Perdebatan soal siapku atas perlakuan keluarga Mas Faisal meninggalkan rasa kesal yang tak kunjung hilang. Apalagi, Mas Faisal juga tidak meminta maaf padaku. Bahkan, setelah dia malah pergi entah ke mana. Karena, aku memilih tidur cepat selepas Isya. Sengaja, biar tidak perlu lagi berdebat dengannya.
Pagi harinya, aku tetap mengurus rumah dan menyiapkan sarapan seperti biasa, walaupun masih dengan mode senyap. Dan, seperti biasa, Mas Faisal juga tidak banyak bicara.
“Jam berapa kamu jualannya, Dek?” tanya Mas Faisal saat kami selesai sarapan.
“Mulai jam sebelas siang. Kan, ngejar waktu istirahat anak-anak sekolah.”
“Oh, ya udah, ntar Arkan biar Mas yang jemput di sekolah, terus Mas anter ke ruko. Takut kamu keteteran.”
Aku hanya mengangguk, sebagai ganti kata ‘iya’.
“Semua udah siap?”
Lagi-lagi, aku mengangguk sebagai jawaban.
“Ya sudah, setelah antar Arkan ke sekolah, Mas anter kamu ke ruko.”
“Emangnya, Mas nggak akan ke sawah atau tambak?”
“Mau, kebetulan temen yang ditawarin kerja sama, mau lihat dulu lelenya. Paling sebentar, kok, Dek.”
“Oh, ya udah.”
“Nggak apa-apa, kan, kamu sendirian dulu. Ntar siang Mas bantuin.”
Aku mengangguk, lalu bangun dari kursi dan membereskan bekas sarapan kami. Sedangkan Mas Faisal menghampiri Arkan yang sudah siap dengan seragam sekolahnya.
-dmr-
Hari pertama berjualan, aku sedikit kewalahan. Apalagi, Mas Faisal tidak muncul sama sekali. Ponselnya juga tidak aktif, membuatku sedikit kesal. Untungnya para pembeli mengerti dan mau mengantri. Padahal semua ceker sudah kumasak sekaligus, dan dibiarkan di atas kompor. Sesekali dihangatkan, jadi saat ada pembeli, aku tinggal bungkus dan ditambah bumbu pedas sesuai selera pembeli.
Meskipun kesal dengan ketidak munculan Mas Faisal, aku tetap bersyukur, karena sepuluh kilo ceker habis terjual. Bahkan ada beberapa pembeli yang tidak kebagian. Hal itu, membuatku berinisiatif menambah pesanan ceker mentah.
“Rame, Rum?” tanya Mbak Tami, saat aku sedang membereskan perkakas bekas berjualan. Kakak sepupu suamiku itu memang selalu mengantarkan makan siang untuk suaminya.
“Alhamdulillah, Mbak. terimakasih udah bantuin promosi sama bantuin ngomong sama yang punya tempat.”
Mbak Tami tersenyum sambil mengacungkan ibu jari tangan kanannya. “Arkan mana?”
“Tadi sih, Mas Faisal bilang mau jemput Arkan, terus mau dianter ke sini sekalian dia mau bantuin. Tapi, nggak tahu deh, sampai sekarang mereka nggak dateng. Mungkin, Arkan diajak ke tambak, Mbak. soalnya, temen Mas Faisal mau lihat dulu ikan lelenya.”
“Oh. Tapi, aku lihat tadi Faisal pergi sama Joko, Rum. Boncengan pake sepeda motor. Ketemu tadi pagi, pas aku dari pasar.”
Aku menoleh ke arah Mbak Tami. “Beneran, Mbak?”
Mbak Tami mengangguk. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak menyelusup ke hati. Joko adalah suami Mbak Tuti. Laki-laki yang berbisnis jual beli sepeda motor bekas itu, memang sesekali minta diantar Mas Faisal saat bepergian jauh. Dan biasanya, mereka pergi sampai malam. Kalau Mas Faisal pergi sama Mas Joko, lalu Arkan sama siapa di rumah? Siapa yang menjemputnya di sekolah?
“Oh, ya udah. Kalo gitu, aku langsung pulang aja, ya, Mbak. Aku khawatir sama Arkan.”
“Bareng aja, Rum. Abis ini aku juga langsung pulang, kok. Aku tunggu di ruko suamiku, ya.”
Aku mengangguk, Mbak Tami pun ke luar dari ruko ini. Gegas aku menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. Saat semua selesai, Mbak Tami sudah menungguku di depan ruko dengan sepeda motor maticnya. Kami berdua pun bergegas pulang.
-dmr-
Sesampainya di rumah, terlihat Arkan tengah bermain di teras, sendirian. Aku menarik napas lega, karena melihat anak bungsuku anteng dan sudah berganti baju. Mungkin, Mas Faisal sempat mengurusnya sebelum pergi tadi.
“Baru jualan begitu aja, udah nelantarin anak! Kalo mau berbisnis, urus dulu anak!”
