[Om, bisa transfer uang ke rekeningku sekarang?]
Tulis Nita dalam pesan singkatnya. Kemudian, dia langsung menekan tombol kirim.Tidak butuh waktu lama, bagi Om Herman membalas pesan Nita. Buktinya hanya dalam hitungan detik saja, pesan tersebut sudah muncul di layar ponsel Nita.[Baik, berapa yang kamu butuhkan, Nita?][Lima juta saja dulu, aku mau memberikannya sebagian pada Kakak iparku dan sisanya akan aku pakai untung modal warung.]Centang biru langsung terlihat di layar, ketika Nita baru mengirimkan pesan tersebut. Tidak lama setelah itu, sebuah panggilan dari Om Herman tampak di layar ponsel."Ya, Om, ada apa?""Kamu yakin ini menjalani ini semua, Nita?" tanya Herman melalui sambungan telepon.Cukup lama Nita terdiam, memikirkan semua yang telah dia perbuat selama ini. Sejah ini, Fahmi belum mengetahui siapa Nita sebenarnya.Rencananya, Nita akan memberitahu semuanya ketika Fahmi pulang, tetapiSiang harinya, Nita segera pergi ke bank untuk mengambil uang yang baru saja Om Herman transfer. Tidak lupa, dia juga menyempatkan diri untuk pergi ke pasar yang kebetulan tidak jauh dari pasar, membeli beberapa barang yang akan dia gunakan untuk mengisi warungnya.Sedari kemarin malam, Fahmi tidak bisa di hubungi. Entah pria itu tertidur karena kelelahan atau apa, tetapi Nita benar-benar tidak cukup tenang.Ketika Nita tengah memilah-milah sayuran, tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing dari belakangnya. Nita menoleh, menatap Ibu mertuanya yang tengah berdiri di depan toko emas sambil mengobrol bersama seseorang."Aduh, Jeng, udah beli emas baru lagi, nih!" sahut wanita bertubuh gempal yang berdiri di samping Ibu mertuanya."Iya, dong, Jeng. Mumpung ada uang kiriman dari anak saya," balas Titi dengan begitu bangga, dia membolak-balik emas yang ada di tangannya."Eh, Jeng Titi, aku mau tanya dong, bener gak sih rumor yang se
"Lah, jadi Jeng Ima percaya sama siapa? Jeng, saya tuh tersiksa sama Nita. Udah deh, jangan percaya sama dia dan si Salma, mereka sama aja!" sungut Titi dan tentu saja, hal itu langsung menjadi perhatian orang-orang.Jeng Ima terdiam saja, kemudian memasukkan dompetnya ke dalam tas. Dia tidak menghiraukan Titi dan lebih memilih menatap Nita dan Salma."Kasian banget kamu, Nita. Jadi, selama ini gosip tentangmu itu benar." Bu Ima menepuk bahu Nita selama beberapa kali, membuat Titi terbelalak.Dia langsung menggertakkan gigi, ketika secara sengaja melihat Nita menoleh ke arahnya, kemudian menyunggingkan senyum sinis.Titi tidak menyangka, kalau Nita sudah berani melakukan itu padanya. Pokoknya Titi tidak akan tinggal diam, dia akan membalas semua perbuatan Nita kali ini."Awas saja, Nita!" batin Titi."Iya, Jeng. Kasian banget Nita, udah lama ngalamin ketidakadilan itu," balas Bu Salma sambil sesekali melirik Titi."Benar
Tidak lama kemudian, Nita dan Salma sampai di depan gang. Salma segera menepikan kendaraannya di pinggir jalan."Bu Salma, boleh tunggu di sini sebentar?""Iya, Nita. Kamu tenang saja, memangnya kamu akan bertemu di mana?" Nita keluar dari mobil, kemudian mengambil sebuah kantong keresek berukuran sedang yang ada di kursi belakang."Di sini, Bu. Sengaja aku menyuruh Mbak Tari berjalan sedikit. Aku takut, kalau Mas Martin sampai melihatnya."Tanpa sepengetahuan Bu Salma, Nita meraih kantong plastik hitam berukuran kecil dari tumpukan belanjaannya, kemudian memasukkannya ke dalam keresek hitam yang akan di serahkan pada Tari.Tidak ada seorangpun yang tahu, kalau keresek kecil itu berisi uang senilai lima juta. Kebetulan kemarin Nita meminta tambahan uang pada Herman, dia ingin memberikannya pada Tari sedikit lebih banyak lagi. Ketika keluar dari dari mobil, Nita mendapati layar ponselnya menyala, di mana nama
