Di sepanjang perjalanan menuju rumah Wak Darmi, aku terus memikirkan sikap Ibu padaku. Memang sikap Ibu yang akhir-akhir ini berubah atau aku yang terlalu perasa? Tetapi, seingatku, baru kali ini Ibu bersikap seperti ini. Dulu, saat aku masih tinggal di kota, Ibu selalu ramah padaku. Atau mungkin karena kami hanya bertemu dalam waktu yang singkat, makanya aku tidak paham dengan karakter Ibu?
Ya, selama menikah dengan Mas Faisal, aku memang jarang sekali berinteraksi dalam waktu yang lama dengan keluarganya. Setiap tahunnya, kami memang bisa tiga atau empat kali pulang kampung. Tetapi, paling lama cuma tiga atau empat hari. Jadi, memang baru kali ini aku berada di dekat mertua dalam waktu lama.
“Mau ke mana, Mbak Arum?” sapa seseorang. Ternyata Bu Ijah, salah satu teman ibu mertuaku
Aku tersenyum pada wanita yang memang selalu ramah padaku itu. “Mau ke rumah Wak Darmi, Bu. Mari.”
“Kok sendiri? Nggak bareng sama Bu Ningsih?”
“Iya, Bu. Ibu katanya udah ke sana bareng ibu-ibu pengajian, tadi siang.”
Wajah wanita berkerudung cokelat itu berkerut, pandangannya tak lepas dariku. “Loh, tapi tadi pas diajak sama ibu-ibu pengajian, Bu Ningsih bilang, ntar aja. Mau bareng menantu katanya.”
“Oh, mau bareng Nita mungkin, Bu.”
“Oh, iya mungkin. Kirain sama Mbak Arum.”
Aku hanya tersenyum menanggapi kalimat Bu Ijah. “Kalo gitu, saya permisi, Bu. Takut kesorean pulangnya.”
Bu Ijah pun tersenyum, lalu dia mempersilakan aku untuk melanjutkan perjalanan.
Aku tersenyum kecut, mengetahui kenyataan bahwa ibu mertua baru saja membohongiku. Kenapa tidak jujur saja kalau dia mau ke rumah Wak Darmi bersama Nita? Nita adalah istri Zaenal, adik Mas Faisal. Mereka tinggal di kampung sebelah, di dekat kediaman orang tua Nita. Karena Nita anak tunggal, orang tuanya tidak mengizinkan Zaenal membangun rumah jauh dari mereka.
-dmr-
Wak Darmi dan keluarganya menyambut kedatanganku dengan ramah. Wak Darmi adalah kakak tertua almarhum ayah mertua.
“Kok nggak bareng aja sama mertuamu, Rum? Katanya dia mau ke sini agak sore, bareng menantunya,” ujar Wak Darmi seraya menyodorkan segelas air mineral dalam kemasan padaku.
Aku menerima minuman kemasan itu, “makasih, Wak. Sama Nita mungkin, Wak. Soalnya tadi, pas saya pamitan, ibu nggak ngomong apa-apa.” Aku berusaha menahan diri agar tidak menceritakan yang sebenarnya pada Wak Darmi. Padahal, jujur saja, aku sakit hati mendengar penuturan Wak Darmi.
“Loh, emang mantunya cuma Nita? Kamu bukan menantunya?”
Aku hanya tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Wak Darmi.
“Kalo emang mertuamu mau ke sini sama Nita, ya, apa susahnya ngajak kamu juga? Bukannya membiarkan kamu pergi sendiri ke sini. Aneh, mertuamu itu,” cerocos Wak Darmi.
“Mungkin Nita ke sini naik motor, Wak. Kalo saya diajak, ya nggak muatlah. Lagian, saya juga sekalian jemput Arkan pulang ngaji, Wak.”
“Ya, kan, bisa jalan kaki bertiga. Nggak perlu naik motor. Kayak rumahnya jauh aja.”
Lagi-lagi, aku hanya tersenyum menanggapi omelan Wak Darmi. Seingatku, Wak Darmi dan mertuaku memang tidak terlalu akur. Beberapa kali kudengar mereka berselisih paham.
“Mertuamu itu memang dari dulu gitu. Tukang beda-bedain anak. Kirain, sama menantu nggak bakalan gitu, eh, nggak tahunya sama saja. Heran. Padahal sama-sama anak kandung. Bapaknya juga sama. Tapi kok perlakuannya beda.”
Apa yang dikatakan Wak Darmi benar adanya. Semula aku pikir, itu hanya perasaaanku saja. Setiap aku dan Mas Faisal pulang, sambutan ibu mertua biasa saja. Tak ada hidangan istimewa layaknya seorang ibu menyambut kepulangan anaknya. Buatku, tak masalah ibu mertua tidak tahu makanan kesukaanku. Akan tetapi, rasanya aneh, saat tak ada makanan favorit Mas Faisal yang dibuatkan ibunya. Saat almarhum bapak masih hidup, biasanya beliau yang rewel menyuruh ibu masak ini itu buat kami. Sejak bapak meninggal, tak ada lagi yang menyuruh ibu melakukan hal itu. Bahkan, pernah saat kami datang, tak ada makanan sama sekali. Untungnya, aku sempat membawa ayam bakar dari rumah. Jadi, kami tak perlu merepotkan ibu dan yang lainnya.
