[Nita, apa yang mereka katakan tentangmu benar?]
Tari--isrti Martin mengirimkan rekaman suara yang baru saja dia dapatkan pada Nita. Tari dan Nita cukup dekat, bisa di bilang mereka memiliki nasib yang sama.
Hanya saja, tari lebih parah dari pad Nita, karena dia harus mendekam di rumah ini, merasakan ketidakadilan yang menimpa hidupnya.
Tidak lama kemudian, sebuah balasan dari Nita muncul di layar ponsel Tari yang sudah pecah, bahkan tulisan di layarnya pun tampak tidak jelas.
[Itu obrolan mereka barusan, Mbak?]
Dengan cepat Tari langsung mengetikkan sebuah balasan, karena dari kejauhan terdengar sebuah derap langkah yang semakin mendekat ke arahnya.
[Ya, itu rekaman yang baru saja aku dapatkan.]
Krett ....
Pintu terbuka, memperlihatkan Martin yang tengah memandang ke arah Tari.
"Kenapa, Mas?"
Tanpa banyak bicara, Martin langsung menghampiri ranjang, lalu menghempaskan tubuhnya dengan sedikit kasar.
"Aku ngantuk, mau tidur."
"Mas, gak bekerja?" cicit Tari, dia takut kalau suaminya itu akan murka, kalau disinggung soal pekerjaan.
"Sudahlah, aku lelah. Lagipula uang Fahmi masih banyak, kita pakai saja. Lagipula uang gak bakal dibawa mati, manfaatkan saja yang ada."
Tari menghela napas kasar, kemudian mengelus dadanya secara perlahan. Dia benar-benar kesal dengan Martin, pria itu seakan hilang tanggungjawab terhadap keluarganya.
Pekerjaan setiap hari hanya tidur dan tidur, masalah dapur semuanya memakai uang gajian Fahmi, padahal adik iparnya itu juga mempunyai tanggungan, anak dan istrinya tidak terlalu Martin dan Titi hiraukan.
Padahal Nita dan Andika jauh lebih berhak, di bandingkan dengan Titi dan Martin.
Tari tidak habis pikir, sebenarnya apa isi otak Martin dan Titi, keduanya begitu jahat dan pemalas. Andai saja, Tari mempunyai uang lebih, dia pasti akan memilih pulang kampung dan berpisah dengan pria pemalas seperti Martin.
***
"Nita, keluar kamu, Nita!" Titi terus berteriak di depan rumah Nita, hingga beberapa orang nampak memperhatikannya dari kejauhan.
Akan tetapi, Titi tidak peduli pada hal tersebut, apalagi orang-orang itu hanya memperhatikannya saja, tidak berani bertanya padanya langsung.
Bukannya orang-orang tidak ingin bertanya atau sekedar menjumpainya saja, hanya saja mereka semua sudah tahu dengan sifat Titi yang angkuh dan sombong.
Sehingga warga perkampungan enggan berteman dengannya, takut sifat sombongnya itu ikut menjalar kepada mereka.
"Astaga, ada apa, Bu? Sampai teriak-teriak seperti itu, malu di liatin warga," ucap Nita ketika baru membuka pintu.
Bukan sekedar malu saja, tapi Nita juga kadang jadi bulan-bulanan warga, karena suka terganggu oleh suara cempreng Titi ketika berteriak atau marah-marah padanya.
"Halah, bodo amat! Emangnya gue pikirin apa," balas Titi dengan nada tinggi, membuat beberapa orang warga yang sempat menonton adegan tersebut, kembali masuk ke rumah masing-masing.
"Terus, mau apa Ibu datang kemari?"
"Ambil beras!"
Ketika Titi hendak masuk, Nita langsung menghalangi jalan masuk. Membuat Titi langsung menggertakkan gigi.
"Kenapa gak beli sendiri aja, Bu! Bukannya Ibu pegang uang gajian Mas Fahmi, lalu kenapa Ibu malah minta beras ke sini, padahal aku sama sekali tidak di beri uang oleh Ibu."
