Mas Faisal makan dengan lahap. Mungkin dia lapar dan capek sepulang dari tambak ikan. Aku sudah menawarinya bekal tadi pagi, tapi dia tidak mau. Katanya sebentar. Tetapi, ternyata katanya ada tanggul yang longsor sedikit dan menimpa tambak kami. Karena semalam, hujan turun dengan lebatnya. Jadi,mau tidak mau Mas Faisal membetulkannya seorang diri.
“Kenapa, Dek? Kok, ngelihatin Mas ampe begitu?” teguran Mas Faisal membuatku sedikit kaget.
“Eh, anu, Mas. Nggak apa-apa.”
“Em, bener? Itu, makanan kenapa cuma diaduk-aduk? Atau mau disuapin?” Tanpa menunggu jawabanku, Mas Faisal mengambil piringku dan menyendokkan nasi, mengarahkannya padaku.
“Ih, Ibu kan udah gede,masa maemnya disuapin, malu,” protes Arkan, anak bungsu kami. Hal itu sontak membuat aku dan Mas Faisal tertawa.
“Habisnya, ibumu maemnya lama.”
“Ibu, maemnya habisin, biar sehat kayak Arkan.” Aku mengusap lembut kepala bocah berumur lima tahun itu.
“Iya, Arkan hebat. Arkan nonton tivi dulu, ya. Ibu mau beresin meja dulu.”
Bocah yang mewarisi wajah serupa dengan Mas Faisal itu mengangguk, lalu turun dari kursinya dan meninggalkan ruang makan yang menyatu dengan dapur ini.
“Ada apa?” tanya Mas Faisal. Rupanya, dia masih penasaran dengan apa yang sedang aku pikirkan.
Aku menarik napas dan membuangnya perlahan. “Mas, kapan lelenya bisa dipanen?”
Mas Faisal menatapku, lalu mengusap lembut lengan kananku. “Sekitar tiga bulanan lagi, Dek. Ada apa? Apa tabunganmu sudah habis?”
Lagi-lagi aku menghela napas, lalu menggeleng perlahan. “Mas, kalo udah panen lele, kita cari ruko, yuk.aku pengen buka usaha.”
“Kenapa? Kamu nggak betah di sini?”
Aku menggeleng perlahan. “Nggak, bukan nggak betah. Cuma, aku bosen, Mas. Kemarin, aku jalan-jalan, terus lihat ada ruko yang mau disewa-sewakan gitu.”
“Sabar, ya, Dek. Mudah-mudahan, hasil panennya, bisa buat modal kamu buka usaha, aamiin.”
Aku pun mengaminkan harapan Mas Faisal. Untuk masalah gunjingan ibu mertuaku dan Bude Warni soal kami, biar kusimpan sendiri saja. Kalau aku mengadu, takutnya malah menambah beban pikiran Mas Faisal.
“Mas, kalo Mbak Tuti, kapan mau bayar hutang ke kita? Ada kabar nggak?” Mbak Tuti adalah anak tertua Bude Warni. Sebelum pandemi melanda, dia meminjam uang sepuluh juta untuk menggelar syukuran khitanan anak bungsunya. Dan, seingatku, baru dibayar setengahnya saja. Padahal, janjinya selesai acara, mau langsung dilunasi. Tetapi, sampai hari ini, belum ada tanda-tanda dia membayar sisa hutangnya.
Terdengar helaan napas Mas Faisal. “Belum, Dek. Beberapa hari yang lalu, Mas udah nanyain. Katanya belum ada. Kan, dia juga sama kayak kita, usahanya lagi sepi.”
“Oh. Ya sudah, sana temani Arkan. Aku mau beresin meja.”
Mas Faisal berdiri, tapi bukannya meninggalkan ruangan ini, Mas Faisal malah memelukku dari belakang. “Maafin, Mas, ya, Dek. Karena belum bisa membahagiakan kamu. Apalagi, sekarang keadaan kita malah kayak gini. Mas harap, kamu sabar, ya.”
Perlakuan Mas Faisal membuatku terharu. Meskipun dia bukan tipe pria romantis, tapi dia sangat lembut dan penyayang, serta bertanggung jawab. Selain itu, Mas Faisal sangat jujur dan terbuka dalam segala hal, dan juga sangat sabar.
“Inshaa Allah, Mas. Selama Mas Faisal tetap begini dan nggak berubah, inshaa Allah aku akan bertahan dalam keadaan apapun.”
“Makasih ya, Dek.” Mas Faisal mengecup puncak kepalaku. Setelah itu, dia meninggalkan ruangan ini. Tak lama kemudian, terdengar gelak tawa Mas Faisal dan Arkan. Entah apa yang membuat mereka tertawa. Tetapi, begitulah Mas Arkan. Dia memang sangat dekat dengan kedua anak kami.
-dmr-
“Bu, udah jenguk anaknya Wak Darmi yang ngelahirin kemarin?” tanyaku pada Ibu mertua yang sedang menyapu halaman rumahnya.
