“Bagaimana, persiapan sudah sampai mana?” Bu Rosa bertanya saat Hanifah baru saja mendaratkan badannya ke sofa ruang tengah. Ia mampir sebentar ke rumah orangtua angkatnya ini demi menunjukkan perhatiannya pada orang yang telah berperan besar mengubah nasibnya tersebut. Sesibuk apa pun bakal menyempatkan hadir ke rumah ini. “Hm, sudah hampir beres Bu, sudah delapan puluh persen dan berjalan lancar. Sisanya ngepas baju pengantin bersama Mas Alfian,” jawab Hanifah tak jadi merebahkan punggungnya ke bahu sofa, mencoba bersikap sopan karena diajak bicara. Sebenarnya badannya terasa remuk sebab seminggu belakangan ini Hanifah sibuk kerja demi hari pernikahannya berjalan lancar. Ia tak mau konsentrasinya jadi terganggu. Makanya menuntaskan pekerjaan kantor secepatnya, sisanya biar dihandle sama asisten dan karyawan kepercayaannya. Bu Rosa tersenyum. “Syukurlah. Tidak ada kendala berarti kan?” tanya wanita berumur setengah abad itu dengan tatapan serius, memastikan. Hanifah menggeleng le
Deru mobil terdengar memasuki halaman rumah. Aku menatap sebentar ke arah kaca jendela depan dekat pintu utama, lalu kembali menyesap teh hangatku dengan pelan. Tampak Ibu mertua tersenyum merekah berjalan dengan tergesa menuju pintu. Wajahnya menunjukkan kebahagiaan. Hari ini dia bahkan memintaku memasak banyak makanan dengan menu istimewa pilihannya. Semua yang kumasak bukan makanan kesukaan Mas Akbar, apalagi favoritku. Bukan pula kesukaan Ibu mertua dan adik ipar. Katanya bakal ada yang datang berkunjung dan aku tahu itu siapa. "Hanifah, ayo sambut tamu kita, itu pasti mereka." Ibu mengajakku serta agar ikut dengannya ke depan teras, tapi langkahku berat. Aku tetap bertahan duduk di kursi tamu, menikmati teh tawar yang terasa sepahit kopi. Ada rasa yang menyesakkan dada, tapi kucoba menekannya dengan berpura-pura baik. Hanya menoleh sebentar saat namaku disebutnya, namun enggan mengikuti langkahnya. Tidak seperti biasanya, patuh dengar tiap titahnya. Kali ini aku memilih menungg
"Hanifah!""Hanifah!"Terdengar suara Ibu mertua memanggilku diiringi ketukan pintu. Suara gedorannya terdengar mendesak tak sabaran minta segera dibukakan. Aku dengan langkah malas menuju ke arahnya. "Iya, Bu. Ada apa?" tanyaku setelah pintu kamar kubuka. Tampak Ibu tak sendiri. Di sampingnya ada Nita. Wajahnya terlihat murung. Wanita itu menunduk saat kutatap lekat. "Akbar kemana? Kamu minta dia ngapain?" jawab Ibu malah bertanya dengan nada kesal terlihat dari raut wajahnya. Keningku mengkerut. "Mas Akbar?" ulangku sembari menatap wanita yang berdiri di samping Ibu. "Iya, Akbar. Katanya pergi. Kemana? Kamu nyuruh dia beli apa? Baru juga datang sudah diminta pergi lagi, Han. Terlalu kamu!" Ibu menggerutu. "Oh, itu. Hani juga nggak tahu Bu. Hani nggak minta apa-apa sama Mas Akbar. Dia buru-buru pergi. Tidak bilang mau kemana. Memangnya kenapa?" tanyaku sok polos tak ingin disalahkan. Nada bicaraku masih kubuat sehalus mungkin. Tidak terbawa emosi sepertinyq. Apalagi menghadapi
"Kenyang ah, aku nggak sanggup ngabisinnya." Kuletakkan kembali garpu kecil di atas piring yang berisi mangga muda. Tertinggal setengah piring dari yang awalnya penuh. "Nita, kamu mau?" tanyaku menawarkan. Kutatap kedua manik biru miliknya yang tentu saja bukan warna mata sebenarnya. Dia pasti mengenakan soflen. Memang jadi terlihat lebih cantik dipandang. Bisa jadi daya tariknya untuk menggaet suamiku. Buktinya laki-laki itu kecantol hingga mau menikahi siri. Nita menggeleng dengan wajah datar. Tak seperti di awal dia penuh senyum padaku. "Kamu ini, sudah mau habis baru ditawarkan ke Nita. Ya sudah malas lah, Han." Ibu mertua menimpali dengan nada ketus. "Aduh, maaf, Bu, maaf Nita. Aku kelupaan kalau ada kamu di sini. Ingatnya cuma Ibu dan Mas Akbar dan kalian berdua tidak makan ini." Tak mau kalah aku beralasan. Matanya melebar tanda tak percaya dengan apa yang barusan kuucapkan. Namun aku tak peduli. Aku memasang wajah tak bersalah di hadapan semuanya. "Aku sudah selesai, su
