Aku sedang menimang cucu Wak Darmi, saat Ibu mertua dan Nita datang.
“Eh, ada Mbak Arum,” sapa Nita sambil menyalamiku. “ Kenapa tadi nggak nunggu aku aja, biar bareng.”
“Mbak nggak tau kamu mau ke sini. Soalnya tadi pas ngajak Ibu, Ibu nggak bilang kamu mau ke sini. Kalo tahu kamu mau ke sini sekarang, tadi pasti Mbak tungguin. Biar nggak perlu minta anter Ibu, Nit. Soalnya Ibu katanya udah ke sini bareng ibu-ibu pengajian.” Aku sengaja menjawab seperti itu dengan tujuan menyindir Ibu mertua yang sudah membohongiku. Ibu terlihat salah tingkah. Wanita yang sudah melahirkan suamiku itu menggaruk tengkuknya yang tertutup kerudung hitam.
“Oh, Ibu udah ke sini?” tanya Nita pada Ibu mertua. “Kok nggak bilang?”
“Emm, anu, itu ....”
Belum sempat Ibu menjawab pertanyaan Nita, Wak Darmi ke luar menuntun Mbak Tami. Karena melahirkan melalui proses caesar, Mbak Tami masih harus dibantu saat ke kamar mandi dan melakukan aktifitas lain.
“Eh, ada tamu, udah lama, Ning? Nita?” sapa Wak Darmi sambil membantu Mbak Tami duduk. Lalu, Wak Darmi menyalami Ibu dan Nita bergantian, sambil berbasa-basi. Sedangkan aku, memilih memberikan bayi dalam gendonganku pada Mbak Tami.
“Kalo gitu, saya pamit dulu, mau jemput Arkan di tempat ngajinya.”
“Loh, kok buru-buru, Mbak. kenapa? Aku baru aja dateng, loh.”
Wak Darmi dan Mbak Tami juga memintaku untuk tetap di sini.
“Nggak apa-apa, Nit. Ntar kita ngobrol di rumah. Ini udah waktunya Arkan pulang ngaji.”
“Oh, ya udah. Ntar aku mampir ke rumah Mbak.”
“Oke, siap. Di tunggu, ya.”
“Mampir-mampir. Orang Arum tinggal di rumah sebelah ibu, kok, Nit. Lagian, ini udah sore. Kalo kamu main dulu ke rumah Arum, ntar pulangnya kemaleman,” protes Ibu.
“Ya biarin aja, loh, Ning. Terserah kalo Nita mau mampir ke rumah Arum. Itu kan, hak dia. Kenapa kamu ngelarang? Lagian, bagus kan, kedua menantumu akrab dan akur, kayak kakak adik,” sahut Wak Darmi.
“Bukan ngelarang. Tapi, emang udah sore, kan? Rumah Nita kan, lumayan jauh. Kalo pulangnya kemaleman gimana? Mampir kan, bisa lain waktu.”
Aku menarik napas dan membuangnya perlahan. Tak ingin menjadi bahan perdebatan, aku pun segera berpamitan dan menyalami mereka semua. Lalu, bergegas menjemput Arkan di tempatnya mengaji.
-dmr-
Aku tengah memijat kaki Mas Faisal saat tiba-tiba Ibu mertuaku masuk tanpa mengucapkan salam. Raut wajahnya tampak kurang bersahabat. Beliau tidak datang sendirian. Ada Hanum, adik bungsu Mas Faisal yang mengekor di belakang Ibu.
“Eh, Ibu sama Hanum, Kirain siapa. Mari, silakan duduk, Bu, Num.” Aku berusaha menyambut kedatangan tamu tak diundang itu dengan ramah. Mas Faisal juga melakukan hal yang sama. Ia meminta ibu dan adiknya duduk.
“Nggak usah. Ibu cuma sebentar! Maksud kamu apa, mau nyewa ruko di depan SMA, Rum? Udah banyak duit kamu? Sampai-sampai mau ngontrak segala! Sudah enak tinggal di sini, gratis. Nggak perlu bayar sewa. Eh, ini malah mau buang-buang duit buat nyewa ruko!”
