Terkadang menjaga jarak adalah hal terbaik setelah hati kita disakiti. Begitu juga aku, memilih tidak lagi terlalu dekat dengan ibu mertua. Toh, semua yang aku lakukan juga selalu salah di matanya. Lebih baik, fokus dengan rencanaku membuka usaha kuliner kekinian.
Rencananya, mulai besok, aku akan mulai berjualan ceker mercon tulang lunak dan beberapa jenis minuman. Karena aku lihat, di daerah sini belum ada yang menjual makanan seperti itu. Selama ini, aku menjual makanan itu dari rumah dengan cara menawarkan ke ibu-ibu yang menunggui anaknya sekolah di TK tempat Arkan sekolah. Respon mereka bagus, bahkan ada yang dengan suka rela mempromosikan makanan buatanku di media sosial mereka. Sehingga, perlahan tapi pasti, pembeliku bertambah.
Selain itu, beberapa anak tetangga yang sekolah di SMP dan SMA juga aku tawari produk ini. Hasilnya, lumayan. Sambutan mereka cukup bagus. Mereka juga mempromosikan makanan itu pada teman-temannya. Dari situlah, muncul ide untuk menyewa ruko di depan sekolahan ini.
“Rum, maaf, ya. Waktu itu, aku keceplosan soal rencana kamu dan Faisal buat nyewa ruko ini,” ujar Mbak Tami. Sekarang, dia sudah sehat dan mulai beraktifitas sedikit-sedikit. Dan, siang ini, kami berdua sedang berada di ruko yang sudah kubayar uang sewanya untuk satu bulan ke depan. Usai mengantarkan makan siang untuk suaminya, Mbak Tami menemaniku menata barang di ruko ini.
“Nggak apa-apa, Mbak. Malah bagus. Ibu dan Hanum jadi tahu tanpa aku repot-repot ngasih tahu.”
“Iya, juga, sih. Tapi, pasti kamu sama Fais kena omel Bik Ningsih.”
“Sudah biasa, Mbak. Kami nggak ngapa-ngapain juga tetap kena omel, kan?”
“Iya, bener.”
“Dikira lama-lama aku nggak bakal tahu kali, ya, Mbak? Kalo ternyata selama ini mereka sering ngomongin aku.”
“Iya. Padahal nggak ada yang ngaduin, eh malah kamu denger sendiri secara langsung.”
Kami berdua terkekeh.
“Ya, lagian, Mbak, acara tunangan Hanum kan masih sebulan lagi. Masih ada waktu buat Mas Faisal cari uang lagi. Sedangkan modal buat buka usaha ini, kan, uang pribadiku, Mbak. Uang buat biaya sekolah Alea juga emang tabunganku selama ini. Dan, kami sepakat, uang tabungan pendidikan anak-anak, nggak akan dipakai hal lain.”
“Iya, bener, Rum. Lagian, Hanum itu kan, sarjana. Kenapa nggak cari kerja, ya? Beberapa kali ada yang nawarin pekerjaan, Hanum bilang pikir-pikir dulu. Bik Ningsihnya juga kayak yang keberatan Hanum kerja. Coba kalo Hanum kerja, kan, setidaknya punya simpananlah. Buat acara dia sendiri, nggak perlu ngandelin kakaknya.”
“Mungkin karena calon suaminya kaya, Mbak.”
“Halah! Baru mau jadi calon suami, kan? Belum tentu jadi suami juga. Lagian, kalo emang si Satya, calon suami Hanum itu banyak duit, kenapa buat acara tunangan, nggak dia aja yang nanggung semua biayanya? Malah ngandelin Fais.”
Aku hanya tersenyum tipis mendengar celoteh Mbak Tami. “Nggak tahulah, Mbak. Aku sama Mas Faisal tetap bantu biaya buat acara lamaran. Tapi, mungkin nggak semuanya. Kami mau ngobrol dulu sama Zaenal dan Hana.”
