Share

Bab 9

Kami Bukan Benalu, Bu.

Bab 9

    

    Aku baru saja selesai menyiapkan bahan untuk jualan saat Mas Faisal pulang. Tanpa banyak bicara, aku menyambutnya seperti biasa. Sedangkan Arkan, pergi mengaji bersama anak tetangga. 

    “Ada apalagi, Dek? Kok, dari tadi diem aja?” tanya Mas Faisal saat aku menghidangkan segelas kopi. Rupanya Mas Faisal masih belum sadar apa kesalahan yang ia perbuat hari ini. 

    “Nggak ada apa-apa,” sahutku ketus, sambil berlalu. Aku berharap, lelaki yang jarang bicara itu menyadari kesalahannya tanpa kuberi tahu.

    “Mas minta maaf, karena nggak bantuin kamu jualan, Dek. Mas Joko ngajak perginya mendadak. Mas nggak enak nolaknya.” Rupanya Mas Faisal mengikuti langkahku ke ruang tengah. Kemudian, ia duduk di sebelahku setelah menyimpan kopinya di atas meja. 

    Aku pura-pura cuek dan memilih asyik dengan ponsel, mengecek barangkali ada yang pesan ceker mercon tulang lunak untuk besok. 

    “Dek, Mas lagi ngomong, loh. Lagian, Mas kan, pergi sama Mas Joko juga bukan pergi main. Mas nganter Mas Joko ngelihat sepeda motor yang mau dibeli. Ntar kalo motor itu laku, Mas dikasih komisi, kan, lumayan, Dek.” 

    Aku mendengus kasar, lalu menoleh pada Mas Faisal. “Nggak enak nolak ajakan Mas Joko dan menelantarkan anakmu sendiri!” 

    Mas Faisal tampak terkejut, ia mengerutkan dahinya. “Menelantarkan gimana, Dek? Sebelum pergi, Mas udah nitipin Arkan ke Mbak Tuti. Dan minta dianter sekalian ke ruko. Soalnya katanya Mbak Tuti ada keperluan dan melewati tempatmu jualan, Dek.” 

    “Telepon Mbak Tutimu sekarang! Tanya, pas pulang sekolah, dia ngajak Arkan sekalian nggak? Tanya ke dia, Arkan dianter ke mana setelah pulang sekolah!” 

    Mas Faisal diam, dan tak menuruti permintaanku. “Nggak apa-apa, kamu nggak bantu aku jualan, dan lebih memilih pergi sama Mas Joko. Biarpun hasilnya belum jelas kayak yang sudah-sudah. Komisi, komisi, mana? Setiap kali ngajak kamu pergi, kamu dikasih makan nggak di jalan? Bensinmu diganti nggak? Dikasih uang lelah nggak? Nggak kan? Ntar pas ada motor laku, kamu cuma dikasih tiga ratus ribu! Itu bukan komisi, tapi ngeganti uang bensin sama upahmu karena nganter dia! Mikir dong, Mas! Bukan sekali dua kali dia kayak gitu!” 

    Selama ini, aku diam Mas Faisal diperlakukan seenaknya oleh Mas Joko. Karena, Mas Faisal selalu beralasan tidak enak menolak. Apalagi, yang mengajari Mas Faisal berjualan ayam goreng dan mencarikan tempat pertama untuk berjualan, memang Mas Joko. Tetapi rupanya, mereka menggunakan hal itu untuk memanfaatkan Mas Faisal seenaknya. 

    “Nggak masalah, kamu mau membalas budi sama mereka. Tapi, jangan telantarkan anakmu! Kamu bisa antar dia ke ruko sebelum pergi! Biar dia nggak kelaparan! Atau minimal gantikan dulu baju seragamnya!” 

    Terdengar helaan napas dari Mas Faisal. “Menelantarkan gimana, sih, Dek? Aku beneran udah nitipin Arkan ke Mbak Tuti.” 

    “Ya, tanya ke Mbak Tuti, dia bawa Arkan pulang sesuai amanatmu nggak? Aku meninggalkan Arkan di sekolah, bukan karena aku bersenang-senang, Mas. Aku kerja, bantuin kamu cari duit! Biar nggak dihina-hina dan dianggap benalu sama keluargamu!” 

