Wajah Titi memerah sempurna, tangannya terkepal dengan cukup keras. Tanpa aba-aba, Titi langsung melangkah, hendak melayangkan tamparan pada Nita.
Akan tetapi, dengan cepat Herman langsung mencekal tangan Titi, hingga perempuan itu meringis kesakitan.
Martin yang melihat hal tersebut, bukannya membantu Ibunya yang terus meringis, dia malah mundur beberapa langkah, ketika secara tidak sengaja dia saling bertatapan dengan Herman.
"Martin, mau ke mana kamu? Bantu, Ibu!" pekik Titi, membuat beberapa orang menatap ke arahnya. Tapi, tidak seorangpun yang mau membantunya.
"Jangan pernah berani menyentuh Nita sedikitpun, kalau kamu tidak ingin berurusan dengan saya!" ucap Herman dengan penuh penekanan. Sebelum akhirnya, melepas cengkraman tangannya.
Titi mendelik, tatapan kebencian dia layangkan pada Nita yang tengah tersenyum sinis.
"Memangnya siapa kamu? Saya Ibu mertuanya dan saya lebih berhak dari pada kamu," teriak Titi sambil mengarahkan jari telunjuknya ke dada Herman, kemudian mendorongnya secara perlahan.
"Kamu tidak perlu tahu, siapa saya sebenarnya."
Mendengar hal tersebut, Titi langsung menyilangkan tangannya di dada, satu sudut bibirnya terangkat ke atas.
"Benar, 'kah? Ah, aku tahu sekarang, kamu selingkuhan menantuku, 'kan?" tanya Titi sambil memandang rendah ke arah Nita yang tengah membulatkan mata. "Menantuku itu memang cukup cantik, hanya saja dia terlihat seperti g*mb*l, jadinya tidak terlalu menarik. Masih untung, anakku mau bertahan dengan perempuan seperti dia."
Tentu saja Nita tidak terima dengan hinaan mertuanya itu, dia langsung maju ke arah Ibu mertuanya, menatap wanita angkuh itu dengan tajam.
"Lihat saja, Bu, wanita yang kau hina layaknya g*mb*l ini, akan berubah menjadi ratu hanya dalam hitungan hari."
Titi terkekeh pelan, seakan-akan yang Nita ucapku itu adalah sebuah lelucon.
"Lihatlah, wanita itu berkhayal menjadi seorang ratu," teriak Titi di sela-sela tawanya sambil memandang seisi restoran. "Ratu mainan Om-om kali!"
Mendengar hal tersebut, dada Nita semakin naik turun, giginya gemertuk menahan amarah.
Bahkan, di hadapan orang banyak seperti ini saja, Ibu mertuanya itu malah semakin gencar mempermalukannya, seolah-olah menjadi penderita dan amarah orang lain adalah hiburan tersendiri baginya.
Melihat Nita hampir berada di luar kendali, Om Herman langsung meraih ponselnya, menelpon seorang satpam.
"Cepat, masuk dan seret kedua orang pembuat keributan ini untuk keluar dari restoran sekarang juga!"
"Baik, Pak!"
Tidak lama kemudian, dua orang satpam datang dari pintu utama. Tanpa basa-basi, keduanya langsung menyeret Martin dan Titi keluar dari restoran.
"Lihat saja, Nita, akan aku adukan perselingkuhanmu ini pada suamimu!" Ancaman Titi tidak membuat Nita bergeming sedikitpun. Biarkan saja dia mengadukan semuanya pada Fahmi.
Nita tidak peduli lagi.
***
Sore harinya, Nita dan Andika diantar pulang oleh Om Herman menuju kediamannya. Sepanjang perjalanan, Nita malah membisu sementara Andika justru sebaliknya, anak itu terus saja berceloteh.
"Nita, apa yang kamu pikirkan?"
"Tidak, Om!" bohong Nita, padahal sebenarnya dia memikirkan banyak hal, termasuk apa yang harus dia katakan pada suaminya suatu saat nanti.
