Pandangan Ibu dan Hanum kembali beralih padaku. Sorot mata keduanya seperti elang yang siap menerkam mangsanya.
“Tahu apa kamu soal ngajarin anak? Nggak usah menggurui Ibu! Ibu jelas lebih berpengalaman dari kalian!”
Aku dan Mas Faisal saling tatap. Ayah dari kedua anakku itu menggeleng perlahan, sebagai isyarat agar aku tidak melawan perkataan Ibu. Akan tetapi, aku pura-pura tak melihat kode dari Mas Faisal.
“Kalo Ibu lebih jago mendidik anak, harusnya, Ibu juga bisa ngasih tahu Hanum, kalo menginginkan sesuatu itu, harus berusaha. Bukan cuma ngandelin ketiga kakaknya, terutama Mas Faisal yang Ibu bilang jatuh miskin,” jawabku berusaha sesantai mungkin.
Ibu langsung melotot ke arahku. Kedua tangannya tampak mengepal kuat. Begitu juga Hanum. Gadis yang sepintas mirip dengan Ibu itu, ikut melebarkan matanya padaku.
“Nggak usah melotot gitu, ntar matanya lepas, susah masanginnya. Emang bener, kan? Tadi Ibu bilang kalo saya jangan banyak gaya karena Mas Faisal jatuh miskin. Lebih baik, saya hidup apa adanya saja. Nah, Hanum, kamu juga jangan banyak gaya, ya. Kakakmu udah nggak banyak duit kayak dulu. Udah nggak sanggup ngasih duit buat kamu hura-hura. Kalo mau hidup dengan gayamu yang wah, kerja dong. Cari duit sendiri, jangan ngandelin kami yang udah jatuh miskin. Atau, kamu bisa minta ke kakakmu yang lain. barangkali, mereka masih mau membiayai hidupmu yang sok sialita.”
“Dek!” bentak Mas Faisal.
Aku menoleh pada laki-laki yang juga tengah melotot padaku itu. Mungkin, dia tidak terima dengan apa yang aku katakan.
“Lihat kelakuan istrimu, Fais! Ibu nggak nyangka kalo ternyata, begini sikapnya!” Ibu mertua mulai terisak sambil meneteskan air mata. Entah asli atau pura-pura. Yang jelas, tak adarasa kasihan sedikitpun padanya. Obrolannya dengan Bude Warni dan kebohongannya soal menjenguk cucu Wak Darmi perlahan mengikis rasa hormatku padanya. Sedangkan Hanum, masih melotot padaku. Entah apa yang tengah gadis itu pikirkan.
“Loh, emang saya kenapa, Bu? Salah saya di mana? Yang saya katakan itu bener, kan? Kalo nggak ada duit, ya, jangan banyak gaya. Kalo mau banyak gaya, ya, cari duit. Jangan ngandelin pemberian orang lain. Apalagi sampe maksa-maksa. Bener, kan, Mas Fais?”
Terdengar helaan napas dari Mas Faisal. Mungkin, dia bingung hendak membela siapa.
“Sudah, Dek. Jangan diterusin,” pinta Mas Faisal sambil mengusap lembut bahuku. “Ibu, Hanum, mendingan, kalian pulang, ya. Masalah uang buat acara lamaran Hanum, ntar Fais ngobrol sama Zaenal dan Hana. Biar ada jalan ke luarnya. Bagaimana pun juga, mereka juga kakaknya Hanum. Fais nggak mau disalahin karena nggak ngajak mereka berunding.”
“Kamu ngusir Ibu dan adikmu, Fais?” tanya Ibu dengan napas memburu.
“Bukan ngusir, Bu. Tapi, ini udah malam. Dan, Ibu sepertinya lagi emosi. Nggak akan bener kalo kita ngomong sekarang. Malu kalo sampe kedengeran sama tetangga.”
“Biar saja tetangga pada denger! Biar mereka tahu bagaimana kelakuan asli istrimu, Mas!” teriak Hanum, membuatku menggelengkan kepala. Tak habis pikir dengan jalan pikiran gadis itu.
“Astaghfirullah, Hanum! Ngomong apa kamu ini? Emangnya Arum ngapain? Udah, sana ajak Ibu pulang. Mending kalian istirahat!”
Mas Faisal menuntun paksa Ibunya ke luar dari ruangan ini. Hanum pun mengikuti sambil menghentak-hentakkan kakinya, persis anak kecil yang sedang merajuk. Pemandangan itu membuatku menggelengkan kepala, karena merasa heran. Walau pun ini rumah anaknya, menurutku tetap saja sikap Ibu itu tidak sopan. Datang tanpa menngucapkan salam, lalu marah-marah. Sepeninggal Ibu dan Hanum, aku pun bergegas masuk ke kamar Arkan. Aku khawatir kalau pertengkaran tadi membuatnya ketakutan.
Benar saja, Arkan sedang memeluk bantal guling saat aku menemuinya di kamar.