Omelan Ibu membuat aku dan Mbak Tami saling pandang. Aku pun bergegas menghampiri Ibu yang terlihat marah. Mbak Tami yang tadi sudah berpamitan untuk langsung pulang, juga ikut turun dari sepeda motornya.
“Maaf, Bu, tapi saya udah nitipin Arkan ke Mas Faisal dan meminta Arkan diantar ke ruko.”
“Halah! Alasan saja! Buktinya, Arkan sampe siang nggak ada yang jemput! Sampe dianterin sama gurunya ke sini! Malu-maluin aja!”
Mbak Tami mengusap lembut punggungku, mungkin memintaku untuk bersabar menghadapi omelan ibu mertua.
“Iya, Bu, maaf. Besok-besok lagi, saya nggak akan telat jemput Arkan. Maaf kalo Arkan udah bikin Ibu repot.”
Ibu mertua melengos dan pergi begitu saja.
“Sabar,” bisik Mbak Tami. “Aku pulang dulu, ya.”
Aku mengangguk, tanpa mengatakan apapun. Tenggorokanku rasanya tercekat, antara ingin marah dan ingin menangis. Malu rasanya dimarahin di depan orang lain. Mbak Tami berlalu dengan sepeda motornya, aku mengajak Arkan masuk.
“Arkan udah makan?”
“Belum, Bu. Di rumah nenek sayurnya pedas. Arkan minta digorengin telur, kata Tante Hanum telurnya tinggal satu, mau dipake masak mie katanya.”
Ada nyeri menusuk ulu hati. Bahkan hanya sebutir telur saja, mereka tidak mau memberikannya pada anakku. Padahal, ada darah yang sama dengan mereka, mengalir di tubuh Arkan.
“Kenapa nggak ngambil telur di rumah? Atau ayam goreng, kan, ada. Ibu udah siapin tadi pagi, kok.”
“Kan, pintunya dikunci, sama ayah kuncinya dibawa. Arkan juga nggak ganti baju.”
“Emang nggak ada baju di rumah nenek?” Seingatku, ada beberapa baju Arkan dan Alea di rumah Ibu.
Arkan menggeleng cepat. “Kata nenek, baju Arkan udah dipake lap.”
Lagi-lagi, rasa nyeri menjalar di hati. Bahkan baju anak-anakku yang masih layak pakai pun, mereka tak mau menyimpannya. Aku menarik napas dan membuangnya perlahan. Berharap, rasa sakit ini berkurang seiring helaan napas. Tetapi, aku salah. Rasa sakit itu tetap ada. Sekuat apa pun aku berusaha membuangnya.
Entah apa yang membuat Ibu bersikap begini. Caranya memperlakukan keluargaku sangat berbeda dengan sikapnya pada orang lain. seolah-olah kami adalah benalu, yang menganggu hidupnya.
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 9 Aku baru saja selesai menyiapkan bahan untuk jualan saat Mas Faisal pulang. Tanpa banyak bicara, aku menyambutnya seperti biasa. Sedangkan Arkan, pergi mengaji bersama anak tetangga. “Ada apalagi, Dek? Kok, dari tadi diem aja?” tanya Mas Faisal saat aku menghidangkan segelas kopi. Rupanya Mas Faisal masih belum sadar apa kesalahan yang ia perbuat hari ini. “Nggak ada apa-apa,” sahutku ketus, sambil berlalu. Aku berharap, lelaki yang jarang bicara itu menyadari kesalahannya tanpa kuberi tahu. “Mas minta maaf, karena nggak bantuin kamu jualan, Dek. Mas Joko ngajak perginya mendadak. Mas nggak enak nolaknya.” Rupanya Mas Faisal mengikuti langkahku ke ruang tengah. Kemudian, ia duduk di sebelahku setelah menyimpan kopinya di atas meja. Aku pura-pura cuek da
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 10 Sampai pagi, aku masih mendiamkan Mas Faisal. Dia beberapa kali mengajak bicara, tapi lagi-lagi kujawab seperlunya saja. Setelah menyiapkan sarapan, kumandikan Arkan dan memakaikan seragam sekolah. “Arkan, nanti kalo Ibu belum jemput, kamu jangan pulang dulu, ya.” Anak lelakiku mengangguk. “Siap, Bu.” “Ya, udah, ayo sarapan dulu.” Arkan menggandeng tanganku ke luar dari kamar. Setibanya di ruang makan, tampak Mas Faisal sudah menunggu di salah satu kursi. “Biar Mas yang jemput, Dek. Ntar langsung Mas anter ke ruko.” “Nggak usah. Selesaikan saja urusanmu sama Mas Joko. Barangkali komisimu ditambah. Atau paling nggak gantiin bensinmu yang dipakai kemarin. Ngajak pergi seharian kok, nggak dikasih makan,
