"Semua ini gara-gara kamu, Nita!" Tiba-tiba saja Martin langsung menyalahkan Nita atas semua yang telah menimpa Martin. "Kalau saja kamu tidak berkata sebuah kebohongan seperti itu, Ibuku pasti tidak akan pingsan!"
Martin berteriak sambil terus menggerakkan tubuh Ibunya yang masih tergeletak di lantai.
Sedari tadi, Nita dan Om Herman sudah memanggil pegawai untuk mengangkat tubuh Titi, tetapi Martin marah mendorong tubuh pegawai itu, hingga dia terjatuh.
Dengan penuh dramanya, Martin malah terus menangis tersedu-sedu sambil memeluk tubuh Ibunya.
Akan tetapi, ada sedikit yang menarik perhatian Nita. Dia mana mata Titi sesekali bergetar, dia seperti pura-pura pingsan.
Nita tidak banyak bicara, dia membiarkannya terlebih dahulu, ingin tahu langkah apa yang akan Titi ambil selanjutnya. Karena Nita tahu, Nenek Lampir itu begitu licik, di kepalanya kadang bersarang ide-ide gila yang tidak pernah Nita pikiran sebelumnya.
"Pokoknya aku minta ganti rugi!" raung Martin sambil bangkit, menatap Nita dan Om Herman secara bergantian. "Tidak tahukah kamu, Nita, kalau Ibuku itu punya penyakit jantung. Kalau dia kenapa-kenapa, aku tidak akan segan-segan untuk menuntutmu dan restoran ini."
Nita tidak mempedulikan ucapan Martin, dia malah menoleh ke arah lain, di mana seorang pegawai pria berdiri.
"Tolong ambilkan bubuk cabe, taburkan sedikit di dekat hidung perempuan itu, saya dan Om Herman akan mengalihkan perhatian pria yang ada di hadapan kami."
"Baik, Bu." Pegawai itu langsung mengangguk pelan, kemudian angkat kaki dari hadapan Nita.
Di saat itulah, Nita kembali memfokuskan pandangan pada Martin yang terus saja marah-marah pada dirinya dan Om Herman.
"Pokoknya kalian harus ganti rugi, aku tidak ak--"
"Memangnya berapa uang kamu butuhkan untuk ganti rugi?" potong Nita dengan cepat. Tentu saja, tindakannya itu mendapat sebuah delikan dari Om Herman.
"Nita, apa yang kamu lakukan!" seru Om Herman dengan penuh tekanan di tiap kata.
"Mereka biar jadi urusanku saja, Om."
Karena bagaimanapun itu, Nita cukup kenal dengan tabiat keduanya. Martin dan Titi sama saja, keduanya begitu licik dan pantai berbohong.
Kadang dalam hati, Nita selalu bertanya-tanya, kenapa sikap Martin dan suaminya itu berbeda, mungkin saja kalau suaminya itu bukan anak kandung dari Ibunya.
Karena sikap ketiganya benar-benar bertolak belakang.
"Aku tanya sekali lagi, Mas, kamu mau ganti rugi berapa?"
Martin terdiam sejenak, dia menimang-nimang berapa uang yang diinginkan, karena bagaimanapun itu ini adalah penawaran yang cukup bagus.
Dia tidak boleh ceroboh atau bertindak gegabah, ini adalah kesempatan yang cukup langka. Dari mana lagi coba, dia bisa mendapatkan uang banyak dengan cara seperti ini.
Martin begitu senang, karena tanpa di duga-duga, Ibunya bisa berakting dengan cukup bagus, padahal semua ini tidak di rencanakan sebelumnya.
Tanpa sepengetahuan Martin juga, sedari tadi Nita terus mengamati sekeliling, mencari pegawai yang tadi dia suruh pergi mengambil bubuk cabe.
Bahkan, beberapa kali Nita menoleh ke arah Martin, mengamati pria yang masih berpikir keras sambil menyilangkan tangannya di dada.
"Bagaimana, Mas? Sudah dapat jawabannya?"
