Share

Bab 6

Terkadang menjaga jarak adalah hal terbaik setelah hati kita disakiti. Begitu juga aku, memilih tidak lagi terlalu dekat dengan ibu mertua. Toh, semua yang aku lakukan juga selalu salah di matanya. Lebih baik, fokus dengan rencanaku membuka usaha kuliner kekinian. 

Rencananya, mulai besok, aku akan mulai berjualan ceker mercon tulang lunak dan beberapa jenis minuman. Karena aku lihat, di daerah sini belum ada yang menjual makanan seperti itu. Selama ini, aku menjual makanan itu dari rumah dengan cara menawarkan ke ibu-ibu yang menunggui anaknya sekolah di TK tempat Arkan sekolah. Respon mereka bagus, bahkan ada yang dengan suka rela mempromosikan makanan buatanku di media sosial mereka. Sehingga, perlahan tapi pasti, pembeliku bertambah.

Selain itu, beberapa anak tetangga yang sekolah di SMP dan SMA juga aku tawari produk ini. Hasilnya, lumayan. Sambutan mereka cukup bagus. Mereka juga mempromosikan makanan itu pada teman-temannya. Dari situlah, muncul ide untuk menyewa ruko di depan sekolahan ini.

“Rum, maaf, ya. Waktu itu, aku keceplosan soal rencana kamu dan Faisal buat  nyewa ruko ini,” ujar Mbak Tami. Sekarang, dia sudah sehat dan mulai beraktifitas sedikit-sedikit. Dan, siang ini, kami berdua sedang berada di ruko yang sudah kubayar uang sewanya untuk satu bulan ke depan. Usai mengantarkan makan siang untuk suaminya, Mbak Tami menemaniku menata barang di ruko ini.

            “Nggak apa-apa, Mbak. Malah bagus. Ibu dan Hanum jadi tahu tanpa aku repot-repot ngasih tahu.”

            “Iya, juga, sih. Tapi, pasti kamu sama Fais kena omel Bik Ningsih.”

            “Sudah biasa, Mbak. Kami nggak ngapa-ngapain juga tetap kena omel, kan?”

            “Iya, bener.”

            “Dikira lama-lama aku nggak bakal tahu kali, ya, Mbak? Kalo ternyata selama ini mereka sering ngomongin aku.”

            “Iya. Padahal nggak ada yang ngaduin, eh malah kamu denger sendiri secara langsung.”

            Kami berdua terkekeh.

            “Ya, lagian, Mbak, acara tunangan Hanum kan masih sebulan lagi. Masih ada waktu buat Mas Faisal  cari uang lagi. Sedangkan modal buat buka usaha ini, kan, uang pribadiku, Mbak. Uang buat biaya sekolah Alea juga emang tabunganku selama ini. Dan, kami sepakat, uang tabungan pendidikan anak-anak, nggak akan dipakai hal lain.”

            “Iya, bener, Rum. Lagian, Hanum itu kan, sarjana. Kenapa nggak cari kerja, ya? Beberapa kali ada yang nawarin pekerjaan, Hanum bilang pikir-pikir dulu. Bik Ningsihnya juga kayak yang keberatan Hanum kerja. Coba kalo Hanum kerja, kan, setidaknya punya simpananlah. Buat acara dia sendiri, nggak perlu ngandelin kakaknya.”

            “Mungkin karena calon suaminya kaya, Mbak.”

            “Halah! Baru mau jadi calon suami, kan? Belum tentu jadi suami juga. Lagian, kalo emang si Satya, calon suami Hanum itu banyak duit, kenapa buat acara tunangan, nggak dia aja yang nanggung semua biayanya? Malah ngandelin Fais.”

            Aku hanya tersenyum tipis mendengar celoteh Mbak Tami. “Nggak tahulah, Mbak. Aku sama Mas Faisal tetap bantu biaya buat acara lamaran. Tapi, mungkin nggak semuanya. Kami mau ngobrol dulu sama Zaenal dan Hana.”

            “Nah, itu baru bener. Orang Hanum masih punya dua kakak yang lain, kok. Masa, apa-apa cuma Faisal sama kamu yang disuruh nanggung.”

