Share

Bab 5

Pandangan Ibu dan Hanum kembali beralih padaku. Sorot mata keduanya seperti elang yang siap menerkam mangsanya.

            “Tahu apa kamu soal ngajarin anak? Nggak usah menggurui Ibu! Ibu jelas lebih berpengalaman dari kalian!”

            Aku dan Mas Faisal saling tatap. Ayah dari kedua anakku itu menggeleng perlahan, sebagai isyarat agar aku tidak melawan perkataan Ibu. Akan tetapi, aku pura-pura tak melihat kode dari Mas Faisal.

            “Kalo Ibu lebih jago mendidik anak, harusnya, Ibu juga bisa ngasih tahu Hanum, kalo menginginkan sesuatu itu, harus berusaha. Bukan cuma ngandelin ketiga kakaknya, terutama Mas Faisal yang Ibu bilang jatuh miskin,” jawabku berusaha sesantai mungkin.

            Ibu langsung melotot ke arahku. Kedua tangannya tampak mengepal kuat. Begitu juga Hanum. Gadis yang sepintas mirip dengan Ibu itu, ikut melebarkan matanya padaku.

            “Nggak usah melotot gitu, ntar matanya lepas, susah masanginnya. Emang bener, kan? Tadi Ibu bilang kalo saya jangan banyak gaya karena Mas Faisal jatuh miskin. Lebih baik, saya hidup apa adanya saja. Nah, Hanum, kamu juga jangan banyak gaya, ya. Kakakmu udah nggak banyak duit kayak dulu. Udah nggak sanggup ngasih duit buat kamu hura-hura. Kalo mau hidup dengan gayamu yang wah, kerja dong. Cari duit sendiri, jangan ngandelin kami yang udah jatuh miskin. Atau, kamu bisa minta ke kakakmu yang lain. barangkali, mereka masih mau membiayai hidupmu yang sok sialita.”

            “Dek!” bentak Mas Faisal.

            Aku menoleh pada laki-laki yang juga tengah melotot padaku itu. Mungkin, dia tidak terima dengan apa yang aku katakan.

            “Lihat kelakuan istrimu, Fais! Ibu nggak nyangka kalo ternyata, begini sikapnya!” Ibu mertua mulai terisak sambil meneteskan air mata. Entah asli atau pura-pura. Yang jelas, tak adarasa kasihan sedikitpun padanya. Obrolannya dengan Bude Warni dan kebohongannya soal menjenguk cucu Wak Darmi perlahan mengikis rasa hormatku padanya. Sedangkan Hanum, masih melotot padaku. Entah apa yang tengah gadis itu pikirkan.

            “Loh, emang saya kenapa, Bu? Salah saya di mana? Yang saya katakan itu bener, kan? Kalo nggak ada duit, ya, jangan banyak gaya. Kalo mau banyak gaya, ya, cari duit. Jangan ngandelin pemberian orang lain. Apalagi sampe maksa-maksa. Bener, kan, Mas Fais?”

            Terdengar helaan napas dari Mas Faisal. Mungkin, dia bingung hendak membela siapa.

            “Sudah, Dek. Jangan diterusin,” pinta Mas Faisal sambil mengusap lembut bahuku. “Ibu, Hanum, mendingan, kalian pulang, ya. Masalah uang buat acara lamaran Hanum, ntar Fais ngobrol sama Zaenal dan Hana. Biar ada jalan ke luarnya. Bagaimana pun juga, mereka juga kakaknya Hanum. Fais nggak mau disalahin karena nggak ngajak mereka berunding.”

            “Kamu ngusir Ibu dan adikmu, Fais?” tanya Ibu dengan napas memburu.

            “Bukan ngusir, Bu. Tapi, ini udah malam. Dan, Ibu sepertinya lagi emosi. Nggak akan bener kalo kita ngomong sekarang. Malu kalo sampe kedengeran sama tetangga.”

            “Biar saja tetangga pada denger! Biar mereka tahu bagaimana kelakuan asli istrimu, Mas!” teriak Hanum, membuatku menggelengkan kepala. Tak habis pikir dengan jalan pikiran gadis itu.

            “Astaghfirullah, Hanum! Ngomong apa kamu ini? Emangnya Arum ngapain? Udah, sana ajak Ibu pulang. Mending kalian istirahat!”

            Mas Faisal menuntun paksa Ibunya ke luar dari ruangan ini. Hanum pun mengikuti sambil menghentak-hentakkan kakinya, persis anak kecil yang sedang merajuk. Pemandangan itu membuatku menggelengkan kepala, karena merasa heran. Walau pun ini rumah anaknya, menurutku tetap saja sikap Ibu itu tidak sopan. Datang tanpa menngucapkan salam, lalu marah-marah. Sepeninggal Ibu dan Hanum, aku pun bergegas masuk ke kamar Arkan. Aku khawatir kalau pertengkaran tadi membuatnya ketakutan.

            Benar saja, Arkan sedang memeluk bantal guling saat aku menemuinya di kamar.

            “Arkan, udah bobo?” tanyaku pura-pura tak tahu kalau jagoan kecilku itu masih terjaga. Arkan langsung membalikkan badannya dan bangun dari tempat tidur. Bocah laki-laki itu memelukku erat.

            “Ibu, Arkan takut sama nenek sama Tante Hanum. Mereka galak. Jahat sama Ibu, marah-marah.”

            Aku mengusap punggung Arkan.”Sst, nggak boleh ngomong gitu. Tadi, nenek sama Tante Hanum ngobrolnya kekencengan. Bukan marah-marah.”

            “Tapi, Arkan takut, Bu. Kata nenek sama Tante Hanum, kalo Arkan nakal, Arkan mau dimasukin karung terus dikasihin ke tukang rongsok, Bu.”

            Penuturan Arkan membuatku mengerutkan dahi. “Kapan nenek sama tante ngomong gitu?”

            “Kemarin pas Arkan nggak sengaja numpahin air teh nenek, Bu. Padahal, Arkan udah minta maaf. Tapi nenek sama tante melotot, terus marahin Arkan, dan bilang gitu.”

            Mendengar pengakuan Arkan, aku hanya bisa beristghfar dalam hati. “Oh, itu cuma bercanda. Udah, sekarang Arkan bobo, ya. Udah malem.”

            Bocah yang mewarisi garis wajah Mas Faisal itu mengangguk, lalu kembali ke tempat tidur. Seperti biasa, aku akan menemaninya sampai tertidur. Sedangkan Mas Faisal, belum terdengar pulang. Mungkin, dia masih berbicara dengan ibu dan adiknya.

            Sambil menyenandungkan sholawat untuk menina bobokan Arkan, pikiranku melayang pada sikap Ibu akhir-akhir ini. Ternyata, bukan hanya padaku Ibu bersikap menyebalkan. Pada Arkan pun Ibu sudah berani menakut-nakuti dengan kata-kata yang tidak pantas. Apakah ini ada hubungannya dengan uang yang Ibu minta untuk persiapan acara lamaran Hanum? Bagaimana  reaksi Mas Faisal kalau mengetahui anak lelakinya ditakut-takuti seperti itu?

           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status