Sikap berbeda akan ditunjukkan oleh ibu mertua saat Zaenal dan istrinya datang berkunjung. Meskipun hanya beda kampung, tapi setiap anak ketiga ibu itu datang, ibu akan memasak banyak makanan. Terutama makanan kesukaan Zaenal dan Nita. Saat pulang pun, ibu akan heboh memberikan oleh-oleh untuk orang tua Nita.
Tidak, aku tidak iri sama sekali. Toh, aku bukan tipe orang yang ribet untuk masalah seperti itu. Aku hanya merasa heran saja. Karena seingatku, kedua orang tuaku selalu memperlakukan aku dan Mbak Arini dengan sama.
“Yang Wak nggak ngerti, kok mau-maunya, Faisal pulang kampung cuma buat ngurusin sawah sama tambak ikan yang nggak seberapa. Alasannya sekalian nemenin dan ngurusin ibunya, kayak yang dihargai aja.”
Lagi-lagi, aku hanya bisa tersenyum kecut mendengar omelan Wak Darmi. Meskipun semua yang dikatakan Wak Darmi benar, tetapi tetap saja terdengar menyakitkan. Sebenarnya, aku pun tak habis pikir dengan jalan pikiran Mas Faisal. Semula aku pikir, tak apa kami pulang kampung. Selain mengurus sawah dan tambak ikan, sekalian menemani dan mengurus ibu. aku tidak pernah menyangka akan seperti ini kejadianya. Baru dua bulan di sini, sikap ibu mertua sudah mulai berubah. Padahal, seingatku, selama kami tinggal di sini, belum pernah satu kalipun kami merepotkan ibu atau anggota keluarga yang lain.
Aku sedang menimang cucu Wak Darmi, saat Ibu mertua dan Nita datang. “Eh, ada Mbak Arum,” sapa Nita sambil menyalamiku. “ Kenapa tadi nggak nunggu aku aja, biar bareng.” “Mbak nggak tau kamu mau ke sini. Soalnya tadi pas ngajak Ibu, Ibu nggak bilang kamu mau ke sini. Kalo tahu kamu mau ke sini sekarang, tadi pasti Mbak tungguin. Biar nggak perlu minta anter Ibu, Nit. Soalnya Ibu katanya udah ke sini bareng ibu-ibu pengajian.” Aku sengaja menjawab seperti itu dengan tujuan menyindir Ibu mertua yang sudah membohongiku. Ibu terlihat salah tingkah. Wanita yang sudah melahirkan suamiku itu menggaruk tengkuknya yang tertutup kerudung hitam. “Oh, Ibu udah ke sini?” tanya Nita pada Ibu mertua. “Kok nggak bilang?”
Pandangan Ibu dan Hanum kembali beralih padaku. Sorot mata keduanya seperti elang yang siap menerkam mangsanya. “Tahu apa kamu soal ngajarin anak? Nggak usah menggurui Ibu! Ibu jelas lebih berpengalaman dari kalian!” Aku dan Mas Faisal saling tatap. Ayah dari kedua anakku itu menggeleng perlahan, sebagai isyarat agar aku tidak melawan perkataan Ibu. Akan tetapi, aku pura-pura tak melihat kode dari Mas Faisal. “Kalo Ibu lebih jago mendidik anak, harusnya, Ibu juga bisa ngasih tahu Hanum, kalo menginginkan sesuatu itu, harus berusaha. Bukan cuma ngandelin ketiga kakaknya, terutama Mas Faisal yang Ibu bilang jatuh miskin,” jawabku berusaha sesantai mungkin. Ibu langsung m
Terkadang menjaga jarak adalah hal terbaik setelah hati kita disakiti. Begitu juga aku, memilih tidak lagi terlalu dekat dengan ibu mertua. Toh, semua yang aku lakukan juga selalu salah di matanya. Lebih baik, fokus dengan rencanaku membuka usaha kuliner kekinian.Rencananya, mulai besok, aku akan mulai berjualan ceker mercon tulang lunak dan beberapa jenis minuman. Karena aku lihat, di daerah sini belum ada yang menjual makanan seperti itu. Selama ini, aku menjual makanan itu dari rumah dengan cara menawarkan ke ibu-ibu yang menunggui anaknya sekolah di TK tempat Arkan sekolah. Respon mereka bagus, bahkan ada yang dengan suka rela mempromosikan makanan buatanku di media sosial mereka. Sehingga, perlahan tapi pasti, pembeliku bertambah.Selain itu, beberapa anak tetangga yang sekolah di SMP dan SMA juga aku tawari produk ini. Hasilnya, lumayan. Sambutan mereka cukup bagus. Mereka juga mempromosikan makanan itu pada teman-temannya. Dari situlah, muncul ide untuk m