Dari dulu, Fahmi memang tidak mengetahui jika Nita adalah seseorang yang terlahir dari keluarga serba kecukupan, karena Nita memutuskan untuk menyembunyikan semuanya sejak awal.
Nita terbiasa hidup mandiri dan sederhana, mungkin karena itulah orang-orang tidak mengetahui keberadaan tentang dirinya.
Bahkan, karena kesederhanaannya itu, banyak sekali anak rekan kerja almarhum Papahnya yang tertarik dengan Nita, tapi dengan keras kepalanya Nita menolak dan memutuskan menikah dengan Fahmi tanpa persetujuan kedua belah pihak keluarga.
Hingga pada akhirnya, Nita menyesal.
Ya, dia menyesali semua tindakannya. Karena pada nyatanya, keluarga Fahmi memperlakukannya dengan kasar.
"Jangan pikirkan banyak hal, Om, bisa mengatur semuanya untukmu."
"Terima kasih, Om."
Nita begitu bersyukur, meskipun Ayahnya sudah lama pergi, tetapi setidaknya dia punya sosok Ayah pengganti yang tidak kalah baik, seperti Om Herman.
"Sama-sama, Nita. Kamu sudah jadi tanggung jawab, Om, sedari dulu."
Tidak lama kemudian, Herman menepikan mobilnya di samping rumah Nita. Tanpa merasa curiga sedikitpun, Nita langsung turun dari mobil, di susul oleh Andika dan Om Herman.
"Nita, cepatlah pindah dari sini, rumahmu sudah tidak cukup layak."
Nita menoleh, memperhatikan rumahnya yang dia pikir masih bagus dan nyaman.
"Aku rasa rumahku masih bagus, Om."
"Yeah, dapat!" pekik seseorang dari belakang Nita.
Sontak, Nita menoleh, menatap Martin yang tengah menyeringai.
"Apa yang kamu lakukan di sana?!" teriak Om Herman, tetapi tidak Martin hiraukan.
"Tentu saja memotret kalian dan memberikannya pada Fahmi, aku yakin dia akan murka, melihat istrinya berselingkuh dengan Om-om."
"Aku tidak selingkuh! Kamu keterlaluan."
Nita begitu murka, ketika dia hendak menghampiri Martin, Om Herman langsung mencekal lengannya.
"Biarkan saja, biar Om yang urus, kamu tidak usah khawatir!"
"Tapi, apa yang akan Om lakukan?"
Bukannya menjawab pertanyaan Nita, Herman malah tersenyum tipis, tidak lama kemudian bibirnya berubah menyeringai.
"Apa Ibu percaya kalau Nita itu anak orang kaya?" tanya Martin pada Titi, ketika mereka berdua tengah menikmati goreng pisang pemberian tetangga.Titi meraih segelas teh hangat yang ada di hadapannya, lalu meneguknya hingga tinggal setengahnya."Tentu saja tidak!" balas Titi sambil kembali menyimpan gelas ke atas meja dengan cukup keras. "Mana mungkin si Nita kaya, Ibu tahu betul kalau dia tinggal di kosan murah, bajunya juga kumuh, gak punya perhiasan. Palingan si Nita halu, cuma buat nakut-nakutin kita aja.""Ibu, benar!"Martin mengangguk pelan, kemudian kembali melahap sepotong goreng pisang. Tidak lama setelah itu, Bagas--anak laki-laki Martin menghampiri."Ayah, minta duit!" pinta Bagas, kemudian menengadahkan tangan di hadapan Martin."Duit untuk apa?" sungut Martin, matanya terbelalak, sementara itu mulutnya sedikit mengembung, belum sempat menelan goreng pisang.Bagas menunduk, ketika tangannya hendak meraih goreng pisang yang tinggal satu lagi di piring. Titi langsung memuku
