Share

Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu
Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu
Penulis: Syarlina

Haruskah Kubuka Mas?

Deru mobil terdengar memasuki halaman rumah. Aku menatap sebentar ke arah kaca jendela depan dekat pintu utama, lalu kembali menyesap teh hangatku dengan pelan.

Tampak Ibu mertua tersenyum merekah berjalan dengan tergesa menuju pintu. Wajahnya menunjukkan kebahagiaan. Hari ini dia bahkan memintaku memasak banyak makanan dengan menu istimewa pilihannya. Semua yang kumasak bukan makanan kesukaan Mas Akbar, apalagi favoritku. Bukan pula kesukaan Ibu mertua dan adik ipar. Katanya bakal ada yang datang berkunjung dan aku tahu itu siapa.

"Hanifah, ayo sambut tamu kita, itu pasti mereka." Ibu mengajakku serta agar ikut dengannya ke depan teras, tapi langkahku berat. Aku tetap bertahan duduk di kursi tamu, menikmati teh tawar yang terasa sepahit kopi. Ada rasa yang menyesakkan dada, tapi kucoba menekannya dengan berpura-pura baik. Hanya menoleh sebentar saat namaku disebutnya, namun enggan mengikuti langkahnya. Tidak seperti biasanya, patuh dengar tiap titahnya. Kali ini aku memilih menunggu saja. Tak ingin melukai hati yang tiap malam kuobati dengan bermunajat padaNya di sepertiga malam, berharap dikuatkan.

"Nita! Syukur, Nak. Datang dengan selamat. Tidak ada yang sakit kan? Mual? Pusing?"

Terdengar nada kekhawatiran dari bibir wanita paruh baya tersebut dan aku tersenyum getir mendengarnya dari dalam ruang tamu. Dulu nada itu sering kudengar untukku diucapkannya, tapi lambat laun berhenti terucap karena menelan sebuah kekecewaan.

"Iya, Bu. Nita baik-baik saja. Dede dalam sini juga baik."

Nyes! Sakit, tapi aku tersenyum kecut. Terdengar lucu dan menyakitkan dalam waktu bersamaan.

"Syukur, Nak. Kalian berdua harus baik-baik saja dan sehat, Ibu sudah tak sabar ingin menimang–"

"Ekhem. Sayang. Mas pulang."

Mas Akbar menyapaku yang sedang berdiri di ambang pintu. Terkesan disengaja untuk menghentikan ucapan ibunya.

Aku memaksakan tersenyum, sengaja menghampiri mereka, ingin tahu. Lalu mendekat memangkas jarak padanya. Meraih tangannya untuk dicium takzim seperti biasanya. Tak ada yang berubah dari kebiasaan yang kulakukan terhadapnya. Kecuali dia, melupakan sesuatu. Sebuah kecupan kala datang dan pamit pergi dariku, tak dilakukannya lagi.

Tanganku mengarah ke kening dan Mas Akbar yang paham tampak salah tingkah jadinya. Namun didekatkannya juga bibirnya tersebut ke arah keningku karena aku masih menunjuk ke arah sana. Memaksa minta dicium, rutinitas kami tiap bertemu.

"Ekhem." Terdengar dehaman Ibu mertua. Aku tahu itu teguran, tapi kuabaikan seolah tak mendengar. Dapat kulihat juga wajah tak suka dari wanita yang berdiri di samping Mas Akbar.

"Hanifah." Ibu menyeruku.

Dengan terpaksa aku menoleh.

"Ini kenalkan. Namanya Nita Anggraini. Sepupu jauh Akbar. Dia nanti bakal tinggal di sini." Ibu memperkenalkan tamu yang disambutnya dengan antusias. Senyum di bibirnya kembali merekah.

"Kenalkan Kak, saya Nita." Wanita muda sekitar 25 tahun ke atas itu menyapaku hangat.

Aku mengangguk tapi tak menyambut uluran tangannya. "Hanifah," ujarku menyebutkan nama dengan tetap bergelayut manja ke lengan Mas Akbar. Suamiku itu tampak tak nyaman. Terasa tangannya ingin mengurai peganganku. Namun tak bisa karena aku memegangnya kuat.

"Oh, ini tamunya, Bu. Kamu beruntung sudah ditunggu tak sabar oleh ibu mertuaku loh. Pasti seseorang yang istimewa di hatinya," imbuhku penuh pujian seraya melepaskan tangan dari Mas Akbar. Jengah juga pura-pura manja padanya.

Wanita yang kusanjung itu tersenyum lebar. Kesenangan.

"Ya, semua keponakan Ibu selalu istimewa, Han. Tidak terkecuali Nita. Dia wanita yang baik dan penurut. Semua orang pasti bakal menyukainya dan begitupun Ibu harap denganmu."

Aku tersenyum tapi tidak mengiakan, karena tidak mungkin menyukai duri yang menusuk kesucian pernikahanku.

"Ayo kita masuk. Akbar capek, Bu. Tiga jam lebih duduk menyetir mobil."

