Share

Akhirnya Jujur

Aku makan dalam diam. Tatapan sengit Ibu kuabaikan. Pasti beliau masih jengkel padaku karena menolak permintaannya untuk masak hari ini. Apalagi tanpa rasa bersalah dan tidak tahu malu aku duduk, ikut makan setelah masakannya siap tersaji di atas meja. Bahkan aku tak membantunya menyiapkan meja makan dan menyajikan masakannya tersebut di atas sana. Tentu hal tersebut bukan kebiasaanku selama tinggal satu atap dengannya. Tak pernah sekalipun aku membiarkannya memasak di rumah ini. Kalaupun beliau ingin sendiri, aku dengan sigap ikut membantunya. Namun kali ini kubiarkan saja seolah tak peduli sama sekali. Menantu barunya saja tak peduli setelah insiden di dapur lalu kenapa aku yang harus berbaik hati? Apa sikapku berlebihan?

Aku yang terlalu peka atau pikiran negatifku yang berlebihan, hingga merasa ketiga orang yang duduk bersamaku saat ini menyantap sarapan pagi dengan raut wajah yang aneh. Saling melempar kode lewat tatapan mata seolah ada yang ingin mereka katakan. Dari ekor mataku tampak sekali kutangkap pemandangan tersebut. Sebenarnya ada apa? Aku merasa ini bukan sesuatu yang baik untukku.

"Ekhem." Aku menengok ke arah Ibu yang tiba-tiba berdeham. Namun fokusnya tetap ke piring makan seolah cuma dehaman biasa bukan isyarat ingin bicara.

"Hanifah. Ada apa denganmu?"

Aku mendongak ke arah Ibu yang tiba-tiba bertanya. Akhirnya dia bersuara juga. Aku pura-pura heran dengan pertanyaannya tersebut.

"Saya? Kenapa Bu? Oh, iya. Saya memang nggak enak badan hari ini, tapi sekarang sudah mendingan," jawabku mengumbar senyum renyah dengan polosnya seolah tak mengerti kemana arah pertanyaannya tersebut.

"Bukan! Kamu dari kemarin aneh. Sekarang makin aneh tak karuan. Ada apa? Apa kamu tahu sesuatu?"

"Bu …, lebih baik kita makan dulu." Mas Akbar menyela, menghentikan sikap ibunya terhadapku.

Kening masih kukernyitkan seolah tak paham. "Hani baik-baik saja. Hari ini cuma sakit, itu saja. Memangnya ada apa? Sesuatu apa yang Hani ketahui? Apa ada yang kalian sembunyikan? Mas, Bu?" desakku memaksimalkan sandiwara ini.

Ketiga orang tersebut saling melempar pandang.

"Kalau tidak ada apa-apa kenapa sikap kamu berubah, Han. Kamu beda, tidak seperti biasanya," balasnya memgeluhkanku.

"Bu, hentikan!" Mas Akbar kembali menyela. Ia terlihat menghela napas berat seolah apa yang sekarang terjadi tidak disukainya. Ia juga menghentikan aktivitas makannya dengan meletakan alat makan di atas piring yang berisi makanan isyarat sudah berhenti atau kenyang. Padahal masih tersisa separo dari yang awalnya penuh.

"Sudah saatnya kamu bilang Bar. Biar jelas. Biar nggak jadi masalah di kemudian hari." Ibu terdengar menyanggah.

Aku mencoba mencerna apa yang saat ini diucapkan Ibu. Sepertinya arah pembicaraan ini ke arah sana. Ke arah hal yang mereka sembunyikan selama ini dariku. Apa ini saatnya mereka jujur tentang rahasia tersebut? Kutatap wajah kedua ibu dan anak tersebut. Instingku makin yakin.

"Tapi–"

Tangan Ibu terangkat ke depan wajah Mas Akbar menghentikan suamiku itu bicara. Wajahnya terlihat serius dan aku mulai fokus menatapnya menantikan apa yang ingin dikatakannya.

"Hanifah. Kamu ingin melihat Akbar bahagia bukan?" Pertanyaan Ibu memantikku menatap lekat wajah Mas Akbar sekilas.

Kepalaku mengangguk lemah pura-pura tak mengerti.

"Kamu tahu bukan Akbar dan Ibu sudah sangat menginginkan mempunyai anak darimu tapi sepertinya kamu belum dikasih kepercayaan oleh yang Kuasa," lanjutnya bicara makin ke arah sana dan aku sudah siap untuk mendengarkan.

Kepalaku kembali mengangguk mengiakan dengan sikap sesantai mungkin.

Ibu manggut-manggut melihat tanggapanku.

"Jadi." Ibu menatapku lekat.

"Tolong izinkan Akbar menikah lagi. Bisa?"

Duar!!!

Akhirnya. Inilah yang kunantikan. Namun masih kurang lengkap karena masih berupa pertanyaan bukan pernyataan. Ibu masih mode bertanya, padahal kenyataannya semua telah terjadi. Anaknya telah menikah kembali tanpa sepengetahuanku. Secara diam-diam karena pasti akan kutolak jika ia meminta izin secara terang-terangan. Dan dia sudah tahu perjanjian kami jika hal tersebut terjadi.