“Nah, itu baru bener. Orang Hanum masih punya dua kakak yang lain, kok. Masa, apa-apa cuma Faisal sama kamu yang disuruh nanggung.”
“Iya, Mbak. Rencananya, aku juga mau nagih ke Mbak Tuti. Kalo dia bayar, kan, lumayan bisa buat nambahin biaya acara lamaran nanti.”
Mbak Tami menatapku lekat. “Mbak Tuti?”
Aku mengangguk.
“Dia punya hutang ke kamu?”
Aku mengangguk lagi. “Dia pinjem waktu acara sunatan Aldi.”
Mbak Tami melebarkan kedua matanya. “Ya ampun Arum. Itu, kan, udah lama banget. Udah mau dua tahunan, loh.”
Lagi-lagi aku mengangguk sambil tersenyum tipis. “Makanya. Mana Mbak Tutinya kayak yang nggak mikirin hutangnya. Di TK ngomongnya setinggi langit. Beli inilah, itulah. Jalan-jalan ke sinilah, ke sanalah. Tapi, hutang sama aku nggak dibayar-bayar.”
“Terus ibunya ngomongin kamu. Padahal, anaknya punya hutang ke kamu.”
Lagi-lagi kami berdua terkekeh geli. Memang selalu ada orang model Mbak Tuti. Mengutamakan gaya dan menyepelekan hutang.
“Udah, ah. Udah beres, kan? Aku pamit dulu, takut ibu repot. Kamu kalo butuh apa-apa, jangan sungkan. Ngomong aja, ya.”
“Iya, Mbak. Terima kasih banyak atas bantuannya. Aku nggak tahu deh, kalo Mbak Tami nggak bantuin aku. Mungkin, sekarang aku bernasib seperti menantu-menantu tertindas yang ada di sinetron.”
“Apaan, sih. Udah ah, aku pamit dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Kutatap punggung Mbak Tami yang menjauh, lalu menghilang masuk ke ruko yang disewa suaminya. Betapa beruntungnya aku dan Mas Faisal, mempunyai saudara seperti Mbak Tami. Di saat saudara dan teman-teman yang lain menjauh karena keadaan ekonomi kami yang jatuh, Mbak Tami dan keluarganya tetap bersikap biasa saja. Mereka tetap menyambut kami dengan hangat. Bahkan, tak segan membantu saat kami butuh pertolongan.
Tak terasa, pekerjaan menata peralatan masak sudah selesai. Tinggal membersihkan ceker dan mempersiapkan bumbu. Biar besok, aku tidak keteteran.
-dmr-
“Bagus! Baru mau buka usaha, tapi semua perabot dibawa! Bilang aja mau pindah! Nggak mau lagi tinggal dekat sama orang tua! Alesan aja buka usaha!” omel Ibu.
Aku yang baru pulang dari mempersiapkan bahan jualan untuk besok, segera menghampiri Ibu mertua, Bude Warni, Hanum, dan Mbak Tuti. Sekarang, hampir setiap hari, mereka berkumpul di teras.
“Ada apa, Bu? Ada masalah dengan perabot yang saya bawa? Itu semua, dibeli sendiri sama saya, loh. Bukan perabot Ibu atau perabot Bude Warni. Terus, salah saya di mana?” tanyaku dengan suara sedikit lantang. Sengaja, agar beberapa orang yang lewat mendengar omonganku.
“Aduh-aduh. Baru mau buka usaha, tapi lagaknya kayak udah jadi pengusaha sukses! Jualan jajanan receh aja belagu, kamu, Rum!” ketus Mbak Tuti, membuat emosiku langsung tersulut.
Aku tersenyum sinis ke arah perempuan dengan rambut berwarna cokelat muda itu. “Nggak usah ikut campur, Mbak. Mendingan, Mbak Tuti, pikirin hutang Mbak ke aku. Udah dua tahun, loh. Kan, waktu itu, janjinya selesai hajatan dibayar lunas. Mana? Itu uang pribadiku, loh. Hasil jualan jajanan receh. Bukan uang Mas Faisal.”
