Share

Bab 8

Perdebatan soal siapku atas perlakuan keluarga Mas Faisal meninggalkan rasa kesal yang tak kunjung hilang. Apalagi, Mas Faisal juga tidak meminta maaf padaku. Bahkan, setelah dia malah pergi entah ke mana. Karena, aku memilih tidur cepat selepas Isya. Sengaja, biar tidak perlu lagi berdebat dengannya.

            Pagi harinya, aku tetap mengurus rumah dan menyiapkan sarapan seperti biasa, walaupun masih dengan mode senyap. Dan, seperti biasa, Mas Faisal juga tidak banyak bicara.

            “Jam berapa kamu jualannya, Dek?” tanya Mas Faisal saat kami selesai sarapan.

            “Mulai jam sebelas siang. Kan, ngejar waktu istirahat anak-anak sekolah.”

            “Oh, ya udah, ntar Arkan biar Mas yang jemput di sekolah, terus Mas anter ke ruko. Takut kamu keteteran.”

            Aku hanya mengangguk, sebagai ganti kata ‘iya’.

            “Semua udah siap?”

            Lagi-lagi, aku mengangguk sebagai jawaban.

            “Ya sudah, setelah antar Arkan ke sekolah, Mas anter kamu ke ruko.”

            “Emangnya, Mas nggak akan ke sawah atau tambak?”

            “Mau, kebetulan temen yang ditawarin kerja sama, mau lihat dulu lelenya. Paling sebentar, kok, Dek.”

            “Oh, ya udah.”

            “Nggak apa-apa, kan, kamu sendirian dulu. Ntar siang Mas bantuin.”

            Aku mengangguk, lalu bangun dari kursi dan membereskan bekas sarapan kami. Sedangkan Mas Faisal menghampiri Arkan yang sudah siap dengan seragam sekolahnya.

-dmr-

            Hari pertama berjualan, aku sedikit kewalahan. Apalagi, Mas Faisal tidak muncul sama sekali. Ponselnya juga tidak aktif, membuatku sedikit kesal. Untungnya para pembeli mengerti dan mau mengantri. Padahal semua ceker sudah kumasak sekaligus, dan dibiarkan di atas kompor. Sesekali dihangatkan,  jadi saat ada pembeli, aku tinggal bungkus dan ditambah bumbu pedas sesuai selera pembeli.

Meskipun kesal dengan ketidak munculan Mas Faisal, aku tetap bersyukur, karena sepuluh kilo ceker habis terjual. Bahkan ada beberapa pembeli yang tidak kebagian. Hal itu, membuatku berinisiatif menambah pesanan ceker mentah.

“Rame, Rum?” tanya Mbak Tami, saat aku sedang membereskan perkakas bekas berjualan. Kakak sepupu suamiku itu memang selalu mengantarkan makan siang untuk suaminya.

“Alhamdulillah, Mbak. terimakasih udah bantuin promosi sama bantuin ngomong sama yang punya tempat.”

Mbak Tami tersenyum sambil mengacungkan ibu jari tangan kanannya. “Arkan mana?”

“Tadi sih, Mas Faisal bilang mau jemput Arkan, terus mau dianter ke sini sekalian dia mau bantuin. Tapi, nggak tahu deh, sampai sekarang mereka nggak dateng. Mungkin, Arkan diajak ke tambak, Mbak. soalnya, temen Mas Faisal mau lihat dulu ikan lelenya.”

“Oh. Tapi, aku lihat tadi Faisal pergi sama Joko, Rum. Boncengan pake sepeda motor. Ketemu tadi pagi, pas aku dari pasar.”

Aku menoleh ke arah Mbak Tami. “Beneran, Mbak?”

Mbak Tami mengangguk. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak menyelusup ke hati. Joko adalah suami Mbak Tuti. Laki-laki yang berbisnis jual beli sepeda motor bekas itu, memang sesekali minta diantar Mas Faisal saat bepergian jauh. Dan biasanya, mereka pergi sampai malam. Kalau Mas Faisal pergi sama Mas Joko, lalu Arkan sama siapa di rumah? Siapa yang menjemputnya di sekolah?

