Share

Kok Kepanasan?

"Kenyang ah, aku nggak sanggup ngabisinnya." Kuletakkan kembali garpu kecil di atas piring yang berisi mangga muda. Tertinggal setengah piring dari yang awalnya penuh.

"Nita, kamu mau?" tanyaku menawarkan. Kutatap kedua manik biru miliknya yang tentu saja bukan warna mata sebenarnya. Dia pasti mengenakan soflen. Memang jadi terlihat lebih cantik dipandang. Bisa jadi daya tariknya untuk menggaet suamiku. Buktinya laki-laki itu kecantol hingga mau menikahi siri.

Nita menggeleng dengan wajah datar. Tak seperti di awal dia penuh senyum padaku.

"Kamu ini, sudah mau habis baru ditawarkan ke Nita. Ya sudah malas lah, Han." Ibu mertua menimpali dengan nada ketus.

"Aduh, maaf, Bu, maaf Nita. Aku kelupaan kalau ada kamu di sini. Ingatnya cuma Ibu dan Mas Akbar dan kalian berdua tidak makan ini." Tak mau kalah aku beralasan.

Matanya melebar tanda tak percaya dengan apa yang barusan kuucapkan. Namun aku tak peduli. Aku memasang wajah tak bersalah di hadapan semuanya.

"Aku sudah selesai, sudah kenyang juga. Bu, Mas, aku ke kamar dulu ya. Kalian lanjutkan saja makannya." Aku berdiri bersiap pergi dari meja makan.

Belum juga beranjak pergi, Ibu menegurku. "Loh, kok ke kamar Han? kamu nggak nunggu kami selesai makan? Ini nanti siapa yang bereskan?"

Aku tersenyum ke arah Ibu. "Memang siapa yang harus bereskan, Bu?" Tatapanku beralih ke Nita dan Ibu mengekor gerak mataku.

"Kamu minta Nita yang bereskan? Dia tamu di sini, Han. Apalagi sekarang dia lagi–"

Ucapannya terjeda. Aku sampai menatap lekat Ibu, menunggunya mengatakan kebenaran tentang Nita. Sepertinya Ibu tersadar kalau dia hampir keceplosan.

"Nita kenapa, Bu?" ujarku tak sabaran melihat Ibu belum bicara juga.

"Sudah, biar Akbar yang bereskan. Kasihan Hani juga Bu, dia pasti kecapekan membuat masakan ini." Mas Akbar menyela, membuat Ibu tak jadi bicara. Padahal aku menantikan kejujuran mereka, apa mereka berani mengatakannya padaku.

"Maaf ya, Mas. Hari ini Hani beneran capek. Hani ke kamar dulu, ya." Ucapanku dibalas Mas Akbar dengan anggukkan pelan. Walaupun sebenarnya kalau diperhatikan, Mas Akbar seperti terpaksa melakukannya. Sekali lagi, aku tak peduli. Sekarang aku hanya ingin peduli pada diriku sendiri, tidak pada orang lain. Bertahun-tahun hidup memperdulikan mereka, ternyata dibalas dengan pengkhianatan.

Aku tak segera menuju kamar, tapi berhenti di ambang pintu masuk bagian dapur, menepi ke samping dinding dan bersembunyi di sana. Aku ingin mengintip dan mendengarkan percakapan mereka setelah kepergianku.

"Akbar! Kamu apa-apaan? Ngapain mau beresin ini. Kan bukan tugas kamu, Bar!" Terdengar suara Ibu protes.

"Jangan keras-keras. Nanti kedengaran Hani, Bu. Biar saja Hani istirahat. Akbar nggak tega lihat Hani yang bereskan. Kayaknya dia memang kecapekan. Ini semua masakannya bukan? Pasti capek, Bu, bikin ini sendirian."

Terdengar Mas Akbar membela, tapi sayang Mas, aku tak tersentuh.

"Lah, dia sudah terbiasa, Bar. Makanya Ibu minta dia bereskan. Masa Nita? Dia lagi hamil nggak boleh banyak aktivitas berat. Lagian Hani hari ini aneh. Tidak seperti biasanya. Kamu merasa nggak?" suara Ibu makin pelan, untung masih terdengar.