Aku dan Mas Faisal saling tatap. Dari mana Ibu tahu rencanaku soal menyewa ruko? Seingatku, aku tidak menceritakan rencana itu pada siapapun, kecuali Mas Faisal dan Mbak Tami. Karena, ruko itu milik salah satu teman Mbak Tami. Dan suami Mbak Tami juga menyewa salah satu ruko di sana. Karena suami Mbak Tami membuka percetakan di sana. Apakah Mbak Tami yang menceritakan niatku itu pada Ibu?
“Bukan gitu, Bu. Arum memang mau menyewa salah satu ruko di sana. Tapi, mau buat buka usaha. Bukan mau tinggal di sana,” sanggah Mas Faisal. Semenntara, aku hanya menunduk sambil berusaha menahan diri agar tidak emosi.
“Bagus! Kalian diminta membantu menyiapkan uang buat acara lamaran Hanum, bilang nggak ada uang. Tapi, diam-diam mau buka usaha!”
Aku menarik napas dan membuangnya perlahan. beberapa hari yang lalu, Ibu memang meminta uang sebesar lima juta untuk persiapan acara lamaran Hanum. Katanya, karena Mas Faisal adalah anak lelaki tertua, maka acara itu menjadi tanggung jawab kami. Waktu itu, aku memang menjawab akan diusahakan, karena memang tidak memegang uang sebesar itu.
“Pulang kampung, punya simpanan uang, bukannya disimpan, malah dipakai biaya sekolah anak. Sekolahan yang gratis juga banyak. Pakai acara nyekolahin di tempat yang bayar. Kalo udah jatuh miskin mah, nggak usah banyak gaya! Hidup apa adanya saja! Coba kalo Alea sekolah di yang gratis, kan, sekarang pas butuh buat acara lamaran Hanum, kalian punya uang!”
Mendengar omelan Ibu yang membawa-bawa masalah sekolah Alea, aku pun tak bisa lagi menahan diri. Kuangkat wajah, lalu menatap ke arah Ibu dan Hanum bergantian. Sadar di sini masih ada Arkan, dan sepertinya suasana juga tidak baik untuknya, aku meminta bocah itu untuk masuk ke kamarnya. Untungnya, Arkan mengerti. Dia memang tidak terlalu dekat dengan nenek dan bibinya. Jadi, tanpa membantah, dia pun masuk ke kamar tanpa memedulikan keluarga ayahnya itu.
“Maaf, Bu. Saya nggak bermaksud kurang ajar! Tapi, saya rasa, ucapan Ibu sudah kelewatan. Kalo mau ngajarin soal hidup apa adanya, saya rasa, lebih baik Ibu ajari anak bungsu Ibu! Kalo nggak ada uang, jangan mimpi bikin acara lamaran mewah kayak orang banyak duit. Apa adanya saja! Toh, ini baru lamaran, kan? Bukan akad nikah?”
Ibu mertua dan Hanum memandangku dengan sorot mata tajam. Mungkin, mereka tidak terima dengan ucapanku. Atau, mungkin mereka tidak menyangka kalau aku berani membantah.
“Nah, bener kata Arum. Kita bikin acara sederhana, aja, buat lamaran Hanum. Toh, cuma lamaran, kan?” timpal Mas Faisal.
Rupanya kalimat Mas Faisal semakin membangkitkan emosi Ibu dan anak bungsunya. Napas ibu terdengar memburu. Dada Hanum terlihat naik turun. Gadis berrambut sebahu itu terelihat akan menjawab kalimat kakak sulungnya. Tetapi, cepat-cepat kusela.
“Lagian, anak lelaki Ibu, kan, bukan cuma Mas Faisal. Ada Zaenal juga. Kenapa semua beban keluarga ini hanya dibebankan sama Mas Faisal?”
Pandangan Ibu dan Hanum kembali beralih padaku. Sorot mata keduanya seperti elang yang siap menerkam mangsanya.