[Nita, apa yang mereka katakan tentangmu benar?]Tari--isrti Martin mengirimkan rekaman suara yang baru saja dia dapatkan pada Nita. Tari dan Nita cukup dekat, bisa di bilang mereka memiliki nasib yang sama.Hanya saja, tari lebih parah dari pad Nita, karena dia harus mendekam di rumah ini, merasakan ketidakadilan yang menimpa hidupnya.Tidak lama kemudian, sebuah balasan dari Nita muncul di layar ponsel Tari yang sudah pecah, bahkan tulisan di layarnya pun tampak tidak jelas.[Itu obrolan mereka barusan, Mbak?]Dengan cepat Tari langsung mengetikkan sebuah balasan, karena dari kejauhan terdengar sebuah derap langkah yang semakin mendekat ke arahnya.[Ya, itu rekaman yang baru saja aku dapatkan.]Krett ....Pintu terbuka, memperlihatkan Martin yang tengah memandang ke arah Tari."Kenapa, Mas?"Tanpa banyak bicara, Martin langsung menghampiri ranjang, lalu menghempaskan tubuhnya dengan sedikit kasar."Aku ngantuk, mau tidur.""Mas, gak bekerja?" cicit Tari, dia takut kalau suaminya itu
"Ada apa, Ibu, menelponku sore-sore seperti ini?" tanya Fahmi melalui sambungan telepon. Sementara itu, tepat di samping Titi, ada Martin yang tengah menikmati tayangan sepakbola."Fahmi," lirih Titi, kembali berakting seperti biasanya."Lah, Ibu, kenapa?" Dari nada bicaranya saja sudah terdengar, kalau Fahmi begitu khawatir dengan Ibunya. Tetapi, dia tidak tahu kalau sebenarnya Ibunya itu tengah berpura-pura."Ibu, habis kecopetan, Fahmi. Tadi, Ibu, baru dari bank, ambil uang dari ATM, tapi ketika di angkot Ibu malah kecopetan."Titi berpura-pura menagis tersedu-sedu, hal itu dia lakukan agar Fahmi bisa percaya dengan semua akal bulusnya."Ya Tuhan, memangnya Ibu baru mengambil berapa?""Lima juta, untuk Ibu berikan pada istrimu. Tapi, uangnya malah raib."Mendengar Fahmi terdiam sejenak, Titi langsung menoleh ke arah Martin yang masih fokus menonton pertandingan sepakbola dengan volume Kecil.Merasa di perhatikan oleh Ibunya, Martin menoleh, kemudian menggeleng pelan."Fahmi, kenap
"Mas, Ibu, tidak lagi memberikan uang bulanan padaku, sementara itu banyak pembayaran sekolah Andika yang harus segera aku lunasi."Untuk yang kesekian kalinya, Nita mengadukan perbuatan jahat Ibu mertuanya pada Fahmi yang merupakan anak kandungnya. Bisa saja memang, Nita tidak melaporkan semuanyanya pada Fahmi dan meminta uang pada Om Herman untuk menutupi keuangannya.Hanya saja, Nita sudah cukup geram dengan Ibu mertuanya. Lagipula, Nita adalah istri Fahmi, dia lebih berhak akan uang tersebut. Fahmi bekerja memang untuk keluarga, tapi yang paling utama adalah dirinya dan Andika .Karena bagaimanapun itu, Fahmi sudah menikah, dia memiliki anak dan istri, bukan lagi bujangan seperti dulu lagi."Lah, katanya Ibu habis kecopetan tadi, uangnya raib. Katanya juga kamu yang menyuruhnya untuk mengambil uang ke bank."Sontak, Nita langsung membulatkan mata ketika mendengar penuturan Ibu mertuanya yang bisa di bilang cukup keterlaluan.Diam-diam, Nita berdoa dalam hati, semoga saja uangnya
"Mas Martin, kamu jangan kasar seperti itu pada Mbak Tari!"Nita berusaha melerai, tetapi percuma saja karena Martin sama sekali tidak mengindahkan ucapannya.Mendengar teriakan Tari, beberapa orang yang kebetulan sedang mengobrol di teras rumah Bu Mala--tetangga Nita, langsung mengalihkan pandangan, menatap keberutalan Martin.Tidak ada satupun dari mereka yang berusaha memisahkan atau sebagainya, mereka tidak ingin ikut campur dalam urusan keluarga Titi."Mas!" Nita kembali berteriak dan di saat itu pula, seorang pemuda menghampirinya."Mbak, ada apa?"Nita menoleh, menatap pemuda yang sudah berdiri di sampingnya. Nita ingat betul dengan pemuda itu, dia yang kemarin sempat membantunya ketika dimarahi oleh Ibu mertuanya."Itu Kakak iparku, dia di seret oleh suaminya," jawab Nita sambil menunjuk ke arah Tari yang sudah semakin menjauh. Jujur saja, Nita ingin berbuat lebih, hanya saja dia juga takut jadi bulan-