Degh. Gawat? Apa kentara sekali perubahanku? Sulit untuk bersikap biasa saja setelah kebohongan mereka kuketahui.

"Maaf ya, Bu. Nita belum bisa bantu-bantu di sini." Sekarang giliran wanita hamil itu yang bicara. Suaranya sengaja dibuat manja begitu pasti untuk mengambil hati Ibu mertua.

"nggak papa, Nak. kamu memang nggak boleh capek. Harusnya Hani, tapi kakak madumu itu aneh. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Iya kan Bar?"

"Huuusst! Sudahlah, Bu, jangan dibahas lagi. Nanti kalau Hani dengar gawat. Nanti saja kita bicarakan. Mending Ibu bantu Akbar bereskan. Nita, tolong ditumpang piring kotornya dan bawa ke wastafel, ya. Nanti biar Mas yang cuci."

"Biar Nita bantu, Mas. Nggak tega lihat Mas yang nyuci."

"Nggak papa kok. Cucian piringnya nggak banyak juga."

"Nggak papa Nak, tapi Terima kasih ya kamu sudah perhatian sama Akbar. Ibu senang dengarnya."

Nyes! Ada yang berdenyut nyeri mendengar perlakuan manis Mas Akbar sama Ibu mertua pada Nita. Andai aku hamil, apa mereka akan seperti itu juga padaku?

Setelah mendengar sepintas percakapan singkat mereka, aku memutuskan berjalan ke arah kamar. Takut ketahuan kalau kelamaan bersembunyi di balik dinding tersebut. Tak sanggup juga mendengar pembelaan untuk Nita, yang dulu pernah kudapatkan.

"Hani, kamu baik-baik saja kan?" Mas Akbar bertanya setelah masuk ke dalam kamar. Ia memperhatikanku.

Aku mengangguk, lalu bangun dari tempat tidur. "Iya, Mas. Aku baik-baik saja. Kenapa?" tanyaku balik pura-pura polos sok tak tahu maksud pertanyaannya tersebut.

"Ini testpack. Coba cek dulu, Sayang. Mas sempatin beli tadi, maaf baru bisa kasih." Tiba-tiba Mas Akbar memberikan alat tes kehamilan tersebut padaku. Aku sedikit terkesiap heran karena tak menduga bakal sungguhan dibelikannya. Kukira dugaanku salah dan dia berubah pikiran sehingga melupakan hal tersebut ketika kembali pulang. Ternyata ....

"Ehm, besok pagi saja kucoba, Mas. Biar akurat." Aku menolak dan meletakkan benda tersebut ke atas nakas.

"Tapi kalau hasilnya mengecewakan, maaf ya Mas," ujarku lagi sengaja berkata demikian. Aku ingin menunjukkan betapa menyedihkan diriku agar dia merasa sempurna sebagai laki-laki, tapi sayangnya niat baikku itu malah dikhianati. Bertahun-tahun rela menyandang hinaan orang karena dianggap mandul, malah dibalas seperti ini.

"Nggak papa Sayang. Tanpa anak pun kita bahagia. Aku akan tetap mencintaimu sampai ajal menjemputku meskipun tanpa kehadiran buah hati di pernikahan kita. Jadi kamu jangan sedih seperti ini. Mas tak suka melihatnya." Mas Akbar memelukku dari belakang membisikkan kata tersebut di dekat telinga.

Aku berbalik menghadapnya. "Mas nggak ada keinginan untuk menikah lagi?" tanyaku memancingnya. Aku ingin tahu jawabannya sekarang apa sama seperti dulu atau sudah berubah dan dia mau jujur padaku atau tidak. Dulu dia berjanji tidak akan menikah lagi, tapi sekarang janji itu diingkarinya.

Pertanyaanku cukup membuatnya salah tingkah dan sedikit menjauh.

"Kamu ngomong apa sih Han. Selalu mengulang pertanyaan itu terus. Mas capek jawabnya. Kamu kan tahu jawabannya apa." Mas Akbar menyibukkan diri dengan membuka kancing bajunya. Nada suaranya terdengar tak suka.

Aku merangsek memeluknya yang telah bertelanjang dada. Sengaja menunjukkan sisi manjaku padanya.

