Share

Bab 7

Aku tersenyum sinis ke arah perempuan dengan rambut berwarna cokelat muda itu. “Nggak usah ikut campur, Mbak. Mendingan, Mbak Tuti, pikirin hutang Mbak ke aku. Udah dua tahun, loh. Kan, waktu itu, janjinya selesai hajatan dibayar lunas. Mana? Itu uang pribadiku, loh. Hasil jualan jajanan receh. Bukan uang Mas Faisal.”

Seketika wajah Mbak Tuti berubah pucat. Mungkin, dia tidak menyangka aku akan menagih hutang yang mungkin dia pura-pura lupa. Aku pura-pura tidak melihat ekspresi Mbak Tuti, dan melewati mereka begitu saja.

            “Hutang segitu aja, ditagih-tagih terus. Kayak sama siapa! Ingat, siapa yang ngajarin suamimu dagang!”

            Mendengar gerutuan Mbak Tuti, aku pun menghentikan langkah dan membalikkan badan. “Segitu aja? Maksud Mbak, lima juta itu sedikit? Kalo gitu, kenapa nggak dibayar-bayar? Buatku, lima juta itu banyak, loh. Apalagi menurut kalian, aku dan Mas Faisal sedang bangkrut, kan? Lima juta itu, bisa dipakai bayar sekolah Alea setengah tahun. Atau, bisa buat biaya lamaran Hanum, ya, kan, Bu?”

            Ibu dan Bude Warni langsung saling pandang. Raut tak suka tercetak jelas pada wajah Bude Warni. Mungkin, dia tidak suka aku mengungkit masalah hutang anak sulungnya itu. Sementara Ibu, terlihat terkejut. Mungkin, Ibu tidak menyangka kalau keponakan yang selalu ia banggakan, ternyata memiliki hutang padaku.

            “Benar, kamu masih punya hutang sama Arum, Tut?” tanya Ibu. Matanya menatap tajam pada Mbak Tuti yang sedang melotot ke arahku. “Atau, jangan-jangan Arum mengada-ada?”

            Aku tersenyum sinis ke arah mereka semua. “Mengada-ada gimana, Bu? Mbak Tuti itu punya hutang sepuluh juta buat modal hajatan sewaktu anak bungsunya dikhitan. Janjinya, selesai hajatan mau dibayar lunas. Tapi nyatanya, dia cuma transfer lima juta. Katanya, yang lima juta lagi mau dibayar setelah semua urusan yang menyangkut hajatan selesai. Tapi, nyatanya? Sampai sekarang nggak kabar. Dan, saya baru sekarang nanyain uang itu. Padahal udah mau dau tahun, loh.”

            Tatapan tajam Ibu beralih ke Mbak Tuti. “Benar begitu, Tuti?”

            Mbak Tuti tampak menggaruk tengkuknya. Kemudian, ia mengusap keningnya, lalu menunduk. Terlihat sekali kalau dia sedang salah tingkah.

            “Tuti!” bentak Bude Warni. “Jawab pertanyaan Bik Ningsih! Bener kamu masih punya hutang sama Arum?”

            Perlahan Mbak Tuti mengangkat wajahnya yang sekarang terlihat pias. Kemudian, perempuan bermake-up tebal itu mengangguk samar.

            “Makanya, Bude, sebelum ngomentarin hidup orang, lihat dulu hidup anak sendiri. Biarpun saya dan Mas Faisal bangkrut, tapi kami nggak jadi benalu buat orang lain. Biarpun Mas Faisal cuma bertani dan beternak, dan saya cuma jualan makanan murah, tapi nggak sampe ngutang sana-sini buat menutupi gaya hidup kami. Ibu, sebelum ngajarin saya untuk hidup apa adanya, mendingan Ibu ajarin keponakan dan anak bungsu kesayangan Ibu, apa itu hidup sederhana sesuai kemampuan. Kalo nggak punya duit, jangan banyak gaya. Dan, kamu, Mbak Tuti, tolong segera bayar hutang yang menurutmu  nggak seberapa itu!”

            Setelah mengeluarkan unek-unek yang ada di hati, aku pun meninggalkan mereka dan masuk ke rumah yang tinggal beberapa langkah lagi. Kututup pintu perlahan, dan berjalan ke dapur. Segelas air dingin mungkin bisa mentralisir amarah yang masih tersisa di dada.