Suamiku baru datang dari tugas dinas kantor. Itu katanya padaku, padahal ….

Dia bilang dinas di kota yang didiami Nita. Sebuah kebetulan yang kuyakini disengaja. Makanya datang bersama karena wanita itu katanya akan tinggal sementara di rumah kami dengan alasan mencari kerja. Padahal tanpa sepengetahuan mereka, aku sudah tahu apa latar belakang wanita itu harus tinggal di sini.

"Nanti Hanifah pijitin, Mas. Yuk masuk dulu. Hani juga sudah masak banyak."

Hani adalah nama panggilanku.

Aku masih bersikap baik seperti biasanya. Memaksa Mas Akbar berjalan bersamaku. Kembali kupegang erat lengannya, sengaja membuat panas seseorang yang tertinggal bersama Ibu mertua di belakang sana.

"Hanifah, tunggu!" Aku dan Mas Akbar kompak berhenti.

"Tolong bawakan koper Nita. Kasihan dia kok malah dicuekin."

Mataku memicing menilik Nita dari atas ke bawah. Wanita itu terlihat sehat, dan Ibu berlebihan mengkhawatirkannya. Lagi pula kenapa menyuruhku? Kenapa tidak Mas Akbar yang dimintai tolong?

"Mas, tolong bawakan, ya? Tangan Hani pegal habis memasak banyak makanan dan bersih-bersih, tak kuat kalau sekarang harus membawa kopernya Nita," pintaku melas pada Mas Akbar. Kali ini aku membantah perintah ibu mertua.

Dapat kulihat raut keterkejutan di wajah Bu Romlah. Ia ingin bersuara, tapi disela Mas Akbar lebih dulu.

"Akbar saja, Bu. Kasihan Hanifah." Tanpa menunggu mereka, aku berjalan masuk ke dalam rumah lebih dulu setelah mendengar ucapan suamiku tersebut.

Di dalam, Ibu meminta wanita itu istirahat di kamar tepat di sebelah kamar kami. Kamar bekas Dina, adik iparku. Sedang Dina sendiri terpaksa tidur di kamar tamu, di sebelahnya. Entah dimana keberadaannya sekarang. Lebih suka berlama-lama berada di luar daripada di rumah, tidak seperti dulu. Anak itu bersikap aneh beberapa bulan belakangan.

Aku memaksa Mas Akbar masuk kamar dengan alasan ingin memijitnya.

"Mas kangen." Mas Akbar memelukku dari belakang. Aku menyunggingkan senyum palsu seraya melepaskan tangannya perlahan. Aku benci dekapan yang sekarang bukan aku saja pemiliknya.

"Mas mandi dulu. Bau asem," tukasku menghindar.

"Biasanya juga nggak masalah mencium bau apa pun. Apalagi bau badan Mas, kok sekarang .…" Mas Akbar mencebik terlihat tak suka seraya melepas baju.

"Entah, Mas. Akhir-akhir ini suka sensitif. Mencium bau apa pun bikin mual."

"M–mual? Apa jangan-jangan kamu …." Mas Akbar tersentak kaget dan menatapku lekat menyelidik. Aku tahu apa yang ada di pikirannya. Dia kembali berpakaian.

"Apa?" Aku terkekeh. "Nggak mungkin Mas. Aku kan m–mandul." wajahku seketika sendu saat mengatakannya. Paham ke arah mana pertanyaan itu.

"Nggak, Hani. Semua tidak ada yang tidak mungkin. Bisa jadi, ehm, tunggu di sini. Aku keluar sebentar!"

"Mas, kamu mau kemana?!"

Namun Mas Akbar keburu pergi dengan tergesa. Arahnya keluar rumah.

"Mas, mau kemana?" Nita tiba-tiba muncul mempertanyakan dan aku mengedikkan bahu isyarat tak tahu. Mas Akbar sudah tak sempat dijangkaunya. Deru mesinnya sudah dihidupkan. Mas Akbar sudah pergi.

Aku tersenyum semringah pada Nita seraya menutup pintu dengan rapat. Tak lupa menguncinya dari dalam. Kemudian berjalan menuju lemari pakaian. Membuka bagian laci tengahnya dengan anak kunci yang kusimpan dengan hati-hati. Kuambil sebuah map cokelat berisi lembaran-lembaran hasil pemeriksaan kesehatan kesuburan Mas Akbar. Terbaca kata oligoteratozoospermia. Kalimat medis yang dulu terasa asing di telingaku. Lalu ada juga kata infertilitas. Hasil yang meruntuhkan jiwa laki-laki tersebut andai lembaran kertas ini terbaca olehnya. Sebuah pengorbanan besar yang kulakukan demi menyembunyikan semua ini dari mereka tapi sayangnya malah pengkhianatan yang kudapatkan.

Teringat wajah bahagia ibu mertua saat memandang perut Nita barusan membuatku ingin bertanya padanya.

"Anak siapa yang kau nantikan, Bu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status