Aku tersenyum sinis ke arah perempuan dengan rambut berwarna cokelat muda itu. “Nggak usah ikut campur, Mbak. Mendingan, Mbak Tuti, pikirin hutang Mbak ke aku. Udah dua tahun, loh. Kan, waktu itu, janjinya selesai hajatan dibayar lunas. Mana? Itu uang pribadiku, loh. Hasil jualan jajanan receh. Bukan uang Mas Faisal.”Seketika wajah Mbak Tuti berubah pucat. Mungkin, dia tidak menyangka aku akan menagih hutang yang mungkin dia pura-pura lupa. Aku pura-pura tidak melihat ekspresi Mbak Tuti, dan melewati mereka begitu saja. “Hutang segitu aja, ditagih-tagih terus. Kayak sama siapa! Ingat, siapa yang ngajarin suamimu dagang!” Mendengar gerutuan Mbak Tuti, aku pun menghentikan langkah dan membalikkan badan. “Segitu aja? Maksud Mbak, lima juta itu sedikit? Kalo gitu, kenapa nggak dibayar-bayar? Buatku, lima
Perdebatan soal siapku atas perlakuan keluarga Mas Faisal meninggalkan rasa kesal yang tak kunjung hilang. Apalagi, Mas Faisal juga tidak meminta maaf padaku. Bahkan, setelah dia malah pergi entah ke mana. Karena, aku memilih tidur cepat selepas Isya. Sengaja, biar tidak perlu lagi berdebat dengannya. Pagi harinya, aku tetap mengurus rumah dan menyiapkan sarapan seperti biasa, walaupun masih dengan mode senyap. Dan, seperti biasa, Mas Faisal juga tidak banyak bicara. “Jam berapa kamu jualannya, Dek?” tanya Mas Faisal saat kami selesai sarapan. “Mulai jam sebelas siang. Kan, ngejar waktu istirahat anak-anak sekolah.” “Oh, ya udah, ntar Arkan biar Mas yang jemput d
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 9 Aku baru saja selesai menyiapkan bahan untuk jualan saat Mas Faisal pulang. Tanpa banyak bicara, aku menyambutnya seperti biasa. Sedangkan Arkan, pergi mengaji bersama anak tetangga. “Ada apalagi, Dek? Kok, dari tadi diem aja?” tanya Mas Faisal saat aku menghidangkan segelas kopi. Rupanya Mas Faisal masih belum sadar apa kesalahan yang ia perbuat hari ini. “Nggak ada apa-apa,” sahutku ketus, sambil berlalu. Aku berharap, lelaki yang jarang bicara itu menyadari kesalahannya tanpa kuberi tahu. “Mas minta maaf, karena nggak bantuin kamu jualan, Dek. Mas Joko ngajak perginya mendadak. Mas nggak enak nolaknya.” Rupanya Mas Faisal mengikuti langkahku ke ruang tengah. Kemudian, ia duduk di sebelahku setelah menyimpan kopinya di atas meja. Aku pura-pura cuek da
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 10 Sampai pagi, aku masih mendiamkan Mas Faisal. Dia beberapa kali mengajak bicara, tapi lagi-lagi kujawab seperlunya saja. Setelah menyiapkan sarapan, kumandikan Arkan dan memakaikan seragam sekolah. “Arkan, nanti kalo Ibu belum jemput, kamu jangan pulang dulu, ya.” Anak lelakiku mengangguk. “Siap, Bu.” “Ya, udah, ayo sarapan dulu.” Arkan menggandeng tanganku ke luar dari kamar. Setibanya di ruang makan, tampak Mas Faisal sudah menunggu di salah satu kursi. “Biar Mas yang jemput, Dek. Ntar langsung Mas anter ke ruko.” “Nggak usah. Selesaikan saja urusanmu sama Mas Joko. Barangkali komisimu ditambah. Atau paling nggak gantiin bensinmu yang dipakai kemarin. Ngajak pergi seharian kok, nggak dikasih makan,
Nomor asing itu tidak menerima panggilan dariku. Entah sibuk atau mungkin sedang mengurus hal lain yang lebih penting. Tentu hal itu membuatku semakin panik dan bingung. Karena, si penelepon tidak mengatakan secara jelas untuk apa aku datang ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Tiba-tiba pikiran buruk menyelinap. Apa mungkin Mas Faisal kecelakaan? Cepat kutepis pikiran buruk itu. Kutarik napas dan membuangnya perlahan. Kulakukan berkali-kali, sampai agak tenang. Dari jendela, kulihat mendung menghiasi langit. Mungkin, sebentar lagi hujan turun, mengingat sekarang memang sedang musim hujan. Hal ini membuatku semakin bingung. Apalagi, Arkan juga masih tidur dengan lelapnya. Tak tega kalau harus membangunkannya. Ditambah lagi, nomor asing itu tidak kunjung menerima panggilanku. Karena tak tahu harus bagaimana, aku pun menghubungi Mbak Tami, untuk meminta pendapatnya. Mbak Tam