"Ah, i-itu saya tidak tahu, Bu," dalih Nita dengan sedikit terbata-bata. Padahal dia tahu dengan pasti, siapa pemilik mobil itu.Sesudah sampai di depan rumahnya, beberapa kali Nita menoleh ke arah mobil tersebut dan untungnya tidak ada seorangpun yang turun dari mobil tersebut.Nita semakin mempercepat aksinya. Takut tiba-tiba orang yang ada di mobil itu keluar dan yang lebih parahnya lagi, Bu Salma akan menanyakan perihal kedatangan pria itu."Aduh, Bu Nita, mau saya bantuin?" tawar Bu Salma, tetapi langsung ditolak oleh Nita."Tidak usah, Bu. Lagipula ini hanya sedikit, saya bisa sendiri."Wanita itu tampak begitu terburu-buru, membuat Salma langsung memicingkan mata, dia merasa ada yang aneh dengan Nita.Akan tetapi, tidak lama kemudian Salma menggeleng pelan, dia tidak seharusnya mencurigai Nita, siapa tahu ada hal mendesak yang tidak Nita ceritakan pada Salma."Ah, kalau begitu saya permisi dulu."Ketika Salma hendak masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba Nita datang, dadanya tampak
"Nita, terima kasih sudah mau membantu. Mbak, benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi."Awalnya Tari berdalih pada Martin, kalau dia akan membeli sesuatu ke warung Nita, padahal sebenarnya dia ingin meminta Nita untuk menyusun sebuah rencana, agar dia bisa kabur dari rumah orangtuanya."Sama-sama, Mbak." Nita sedikit memutar bola matanya, memperhatikan sekitar. "Mbak, Mas Martin tidak tahu kamu pergi ke sini?""Dia tahu, tapi kamu tidak usah khawatir, soalnya Mbak bilang sama Mas Martin, kalau Mbak mau belanja ke sini.""Semoga saja, Mbak."Nita kemudian membuka pintu warung, mempersilahkan Tari untuk masuk, agar mereka bisa lebih fokus lagi dalam menyusun semuanya.Akan tetapi, meskipun begitu, mereka juga tidak lepas memperhatikan sekitar, takut nanti ada orang yang tiba-tiba datang dan mendengarkan semua rencananya."Iya, Nita dan rencanakan Mbak akan pergi hari Minggu depan."Nita terdiam selama beberapa saat, lalu tidak lama kemudian matanya membulat sempurna."Tunggu! Buka
"Terserah Ibu mau mengatakan apa tentangku, tetapi yang pasti aku tidak peduli."Kali ini Titi benar-benar geram dengan Nita, tetapi dia juga tidak ingin pulang dari sini dengan tangan kosong. Maka dari itu, Titi langsung mengedarkan pandangan ke seisi warung Nita, mencari sesuatu yang mungkin bisa diambil dari sini.Akan tetapi, tanpa Titi ketahui kalau Tari yang duduk di luar warung sudah menyadari niat buruk dirinya. Dari itu, Tari segera bangkit dari duduknya, kemudian melenggang ke hadapan Titi, berusaha menghentikan pergerakan Ibu mertuanya."Minggir, Tari! Apa yang kamu lakukan di depan sana," sentak Titi, tetapi tidak di hiraukan oleh Tari. Perempuan itu malah berpura-pura tuli sambil memilih beberapa sayuran, ketika Titi tidak henti-hentinya berteriak di samping telinga. "S*al*n! Minggir, Tari." Titi mendorong tubuh Tari dengan cukup kasar, hingga pinggangnya sedikit mengenai ujung meja.Tari meringis selama beberapa saat, tetapi tidak di hiraukan oleh Titi. Melihat hal t
Nita mengecek beberapa kontak yang ada di ponsel tersebut, sekaligus memastikan jika masa aktif kartunya masih panjang.Karena memang, sudah lama sekali Nita tidak menyalakan ponsel tersebut, untung saja baterainya masih banyak.Orang yang hendak pertama kali Nita hubungi adalah Om Herman, dia ingin memberitahukan pada orang itu, kalau untuk saat ini, dia akan memakai ponselnya yang dulu, karena sebuah alasan tertentu.Yaitu, Nita tidak ingin Fahmi menghubunginya selama beberapa waktu ini, dia masih begitu muak dengan pria itu.Sulit sekali bagi Nita untuk memaafkan sekaligus mendengarkan penjelasan Fahmi yang Nita yakini, semuanya berisi sebuah kebohongan belaka."Nita, sejak kapan kamu menggunakan nomor ponsel ini lagi?" tanya Om Herman, ketika sambungan telepon diantara mereka saling terhubung."Baru saja, Om. Aku malas berhubungan dengan
"Jadi, apa yang harus Om lakukan, Nita?"Nita menghela napas, kemudian menjatuhkan dirinya sendiri ke atas ranjang."Om, hanya perlu membantu Mbak Tari saja, membawanya pulang ke kampung halamannya, karena dengan begitu, aku bisa memastikan kalau dia selamat sampai tujuan.""Baiklah, kamu tinggal atur waktunya saja," balas Om Herman.Kedua sudut bibir Nita terangkat ke atas, akhirnya satu-persatu rencananya sudah tersusun dengan cukup matang. Dia hanya tinggal menghubungi Tari saja, membicarakan rencana yang baru dia susun."Aku minta, Om melakukannya dengan cukup baik, aku tidak ingin jika Mbak Tari gagal melakukan aksinya.""Kamu tenang saja, Nita, Om, akan mengerahkan anak buah Om untuk membantumu.""Terima kasih, Om. Agar lebih matang lagi, aku akan mengajak Om bertemu dengan Mbak Tari.""Itu jauh lebih bagus, Nit