    Wajah Mas Faisal terlihat memerah. Rahangnya mengeras. “Kok, kamu ngomong gitu, Dek? Sebenarnya masalahmu apa sih? Kenapa jadi bawa-bawa keluargaku? Kalo kamu marah gara-gara aku nggak nganter Arkan ke ruko dan nggak bantuin kamu, kan, aku udah minta maaf. Kenapa malah kamu ngomongnya jadi ke mana-mana?” 

    Aku menghela napas dengan kasar. “Terserah kamulah! Toh, aku selalu salah di kalian. Dan, kamu pasti lebih percaya sama keluargamu daripada aku, kan? Kamu lebih paham sifat mereka seperti apa, bukan? Sampai nggak hapal dengan sifat istrimu sendiri!” 

    Malas melanjutkan perdebatan, aku pun bangun dan beranjak meninggalkan Mas Faisal. Kebetulan terdengar suara Arkan mengucap salam. Rupanya, jagoanku itu sudah pulang. 

-dmr-

    Sampai malam, aku masih mendiamkan Mas Faisal. Bahkan saat makan pun, aku tetap diam. Hanya sesekali menjawab pertanyaan Arkan. Beberapa kali Mas Faisal berusaha mengajakku bicara. Akan tetapi, aku hanya menjawab seperlunya saja. 

    “Ayah, besok lagi, kalo Ayah pergi sama Pakde Joko, tunggu Arkan pulang sekolah, ya, yah.” 

    “Emangnya kenapa? Emangnya, kamu mau ikut sama ayah dan Pakde Joko?” tanya Mas Faisal. Arkan tampak menggeleng cepat. Sementara aku memilih berpura-pura membereskan peralatan bekas makan kami. 

    “Bukan, Yah. Arkan bukan mau ikut sama Ayah. Tapi, Arkan nggak mau ditinggal di sekolah sendirian.” 

    Aku melirik Mas Faisal, penasaran dengan reaksi lelaki berambut cepak itu. Ternyata, ia tampak terkejut, membuatku tersenyum sinis ke arahnya. 

    “Loh, bukannya kamu pulang sama Bude Tuti? Tadi, ayah udah bilang ke Bude Tuti buat ngajak kamu, sekalian dianter ke ruko.” 

    Lagi-lagi, Arkan menggeleng cepat. “Bude Tuti nggak ngajak Arkan, kok. Arkan pulang dianter Bu Ita.”

    Lagi-lagi, aku melirik Mas Faisal yang terlihat kaget. Apalagi, saat anak bungsu kami menceritakan perlakuan yang didapat dari nenek dan bibinya. 

    “Arkan, nonton TV dulu, ya. Ntar ibu nyusul, kalo udah selesai cuci piring.” 

    Arkan mengangguk, “siap, Bu.” Lalu ia pun turun dari kursinya dan berlari ke ruang tengah. Aku pun melanjutkan mencuci peralatan bekas makan kami. 

    “Aneh, tapi Mbak Tuti bilang, dia jemput Arkan. Tapi, emang dianter ke rumah ibu, karena dia nggak jadi pergi,” ujar Mas Faisal. 

    Aku memilih diam tak menanggapi ucapan Mas Faisal. Kupikir percuma saja. Toh, dia masih tidak percaya, padahal anaknya sudah memberitahu yang sebenarnya. Seharusnya, Mas Faisal berpikir, antara Mbak Tuti dan Arkan, siapa yang lebih berpeluang membohonginya. Atau, dia bisa bertanya pada ibu dan adiknya, siapa yang mengantar Arkan pulang dari sekolah. Aku memilih diam, tak lagi mendebat, karena mulai malas membahas hal yang itu-itu saja. Toh, ujung-ujungnya, kalau pun Mas Faisal tahu siapa yang  benar, tetap saja tak ada teguran untuk pihak keluarganya. Dan aku, sudah mulai lelah menghadapi hal yang sama secara berulang-ulang. Aku tidak akan mengakui kesalahan yang tidak aku perbuat. 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status