia? Refleks mataku melirik ke Nita. Benakku mencibirnya tapi tak terlontarkan keluar.

"Mangga muda? Ibu mau makan mangga muda? Nggak salah, Bu?" timpalku menyelidik. Pura-pura tak tahu.

"Iya, kenapa? Boleh kan? Ibu sudah lama tak makan yang asem, jadi ingin saja. Tolong belikan ya? Mau minta tolong Akbar, orangnya sudah keburu pergi."

Aku menggeleng. "Hanifah nggak bisa, Bu. Nanti dimarahi Mas Akbar. Ibu kan bermasalah sama asam lambung, tidak bisa makan yang terlalu asam. Kalau Mangga matang dan manis, Hani mau belikan, itu pun boleh makan sedikit, tidak boleh banyak, tapi kalau mangga yang masih muda, maaf, Bu. Hani tak berani," tolakku dengan halus.

Ibu terkejut, mungkin baru ingat kalau dia tidak diperbolehkan makan yang terlalu asam, dan hampir lima tahun membersamainya, Ibu sudah tak makan mangga muda. Aku biasanya stok buah apel, pepaya, atau buah naga di kulkas yang sudah matang. Bukan mangga muda.

"Oh, I–iya. Ibu lupa. Hm, ya sudah nggak jadi."

Aku tersenyum mendengarnya. Apalagi melihat kekecewaan di wajah Nita. Dugaanku tepat pasti permintaan wanita tersebut. Kedua wanita berbeda usia itu berlalu pergi dari depan kamarku tanpa bicara sepatah kata pun lagi. Pintu kamar kututup kembali.

Aneh, baru juga datang sudah menyusahkan!

Setelah hampir setengah jam pergi, Mas Akbar akhirnya pulang. Aku tahu dari suara deru mesin mobilnya yang terdengar khas dari luar rumah. Penasaran dengan apa yang dibawanya pulang, benarkah seperti dugaanku?

Selang dua puluh menit berlalu, aku keluar kamar untuk menemuinya. Aku sudah berusaha menunggunya di dalam kamar, tapi dia tak kunjung masuk ke dalam kamar kami.

Sepi, aku tak menemukannya di ruang tengah, apalagi di ruang tamu. Namun terdengar suara orang berbincang dari arah ruang makan. Aku berjalan ke sana untuk memastikannya.

Suara gelak tawa riuh terdengar bersahutan di ruang makan. Ekspresi gembira menghiasi tiap wajah di ruangan ini, termasuk suamiku. Aku tersenyum getir melihatnya. Mereka makan siang tanpa mengajakku serta. Padahal semua makanan aku yang masak.

"Hanifah." Mas Akbar menghentikan senyum bahagianya kala bersirobok tatap denganku yang berdiri di ambang pintu.

Dua wajah lainnya dengan ekspresi sama, kompak diam seketika saat aku berjalan mendekati mereka.

"Sudah bangun? Sini Sayang makan bareng kita," ajaknya tanpa rasa bersalah.

"Sudah bangun? Maksudnya, Mas?" Kulontarkan pertanyaan itu karena aku memang tidak paham. Dia bertanya seolah aku baru bangun tidur.

"Kata–" Tatapan Mas Akbar ke Ibu.

"Hm, Ibu sudah ketuk pintu kamar kamu tapi nggak ada sahutan. Ibu kira kamu tidur," ujar Ibu menjelaskan menyela ucapan anaknya.

"Ketuk pintu? Kapan? Hani tidak tidur, Bu dan tidak dengar ada suara ketukan pintu. Kalau ada–"

"Itu–"

"Sudah, Sayang. Jangan diperpanjang. Mungkin Ibu mengetuknya terlalu pelan jadi kamu nggak dengar. Ayo duduk di sini, kita makan bareng." Mas Akbar maju mendekat dan menuntunku duduk di kursi bersebelahan dengan kursinya. Aku diam tapi dengan tatapan tajam ke arah Ibu. Wanita tua itu seperti heran melihatku berani menatapnya lama begitu. Namun ia tidak marah, dia diam saja dan fokus kembali ke piringnya. Sesekali ia tersenyum ke arah Nita. Memperhatikan wanita muda itu dan mengabaikanku yang merupakan menantunya juga.

"Mas, kamu tadi kemana? Kok lama? Beli apa?" tanyaku membuka obrolan setelah sekian menit tak ada yang bicara. Padahal sebelum kedatanganku, mereka asyik bercanda ria dan tertawa bersama.

"Oh, itu. Mas ke rumah teman sebentar. Masalah kerjaan. Nggak bisa ditunda lagi makanya buru-buru pergi."

Jawaban yang aneh. Mas Akbar menjawab sambil menggaruk kepalanya. Aku tahu kebiasaannya saat berbohong, yang sekarang sering dilakukannya. Ingin sekali mendebat, tapi rasanya malas. Lalu tatapanku teralihkan pada sebuah piring di dekat Nita berisi sesuatu yang mengejutkan bagiku.

"Loh, itu mangga muda ya? Siapa yang beli?" celetukku disengaja.

"Itu Mas yang beli," jawab Mas Akbar.

"Buat siapa? Bukan buat Ibu kan? Apa Ibu yang minta Mas Akbar buat–"

Aku menggantung ucapanku seraya menatap ke Ibu. Wanita tua itu tampak salah tingkah.

"Itu spontan saja, Han, Mas nggak sengaja lewat toko buah jadi kepikiran mau beli buah, jadi Mas beli saja. Siapa tahu ada yang mau." Mas Akbar menjelaskan.

"Tapi kenapa mangga muda?"

Tak ada yang menyahut. kutatap Mas Akbar minta penjelasannya.

"Mas lupa nanya sama penjualnya mana yang matang dan masih muda. Ini bukan buat Ibu, nanti biar Mas yang makan," cetusnya dengan senyum dipaksa. Ibu dan Nita diam tanpa suara.

"Oh, gitu. Jangan Mas. Hani nggak pernah lihat Mas makan mangga muda. Sini buahnya, biar Hani yang makan. Akhir-akhir ini suka makanan yang asem." Kuraih piring tersebut tanpa permisi dan meletakkannya di depanku. Tak 'ku pedulikan tatapan terperangah mereka melihat aksiku tersebut. Apalagi melihat wajah cemberut Nita. Rasanya senang tak terkira.

Kali ini aku tak mau kalah!

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
nah gitu Hani jsngan takut sama 3 orang itu yg pelakor yg pembohong dn s penghianat cocok itu 3 orang yg kompak ..sebentar lagi kena karma itu 3 orang itu ...
goodnovel comment avatar
Sri Sudaryati
Biar tahu rasa Nita ,bagaimana rasanya dibuat jengkel oleh seseorang.
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri kebanyakan drama
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status