Seketika wajah Mbak Tuti berubah pucat. Mungkin, dia tidak menyangka aku akan menagih hutang yang mungkin dia pura-pura lupa. Aku pura-pura tidak melihat ekspresi Mbak Tuti, dan melewati mereka begitu saja.
Aku tersenyum sinis ke arah perempuan dengan rambut berwarna cokelat muda itu. “Nggak usah ikut campur, Mbak. Mendingan, Mbak Tuti, pikirin hutang Mbak ke aku. Udah dua tahun, loh. Kan, waktu itu, janjinya selesai hajatan dibayar lunas. Mana? Itu uang pribadiku, loh. Hasil jualan jajanan receh. Bukan uang Mas Faisal.”Seketika wajah Mbak Tuti berubah pucat. Mungkin, dia tidak menyangka aku akan menagih hutang yang mungkin dia pura-pura lupa. Aku pura-pura tidak melihat ekspresi Mbak Tuti, dan melewati mereka begitu saja. “Hutang segitu aja, ditagih-tagih terus. Kayak sama siapa! Ingat, siapa yang ngajarin suamimu dagang!” Mendengar gerutuan Mbak Tuti, aku pun menghentikan langkah dan membalikkan badan. “Segitu aja? Maksud Mbak, lima juta itu sedikit? Kalo gitu, kenapa nggak dibayar-bayar? Buatku, lima
Perdebatan soal siapku atas perlakuan keluarga Mas Faisal meninggalkan rasa kesal yang tak kunjung hilang. Apalagi, Mas Faisal juga tidak meminta maaf padaku. Bahkan, setelah dia malah pergi entah ke mana. Karena, aku memilih tidur cepat selepas Isya. Sengaja, biar tidak perlu lagi berdebat dengannya. Pagi harinya, aku tetap mengurus rumah dan menyiapkan sarapan seperti biasa, walaupun masih dengan mode senyap. Dan, seperti biasa, Mas Faisal juga tidak banyak bicara. “Jam berapa kamu jualannya, Dek?” tanya Mas Faisal saat kami selesai sarapan. “Mulai jam sebelas siang. Kan, ngejar waktu istirahat anak-anak sekolah.” “Oh, ya udah, ntar Arkan biar Mas yang jemput d
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 9 Aku baru saja selesai menyiapkan bahan untuk jualan saat Mas Faisal pulang. Tanpa banyak bicara, aku menyambutnya seperti biasa. Sedangkan Arkan, pergi mengaji bersama anak tetangga. “Ada apalagi, Dek? Kok, dari tadi diem aja?” tanya Mas Faisal saat aku menghidangkan segelas kopi. Rupanya Mas Faisal masih belum sadar apa kesalahan yang ia perbuat hari ini. “Nggak ada apa-apa,” sahutku ketus, sambil berlalu. Aku berharap, lelaki yang jarang bicara itu menyadari kesalahannya tanpa kuberi tahu. “Mas minta maaf, karena nggak bantuin kamu jualan, Dek. Mas Joko ngajak perginya mendadak. Mas nggak enak nolaknya.” Rupanya Mas Faisal mengikuti langkahku ke ruang tengah. Kemudian, ia duduk di sebelahku setelah menyimpan kopinya di atas meja. Aku pura-pura cuek da
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 10 Sampai pagi, aku masih mendiamkan Mas Faisal. Dia beberapa kali mengajak bicara, tapi lagi-lagi kujawab seperlunya saja. Setelah menyiapkan sarapan, kumandikan Arkan dan memakaikan seragam sekolah. “Arkan, nanti kalo Ibu belum jemput, kamu jangan pulang dulu, ya.” Anak lelakiku mengangguk. “Siap, Bu.” “Ya, udah, ayo sarapan dulu.” Arkan menggandeng tanganku ke luar dari kamar. Setibanya di ruang makan, tampak Mas Faisal sudah menunggu di salah satu kursi. “Biar Mas yang jemput, Dek. Ntar langsung Mas anter ke ruko.” “Nggak usah. Selesaikan saja urusanmu sama Mas Joko. Barangkali komisimu ditambah. Atau paling nggak gantiin bensinmu yang dipakai kemarin. Ngajak pergi seharian kok, nggak dikasih makan,