"Sayang.""Sayang, bangun.""Hanifah."Sayup terdengar namaku dipanggil dengan lembut. Aku mengerjapkan mata sambil menguap. Pura-pura terbangun karena panggilan tersebut. Mas Akbar, dia yang membangunkanku. Pasti dia heran kenapa di jam segini aku masih tertidur di kamar. Harusnya sudah sibuk berada di dapur setelah melaksanakan kewajiban dua rakaat. "Iya, Mas," ujarku seraya mengucek mata memaksimalkan sandiwaraku di hadapannya. "Kok kamu baru bangun, Han? Ini sudah pagi." Sudah kuduga ia akan menanyakan hal tersebut. Aku yang pura-pura baru bangun terkejut dengan pertanyaannya. "Hah! Apa, Mas. Sudah pagi ya? Maaf kesiangan." Dengan gerakan cepat aku segera duduk. Mataku riap-riap seperti orang khas bangun tidur. Tampak Mas Akbar menghela napasnya. Seperti menyesali perbuatanku kali ini. "Ya sudah, cepat bangun dan pergi ke dapur. Ibu sepertinya kesal karena kamu belum masak."Aku mengulum senyum dan memalingkan muka ke arah lain agar tak dilihat Mas Akbar. Sebenarnya memang i
Aku makan dalam diam. Tatapan sengit Ibu kuabaikan. Pasti beliau masih jengkel padaku karena menolak permintaannya untuk masak hari ini. Apalagi tanpa rasa bersalah dan tidak tahu malu aku duduk, ikut makan setelah masakannya siap tersaji di atas meja. Bahkan aku tak membantunya menyiapkan meja makan dan menyajikan masakannya tersebut di atas sana. Tentu hal tersebut bukan kebiasaanku selama tinggal satu atap dengannya. Tak pernah sekalipun aku membiarkannya memasak di rumah ini. Kalaupun beliau ingin sendiri, aku dengan sigap ikut membantunya. Namun kali ini kubiarkan saja seolah tak peduli sama sekali. Menantu barunya saja tak peduli setelah insiden di dapur lalu kenapa aku yang harus berbaik hati? Apa sikapku berlebihan? Aku yang terlalu peka atau pikiran negatifku yang berlebihan, hingga merasa ketiga orang yang duduk bersamaku saat ini menyantap sarapan pagi dengan raut wajah yang aneh. Saling melempar kode lewat tatapan mata seolah ada yang ingin mereka katakan. Dari ekor mat
"Yang, Mas mau bicara." Aku menoleh ke asal suara yang baru saja masuk ke dalam kamar. Memasang senyum palsu saat laki-laki yang bergelar suami tersebut datang menghampiri. Pintu kamar ditutupnya rapat dan dikunci dari dalam. Sepertinya ini pembicaraan serius. Tentu saja setelah hampir setengah jam laki-laki itu masih di ruang dapur, sedang diinterogasi ibunya. Entah apa yang dibicarakan mereka, aku tak tertarik untuk menguping. Biarkan saja. Lebih baik aku ke kamar meredakan gejolak emosi yang hampir membuncah tak tertahankan lagi. "Bicara saja. Bebas kok," balasku terdengar santai dan yang segera ambil posisi duduk setelah dari rebahan. "Mas minta maaf. Mas terpaksa menikah lagi. Ibu yang paksa Mas, Han." Mas Akbar tiba-tiba merosot ke bawah dan memohon dalam posisi berlutut di depanku, mengakui kesalahannya. Kedua tangannya berada di atas pahaku.Aku menengadahkan kepala ke atas tak ingin melihat mimik wajah bersalahnya. Bukan takut luluh, tapi untuk menahan emosi yang tertahan
"Jangan gitu, Han. Mas tuh cinta sama kamu. Serius. Mas nggak bohong. Mas cuma butuh Nita buat punya anak. Ibu nggak sabar nunggu kamu punya anak. Beliau jadinya nekan Mas buat nikahi wanita lain." Mas Akbar protes, membela diri. Kebanyakan lelaki memang begitu, kalau salah masih saja mengelak dan mencari pembelaan. "Bukankah di awal Mas sudah tahu kalau Hani nggak mau dimadu? Kenapa masih nekat? Kalau mau nikah lagi ya Mas ceraikan Hani dulu. Gampang kan? Poin di perjanjian itu tak kan kena Mas sekarang karena jatuhnya Hani yang mengundurkan diri, bukan karena Mas ketahuan selingkuh." Aku mencak kesal karena mendengar jawabannya. Mas Akbar terdiam mendengar penjelasanku. Mungkin dia baru menyadarinya atau menyesal kenapa tidak menceraikanku lebih dulu baru menikah lagi. "Jadi Mas pilih yang mana?" Aku kembali mendesaknya, melihatnya cuma diam. Mas Akbar terlihat lemas. Terdengar desahan panjang menandakan ada beban berat yang sedang dipikulnya. 'Salah sendiri.' Aku bergumam dala