Seketika saja, Martin langsung terlonjak. Dia belum selesai memikirkan semuanya, tetapi Nita malah kembali bertanya, tentu saja hal itu membuat Martin sedikit kesal.
Akan tetapi, Martin tidak menunjukkannya, dia harus bersikap paling tersakiti di sini, untuk menarik perhatian orang-orang tentunya.
"Tiga puluh juta saja, bagaimana?"
"Bagaimana, Om? Bukannya uang segitu tidak ada apa-apanya, 'kan?"
Om Herman menoleh, tidak lama kemudian dia mengangguk pelan.
"Tidak ada, itu cukup mudah bagi saya."
Nita tersenyum sinis, kemudian memberikan kode pada Om Herman melalui gerakan bibir agar memberikan sebuah kartu ATM miliknya.
Martin langsung berbinar, beberapa kali dia menelan ludah, ketika melihat sebuah kartu ATM yang begitu mengkilap yang ada di depan matanya.
"Eits, sabar dulu, Mas!"
Nita segera menyembunyikan kartu ATM-nya ke belakang tubuh, ketika Martin hendak mengambilnya.
"Sabar dulu, Mas!" sambung Nita dan tidak lama kemudian, pegawai pria itu datang.
Melalui gerakan mata, Nita langsung memerintahkannya untuk menjalankan tugasnya dan di saat itu pula, Nita berusaha mengalihkan perhatian Martin.
"Cepat, berikan!"
"Baiklah, kartu ATM-nya akan--"
Belum sempat Nita menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba suara bersin yang begitu menggelegar terdengar.
Sontak, Martin menoleh, menatap Ibunya yang tiba-tiba bangun. Wanita itu kembali bersin sambil sesekali mengusap hidungnya yang terasa panas dan gatal.
"Ah, s*al! Dasar tidak becus. Bagaimana bisa bubuk cape ini mengenai hidungku," pekik Titi, kemudian meraih tisu membersihkan hidungnya yang terasa gatal.
"Ibu, kenapa malah bangun!" hardik Martin sambil membulatkan mata. Gara-gara Ibunya, semua rencananya gagal.
"Bagaimana Ibu gak bangun, ini bubuk cabe s*al*n masuk ke hidung. Ah, gara-gara kamu, dasar pekerja gak becus!"
Mendengar perdebatan keduanya, aku langsung bertepuk tangan, kemudian langsung tersenyum sinis ketika melihat wajah kebingungan Martin dan Titi.
"Sayangnya, kalian tidak lolos!"
"S*al*n kamu, Nita! Jadi ini semua rencanamu?" tanya Titi dengan nada tinggi.
"Tentu saja!"
Wajah Titi memerah sempurna, tangannya terkepal dengan cukup keras. Tanpa aba-aba, Titi langsung melangkah, hendak melayangkan tamparan pada Nita.Akan tetapi, dengan cepat Herman langsung mencekal tangan Titi, hingga perempuan itu meringis kesakitan.Martin yang melihat hal tersebut, bukannya membantu Ibunya yang terus meringis, dia malah mundur beberapa langkah, ketika secara tidak sengaja dia saling bertatapan dengan Herman."Martin, mau ke mana kamu? Bantu, Ibu!" pekik Titi, membuat beberapa orang menatap ke arahnya. Tapi, tidak seorangpun yang mau membantunya."Jangan pernah berani menyentuh Nita sedikitpun, kalau kamu tidak ingin berurusan dengan saya!" ucap Herman dengan penuh penekanan. Sebelum akhirnya, melepas cengkraman tangannya.Titi mendelik, tatapan kebencian dia layangkan pada Nita yang tengah tersenyum sinis."Memangnya siapa kamu? Saya Ibu mertuanya dan saya lebih berhak dari pada kamu," teriak Titi sambil mengarahkan jari telunjuknya ke dada Herman, kemudian mendoro
