Share

Aku Sekarang, Bukan yang Dulu

"Sayang."

"Sayang, bangun."

"Hanifah."

Sayup terdengar namaku dipanggil dengan lembut. Aku mengerjapkan mata sambil menguap. Pura-pura terbangun karena panggilan tersebut. Mas Akbar, dia yang membangunkanku. Pasti dia heran kenapa di jam segini aku masih tertidur di kamar. Harusnya sudah sibuk berada di dapur setelah melaksanakan kewajiban dua rakaat.

"Iya, Mas," ujarku seraya mengucek mata memaksimalkan sandiwaraku di hadapannya.

"Kok kamu baru bangun, Han? Ini sudah pagi."

Sudah kuduga ia akan menanyakan hal tersebut. Aku yang pura-pura baru bangun terkejut dengan pertanyaannya.

"Hah! Apa, Mas. Sudah pagi ya? Maaf kesiangan." Dengan gerakan cepat aku segera duduk. Mataku riap-riap seperti orang khas bangun tidur.

Tampak Mas Akbar menghela napasnya. Seperti menyesali perbuatanku kali ini.

"Ya sudah, cepat bangun dan pergi ke dapur. Ibu sepertinya kesal karena kamu belum masak."

Aku mengulum senyum dan memalingkan muka ke arah lain agar tak dilihat Mas Akbar. Sebenarnya memang itu tujuanku pura-pura tak bangun awal seperti biasanya. Aku ingin mengubah kebiasaanku di rumah ini. Aku tak ingin lagi bersusah payah sibuk membahagiakan orang lain kalau mereka saja tak peduli denganku.

"Maaf, Mas. Sejak kemarin badanku nggak enak gitu. Mungkin itu penyebabku bangun kesiangan gini." Dengan suara parau dan mendayu, aku berujar membuat alasan.

"Kamu sakit, Han?" Mas Akbar segera meraba dahiku untuk memastikannya.

"Tapi nggak panas Han. Normal saja seperti suhuku," ujarnya mendiagnosa sendiri seraya meraba dahinya juga membandingkan.

Ya, benar, Mas. Aku baik-baik saja, kok. Bukan fisik yang sakit, tapi hati dan itu susah sembuhnya. Apalagi dengan tetap tinggal di rumah ini.

"Entah, Mas. Rasanya di dalam. Bukan di luar." Mencoba mencari alasan.

"Apa jangan-jangan kamu hamil, ya Han? Biasanya suka gitu. Badan Ibu hamil nggak enak badan, dan suka mual tiap pagi hari."

Aku mengedikkan bahu, isyarat tidak tahu. "Eh, kok Mas hapal sih? Kayak ngalamin saja." Aku terkekeh kecil padahal sedang menyindirnya.

"Eee, itu … kan seperti itu ibu hamil. Iya kan? Mas sering lihat di tivi. Iya, Mas ada nonton drama apa gitu kalau wanita hamil gejalanya seperti itu." Mas Akbar memperjelas tidak ingin aku salah paham.

Aku menggeleng. "Iya sih, seperti itu dan sayangnya sampai sekarang aku belum merasakannya. Entah kapan." Sengaja aku bicara begini untuk membuat Mas Akbar bersimpati padaku.

"Yang, jangan ngomong gitu. Allah belum ngasih saja kok. Mungkin belum saatnya. Baru juga lima tahun kita bersama. Ada kok yang lebih lama dari kita menunggu dan akhirnya mereka dikasih." Mas Akbar bertutur bijak menenangkanku.

"Iya, dan syukurnya mereka saling setia. Saking sayangnya sama pasangannya masing-masing hingga tak ada keinginan buat nikah lagi. Aku pun berharap seperti itu di hubungan kita seterusnya Mas, saling setia tanpa kehadiran orang ketiga." Kutatap wajahnya dengan teduh berharap ucapanku sampai ke hatinya.

Wajah Mas Akbar seketika berubah. Ia terlihat tegang. Bahkan pegangan tangannya di bahuku sempat bergetar seperti orang gugup dan refleks menariknya dari sana.

Sedahsyat itu rupanya efek ucapanku barusan.

"Kenapa Mas?" tanyaku sok polos pura-pura tak tahu dengan apa yang terjadi padanya.

"A–apa? Nggak papa." Mas Akbar memalingkan wajahnya seolah enggan kutatap lekat.

"Ehm, Han. Coba dulu tes–"

Ucapan Mas Akbar terjeda. Terdengar ada yang mengetuk pintu kamar kami dan serempak kami menoleh ke asal suara.

"Hani."

"Akbar."

"Akbar, buka pintunya. Ini sudah pagi, loh. Istrimu belum bangun juga?" Itu suara Ibu disertai gedoran pintu. Terdengar berteriak dari luar kamar.

Aku dan Mas Akbar saling tatap sekilas lalu Mas Akbar beranjak lebih dulu berjalan menuju pintu.

"Mana istrimu? Kok jam segini belum juga keluar kamar?" Ibu merangsek masuk ke dalam dan menatapku tajam saat kami saling bersirobok pandang. Aku tak seperti dulu lagi yang menundukkan pandangan saat ditatapnya seperti itu. Kali ini kubalas tatapannya seolah menantang.

Maaf jika aku terlihat lancang, Bu. Ini semua karenamu juga.

"Hani lagi tidak enak badan, Bu. Makanya telat bangun." Mas Akbar menjelaskan untuk membelaku.