Pandangan Ibu dan Hanum kembali beralih padaku. Sorot mata keduanya seperti elang yang siap menerkam mangsanya. “Tahu apa kamu soal ngajarin anak? Nggak usah menggurui Ibu! Ibu jelas lebih berpengalaman dari kalian!” Aku dan Mas Faisal saling tatap. Ayah dari kedua anakku itu menggeleng perlahan, sebagai isyarat agar aku tidak melawan perkataan Ibu. Akan tetapi, aku pura-pura tak melihat kode dari Mas Faisal. “Kalo Ibu lebih jago mendidik anak, harusnya, Ibu juga bisa ngasih tahu Hanum, kalo menginginkan sesuatu itu, harus berusaha. Bukan cuma ngandelin ketiga kakaknya, terutama Mas Faisal yang Ibu bilang jatuh miskin,” jawabku berusaha sesantai mungkin. Ibu langsung m
Terkadang menjaga jarak adalah hal terbaik setelah hati kita disakiti. Begitu juga aku, memilih tidak lagi terlalu dekat dengan ibu mertua. Toh, semua yang aku lakukan juga selalu salah di matanya. Lebih baik, fokus dengan rencanaku membuka usaha kuliner kekinian.Rencananya, mulai besok, aku akan mulai berjualan ceker mercon tulang lunak dan beberapa jenis minuman. Karena aku lihat, di daerah sini belum ada yang menjual makanan seperti itu. Selama ini, aku menjual makanan itu dari rumah dengan cara menawarkan ke ibu-ibu yang menunggui anaknya sekolah di TK tempat Arkan sekolah. Respon mereka bagus, bahkan ada yang dengan suka rela mempromosikan makanan buatanku di media sosial mereka. Sehingga, perlahan tapi pasti, pembeliku bertambah.Selain itu, beberapa anak tetangga yang sekolah di SMP dan SMA juga aku tawari produk ini. Hasilnya, lumayan. Sambutan mereka cukup bagus. Mereka juga mempromosikan makanan itu pada teman-temannya. Dari situlah, muncul ide untuk m
Aku tersenyum sinis ke arah perempuan dengan rambut berwarna cokelat muda itu. “Nggak usah ikut campur, Mbak. Mendingan, Mbak Tuti, pikirin hutang Mbak ke aku. Udah dua tahun, loh. Kan, waktu itu, janjinya selesai hajatan dibayar lunas. Mana? Itu uang pribadiku, loh. Hasil jualan jajanan receh. Bukan uang Mas Faisal.”Seketika wajah Mbak Tuti berubah pucat. Mungkin, dia tidak menyangka aku akan menagih hutang yang mungkin dia pura-pura lupa. Aku pura-pura tidak melihat ekspresi Mbak Tuti, dan melewati mereka begitu saja. “Hutang segitu aja, ditagih-tagih terus. Kayak sama siapa! Ingat, siapa yang ngajarin suamimu dagang!” Mendengar gerutuan Mbak Tuti, aku pun menghentikan langkah dan membalikkan badan. “Segitu aja? Maksud Mbak, lima juta itu sedikit? Kalo gitu, kenapa nggak dibayar-bayar? Buatku, lima
Perdebatan soal siapku atas perlakuan keluarga Mas Faisal meninggalkan rasa kesal yang tak kunjung hilang. Apalagi, Mas Faisal juga tidak meminta maaf padaku. Bahkan, setelah dia malah pergi entah ke mana. Karena, aku memilih tidur cepat selepas Isya. Sengaja, biar tidak perlu lagi berdebat dengannya. Pagi harinya, aku tetap mengurus rumah dan menyiapkan sarapan seperti biasa, walaupun masih dengan mode senyap. Dan, seperti biasa, Mas Faisal juga tidak banyak bicara. “Jam berapa kamu jualannya, Dek?” tanya Mas Faisal saat kami selesai sarapan. “Mulai jam sebelas siang. Kan, ngejar waktu istirahat anak-anak sekolah.” “Oh, ya udah, ntar Arkan biar Mas yang jemput d
