Share

Bab 10

Kami Bukan Benalu, Bu.

Bab 10

    Sampai pagi, aku masih mendiamkan Mas Faisal. Dia beberapa kali mengajak bicara, tapi lagi-lagi kujawab seperlunya saja. Setelah menyiapkan sarapan, kumandikan Arkan dan memakaikan seragam sekolah. 

    “Arkan, nanti kalo Ibu belum jemput, kamu jangan pulang dulu, ya.” 

    Anak lelakiku mengangguk. “Siap, Bu.”

    “Ya, udah, ayo sarapan dulu.” 

    Arkan menggandeng tanganku ke luar dari kamar. Setibanya di ruang makan, tampak Mas Faisal sudah menunggu di salah satu kursi. 

    “Biar Mas yang jemput, Dek. Ntar langsung Mas anter ke ruko.” 

    “Nggak usah. Selesaikan saja urusanmu sama Mas Joko. Barangkali komisimu ditambah. Atau paling nggak gantiin bensinmu yang dipakai kemarin. Ngajak pergi seharian kok, nggak dikasih makan, nggak diisiin bensin! Yang diajak juga diem aja! Pantesan, diajak lagi, diajak lagi! Gratisan sih!” 

    “Kok, kamu jadi perhitungan gitu, Dek. Bagaimana pun juga, Mas punya hutang budi sama Mas Joko. Jadi, ya nggak enaklah, kalo menolak setiap dia minta dianter.” 

    Kuhela napas dengan kasar. “Terserah! Bayar saja hutang budimu yang nggak lunas-lunas itu! Nggak enak sama orang lain, tapi enak nelantarin anak sendiri!” 

    Mas Faisal menatapku tajam. Mungkin, dia tersinggung atau marah dengan kata-kataku. 

    “Arkan, habisin makannya. Ibu tunggu di depan, ya.” 

    “Iya, Bu.” 

    Aku pun beranjak dari kursi, lalu membawa box besar berisi ceker yang sudah kurebus pagi tadi. Lalu kembali lagi mengambil satu box kecil berisi bumbu. Tak lupa satu tas berisi baju ganti Arkan dan peralatan pribadiku. Mas Faisal masih menyelesaikan sarapannya, jadi tak membantuku mengangkat barang. Toh, tidak terlalu berat juga. Rencananya, mulai hari ini, aku akan berjualan sampai sore. Mengingat perlakuan Ibu dan keluarganya, serta sikap Mas Faisal, membuatku malas untuk pulang ke rumah ini.  

    “Mas anter, Dek. Barang bawaanmu banyak banget.” Mas Faisal muncul dengan raut wajah lebih bersahabat. 

    Kami baru saja akan berangkat, saat tiba-tiba muncul Mas Joko dan Mbak Tuti. Tetapi, Mbak Tuti langsung pergi begitu saja, setelah Mas Joko turun dari sepeda motornya. 

    “Mau berangkat, Rum?” 

    Dengan malas, aku memaksakan diri untuk tersenyum pada pria berkulit sawo matang itu. “Iya, Mas.” 

    “Oh. Sal, kita ke tempat yang kemarin, yuk. Orangnya sudah setuju dengan harga yang aku tawarkan.” 

    Aku menatap tajam kearah Mas Faisal, sambil berharap, dia menolak ajakan Mas Joko. 

    “Sekarang, Mas?” tanya Mas Faisal sambil menggaruk tengkuknya. Mungkin, dia bingung antara menolak atau mengiyakan ajakan Mas Joko.

    “Ya, iyalah. Lebih pagi lebih bagus. Kebetulan lagi ada yang butuh sepeda motor model itu.” 

    Kuhela napas perlahan sambil beristighfar dalam hati. Apa Mas Joko tidak melihat, kalau Mas Faisal akan mengantarkan anak dan istrinya terlebih dahulu?

    “Tapi, saya anter dulu Arkan ke sekolah, sekalian nganter Arum ke tempatnya berjualan, Mas.” 

Mas Joko melihat ke arahku dan Arkan yang sudah tak sabar ingin segera berangkat ke sekolah. “Suruh pakai ojek aja, Sal. Kalo kamu nganter mereka dulu, kita kesiangan. Takut keburu dijual ke yang lain.” 

Lagi-lagi, aku beristighfar dalam hati. Apalagi, kulihat, Ibu ke luar dari rumahnya dan menghampiri kami. Perempuan berdaster lengan pendek itu menyapa Mas Joko dan berbasa-basi sebentar. 