Meskipun pulang dan menetap di kampung, tapi aku dan mertua tidak tinggal serumah. Aku menempati rumah peninggalan alamrhumah neneknya Mas Faisal. Dulu, kami membelinya, dan merenovasi di beberapa bagian. Di antara rumah ibu mertua dan rumahku, ada teras yang sengaja dibuat terhubung. Biasanya dipakai untuk makan bersama saat keluarga sedang berkumpul. Sedangkan pintu masuk ke rumahku dari jalan raya, harus melewati halaman rumah Ibu. Karena itulah, Ibu dan Bude Warni tidak menyadari kehadiranku saat bergunjing kemarin.
“Ibu udah jenguk tadi, sepulang dari Masjid. Bareng sekalian sama ibu-ibu pengajian,” jawab Ibu tanpa melihat ke arahku.
“Oh. Kenapa nggak ngajak, Bu? Saya juga belum jenguk. Tadinya mau bareng sama Ibu.”
Ibu menoleh ke arahku sebentar, lalu kembali melanjutkan aktifitasnya. “Ibu pikir kamu nggak akan jenguk.”
“Ya maulah, Bu. Setiap saya ngelahirin, Wak Darmi kan, selalu nitip amplop ke Ibu. Masa iya, sekarang anaknya ngelahirin, saya nggak jengukin.”
Ibu mertua hanya menoleh sekilas. Kemudian, wanita bertubuh tambun itu menyerok sampah yang sudah disapunya.
“Suami lagi nggak ada kerjaan, punya duit bukannya disimpan. Malah sok-sokan mau jenguk yang habis lahiran. Kayak lagi banyak duit aja.”
Meskipun pelan dan diucapkan sambil berlalu, tapi aku masih bisa mendengar gerutuan Ibu. Rasanya hatiku sakit sekali mendengarnya. Kalau bukan karena rasa hormat, ingin rasanya aku membantah kalimat Ibu.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah Wak Darmi, aku terus memikirkan sikap Ibu padaku. Memang sikap Ibu yang akhir-akhir ini berubah atau aku yang terlalu perasa? Tetapi, seingatku, baru kali ini Ibu bersikap seperti ini. Dulu, saat aku masih tinggal di kota, Ibu selalu ramah padaku. Atau mungkin karena kami hanya bertemu dalam waktu yang singkat, makanya aku tidak paham dengan karakter Ibu? Ya, selama menikah dengan Mas Faisal, aku memang jarang sekali berinteraksi dalam waktu yang lama dengan keluarganya. Setiap tahunnya, kami memang bisa tiga atau empat kali pulang kampung. Tetapi, paling lama cuma tiga atau empat hari. Jadi, memang baru kali ini aku berada di dekat mertua dalam waktu lama. “Mau ke mana, Mbak Arum?” sapa seseorang. Ternyata Bu Ijah, salah satu teman ibu mertuakuAku tersenyum pada wanita yang
Aku sedang menimang cucu Wak Darmi, saat Ibu mertua dan Nita datang. “Eh, ada Mbak Arum,” sapa Nita sambil menyalamiku. “ Kenapa tadi nggak nunggu aku aja, biar bareng.” “Mbak nggak tau kamu mau ke sini. Soalnya tadi pas ngajak Ibu, Ibu nggak bilang kamu mau ke sini. Kalo tahu kamu mau ke sini sekarang, tadi pasti Mbak tungguin. Biar nggak perlu minta anter Ibu, Nit. Soalnya Ibu katanya udah ke sini bareng ibu-ibu pengajian.” Aku sengaja menjawab seperti itu dengan tujuan menyindir Ibu mertua yang sudah membohongiku. Ibu terlihat salah tingkah. Wanita yang sudah melahirkan suamiku itu menggaruk tengkuknya yang tertutup kerudung hitam. “Oh, Ibu udah ke sini?” tanya Nita pada Ibu mertua. “Kok nggak bilang?”