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 9 Aku baru saja selesai menyiapkan bahan untuk jualan saat Mas Faisal pulang. Tanpa banyak bicara, aku menyambutnya seperti biasa. Sedangkan Arkan, pergi mengaji bersama anak tetangga. “Ada apalagi, Dek? Kok, dari tadi diem aja?” tanya Mas Faisal saat aku menghidangkan segelas kopi. Rupanya Mas Faisal masih belum sadar apa kesalahan yang ia perbuat hari ini. “Nggak ada apa-apa,” sahutku ketus, sambil berlalu. Aku berharap, lelaki yang jarang bicara itu menyadari kesalahannya tanpa kuberi tahu. “Mas minta maaf, karena nggak bantuin kamu jualan, Dek. Mas Joko ngajak perginya mendadak. Mas nggak enak nolaknya.” Rupanya Mas Faisal mengikuti langkahku ke ruang tengah. Kemudian, ia duduk di sebelahku setelah menyimpan kopinya di atas meja. Aku pura-pura cuek da
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 10 Sampai pagi, aku masih mendiamkan Mas Faisal. Dia beberapa kali mengajak bicara, tapi lagi-lagi kujawab seperlunya saja. Setelah menyiapkan sarapan, kumandikan Arkan dan memakaikan seragam sekolah. “Arkan, nanti kalo Ibu belum jemput, kamu jangan pulang dulu, ya.” Anak lelakiku mengangguk. “Siap, Bu.” “Ya, udah, ayo sarapan dulu.” Arkan menggandeng tanganku ke luar dari kamar. Setibanya di ruang makan, tampak Mas Faisal sudah menunggu di salah satu kursi. “Biar Mas yang jemput, Dek. Ntar langsung Mas anter ke ruko.” “Nggak usah. Selesaikan saja urusanmu sama Mas Joko. Barangkali komisimu ditambah. Atau paling nggak gantiin bensinmu yang dipakai kemarin. Ngajak pergi seharian kok, nggak dikasih makan,
Nomor asing itu tidak menerima panggilan dariku. Entah sibuk atau mungkin sedang mengurus hal lain yang lebih penting. Tentu hal itu membuatku semakin panik dan bingung. Karena, si penelepon tidak mengatakan secara jelas untuk apa aku datang ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Tiba-tiba pikiran buruk menyelinap. Apa mungkin Mas Faisal kecelakaan? Cepat kutepis pikiran buruk itu. Kutarik napas dan membuangnya perlahan. Kulakukan berkali-kali, sampai agak tenang. Dari jendela, kulihat mendung menghiasi langit. Mungkin, sebentar lagi hujan turun, mengingat sekarang memang sedang musim hujan. Hal ini membuatku semakin bingung. Apalagi, Arkan juga masih tidur dengan lelapnya. Tak tega kalau harus membangunkannya. Ditambah lagi, nomor asing itu tidak kunjung menerima panggilanku. Karena tak tahu harus bagaimana, aku pun menghubungi Mbak Tami, untuk meminta pendapatnya. Mbak Tam
Kuhela napas perlahan. Tak habis pikir, dengan apa yang terjadi pada Hanum. Walau pun adik bungsu suamiku itu sering bersikap menyebalkan, sungguh aku tak pernah berharap, hal buruk terjadi padanya. Karena bagaimana pun juga, Hanum adalah keluargaku. Musibah yang menimpanya, adalah musibahku juga. Aib yang menimpanya, merupakan aibku juga. “Saya ke luar dulu, Bu, Bude, Nita.” “Iya, Mbak.” Hanya Nita yang menjawab. Ibu mertuaku masih larut dalam isaknya. Beliau tak mengatakan apa-apa. Mungkin, masih terpukul dengan kejadian yang menimpa anak kebanggaannya itu. Lagi-lagi, aku hanya bisa beristighfar dalam dalam hati. Bahkan dalam keadaan begini pun, Ibu masih menunjukkan rasa tidak sukanya padaku.