“Tumben pagi-pagi udah ke sini, Jok. Ada apa?” tanya Ibu. Mas Joko pun menceritakan maksud kedatangannya. “Ya udah, cepetan, sana pergi! Rezeki memang harus dijemput pagi-pagi. Biar nggak keduluan sama orang lain.” 

Aku mencuri pandang ke arah Mas Faisal yang terlihat bingung. Padahal, di saat situasi seperti ini, aku berharap dia lebih tegas menentukan pilihan. Kami diam beberapa saat, sampai ada Mang Asep, yang berprofesi sebagai tukang ojek lewat. Tanpa pikir panjang, kupanggil Mang Asep. Pria bertubuh ceking itu menghentikan laju sepeda motornya. 

“Mang Asep, bisa antar saya ke sekolah Arkan, terus anter ke ruko yang depan SMA Satu?” 

Mang Asep mengangguk. “Siap, Mbak Arum.” 

“Tapi, barang bawaan saya agak banyak, nggak apa-apa?” 

“Tenang aja, Mbak Arum. Ayo!” 

Mang Asep turun dari sepeda motornya, lalu membantuku membawa barang yang akan dibawa. Sementara Mas Faisal hanya diam di tempatnya berdiri, bahkan tak membantuku sama sekali. Setelah semua barang tertata rapi dan dipastikan dalam posisi aman, aku pun menaikkan Arkan ke jok, disusul aku sendiri naik. Tanpa berpamitan, aku pergi meninggalkan ketiga orang yang menampakkan ekspresi berbeda. Aku masih sempat melihat keterkejutan di wajah Mas Faisal. Juga senyum sinis dari bibir ibu mertua, dan raut wajah tak bersalah dari Mas Joko. 

Seiring deru mesin sepeda motor menjauhi pekarangan ibu mertua, air mataku menetes. Tetapi, cepat-cepat kuseka. Aku tak ingin Arkan dan Mang Asep melihat air mataku. 

-dmr-

Hari kedua berjualan, aku sudah mulai bisa menguasai keadaan. Meskipun agak kewalahan, karena jumlah pembeli yang lebih banyak dari kemarin. Bahkan, saat jam istirahat anak-anak sekolah sudah usai, masih ada saja pembeli dari masyarakat umum. Belum lagi yang pesanannya minta diantar. Untung, Mang Asep bersedia mengantar pesanan-pesanan itu. Karena, aku meminta ongkos kirim untuk jarak tertentu. Lumayan untuk menambah penghasilan pria dengan tiga anak itu. Selain ongkos kirim, aku juga memberikan sedikit tambahan uang. 

Urusan Arkan, sudah ada jalan ke luar. Aku menjemputnya memakai sepeda motor suami Mbak Tami. Kebetulan, jam pulangnya sebelum jam istirahat para pelangganku. 

Saat aku selesai membereskan peralatan bekas berjualan, Arkan sedang tertidur pulas di lantai dua. Kebetulan ada sebuah kamar dan aku kemarin  membawa kasur lantai. Sengaja, untuk berjaga-jaga, barangkali aku ingin beristirahat di sini. Kalau jualanku tetap ramai, mungkin aku harus membeli TV, biar Arkan tidak bosan saat menungguku. 

Kurebahkan badan di samping tubuh Arkan. Kupeluk tubuh yang menguarkan aroma khas anak-anak itu. Sambil tiduran, aku mengeluarkan ponsel, hendak memesan ceker untuk bahan berjualan besok. Aku menghela napas perlahan, saat menyadari tak ada pesan atau panggilan masuk dari Mas Faisal. Padahal, pagi tadi kami pergi dalam keadaan tidak baik-baik saja. 

Satu sisi batinku, membisikan tanya, apakah aku akan sanggup bertahan menjalani hidup seperti ini? Tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah nomor asing terpampang pada layar. Aku pun menggeser tombol hijau. Kuucapkan salam, pada seseorang di seberang sana yang ternyata seorang perempuan. Entah kenapa, hatiku berdebar tak karuan. Perempuan di seberang sana memintaku untuk segera datang ke rumah sakit terdekat. Saat kutanya siapa yang sakit, dia hanya memintaku untuk segera datang, lalu memutuskan panggilan. Saat kuhubungi kembali, tidak kunjung diangkat. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sandra Diba Diba
semoga Arum selalu kuat untuk berjuang , menunjukkan kemampuan nya demi rumah tangga nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status