Share

Bab 2

Mas Faisal makan dengan lahap. Mungkin dia lapar dan capek sepulang dari tambak ikan. Aku sudah menawarinya bekal tadi pagi, tapi dia tidak mau. Katanya sebentar. Tetapi, ternyata katanya ada tanggul yang longsor sedikit dan menimpa tambak kami. Karena semalam, hujan turun dengan lebatnya. Jadi,mau tidak mau Mas Faisal membetulkannya seorang diri.

            “Kenapa, Dek? Kok, ngelihatin Mas ampe begitu?” teguran Mas Faisal membuatku sedikit kaget.

            “Eh, anu, Mas. Nggak apa-apa.”

            “Em, bener? Itu, makanan kenapa cuma diaduk-aduk? Atau mau disuapin?” Tanpa menunggu jawabanku, Mas Faisal mengambil piringku dan menyendokkan nasi, mengarahkannya padaku.

            “Ih, Ibu kan udah gede,masa maemnya disuapin, malu,” protes Arkan, anak bungsu kami. Hal itu sontak membuat aku dan Mas Faisal tertawa.

            “Habisnya, ibumu maemnya lama.”

            “Ibu, maemnya habisin, biar sehat kayak Arkan.” Aku mengusap lembut kepala bocah berumur lima tahun itu.

            “Iya, Arkan hebat. Arkan nonton tivi dulu, ya. Ibu mau beresin meja dulu.”

            Bocah yang mewarisi wajah serupa dengan Mas Faisal itu mengangguk, lalu turun dari kursinya dan meninggalkan ruang makan yang menyatu dengan dapur ini.

            “Ada apa?” tanya Mas Faisal. Rupanya, dia masih penasaran dengan apa yang sedang aku pikirkan.

            Aku menarik napas dan membuangnya perlahan. “Mas, kapan lelenya bisa dipanen?”

            Mas Faisal menatapku, lalu mengusap lembut lengan kananku. “Sekitar tiga bulanan lagi, Dek. Ada apa? Apa tabunganmu sudah habis?”

            Lagi-lagi aku menghela napas, lalu menggeleng perlahan. “Mas, kalo udah panen lele, kita cari ruko, yuk.aku pengen buka usaha.”

            “Kenapa? Kamu nggak betah di sini?”

            Aku menggeleng perlahan. “Nggak, bukan nggak betah. Cuma, aku bosen, Mas. Kemarin, aku jalan-jalan, terus lihat ada ruko yang mau disewa-sewakan gitu.”

            “Sabar, ya, Dek. Mudah-mudahan, hasil panennya, bisa buat modal kamu buka usaha, aamiin.”

            Aku pun mengaminkan harapan Mas Faisal. Untuk masalah gunjingan ibu mertuaku dan Bude Warni soal kami, biar kusimpan sendiri saja. Kalau aku mengadu, takutnya malah menambah beban pikiran Mas Faisal.

            “Mas, kalo Mbak Tuti, kapan mau bayar hutang ke kita? Ada kabar nggak?” Mbak Tuti adalah anak tertua Bude Warni. Sebelum pandemi melanda, dia meminjam uang sepuluh juta untuk menggelar syukuran khitanan anak bungsunya. Dan, seingatku, baru dibayar setengahnya saja. Padahal, janjinya selesai acara, mau langsung dilunasi. Tetapi, sampai hari ini, belum ada tanda-tanda dia membayar sisa hutangnya.

            Terdengar helaan napas Mas Faisal. “Belum, Dek. Beberapa hari yang lalu, Mas udah nanyain. Katanya belum ada. Kan, dia juga sama kayak kita, usahanya lagi sepi.”

            “Oh. Ya sudah, sana temani Arkan. Aku mau beresin meja.”

            Mas Faisal berdiri, tapi bukannya meninggalkan ruangan ini, Mas Faisal malah memelukku dari belakang. “Maafin, Mas, ya, Dek. Karena belum bisa membahagiakan kamu. Apalagi, sekarang keadaan kita malah kayak gini. Mas harap, kamu sabar, ya.”

            Perlakuan Mas Faisal membuatku terharu. Meskipun dia bukan tipe pria romantis, tapi dia sangat lembut dan penyayang, serta bertanggung jawab. Selain itu, Mas Faisal sangat jujur dan terbuka dalam segala hal, dan juga sangat sabar.

            “Inshaa Allah, Mas. Selama Mas Faisal tetap begini dan nggak berubah, inshaa Allah aku akan bertahan dalam keadaan apapun.”

            “Makasih ya, Dek.” Mas Faisal mengecup puncak kepalaku. Setelah itu, dia meninggalkan ruangan ini. Tak lama kemudian, terdengar gelak tawa Mas Faisal dan Arkan. Entah apa yang membuat mereka tertawa. Tetapi, begitulah Mas Arkan. Dia memang sangat dekat dengan kedua anak kami.

-dmr-

            “Bu, udah jenguk anaknya Wak Darmi yang ngelahirin kemarin?” tanyaku pada Ibu mertua yang sedang menyapu halaman rumahnya.

Meskipun pulang dan menetap di kampung, tapi aku dan mertua tidak tinggal serumah. Aku menempati rumah peninggalan alamrhumah neneknya Mas Faisal. Dulu, kami membelinya, dan merenovasi di beberapa bagian. Di antara rumah ibu mertua dan rumahku, ada teras yang sengaja dibuat terhubung. Biasanya dipakai untuk makan bersama saat keluarga sedang berkumpul. Sedangkan pintu masuk ke rumahku dari jalan raya, harus melewati halaman rumah Ibu. Karena itulah, Ibu dan Bude Warni tidak menyadari kehadiranku saat bergunjing kemarin.

“Ibu udah jenguk tadi, sepulang dari Masjid. Bareng sekalian sama ibu-ibu pengajian,” jawab Ibu tanpa melihat ke arahku.

“Oh. Kenapa nggak ngajak, Bu? Saya juga belum jenguk. Tadinya mau bareng sama Ibu.”

Ibu menoleh ke arahku sebentar, lalu kembali melanjutkan aktifitasnya. “Ibu pikir kamu nggak akan jenguk.”

“Ya maulah, Bu. Setiap saya ngelahirin, Wak Darmi kan, selalu nitip amplop ke Ibu. Masa iya, sekarang anaknya ngelahirin, saya nggak jengukin.”

Ibu mertua hanya menoleh sekilas. Kemudian, wanita bertubuh tambun itu menyerok sampah yang sudah disapunya.

“Suami lagi nggak ada kerjaan, punya duit bukannya disimpan. Malah sok-sokan mau jenguk yang habis lahiran. Kayak lagi banyak duit aja.”

Meskipun pelan dan diucapkan sambil berlalu, tapi aku masih bisa mendengar gerutuan Ibu. Rasanya hatiku sakit sekali mendengarnya. Kalau bukan karena rasa hormat, ingin rasanya aku membantah kalimat Ibu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status