Pandangan Ibu dan Hanum kembali beralih padaku. Sorot mata keduanya seperti elang yang siap menerkam mangsanya. “Tahu apa kamu soal ngajarin anak? Nggak usah menggurui Ibu! Ibu jelas lebih berpengalaman dari kalian!” Aku dan Mas Faisal saling tatap. Ayah dari kedua anakku itu menggeleng perlahan, sebagai isyarat agar aku tidak melawan perkataan Ibu. Akan tetapi, aku pura-pura tak melihat kode dari Mas Faisal. “Kalo Ibu lebih jago mendidik anak, harusnya, Ibu juga bisa ngasih tahu Hanum, kalo menginginkan sesuatu itu, harus berusaha. Bukan cuma ngandelin ketiga kakaknya, terutama Mas Faisal yang Ibu bilang jatuh miskin,” jawabku berusaha sesantai mungkin. Ibu langsung m
Terkadang menjaga jarak adalah hal terbaik setelah hati kita disakiti. Begitu juga aku, memilih tidak lagi terlalu dekat dengan ibu mertua. Toh, semua yang aku lakukan juga selalu salah di matanya. Lebih baik, fokus dengan rencanaku membuka usaha kuliner kekinian.Rencananya, mulai besok, aku akan mulai berjualan ceker mercon tulang lunak dan beberapa jenis minuman. Karena aku lihat, di daerah sini belum ada yang menjual makanan seperti itu. Selama ini, aku menjual makanan itu dari rumah dengan cara menawarkan ke ibu-ibu yang menunggui anaknya sekolah di TK tempat Arkan sekolah. Respon mereka bagus, bahkan ada yang dengan suka rela mempromosikan makanan buatanku di media sosial mereka. Sehingga, perlahan tapi pasti, pembeliku bertambah.Selain itu, beberapa anak tetangga yang sekolah di SMP dan SMA juga aku tawari produk ini. Hasilnya, lumayan. Sambutan mereka cukup bagus. Mereka juga mempromosikan makanan itu pada teman-temannya. Dari situlah, muncul ide untuk m
Aku tersenyum sinis ke arah perempuan dengan rambut berwarna cokelat muda itu. “Nggak usah ikut campur, Mbak. Mendingan, Mbak Tuti, pikirin hutang Mbak ke aku. Udah dua tahun, loh. Kan, waktu itu, janjinya selesai hajatan dibayar lunas. Mana? Itu uang pribadiku, loh. Hasil jualan jajanan receh. Bukan uang Mas Faisal.”Seketika wajah Mbak Tuti berubah pucat. Mungkin, dia tidak menyangka aku akan menagih hutang yang mungkin dia pura-pura lupa. Aku pura-pura tidak melihat ekspresi Mbak Tuti, dan melewati mereka begitu saja. “Hutang segitu aja, ditagih-tagih terus. Kayak sama siapa! Ingat, siapa yang ngajarin suamimu dagang!” Mendengar gerutuan Mbak Tuti, aku pun menghentikan langkah dan membalikkan badan. “Segitu aja? Maksud Mbak, lima juta itu sedikit? Kalo gitu, kenapa nggak dibayar-bayar? Buatku, lima
Perdebatan soal siapku atas perlakuan keluarga Mas Faisal meninggalkan rasa kesal yang tak kunjung hilang. Apalagi, Mas Faisal juga tidak meminta maaf padaku. Bahkan, setelah dia malah pergi entah ke mana. Karena, aku memilih tidur cepat selepas Isya. Sengaja, biar tidak perlu lagi berdebat dengannya. Pagi harinya, aku tetap mengurus rumah dan menyiapkan sarapan seperti biasa, walaupun masih dengan mode senyap. Dan, seperti biasa, Mas Faisal juga tidak banyak bicara. “Jam berapa kamu jualannya, Dek?” tanya Mas Faisal saat kami selesai sarapan. “Mulai jam sebelas siang. Kan, ngejar waktu istirahat anak-anak sekolah.” “Oh, ya udah, ntar Arkan biar Mas yang jemput d
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 9 Aku baru saja selesai menyiapkan bahan untuk jualan saat Mas Faisal pulang. Tanpa banyak bicara, aku menyambutnya seperti biasa. Sedangkan Arkan, pergi mengaji bersama anak tetangga. “Ada apalagi, Dek? Kok, dari tadi diem aja?” tanya Mas Faisal saat aku menghidangkan segelas kopi. Rupanya Mas Faisal masih belum sadar apa kesalahan yang ia perbuat hari ini. “Nggak ada apa-apa,” sahutku ketus, sambil berlalu. Aku berharap, lelaki yang jarang bicara itu menyadari kesalahannya tanpa kuberi tahu. “Mas minta maaf, karena nggak bantuin kamu jualan, Dek. Mas Joko ngajak perginya mendadak. Mas nggak enak nolaknya.” Rupanya Mas Faisal mengikuti langkahku ke ruang tengah. Kemudian, ia duduk di sebelahku setelah menyimpan kopinya di atas meja. Aku pura-pura cuek da
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 10 Sampai pagi, aku masih mendiamkan Mas Faisal. Dia beberapa kali mengajak bicara, tapi lagi-lagi kujawab seperlunya saja. Setelah menyiapkan sarapan, kumandikan Arkan dan memakaikan seragam sekolah. “Arkan, nanti kalo Ibu belum jemput, kamu jangan pulang dulu, ya.” Anak lelakiku mengangguk. “Siap, Bu.” “Ya, udah, ayo sarapan dulu.” Arkan menggandeng tanganku ke luar dari kamar. Setibanya di ruang makan, tampak Mas Faisal sudah menunggu di salah satu kursi. “Biar Mas yang jemput, Dek. Ntar langsung Mas anter ke ruko.” “Nggak usah. Selesaikan saja urusanmu sama Mas Joko. Barangkali komisimu ditambah. Atau paling nggak gantiin bensinmu yang dipakai kemarin. Ngajak pergi seharian kok, nggak dikasih makan,