Share

Anak dan Ibu Sama Saja!

"Ada apa, Ibu, menelponku sore-sore seperti ini?" tanya Fahmi melalui sambungan telepon. Sementara itu, tepat di samping Titi, ada Martin yang tengah menikmati tayangan sepakbola.

"Fahmi," lirih Titi, kembali berakting seperti biasanya.

"Lah, Ibu, kenapa?" 

Dari nada bicaranya saja sudah terdengar, kalau Fahmi begitu khawatir dengan Ibunya. Tetapi, dia tidak tahu kalau sebenarnya Ibunya itu tengah berpura-pura.

"Ibu, habis kecopetan, Fahmi. Tadi, Ibu, baru dari bank, ambil uang dari ATM, tapi ketika di angkot Ibu malah kecopetan."

Titi berpura-pura menagis tersedu-sedu, hal itu dia lakukan agar Fahmi bisa percaya dengan semua akal bulusnya.

"Ya Tuhan, memangnya Ibu baru mengambil berapa?"

"Lima juta, untuk Ibu berikan pada istrimu. Tapi, uangnya malah raib."

Mendengar Fahmi terdiam sejenak, Titi langsung menoleh ke arah Martin yang masih fokus menonton pertandingan sepakbola dengan volume Kecil.

Merasa di perhatikan oleh Ibunya, Martin menoleh, kemudian menggeleng pelan.

"Fahmi, kenapa diam?"

"Tidak, Bu. Tapi bukannya Ibu bisa mentransfer uangnya langsung ke rekening Nita, kenapa Ibu malah mengambilnya."

"Ah, itu, karena istrimu sedang sibuk, jadi dia menyuruh Ibu untuk mengambilkannya," dalih Titi, padahal Nita sama sekali tidak pernah menyuruhnya melakukan apapun.

"Ya, sudah, Ibu jangan menangis lagi. Sekarang Ibu beri Nita uang sisanya saja. Lain kali, Ibu harus berhati-hati lagi."

Seketika saja, Titi langsung melongo ketika mendengar ucapan Fahmi. Padahal dari awal, Titi ingin Fahmi memberikannya tambahan, bukannya malah membaginya lagi dengan Nita.

Kalau sudah begini, percuma saja Titi berpura-pura menagis, tapi apa yang dia inginkan tidak tercapai.

"Sudah dulu, ya, Ibu mau masak!"

Bip!

Titi langsung mematikan sambungan teleponnya, kemudian melemparkan benda persegi itu sembarang arah.

"Ah, menyebalkan!" hardik Titi. Wajahnya tampak begitu ditekuk, bibirnya mengatup rapat, menahan amarah.

"Jangan-jangan Nita mengadu pada Fahmi, jadinya dia tidak mau memberikan kita uang tambahan?" tebak Martin, membuat amarah Titi semakin memuncak.

"Pokoknya Ibu gak akan tinggal diam, kalau sampai Nita melaporkan semuanya pada Fahmi. Kurang ajar sekali!"

Titi beranjak dari duduk, kemudian melangkah menuju kamarnya yang jaraknya tidak terlalu jauh.

Sebelum menarik handle pintu, Titi lebih dulu menoleh, menatap Martin yang masih saja fokus menonton televisi.

"Pergi beli beras sana! Ibu, lapar dan nanti suruh istrimu masak, kemudian beres-beres rumah. Bilang padanya, jangan jadi menantu pemalas."

Brak!

Titi langsung menutup pintu dengan keras, kemudian merebahkan diri di atas ranjang. Bayang-bayang bisa segera melunasi motor miliknya terus berputar di kepala.

Barulah setelah itu, Titi bisa kembali berfoya-foya dengan penghasilan Fahmi, tanpa harus memikirkan sebuah cicilan.

"Ah, pengen banget bisa beli lagi perhiasan, kayak temen-temenku yang lain, 'kan nanti mereka pada iri tuh," gumam Titi sebelum akhirnya memejamkan mata.

***

"Tari, kamu ke warung Ceu Inah, gih!" 

Tari yang tengah mencuci pakaian di kamar mandi langsung menoleh, menatap suaminya yang berkacak pinggang.

"Aku lagi nyuci, tanggung tinggal dikit lagi, kamu aja, gih, Mas."

Padahal Tari berkata dengan nada rendah dan terkesan biasa saja, tetapi entah kenapa Martin malah membulatkan mata, kemudian menghampiri Tari dan menarik Tari dari kamar mandi.

Tari sempat meringis ketika memegang pergelangan tangannya yang sedikit memerah. Dia terisak, tetapi tidak dipedulikan oleh Martin. 

Pria itu malah menatap Tari dengan tajam, kemudian membuang pandangan ke arah lain.

"Dikit-dikit nangis! Dasar cengeng," teriak Martin sambil melemparkan uang senilai tiga puluh ribu ke hadapan Tari. "Cepat beli beras dan lauknya, jangan lama! Aku dan Ibu sudah lapar."

Tanpa banyak bicara, Tari langsung memungut uang tersebut, kemudian memasukkannya ke dalam saku daster. 

Jiwa dan batinnya benar-benar terluka. Tari adalah menantu di sini, tapi entah kenapa dia malah diperlukan layaknya pembantu. Seperti tidak ada rasa sayang maupun kasih yang Martin berikan padanya.

Tari benar-benar merasa menderita.

Sebelum keluar dari rumah, tari lebih dulu mengambil ponsel yang sedang dia isi daya di dapur. Dia menggenggam ponselnya dengan erat. 

Tari melangkah ke pintu belakang, kemudian mencari sandal jepitnya yang sudah hampir putus. Dia lupa, kapan pertama kali membeli sendal tersebut, rasanya sudah lebih dari setengah tahun.

"Halo Mbak tari, ada apa?" tanya Nita melalui sambungan telepon. Selama ini, Tari hanya mampu mencurahkan segalanya kepada Nita. Dia tidak memiliki cukup keberanian untuk bercerita pada keluarganya di kampung.

"Nit ...," lirih Tari. Suaranya terdengar serak, karena sepanjang perjalanan, dia terus menagis sesenggukan.

"Ya ampun, ada apa, Mbak?"

"Aku sudah tidak tahan lagi, Nita. Aku ingin pulang saja ke rumah orangtuaku. Tapi, aku tidak memiliki uang."

Tari sudah tidak bisa menahannya lagi, dadanya terlalu sesak, hatinya pun ikut teriris, kala melihat perlakuan buruk suami dan mertunya.

"Mbak, datanglah ke rumahku."

    

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status