“Oh, ya udah. Kalo gitu, aku langsung pulang aja, ya, Mbak. Aku khawatir sama Arkan.”

“Bareng aja, Rum. Abis ini aku juga langsung pulang, kok. Aku tunggu di ruko suamiku, ya.”

Aku mengangguk, Mbak Tami pun ke luar dari ruko ini. Gegas aku menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. Saat semua selesai, Mbak Tami sudah menungguku di depan ruko dengan sepeda motor maticnya. Kami berdua pun bergegas pulang.

-dmr-

Sesampainya di rumah, terlihat Arkan tengah bermain di teras, sendirian. Aku menarik napas lega, karena melihat anak bungsuku anteng dan sudah berganti baju. Mungkin, Mas Faisal sempat mengurusnya sebelum pergi tadi.

“Baru jualan begitu aja, udah nelantarin anak! Kalo mau berbisnis, urus dulu anak!”

Omelan Ibu membuat aku dan Mbak Tami saling pandang. Aku pun bergegas menghampiri Ibu yang terlihat marah. Mbak Tami yang tadi sudah berpamitan untuk langsung pulang, juga ikut turun dari sepeda motornya.

“Maaf, Bu, tapi saya udah nitipin Arkan ke Mas Faisal dan meminta Arkan diantar ke ruko.”

“Halah! Alasan saja! Buktinya, Arkan sampe siang nggak ada yang jemput! Sampe dianterin sama gurunya ke sini! Malu-maluin aja!”

Mbak Tami mengusap lembut punggungku, mungkin memintaku untuk bersabar menghadapi omelan ibu mertua.

“Iya, Bu, maaf. Besok-besok lagi, saya nggak akan telat jemput Arkan. Maaf kalo Arkan udah bikin Ibu repot.”

Ibu mertua melengos dan pergi begitu saja.

“Sabar,” bisik Mbak Tami. “Aku pulang dulu, ya.”

Aku mengangguk, tanpa mengatakan apapun. Tenggorokanku rasanya tercekat, antara ingin marah dan ingin menangis. Malu rasanya dimarahin di depan orang lain. Mbak Tami berlalu dengan sepeda motornya, aku mengajak Arkan masuk.

“Arkan udah makan?”

“Belum, Bu. Di rumah nenek sayurnya pedas. Arkan minta digorengin telur, kata Tante Hanum telurnya tinggal satu, mau dipake masak mie katanya.”

Ada nyeri menusuk ulu hati. Bahkan hanya sebutir telur saja, mereka tidak mau memberikannya pada anakku. Padahal, ada darah yang sama dengan mereka, mengalir di tubuh Arkan.

“Kenapa nggak ngambil telur di rumah? Atau ayam goreng, kan, ada. Ibu udah siapin tadi pagi, kok.”

“Kan, pintunya dikunci, sama ayah kuncinya dibawa. Arkan juga nggak ganti baju.”

“Emang nggak ada baju di rumah nenek?” Seingatku, ada beberapa baju Arkan dan Alea di rumah Ibu.

Arkan menggeleng cepat. “Kata nenek, baju Arkan udah dipake lap.”

Lagi-lagi, rasa nyeri menjalar di hati. Bahkan baju anak-anakku yang masih layak pakai pun, mereka tak mau menyimpannya. Aku menarik napas dan membuangnya perlahan. Berharap, rasa sakit ini berkurang seiring helaan napas. Tetapi, aku salah. Rasa sakit itu tetap ada. Sekuat apa pun aku berusaha membuangnya.

Entah apa yang membuat Ibu bersikap begini. Caranya memperlakukan keluargaku sangat berbeda dengan sikapnya pada orang lain. seolah-olah kami adalah benalu, yang menganggu hidupnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status