[Om, bisa transfer uang ke rekeningku sekarang?]Tulis Nita dalam pesan singkatnya. Kemudian, dia langsung menekan tombol kirim.Tidak butuh waktu lama, bagi Om Herman membalas pesan Nita. Buktinya hanya dalam hitungan detik saja, pesan tersebut sudah muncul di layar ponsel Nita.[Baik, berapa yang kamu butuhkan, Nita?][Lima juta saja dulu, aku mau memberikannya sebagian pada Kakak iparku dan sisanya akan aku pakai untung modal warung.]Centang biru langsung terlihat di layar, ketika Nita baru mengirimkan pesan tersebut. Tidak lama setelah itu, sebuah panggilan dari Om Herman tampak di layar ponsel."Ya, Om, ada apa?""Kamu yakin ini menjalani ini semua, Nita?" tanya Herman melalui sambungan telepon.Cukup lama Nita terdiam, memikirkan semua yang telah dia perbuat selama ini. Sejah ini, Fahmi belum mengetahui siapa Nita sebenarnya.Rencananya, Nita akan memberitahu semuanya ketika Fahmi pulang, tetapi
Siang harinya, Nita segera pergi ke bank untuk mengambil uang yang baru saja Om Herman transfer. Tidak lupa, dia juga menyempatkan diri untuk pergi ke pasar yang kebetulan tidak jauh dari pasar, membeli beberapa barang yang akan dia gunakan untuk mengisi warungnya.Sedari kemarin malam, Fahmi tidak bisa di hubungi. Entah pria itu tertidur karena kelelahan atau apa, tetapi Nita benar-benar tidak cukup tenang.Ketika Nita tengah memilah-milah sayuran, tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing dari belakangnya. Nita menoleh, menatap Ibu mertuanya yang tengah berdiri di depan toko emas sambil mengobrol bersama seseorang."Aduh, Jeng, udah beli emas baru lagi, nih!" sahut wanita bertubuh gempal yang berdiri di samping Ibu mertuanya."Iya, dong, Jeng. Mumpung ada uang kiriman dari anak saya," balas Titi dengan begitu bangga, dia membolak-balik emas yang ada di tangannya."Eh, Jeng Titi, aku mau tanya dong, bener gak sih rumor yang se
"Lah, jadi Jeng Ima percaya sama siapa? Jeng, saya tuh tersiksa sama Nita. Udah deh, jangan percaya sama dia dan si Salma, mereka sama aja!" sungut Titi dan tentu saja, hal itu langsung menjadi perhatian orang-orang.Jeng Ima terdiam saja, kemudian memasukkan dompetnya ke dalam tas. Dia tidak menghiraukan Titi dan lebih memilih menatap Nita dan Salma."Kasian banget kamu, Nita. Jadi, selama ini gosip tentangmu itu benar." Bu Ima menepuk bahu Nita selama beberapa kali, membuat Titi terbelalak.Dia langsung menggertakkan gigi, ketika secara sengaja melihat Nita menoleh ke arahnya, kemudian menyunggingkan senyum sinis.Titi tidak menyangka, kalau Nita sudah berani melakukan itu padanya. Pokoknya Titi tidak akan tinggal diam, dia akan membalas semua perbuatan Nita kali ini."Awas saja, Nita!" batin Titi."Iya, Jeng. Kasian banget Nita, udah lama ngalamin ketidakadilan itu," balas Bu Salma sambil sesekali melirik Titi."Benar