“Arkan, udah bobo?” tanyaku pura-pura tak tahu kalau jagoan kecilku itu masih terjaga. Arkan langsung membalikkan badannya dan bangun dari tempat tidur. Bocah laki-laki itu memelukku erat.
“Ibu, Arkan takut sama nenek sama Tante Hanum. Mereka galak. Jahat sama Ibu, marah-marah.”
Aku mengusap punggung Arkan.”Sst, nggak boleh ngomong gitu. Tadi, nenek sama Tante Hanum ngobrolnya kekencengan. Bukan marah-marah.”
“Tapi, Arkan takut, Bu. Kata nenek sama Tante Hanum, kalo Arkan nakal, Arkan mau dimasukin karung terus dikasihin ke tukang rongsok, Bu.”
Penuturan Arkan membuatku mengerutkan dahi. “Kapan nenek sama tante ngomong gitu?”
“Kemarin pas Arkan nggak sengaja numpahin air teh nenek, Bu. Padahal, Arkan udah minta maaf. Tapi nenek sama tante melotot, terus marahin Arkan, dan bilang gitu.”
Mendengar pengakuan Arkan, aku hanya bisa beristghfar dalam hati. “Oh, itu cuma bercanda. Udah, sekarang Arkan bobo, ya. Udah malem.”
Bocah yang mewarisi garis wajah Mas Faisal itu mengangguk, lalu kembali ke tempat tidur. Seperti biasa, aku akan menemaninya sampai tertidur. Sedangkan Mas Faisal, belum terdengar pulang. Mungkin, dia masih berbicara dengan ibu dan adiknya.
Sambil menyenandungkan sholawat untuk menina bobokan Arkan, pikiranku melayang pada sikap Ibu akhir-akhir ini. Ternyata, bukan hanya padaku Ibu bersikap menyebalkan. Pada Arkan pun Ibu sudah berani menakut-nakuti dengan kata-kata yang tidak pantas. Apakah ini ada hubungannya dengan uang yang Ibu minta untuk persiapan acara lamaran Hanum? Bagaimana reaksi Mas Faisal kalau mengetahui anak lelakinya ditakut-takuti seperti itu?
Terkadang menjaga jarak adalah hal terbaik setelah hati kita disakiti. Begitu juga aku, memilih tidak lagi terlalu dekat dengan ibu mertua. Toh, semua yang aku lakukan juga selalu salah di matanya. Lebih baik, fokus dengan rencanaku membuka usaha kuliner kekinian.Rencananya, mulai besok, aku akan mulai berjualan ceker mercon tulang lunak dan beberapa jenis minuman. Karena aku lihat, di daerah sini belum ada yang menjual makanan seperti itu. Selama ini, aku menjual makanan itu dari rumah dengan cara menawarkan ke ibu-ibu yang menunggui anaknya sekolah di TK tempat Arkan sekolah. Respon mereka bagus, bahkan ada yang dengan suka rela mempromosikan makanan buatanku di media sosial mereka. Sehingga, perlahan tapi pasti, pembeliku bertambah.Selain itu, beberapa anak tetangga yang sekolah di SMP dan SMA juga aku tawari produk ini. Hasilnya, lumayan. Sambutan mereka cukup bagus. Mereka juga mempromosikan makanan itu pada teman-temannya. Dari situlah, muncul ide untuk m
Aku tersenyum sinis ke arah perempuan dengan rambut berwarna cokelat muda itu. “Nggak usah ikut campur, Mbak. Mendingan, Mbak Tuti, pikirin hutang Mbak ke aku. Udah dua tahun, loh. Kan, waktu itu, janjinya selesai hajatan dibayar lunas. Mana? Itu uang pribadiku, loh. Hasil jualan jajanan receh. Bukan uang Mas Faisal.”Seketika wajah Mbak Tuti berubah pucat. Mungkin, dia tidak menyangka aku akan menagih hutang yang mungkin dia pura-pura lupa. Aku pura-pura tidak melihat ekspresi Mbak Tuti, dan melewati mereka begitu saja. “Hutang segitu aja, ditagih-tagih terus. Kayak sama siapa! Ingat, siapa yang ngajarin suamimu dagang!” Mendengar gerutuan Mbak Tuti, aku pun menghentikan langkah dan membalikkan badan. “Segitu aja? Maksud Mbak, lima juta itu sedikit? Kalo gitu, kenapa nggak dibayar-bayar? Buatku, lima
Perdebatan soal siapku atas perlakuan keluarga Mas Faisal meninggalkan rasa kesal yang tak kunjung hilang. Apalagi, Mas Faisal juga tidak meminta maaf padaku. Bahkan, setelah dia malah pergi entah ke mana. Karena, aku memilih tidur cepat selepas Isya. Sengaja, biar tidak perlu lagi berdebat dengannya. Pagi harinya, aku tetap mengurus rumah dan menyiapkan sarapan seperti biasa, walaupun masih dengan mode senyap. Dan, seperti biasa, Mas Faisal juga tidak banyak bicara. “Jam berapa kamu jualannya, Dek?” tanya Mas Faisal saat kami selesai sarapan. “Mulai jam sebelas siang. Kan, ngejar waktu istirahat anak-anak sekolah.” “Oh, ya udah, ntar Arkan biar Mas yang jemput d