"Apa Ibu percaya kalau Nita itu anak orang kaya?" tanya Martin pada Titi, ketika mereka berdua tengah menikmati goreng pisang pemberian tetangga.Titi meraih segelas teh hangat yang ada di hadapannya, lalu meneguknya hingga tinggal setengahnya."Tentu saja tidak!" balas Titi sambil kembali menyimpan gelas ke atas meja dengan cukup keras. "Mana mungkin si Nita kaya, Ibu tahu betul kalau dia tinggal di kosan murah, bajunya juga kumuh, gak punya perhiasan. Palingan si Nita halu, cuma buat nakut-nakutin kita aja.""Ibu, benar!"Martin mengangguk pelan, kemudian kembali melahap sepotong goreng pisang. Tidak lama setelah itu, Bagas--anak laki-laki Martin menghampiri."Ayah, minta duit!" pinta Bagas, kemudian menengadahkan tangan di hadapan Martin."Duit untuk apa?" sungut Martin, matanya terbelalak, sementara itu mulutnya sedikit mengembung, belum sempat menelan goreng pisang.Bagas menunduk, ketika tangannya hendak meraih goreng pisang yang tinggal satu lagi di piring. Titi langsung memuku
[Nita, apa yang mereka katakan tentangmu benar?]Tari--isrti Martin mengirimkan rekaman suara yang baru saja dia dapatkan pada Nita. Tari dan Nita cukup dekat, bisa di bilang mereka memiliki nasib yang sama.Hanya saja, tari lebih parah dari pad Nita, karena dia harus mendekam di rumah ini, merasakan ketidakadilan yang menimpa hidupnya.Tidak lama kemudian, sebuah balasan dari Nita muncul di layar ponsel Tari yang sudah pecah, bahkan tulisan di layarnya pun tampak tidak jelas.[Itu obrolan mereka barusan, Mbak?]Dengan cepat Tari langsung mengetikkan sebuah balasan, karena dari kejauhan terdengar sebuah derap langkah yang semakin mendekat ke arahnya.[Ya, itu rekaman yang baru saja aku dapatkan.]Krett ....Pintu terbuka, memperlihatkan Martin yang tengah memandang ke arah Tari."Kenapa, Mas?"Tanpa banyak bicara, Martin langsung menghampiri ranjang, lalu menghempaskan tubuhnya dengan sedikit kasar."Aku ngantuk, mau tidur.""Mas, gak bekerja?" cicit Tari, dia takut kalau suaminya itu
"Ada apa, Ibu, menelponku sore-sore seperti ini?" tanya Fahmi melalui sambungan telepon. Sementara itu, tepat di samping Titi, ada Martin yang tengah menikmati tayangan sepakbola."Fahmi," lirih Titi, kembali berakting seperti biasanya."Lah, Ibu, kenapa?" Dari nada bicaranya saja sudah terdengar, kalau Fahmi begitu khawatir dengan Ibunya. Tetapi, dia tidak tahu kalau sebenarnya Ibunya itu tengah berpura-pura."Ibu, habis kecopetan, Fahmi. Tadi, Ibu, baru dari bank, ambil uang dari ATM, tapi ketika di angkot Ibu malah kecopetan."Titi berpura-pura menagis tersedu-sedu, hal itu dia lakukan agar Fahmi bisa percaya dengan semua akal bulusnya."Ya Tuhan, memangnya Ibu baru mengambil berapa?""Lima juta, untuk Ibu berikan pada istrimu. Tapi, uangnya malah raib."Mendengar Fahmi terdiam sejenak, Titi langsung menoleh ke arah Martin yang masih fokus menonton pertandingan sepakbola dengan volume Kecil.Merasa di perhatikan oleh Ibunya, Martin menoleh, kemudian menggeleng pelan."Fahmi, kenap
"Mas, Ibu, tidak lagi memberikan uang bulanan padaku, sementara itu banyak pembayaran sekolah Andika yang harus segera aku lunasi."Untuk yang kesekian kalinya, Nita mengadukan perbuatan jahat Ibu mertuanya pada Fahmi yang merupakan anak kandungnya. Bisa saja memang, Nita tidak melaporkan semuanyanya pada Fahmi dan meminta uang pada Om Herman untuk menutupi keuangannya.Hanya saja, Nita sudah cukup geram dengan Ibu mertuanya. Lagipula, Nita adalah istri Fahmi, dia lebih berhak akan uang