Nomor asing itu tidak menerima panggilan dariku. Entah sibuk atau mungkin sedang mengurus hal lain yang lebih penting. Tentu hal itu membuatku semakin panik dan bingung. Karena, si penelepon tidak mengatakan secara jelas untuk apa aku datang ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Tiba-tiba pikiran buruk menyelinap. Apa mungkin Mas Faisal kecelakaan? Cepat kutepis pikiran buruk itu. Kutarik napas dan membuangnya perlahan. Kulakukan berkali-kali, sampai agak tenang. Dari jendela, kulihat mendung menghiasi langit. Mungkin, sebentar lagi hujan turun, mengingat sekarang memang sedang musim hujan. Hal ini membuatku semakin bingung. Apalagi, Arkan juga masih tidur dengan lelapnya. Tak tega kalau harus membangunkannya. Ditambah lagi, nomor asing itu tidak kunjung menerima panggilanku. Karena tak tahu harus bagaimana, aku pun menghubungi Mbak Tami, untuk meminta pendapatnya. Mbak Tam
Kuhela napas perlahan. Tak habis pikir, dengan apa yang terjadi pada Hanum. Walau pun adik bungsu suamiku itu sering bersikap menyebalkan, sungguh aku tak pernah berharap, hal buruk terjadi padanya. Karena bagaimana pun juga, Hanum adalah keluargaku. Musibah yang menimpanya, adalah musibahku juga. Aib yang menimpanya, merupakan aibku juga. “Saya ke luar dulu, Bu, Bude, Nita.” “Iya, Mbak.” Hanya Nita yang menjawab. Ibu mertuaku masih larut dalam isaknya. Beliau tak mengatakan apa-apa. Mungkin, masih terpukul dengan kejadian yang menimpa anak kebanggaannya itu. Lagi-lagi, aku hanya bisa beristighfar dalam dalam hati. Bahkan dalam keadaan begini pun, Ibu masih menunjukkan rasa tidak sukanya padaku.
Kami semua membisu, larut dalam pikiran masing-mengejutkan. Bagaimana tidak terkejut? Ternyata, Satya hanya dipercaya menempati rumah yang diakui sebagai miliknya itu. Sekarang, tidak ada yang tahu di mana keberadaan pemuda yang juga mengaku memiliki bisnis properti itu. Nomor Hanum diblokir oleh Satya, begitu juga semua anggota keluarga Hanum yang menyimpan nomornya. “Mas, udah tanya sama ketua RT setempat?” Semua mata beralih menatapku. “Maaf, biasanya kan, ketua RT atau RW, punya data penduduk. Mungkin, dari situ, kita tahu dari mana Satya berasal.” Mas Faisal dan Dika saling pandang, lalu menggeleng bersamaan. “Ya ampun, saking bingungnya, kita nggak kepikiran begitu,”
“Dek, kata Ibu, kamu seharian tadi nggak ke rumah Ibu?” tanya Mas Faisal saat aku sedang membereskan pakaian yang belum disetrika. Rupanya Ibu mertua sudah mengadu pada anak lelakinya. Aku menoleh ke arah Mas Faisal. “ Kalo aku nggak ke rumah Ibu, terus yang nyiapin makanan buat sarapan sama makan siapa? Yang bantu Hanum ke kamar mandi tadi pagi, siapa? Hantu?” Tadi pagi, aku memang sempat pura-pura tidak mendengar panggilan dari Hanum. Tetapi, setelah dipikir-pikir, aku tidak tega membiarkan Hanum ke kamar mandi sendiri. Takutnya anak manja itu malah buang air di kamar yang pastinya akan membuatku semakin repot.