"Siapa tahu Mas berubah pikiran," ujarku yang masih dalam dekapannya.

Tak ada sahutan darinya. Mas Akbar diam. Hanya elusan lembut tangannya yang terasa di kepalaku.

"Mas tahu kan kalau aku tidak melarang Mas menikah lagi." Kepalaku mendongak menatap wajahnya. Mas Akbar menatapku balik.

"Tapi … ceraikan aku Mas, karena aku tak sanggup diduakan. Aku tak sanggup berbagi suami dengan wanita mana pun."

Sampai kapan pun Mas tidak akan menceraikanmu, Han. Jadi, jangan tanyakan hal itu lagi." Mas Akbar mengurai pelukanku. Dia jelas tak suka.

Aku memilih duduk di tepi ranjang sambil menatapnya yang berjalan ke arah lemari pakaian.

"Aku hanya mengingatkan. Siapa tahu Mas lupa. Aku tak masalah kalau harus pisah dari Mas. Daripada makan hati satu rumah dengan madu sendiri. Aku tidak akan bisa Mas. Mending pisah." Aku kembali bicara. Mengingatkan kembali apa saja yang pernah kukatakan dulu padanya.

Kulihat Mas Akbar menjatuhkan bajunya ke lantai. Tampaknya ucapanku barusan membuat Mas Akbar gugup.

"Mas, kamu nggak papa?"

"Sudah lah, Han. Jangan bicarakan itu lagi. Mas lagi capek dan malas diajak debat." Suara Mas Akbar meninggi.

"Kok marah? Siapa yang mengajak debat. Aku hanya mengingatkan apa saja konsekuensinya bila Mas menikah lagi. Apalagi kalau nikahnya diam-diam. Wah, itu bakalan membuatku marah besar Mas. Aku langsung minta cerai, Mas."

"Hani!"

Aku kaget dibentak Mas Akbar. Lalu bangkit dari duduk dengan menatapnya tajam.

"Kenapa Mas? Kenapa marah? perkataanku salah ya?"

Mas Akbar meraup wajahnya dan duduk di tepi ranjang. "Maaf, Sayang. Please jangan bahas itu lagi. Kamu kan tahu Mas tidak suka diungkit terus pertanyaan yang sama. Lagian jangan sering disebut, takut malah kejadian."

"Mas sepertinya capek. Istirahat lah. Maaf jika membahas hal tersebut. Aku tidak tahu entah kenapa mengungkitnya lagi. Aku takut mimpi itu jadi kenyataan."

"Mimpi? Mimpi apa?" Mas Akbar tampak tertarik saat kukatakan hal tersebut.

Aku mengangguk. "Aku mimpi Mas pulang bawa wanita lain yang Mas akui sebagai istri Mas yang baru. Mas bilang Mas terpaksa nikah lagi demi mendapatkan keturunan. Itu yang membuatku tak karuan rasa Mas. Apalagi pas Mas datangnya bersama Nita. Kesannya jadi seperti nyata seolah-olah Nita itulah wanita yang jadi madu dalam mimpiku itu, Mas."

Bersamaan dengan itu, ponsel Mas Akbar terjatuh. Suamiku itu membungkukkan badannya guna meraih ponselnya kembali.

"Mas, nggak papa?" tanyaku yang melihatnya gelagapan memegang ponsel dengan tangan gemetar.

"Tidak. Tidak apa," ujarnya sambil menyeka keringat. Refleks aku menatap ke arah AC memastikan kalau mesin pendingin ruangan itu berfungsi dengan benar. Lalu mengulum bibir melihat mesin AC memang menyala dengan baik dan suhu dinginnya pun terasa di badanku. Permasalahannya di Mas Akbar, bukan AC-nya.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kmu diem2 pasang cctv d k.r nya Anita terus d ruang tengah ,ruang makan dn ruangan tamu juga dapur .biar kmu bisa cpt ada bukti .perselingkuhan nya Akbar dn Anita ...
goodnovel comment avatar
Maria Rina
suka dgn tindakan hani
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kelamaan jadi istri merangkap babu membuat si hani kelihatan bodoh dan banyak drama
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status