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 9 Aku baru saja selesai menyiapkan bahan untuk jualan saat Mas Faisal pulang. Tanpa banyak bicara, aku menyambutnya seperti biasa. Sedangkan Arkan, pergi mengaji bersama anak tetangga. “Ada apalagi, Dek? Kok, dari tadi diem aja?” tanya Mas Faisal saat aku menghidangkan segelas kopi. Rupanya Mas Faisal masih belum sadar apa kesalahan yang ia perbuat hari ini. “Nggak ada apa-apa,” sahutku ketus, sambil berlalu. Aku berharap, lelaki yang jarang bicara itu menyadari kesalahannya tanpa kuberi tahu. “Mas minta maaf, karena nggak bantuin kamu jualan, Dek. Mas Joko ngajak perginya mendadak. Mas nggak enak nolaknya.” Rupanya Mas Faisal mengikuti langkahku ke ruang tengah. Kemudian, ia duduk di sebelahku setelah menyimpan kopinya di atas meja. Aku pura-pura cuek da
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 10 Sampai pagi, aku masih mendiamkan Mas Faisal. Dia beberapa kali mengajak bicara, tapi lagi-lagi kujawab seperlunya saja. Setelah menyiapkan sarapan, kumandikan Arkan dan memakaikan seragam sekolah. “Arkan, nanti kalo Ibu belum jemput, kamu jangan pulang dulu, ya.” Anak lelakiku mengangguk. “Siap, Bu.” “Ya, udah, ayo sarapan dulu.” Arkan menggandeng tanganku ke luar dari kamar. Setibanya di ruang makan, tampak Mas Faisal sudah menunggu di salah satu kursi. “Biar Mas yang jemput, Dek. Ntar langsung Mas anter ke ruko.” “Nggak usah. Selesaikan saja urusanmu sama Mas Joko. Barangkali komisimu ditambah. Atau paling nggak gantiin bensinmu yang dipakai kemarin. Ngajak pergi seharian kok, nggak dikasih makan,
Nomor asing itu tidak menerima panggilan dariku. Entah sibuk atau mungkin sedang mengurus hal lain yang lebih penting. Tentu hal itu membuatku semakin panik dan bingung. Karena, si penelepon tidak mengatakan secara jelas untuk apa aku datang ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Tiba-tiba pikiran buruk menyelinap. Apa mungkin Mas Faisal kecelakaan? Cepat kutepis pikiran buruk itu. Kutarik napas dan membuangnya perlahan. Kulakukan berkali-kali, sampai agak tenang. Dari jendela, kulihat mendung menghiasi langit. Mungkin, sebentar lagi hujan turun, mengingat sekarang memang sedang musim hujan. Hal ini membuatku semakin bingung. Apalagi, Arkan juga masih tidur dengan lelapnya. Tak tega kalau harus membangunkannya. Ditambah lagi, nomor asing itu tidak kunjung menerima panggilanku. Karena tak tahu harus bagaimana, aku pun menghubungi Mbak Tami, untuk meminta pendapatnya. Mbak Tam
Kuhela napas perlahan. Tak habis pikir, dengan apa yang terjadi pada Hanum. Walau pun adik bungsu suamiku itu sering bersikap menyebalkan, sungguh aku tak pernah berharap, hal buruk terjadi padanya. Karena bagaimana pun juga, Hanum adalah keluargaku. Musibah yang menimpanya, adalah musibahku juga. Aib yang menimpanya, merupakan aibku juga. “Saya ke luar dulu, Bu, Bude, Nita.” “Iya, Mbak.” Hanya Nita yang menjawab. Ibu mertuaku masih larut dalam isaknya. Beliau tak mengatakan apa-apa. Mungkin, masih terpukul dengan kejadian yang menimpa anak kebanggaannya itu. Lagi-lagi, aku hanya bisa beristighfar dalam dalam hati. Bahkan dalam keadaan begini pun, Ibu masih menunjukkan rasa tidak sukanya padaku.
Kami semua membisu, larut dalam pikiran masing-mengejutkan. Bagaimana tidak terkejut? Ternyata, Satya hanya dipercaya menempati rumah yang diakui sebagai miliknya itu. Sekarang, tidak ada yang tahu di mana keberadaan pemuda yang juga mengaku memiliki bisnis properti itu. Nomor Hanum diblokir oleh Satya, begitu juga semua anggota keluarga Hanum yang menyimpan nomornya. “Mas, udah tanya sama ketua RT setempat?” Semua mata beralih menatapku. “Maaf, biasanya kan, ketua RT atau RW, punya data penduduk. Mungkin, dari situ, kita tahu dari mana Satya berasal.” Mas Faisal dan Dika saling pandang, lalu menggeleng bersamaan. “Ya ampun, saking bingungnya, kita nggak kepikiran begitu,”