Nomor asing itu tidak menerima panggilan dariku. Entah sibuk atau mungkin sedang mengurus hal lain yang lebih penting. Tentu hal itu membuatku semakin panik dan bingung. Karena, si penelepon tidak mengatakan secara jelas untuk apa aku datang ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Tiba-tiba pikiran buruk menyelinap. Apa mungkin Mas Faisal kecelakaan? Cepat kutepis pikiran buruk itu. Kutarik napas dan membuangnya perlahan. Kulakukan berkali-kali, sampai agak tenang. Dari jendela, kulihat mendung menghiasi langit. Mungkin, sebentar lagi hujan turun, mengingat sekarang memang sedang musim hujan. Hal ini membuatku semakin bingung. Apalagi, Arkan juga masih tidur dengan lelapnya. Tak tega kalau harus membangunkannya. Ditambah lagi, nomor asing itu tidak kunjung menerima panggilanku. Karena tak tahu harus bagaimana, aku pun menghubungi Mbak Tami, untuk meminta pendapatnya. Mbak Tam
Kuhela napas perlahan. Tak habis pikir, dengan apa yang terjadi pada Hanum. Walau pun adik bungsu suamiku itu sering bersikap menyebalkan, sungguh aku tak pernah berharap, hal buruk terjadi padanya. Karena bagaimana pun juga, Hanum adalah keluargaku. Musibah yang menimpanya, adalah musibahku juga. Aib yang menimpanya, merupakan aibku juga. “Saya ke luar dulu, Bu, Bude, Nita.” “Iya, Mbak.” Hanya Nita yang menjawab. Ibu mertuaku masih larut dalam isaknya. Beliau tak mengatakan apa-apa. Mungkin, masih terpukul dengan kejadian yang menimpa anak kebanggaannya itu. Lagi-lagi, aku hanya bisa beristighfar dalam dalam hati. Bahkan dalam keadaan begini pun, Ibu masih menunjukkan rasa tidak sukanya padaku.
Kami semua membisu, larut dalam pikiran masing-mengejutkan. Bagaimana tidak terkejut? Ternyata, Satya hanya dipercaya menempati rumah yang diakui sebagai miliknya itu. Sekarang, tidak ada yang tahu di mana keberadaan pemuda yang juga mengaku memiliki bisnis properti itu. Nomor Hanum diblokir oleh Satya, begitu juga semua anggota keluarga Hanum yang menyimpan nomornya. “Mas, udah tanya sama ketua RT setempat?” Semua mata beralih menatapku. “Maaf, biasanya kan, ketua RT atau RW, punya data penduduk. Mungkin, dari situ, kita tahu dari mana Satya berasal.” Mas Faisal dan Dika saling pandang, lalu menggeleng bersamaan. “Ya ampun, saking bingungnya, kita nggak kepikiran begitu,”
“Dek, kata Ibu, kamu seharian tadi nggak ke rumah Ibu?” tanya Mas Faisal saat aku sedang membereskan pakaian yang belum disetrika. Rupanya Ibu mertua sudah mengadu pada anak lelakinya. Aku menoleh ke arah Mas Faisal. “ Kalo aku nggak ke rumah Ibu, terus yang nyiapin makanan buat sarapan sama makan siapa? Yang bantu Hanum ke kamar mandi tadi pagi, siapa? Hantu?” Tadi pagi, aku memang sempat pura-pura tidak mendengar panggilan dari Hanum. Tetapi, setelah dipikir-pikir, aku tidak tega membiarkan Hanum ke kamar mandi sendiri. Takutnya anak manja itu malah buang air di kamar yang pastinya akan membuatku semakin repot.
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 15 Sebenarnya, aku malas mengikuti ajakan Mas Faisal untuk menemui Satya. Selain malas bertemu dengan Ibu, permintaan Satya juga menurutku sangat tidak masuk akal. Yang lebih mencengangkan, ternyata Satya tidak datang sendirian. Ia datang bersama seorang wanita yang diperkenalkan sebagai istrinya. Tentu saja, pengakuan Satya membuat kami semua terkejut. Tetapi, yang membuatku lebih terkejut lagi, adalah reaksi Hanum yang terlihat biasa-biasa saja. “Apa, kamu sudah tahu kalo Satya punya istri, Num?” tanya Mas Faisal. Hanum mengangguk ragu-ragu. Jawaban Hanum membuatku terkejut. Begitu juga Nita dan Hana. Kami bertiga saling pandang lalu menggeleng tak percaya. “Dari pertama kenal, Hanum udah tahu kalo saya ini punya istri, kok.” Lagi-lagi, penuturan Satya membuat kami ternganga tak percaya. Sed
Sekarang, di sinilah kami. Di ruang tengah rumahku. Zaenal, Dika, Hana, dan Nita, akan menginap di rumah Ibu. Tetapi, mereka semua memilih berkumpul di sini. Selain melepas kangen, mereka juga membahas masalah rencana pernikahan Hanum. Hanum tetap bersikeras menggelar resepsi, dan yang membuat kami tak habis pikir, Ibu mendukung keinginan putri bungsunya itu. “Nit, coba pelan-pelan, kamu ajak ngomong Hanum dan Ibu. Mungkin, kalo kamu yang ngomong, mereka bakal dengerin,” pinta Zaenal. “Iya, Mbak. Coba Mbak Nita yang ngasih tau ke mereka. Saya udah nyerah, ah. Ibu sama Hanum sama-sama keras kepala. Kalo maunya gitu, ya, harus gi