"Sakit? Tumben Han? Sakit apa? Biasanya mau sakit bagaimanapun kamu tetap turun ke dapur." Ibu masih menatapku tajam, dan suaranya terdengar ketus tak enak didengar kedua kupingku. Namun sedari awal aku sudah mempersiapkan mental untuk ini.

Ia mendekat sampai meraba keningku memastikan kebenarannya.

"Orang kalau tidak enak badan, wajar saja mager ke luar, Bu. Ini juga Hani baru bangun karena Akbar bangunkan. Pasti badannya nggak enak sekali sampai tidak sadar kesiangan bangun." Mas Akbar masih membelaku.

"Jadi nggak bisa nih ke dapur buat masak?"

Ibu terlihat tak puas dengan kondisiku hingga memastikan hal tersebut. Aku tahu inginnya Ibu mertua aku tetap ke dapur memasakkan masakan untuk mereka, tapi maaf, Bu. Semenjak Nita datang biarkan menantu barumu itu yang melanjutkan tugasku di rumah ini. Aku ingin tahu seberapa hebat kemampuannya di dapur. Mampukah disandingkan denganku atau justru dia lebih buruk dariku. Namun melihat sikapnya sejak awal datang, aku yakin tidak diatasku.

"Badan Hani lemas, Bu. Kepala juga pusing. Bolehkah tiduran dulu barang sebentar. Mungkin saja sakitnya mereda." Aku minta nego akan kondisiku.

Ibu menatapku dalam, lalu mengembuskan napas berat. "Terserah, tapi nanti segera ke dapur ya, bantu Ibu masak." Lembut ia bicara tidak seketus sebelumnya.

Aku mengangguk dengan mengulas senyum tipis. Menunjukkan rasa senangku atas perkataannya. Syukurlah beliau masih punya empati hingga memberi izin untukku beristirahat. Ibu lalu memutar badannya untuk berbalik ke arah pintu keluar. Belum sampai langkahnya ke sana, teriakan seseorang membuat kami melongok bersamaan dan dengan langkah cepat Mas Akbar dan Ibu berlari keluar kamar untuk menghampiri asal suara tersebut. Aku mengekor langkah mereka di belakang dengan pelan menunjukkan keadaan kondisiku yang pura-pura lemas.

"Nita ada apa?" Ibu yang lebih dulu menghampiri Nita yang berteriak dari sini dan mengagetkan kami. Entah apa yang terjadi. Aku mengamati dari belakang.

"Tadi ada kecoa melintas di samping kompor, Bu. Terus refleks pancinya saya tarik dan airnya tumpah." Nita menjelaskan. Satu tangannya sibuk membersihkan bajunya yang basah, mungkin bekas ketumpahan air di panci tersebut. Matanya berkaca-kaca saat bicara.

"Ya Allah, Nak, kena air panas? Kamu nggak papa?" Tampak sekali kekhawatiran di wajah Ibu mertua. Beliau sangat perhatian pada Nita.

"Nggak papa, Bu. Airnya hangat kok, belum mendidih. Nita cuma kaget saja."

"Syukurlah. Ibu kaget loh dengarnya. Untung juga airnya baru anget, coba kalau sudah mendidih, bisa melepuh dan bisa membahayakan keadaan an–"

"Bu, sudah. Biar Nita saya bawa ke kamar."

Mas Akbar menyela, padahal Ibu barusan hampir saja ingin berucap sesuatu. Aku berharap ia keceplosan tentang kondisi Nita. Entah kenapa pikiranku menuju ke sana andai tak disela Mas Akbar barusan.

"Tunggu, Mas." Aku mendekati mereka. "Biar sama aku saja. Kami sesama wanita, lebih leluasa. Lagipula Mas mau bawa dia ke kamar siapa? Kita?"

Mas Akbar gelagapan. Ia bahkan menjawab dengan terbata membantah ucapanku barusan.

"Bercanda Mas. Tegang banget wajahnya." Aku terkekeh sendiri memperhatikan wajah penuh rahasia mereka.

"Ayo, Nit!"

"Bukan waktunya bercanda Han." Ibu menimpali tak suka. Aku hanya mengulas senyum tipis. Lalu menarik tangan Nita agar ikut denganku.

"Tunggu, Han. Nita biar sama Ibu saja. Ibu lihat kamu sudah baik-baik saja. Bisa kan lanjutkan masak di dapur?"

Langkahku terhenti mendengar permintaannya tersebut.

Astaga, harusnya aku tak mengikuti mereka sampai dapur, ujung-ujungnya malah apes, tetap diminta masak.

"Maaf, Bu. Sepertinya belum bisa. Mungkin sarapan pagi ini beli saja di luar." Tak kehabisan ide, aku menolak. kubuat nada bicaraku selemah mungkin.

Wajah Ibu berubah seketika. Ia menatapku tajam. Sepertinya tidak terima dengan jawabanku barusan.

"Akbar, bawa Nita ke kamarnya. Ibu mau masak!" Ibu tak jadi menuntun menantu barunya itu berjalan ke kamar, tapi beliau terus berjalan ke arah meja kompor.

"Beli di luar? Pemborosan!"

Meski samar masih kudengar ocehan kekesalannya tersebut karena melewatiku saat menuju meja kompor. Namun aku pura-pura tak dengar.

Aku memilih berlalu pergi meninggalkannya kembali ke kamar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status