            “Iya, Mbak. Rencananya, aku juga mau nagih ke Mbak Tuti. Kalo dia bayar, kan, lumayan bisa buat nambahin biaya acara lamaran nanti.”

            Mbak Tami menatapku lekat. “Mbak Tuti?”

            Aku mengangguk.

            “Dia punya hutang ke kamu?”

            Aku mengangguk lagi. “Dia pinjem waktu acara sunatan Aldi.”

            Mbak Tami melebarkan kedua matanya. “Ya ampun Arum. Itu, kan, udah lama banget. Udah mau dua tahunan, loh.”

            Lagi-lagi aku mengangguk sambil tersenyum tipis. “Makanya. Mana Mbak Tutinya kayak yang nggak mikirin hutangnya. Di TK ngomongnya setinggi langit. Beli inilah, itulah. Jalan-jalan ke sinilah, ke sanalah. Tapi, hutang sama aku nggak dibayar-bayar.”

            “Terus ibunya ngomongin kamu. Padahal, anaknya punya hutang ke kamu.”

            Lagi-lagi kami berdua terkekeh geli. Memang selalu ada orang model Mbak Tuti. Mengutamakan gaya dan menyepelekan hutang.

            “Udah, ah. Udah beres, kan? Aku pamit dulu, takut ibu repot. Kamu kalo butuh apa-apa, jangan sungkan. Ngomong aja, ya.”

            “Iya, Mbak. Terima kasih banyak atas bantuannya. Aku nggak tahu deh, kalo Mbak Tami nggak bantuin aku. Mungkin, sekarang aku bernasib seperti menantu-menantu tertindas yang ada di sinetron.”

            “Apaan, sih. Udah ah, aku pamit dulu. Assalamu’alaikum.”

            “Wa’alaikum salam.”

            Kutatap punggung Mbak Tami yang menjauh, lalu menghilang masuk ke ruko yang disewa suaminya. Betapa beruntungnya aku dan Mas Faisal, mempunyai saudara seperti Mbak Tami. Di saat saudara dan teman-teman yang lain menjauh karena keadaan ekonomi kami yang jatuh, Mbak Tami dan keluarganya tetap bersikap biasa saja. Mereka tetap menyambut kami dengan hangat. Bahkan, tak segan membantu saat kami butuh pertolongan.

Tak terasa, pekerjaan menata peralatan masak sudah selesai. Tinggal membersihkan ceker dan mempersiapkan bumbu. Biar besok, aku tidak keteteran.

-dmr-

“Bagus! Baru mau buka usaha, tapi semua perabot dibawa! Bilang aja mau pindah! Nggak mau lagi tinggal dekat sama orang tua! Alesan aja buka usaha!” omel Ibu.

Aku yang baru pulang dari mempersiapkan bahan jualan untuk besok, segera menghampiri Ibu mertua, Bude Warni, Hanum, dan Mbak Tuti. Sekarang, hampir setiap hari, mereka berkumpul di teras.

“Ada apa, Bu? Ada masalah dengan perabot yang saya bawa? Itu semua, dibeli sendiri sama saya, loh. Bukan perabot Ibu atau perabot Bude Warni. Terus, salah saya di mana?” tanyaku dengan suara sedikit lantang. Sengaja, agar beberapa orang yang lewat mendengar omonganku.

“Aduh-aduh. Baru mau buka usaha, tapi lagaknya kayak udah jadi pengusaha sukses! Jualan jajanan receh aja belagu, kamu, Rum!” ketus Mbak Tuti, membuat emosiku langsung tersulut.

Aku tersenyum sinis ke arah perempuan dengan rambut berwarna cokelat muda itu. “Nggak usah ikut campur, Mbak. Mendingan, Mbak Tuti, pikirin hutang Mbak ke aku. Udah dua tahun, loh. Kan, waktu itu, janjinya selesai hajatan dibayar lunas. Mana? Itu uang pribadiku, loh. Hasil jualan jajanan receh. Bukan uang Mas Faisal.”

Seketika wajah Mbak Tuti berubah pucat. Mungkin, dia tidak menyangka aku akan menagih hutang yang mungkin dia pura-pura lupa. Aku pura-pura tidak melihat ekspresi Mbak Tuti, dan melewati mereka begitu saja.

           

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status