tersebut. Fahmi bekerja memang untuk keluarga, tapi yang paling utama adalah dirinya dan Andika .Karena bagaimanapun itu, Fahmi sudah menikah, dia memiliki anak dan istri, bukan lagi bujangan seperti dulu lagi."Lah, katanya Ibu habis kecopetan tadi, uangnya raib. Katanya juga kamu yang menyuruhnya untuk mengambil uang ke bank."Sontak, Nita langsung membulatkan mata ketika mendengar penuturan Ibu mertuanya yang bisa di bilang cukup keterlaluan.Diam-diam, Nita berdoa dalam hati, semoga saja uangnya
"Mas Martin, kamu jangan kasar seperti itu pada Mbak Tari!"Nita berusaha melerai, tetapi percuma saja karena Martin sama sekali tidak mengindahkan ucapannya.Mendengar teriakan Tari, beberapa orang yang kebetulan sedang mengobrol di teras rumah Bu Mala--tetangga Nita, langsung mengalihkan pandangan, menatap keberutalan Martin.Tidak ada satupun dari mereka yang berusaha memisahkan atau sebagainya, mereka tidak ingin ikut campur dalam urusan keluarga Titi."Mas!" Nita kembali berteriak dan di saat itu pula, seorang pemuda menghampirinya."Mbak, ada apa?"Nita menoleh, menatap pemuda yang sudah berdiri di sampingnya. Nita ingat betul dengan pemuda itu, dia yang kemarin sempat membantunya ketika dimarahi oleh Ibu mertuanya."Itu Kakak iparku, dia di seret oleh suaminya," jawab Nita sambil menunjuk ke arah Tari yang sudah semakin menjauh. Jujur saja, Nita ingin berbuat lebih, hanya saja dia juga takut jadi bulan-
[Om, bisa transfer uang ke rekeningku sekarang?]Tulis Nita dalam pesan singkatnya. Kemudian, dia langsung menekan tombol kirim.Tidak butuh waktu lama, bagi Om Herman membalas pesan Nita. Buktinya hanya dalam hitungan detik saja, pesan tersebut sudah muncul di layar ponsel Nita.[Baik, berapa yang kamu butuhkan, Nita?][Lima juta saja dulu, aku mau memberikannya sebagian pada Kakak iparku dan sisanya akan aku pakai untung modal warung.]Centang biru langsung terlihat di layar, ketika Nita baru mengirimkan pesan tersebut. Tidak lama setelah itu, sebuah panggilan dari Om Herman tampak di layar ponsel."Ya, Om, ada apa?""Kamu yakin ini menjalani ini semua, Nita?" tanya Herman melalui sambungan telepon.Cukup lama Nita terdiam, memikirkan semua yang telah dia perbuat selama ini. Sejah ini, Fahmi belum mengetahui siapa Nita sebenarnya.Rencananya, Nita akan memberitahu semuanya ketika Fahmi pulang, tetapi
Siang harinya, Nita segera pergi ke bank untuk mengambil uang yang baru saja Om Herman transfer. Tidak lupa, dia juga menyempatkan diri untuk pergi ke pasar yang kebetulan tidak jauh dari pasar, membeli beberapa barang yang akan dia gunakan untuk mengisi warungnya.Sedari kemarin malam, Fahmi tidak bisa di hubungi. Entah pria itu tertidur karena kelelahan atau apa, tetapi Nita benar-benar tidak cukup tenang.Ketika Nita tengah memilah-milah sayuran, tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing dari belakangnya. Nita menoleh, menatap Ibu mertuanya yang tengah berdiri di depan toko emas sambil mengobrol bersama seseorang."Aduh, Jeng, udah beli emas baru lagi, nih!" sahut wanita bertubuh gempal yang berdiri di samping Ibu mertuanya."Iya, dong, Jeng. Mumpung ada uang kiriman dari anak saya," balas Titi dengan begitu bangga, dia membolak-balik emas yang ada di tangannya."Eh, Jeng Titi, aku mau tanya dong, bener gak sih rumor yang se