Share

Bab 3

Di sepanjang perjalanan menuju rumah Wak Darmi, aku terus memikirkan sikap Ibu padaku. Memang sikap Ibu yang akhir-akhir ini berubah atau aku yang terlalu perasa? Tetapi, seingatku, baru kali ini Ibu bersikap seperti ini. Dulu, saat aku masih tinggal di kota, Ibu selalu ramah padaku. Atau mungkin karena kami hanya bertemu dalam waktu yang singkat, makanya aku tidak paham dengan karakter Ibu?

            Ya, selama menikah dengan Mas Faisal, aku memang jarang sekali berinteraksi dalam waktu yang lama dengan keluarganya. Setiap tahunnya, kami memang  bisa tiga atau empat kali pulang kampung. Tetapi, paling lama cuma tiga atau empat hari. Jadi, memang baru kali ini aku berada di dekat mertua dalam waktu lama.

            “Mau ke mana, Mbak Arum?” sapa seseorang. Ternyata Bu Ijah, salah satu teman ibu mertuaku

Aku tersenyum pada wanita yang memang selalu ramah padaku itu. “Mau ke rumah Wak Darmi, Bu. Mari.”

“Kok sendiri? Nggak bareng sama Bu Ningsih?”

“Iya, Bu. Ibu katanya udah ke sana bareng ibu-ibu pengajian, tadi siang.”

Wajah wanita berkerudung cokelat itu berkerut, pandangannya tak lepas dariku. “Loh, tapi tadi pas diajak sama ibu-ibu pengajian, Bu Ningsih bilang, ntar aja. Mau bareng menantu katanya.” 

“Oh, mau bareng Nita mungkin, Bu.”

“Oh, iya mungkin. Kirain sama Mbak Arum.”

Aku hanya tersenyum menanggapi kalimat Bu Ijah. “Kalo gitu, saya permisi, Bu. Takut kesorean pulangnya.”

Bu Ijah pun tersenyum, lalu dia mempersilakan aku untuk melanjutkan perjalanan.

Aku tersenyum kecut, mengetahui kenyataan bahwa ibu mertua baru saja membohongiku. Kenapa tidak jujur saja kalau dia mau ke rumah Wak Darmi bersama Nita? Nita adalah istri Zaenal, adik Mas Faisal. Mereka tinggal di kampung sebelah, di dekat kediaman orang tua Nita. Karena Nita anak tunggal, orang tuanya tidak mengizinkan Zaenal membangun rumah jauh dari mereka.

-dmr-

Wak Darmi dan keluarganya menyambut kedatanganku dengan ramah. Wak Darmi adalah kakak tertua almarhum ayah mertua.

“Kok nggak bareng aja sama mertuamu, Rum? Katanya dia mau ke sini agak sore, bareng menantunya,” ujar Wak Darmi seraya menyodorkan segelas air mineral dalam kemasan padaku.

Aku menerima minuman kemasan itu, “makasih, Wak. Sama Nita mungkin, Wak. Soalnya tadi, pas saya  pamitan, ibu nggak ngomong apa-apa.” Aku berusaha menahan diri agar tidak menceritakan yang sebenarnya pada Wak Darmi. Padahal, jujur saja, aku sakit hati mendengar penuturan Wak Darmi.

“Loh, emang mantunya cuma Nita? Kamu bukan menantunya?”

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Wak Darmi.

“Kalo emang mertuamu mau ke sini sama Nita, ya, apa susahnya ngajak kamu juga? Bukannya membiarkan kamu pergi sendiri ke sini. Aneh, mertuamu itu,” cerocos Wak Darmi.

“Mungkin Nita ke sini naik motor, Wak. Kalo saya diajak, ya nggak muatlah. Lagian, saya juga sekalian jemput Arkan pulang ngaji, Wak.”

“Ya, kan, bisa jalan kaki bertiga. Nggak perlu naik motor. Kayak rumahnya jauh aja.”

Lagi-lagi, aku hanya tersenyum menanggapi omelan Wak Darmi. Seingatku, Wak Darmi dan mertuaku memang tidak terlalu akur. Beberapa kali kudengar mereka berselisih paham.

“Mertuamu itu memang dari dulu gitu. Tukang beda-bedain anak. Kirain, sama menantu nggak bakalan gitu, eh, nggak tahunya sama saja. Heran. Padahal sama-sama anak kandung. Bapaknya juga sama. Tapi kok perlakuannya beda.”

Apa yang dikatakan Wak Darmi benar adanya. Semula aku pikir, itu hanya perasaaanku saja. Setiap aku dan Mas Faisal pulang, sambutan ibu  mertua biasa saja. Tak ada hidangan istimewa layaknya seorang ibu menyambut kepulangan anaknya. Buatku, tak masalah ibu mertua tidak tahu makanan kesukaanku. Akan tetapi, rasanya aneh, saat tak ada makanan favorit Mas Faisal yang dibuatkan ibunya. Saat almarhum bapak masih hidup, biasanya beliau yang rewel menyuruh ibu masak ini itu buat kami. Sejak bapak meninggal, tak ada lagi yang menyuruh ibu melakukan hal itu. Bahkan, pernah saat kami datang, tak ada makanan sama sekali. Untungnya, aku sempat membawa ayam bakar dari rumah. Jadi, kami tak perlu merepotkan ibu dan yang lainnya.

Sikap berbeda akan ditunjukkan oleh ibu mertua saat Zaenal dan istrinya datang berkunjung. Meskipun hanya beda kampung, tapi setiap anak ketiga ibu itu datang, ibu akan memasak banyak makanan. Terutama makanan kesukaan Zaenal dan Nita. Saat pulang pun, ibu akan heboh memberikan oleh-oleh untuk orang tua Nita.

Tidak, aku tidak iri sama sekali. Toh, aku bukan tipe orang yang ribet untuk masalah seperti itu. Aku hanya merasa heran saja. Karena seingatku, kedua orang tuaku selalu memperlakukan aku dan Mbak Arini dengan sama.  

“Yang Wak nggak ngerti, kok mau-maunya, Faisal pulang kampung cuma buat ngurusin sawah sama tambak ikan yang nggak seberapa. Alasannya sekalian nemenin dan ngurusin ibunya, kayak yang dihargai aja.”

Lagi-lagi, aku hanya bisa tersenyum kecut mendengar omelan Wak Darmi. Meskipun semua yang dikatakan Wak Darmi benar, tetapi tetap saja terdengar menyakitkan. Sebenarnya, aku pun tak habis pikir dengan jalan pikiran Mas Faisal. Semula aku pikir, tak apa kami pulang kampung. Selain mengurus sawah dan tambak ikan, sekalian menemani dan mengurus ibu. aku tidak pernah menyangka akan seperti ini kejadianya. Baru dua bulan di sini, sikap ibu mertua sudah mulai berubah. Padahal, seingatku, selama kami tinggal di sini, belum pernah satu kalipun kami merepotkan ibu atau anggota keluarga yang lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status