Aku menatap Mas Akbar yang tertunduk lesu setelah ibunya selesai mengatakan hal tersebut. Menatapnya berpura-pura minta penjelasan.

Namun tak ada balasan dari laki-laki tersebut meskipun sudah kuberi waktu bicara. Ia masih tak mau menatapku, lebih memilih menatap piring makannya sendiri dalam diam.

"Mas, mau bicara?" Capek menunggu, aku yang mulai bertanya.

Mas Akbar mendongak ke arahku. Wajahnya pucat seolah hal ini sangat menakutkan baginya.

"Mas, cepatan bilang. Biar semua jelas dan biar Kak Hanifah tidak salah paham padaku."

Mendengar suara yang seharusnya bukan saat bicara, membuatku menatap ke sumber suara tersebut.

"Apa? Salah paham dimana?"

Wanita tersebut langsung terdiam dan menundukkan pandangan karena aku menatapnya dengan sangat tajam.

"Hanifah, dengar dulu. Mungkin kamu akan terkejut, tapi kami tidak mungkin menunggu lama lagi dan menyembunyikan semuanya ini darimu. Pasti nanti kamu akan tahu juga. Jadi sebenarnya Akbar dan Nita itu sudah menikah. Tolong terima adik madumu ini karena saat ini dia telah mengandung anak Akbar."

Dug! Dug! Dug! Dug!

Degup jantungku bertalu cepat. Nyerinya terasa lagi padahal sudah tahu dan sudah menyiapkan mentalku untuk saat ini, tapi kenapa masih merasakan sakitnya? Apa luka ini terlalu dalam hingga bila disenggol sedikit saja luka yang sudah dijahit itu terbuka lagi?

Kutatap wajah Ibu, Mas Akbar dan Nita secara bergantian. Menatap seperti apa wajah tersebut setelah rahasia mereka dibongkar sendiri. Apakah ada penyesalan atau kesedihan demi menjaga perasaanku, tapi rupanya tak ada. Wajah Ibu tegas seolah tak merasa salah telah menyakiti hati menantunya. Nita, apalagi. Dia menatapku dengan senyuman tipis seolah ingin menunjukkan sikap ramahnya terhadap kakak madunya. Mas Akbar? Wajah yang kutangkap lebih ke arah takut. Bukan penyesalan.

Aku membalas pernyataan itu dengan senyuman tipis. Kuseka dulu sudut bibirku dengan serbet tangan yang tak jauh dari piringku berada sebelum aku bicara.

"Mas, tentang hal seperti ini sudah kita bicarakan jauh sebelumnya bukan?" Mas Akbar yang kutatap mengangguk samar. Dia cuma menatapku sekilas saat kupanggil namanya saat bicara barusan.

"Bu, tanyakan pada anakmu apa jawabanku jika hal ini terjadi. Semua sudah kujawab." Ibu refleks menatap ke arah Mas Akbar dengan raut wajah bingung.

"Ya sudah. Lanjutkan makan kalian, aku sudah selesai," imbuhku lagi tak memberi kesempatan Ibu mertua untuk bicara.

"H–hanifah, duduk! Kita belum selesai bicaranya!" pinta Ibu mertua lebih terdengar bentakan yang tak boleh ditolak.

Aku yang sudah dalam posisi berdiri dengan menghadap ke arah sebaliknya dari mereka terpaksa terhenti dan memutar badan kembali.

"Ada lagi Bu?" Nada bicara kubuat sedatar mungkin agar mereka tidak melihat kehancuran hatiku.

"Ada, banyak. Semua harus kita bicarakan bersama agar tidak ada kesalahpahaman nantinya. Ibu tidak ingin ada permusuhan di rumah ini. Jadi tolong berdamailah dengan keadaan. Sayangilah Nita seperti adikmu sendiri karena nanti anaknya juga akan jadi anakmu. Iya kan, Bar?"

Mas Akbar yang dipanggil mengangguk lemah. Ia tak berani membalas tatapanku dengan lama. Cuma berani mencuri pandang saja saat 'ku lengah. Masih terasa ketakutannya itu di kedua matanya.

Aku kembali duduk di kursiku sebelumnya. Mencoba mengontrol emosi hati agar tak terpancing dan bertindak keras di hadapan mereka. Aku harus tampil anggun dan elegan seolah hal ini tidak mengusikku dan tidak ada apanya bagiku.

"Mas …, apa Ibu sudah tahu tentang perjanjian kita? Apa Mas sudah cerita?" tanyaku pada suami yang cuma diam saja sejak tadi.

"Perjanjian? Perjanjian apa? Akbar, kamu buat janji apa sama Hanifah?"

Ibu yang menyela lebih dulu sebelum bibir Mas Akbar terbuka.

"Oh, belum ya. Silakan bicarakan dulu, Mas. Nanti kalau sudah, baru Mas panggil aku ya. Mau ke kamar dulu, permisi."

Aku bangkit dan beranjak pergi dari ruangan ini. Tak kupedulikan teriakan Ibu yang masih memintaku untuk tetap berada di sana.

Silakan ceritakan perjanjian pra-nikah kita, Mas. Biar Ibu tahu apa yang menjadi ketakutan terbesarmu jika pernikahan keduamu ini ketahuan olehku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Maria Rina
bongkar saja aib akbar han
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status