Usai meminum segelas air dingin, aku duduk di kursi kayu. Kutarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Suara obrolan ibu mertuaku, Bude Warni, Mbak Tuti dan Hanum masih terdengar meskipun samar-samar. Terserah saja mereka mau ngomong apa. Mendingan aku mandi biar badan lebih segar saat Mas Faisal dan Arkan pulang nanti. Mas Faisal mengajak Arkan untuk menemui teman lamanya yang memiliki rumah makan. Mas Faisal bermaksud menawarkan lele-lele yang sebentar lagi bisa dipanen.

-dmr-

“Dek, kamu nagih ke Mbak Tuti?” tanya Mas Faisal saat dia tiba di rumah. Ia terlihat sedikit kerepotan menggendong Arkan yang tertidur. Kuikuti langkahnya ke dalam kamar, menidurkan anak bungsu kami yang terlihat lelap.

“Iya. Lumayan, kalo dia bayar, bisa buat nambah-nambah biaya lamaran Hanum,” jawabku sambil menata bantal untuk Arkan.

“Iya, tapi, ya, jangan marah-marah juga.”

Aku menoleh pada lelaki yang terlihat lelah itu. Sudah kuduga, pasti salah satu atau mereka semua sudah mengadu padanya. Tentunya dengan ditambahi banyak bumbu drama.

“Siapa yang marah-marah? Kita ini udah nikah selama tiga belas tahun, masa masih nggak paham juga sifatku gimana? Dan, kamu, sejak lahir kan pastinya juga udah kenal sama Ibu, Bude Warni, Mbak Tuti, Hanum, masa masih nggak hafal gimana kelakuan mereka?” sindirku. Malas berdebat dengan Mas Faisal, aku memilih ke luar dari kamar Arkan.

“Ya, kamu kan, udah tahu kalo mereka gitu. Kenapa juga dilawan?” Ternyata Mas Faisal mengikutiku ke dapur. Kuambil segelas air dingin dari kulkas dan memberikannya pada Mas Faisal. Lelaki berjambang tipis itu menerima gelas dariku dan langsung meminum isinya sampai tandas.

“Ya, terus, aku harus diam aja gitu? Mereka ngomongin aku, aku diem, nggak ngadu sama siapa-siapa. Kita diperlakukan berbeda dari anak menantu yang lain, aku juga diem. Toh, nggak perlu cerita juga, orang lain pada tahu dengan sendirinya. Semut diinjak juga ngegigit, Mas. Apalagi aku, manusia biasa. Nggak mungkinlah diem aja kalo dihina terus-terusan. Apalagi yang menghina punya hutang sama aku!”

Mas Faisal tak menyahut omelanku. Ia menarik satu kursi dan mendudukinya. Kalau sudah seperti itu, aku paham, pasti Mas Faisal lapar. Aku pun mengambil piring, dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk yang sudah kumasak. Kuberikan piring itu pada Mas Faisal. Ia menerimanya, lalu menyuap makanan itu setelah berdoa. Kubiarkan dia menghabiskan dulu makanan di depannya. Kata almarhum nenekku, jangan mengomel saat suami sedang makan. Jadi, meskipun ingin mengomel, kutahan saja sampai suamiku ini selesai makan. Kuberikan segelas air mineral pada Mas Faisal, saat piringnya sudah bersih.

“Maaf, ya, Dek. Mas cuma nggak mau kamu ribut sama keluarga Mas, itu aja.”

“Ya, kalo mereka bisa menjaga omongan mereka, aku juga nggak akan ribut, kok. Aku ini masih waras, nggak mungkin berisik kalo nggak diusik!”

Mas Faisal tampak menghela napas. “Mas harap, kamu lebih sabar lagi menghadapi mereka.”

Aku mendengkus kasar. “Sabar-sabar! Yang disabarin ngelunjak! Giliran dilawan, ngadu ke mana-mana!”

Kutinggalkan Mas Faisal yang masih duduk di kursi. Selalu saja begini, setiap kali membahas perilaku saudara-saudaranya. Dia hanya memintaku sabar dan sabar. Tetapi, tidak pernah ada teguran untuk keluarganya. Menyebalkan!

           

           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status