Titi langsung tersenyum sinis ketika mendengar ucapan Nita, dia langsung menyilangkan tangannya di dada, tatapan merendahkan dia layangkan pada Nita.
"Begitu, ya!" Titi sedikit mendekat ke hadapan Nita. "Uang lima ratus ribu yang aku berikan kemarin kamu apakan saja? Dasar, istri boros, tidak pandai mengatur pengeluaran! Makanya kerja dong, jangan cuma ngandelin uang suami aja. Pemalas!"
Padahal Titi tidak tahu, kalau sekarang Nita sudah kembali bekerja di restoran mewah miliknya. Hanya saja, Titi tidak percaya dan menganggap semuanya lelucon.
Nita tidak peduli, bukannya bagus jika Titi tidak percaya, dia hanya perlu membuktikan hasilnya saja suatu saat nanti.
"Ibu, pikir uang lima ratus ribu cukup untuk hidup kami selama hampir dua bulan? Apa Ibu pernah berpikir demikian?!"
Dada Nita naik turun, dia benar-benar naik pitam sekarang. Percuma saja mengalah yang ada dia malah diinjak-injak oleh Nenek Lampir satu ini.
"Kurang ajar kamu, Nita!"
Ketika Titi hendak melayangkan tamparan pada Nita, tiba-tiba saja seseorang mencengkram tangan Titi, hingga perempuan itu meringis kesakitan.
"Bu, jangan kasar seperti itu!" protes seorang pria.
Nita menyipitkan mata, dia merasa baru pertama kali melihat pria itu. Nita berpikir, kalau pria itu mungkin saja warga baru di sini.
Karena selama ini, tidak ada satupun warga asli sini yang mau membantu dirinya ketika di sakiti oleh Titi.
Mereka tidak ingin ikut campur masalah Titi dan Nita, karena sikap Titi yang memang suka semena-mena dan suka membesarkan masalah.
"Siapa kamu, berani ikut campur masalah saya!" Titi melotot, wajahnya sedikit mengeras, menahan amarah.
"Ada apa, Ibu, menelponku sore-sore seperti ini?" tanya Fahmi melalui sambungan telepon. Sementara itu, tepat di samping Titi, ada Martin yang tengah menikmati tayangan sepakbola."Fahmi," lirih Titi, kembali berakting seperti biasanya."Lah, Ibu, kenapa?" Dari nada bicaranya saja sudah terdengar, kalau Fahmi begitu khawatir dengan Ibunya. Tetapi, dia tidak tahu kalau sebenarnya Ibunya itu tengah berpura-pura."Ibu, habis kecopetan, Fahmi. Tadi, Ibu, baru dari bank, ambil uang dari ATM, tapi ketika di angkot Ibu malah kecopetan."Titi berpura-pura menagis tersedu-sedu, hal itu dia lakukan agar Fahmi bisa percaya dengan semua akal bulusnya."Ya Tuhan, memangnya Ibu baru mengambil berapa?""Lima juta, untuk Ibu berikan pada istrimu. Tapi, uangnya malah raib."Mendengar Fahmi terdiam sejenak, Titi langsung menoleh ke arah Martin yang masih fokus menonton pertandingan sepakbola dengan volume Kecil.Merasa di perhatikan oleh Ibunya, Martin menoleh, kemudian menggeleng pelan."Fahmi, kenap
"Mas, Ibu, tidak lagi memberikan uang bulanan padaku, sementara itu banyak pembayaran sekolah Andika yang harus segera aku lunasi."Untuk yang kesekian kalinya, Nita mengadukan perbuatan jahat Ibu mertuanya pada Fahmi yang merupakan anak kandungnya. Bisa saja memang, Nita tidak melaporkan semuanyanya pada Fahmi dan meminta uang pada Om Herman untuk menutupi keuangannya.Hanya saja, Nita sudah cukup geram dengan Ibu mertuanya. Lagipula, Nita adalah istri Fahmi, dia lebih berhak akan uang tersebut. Fahmi bekerja memang untuk keluarga, tapi yang paling utama adalah dirinya dan Andika .Karena bagaimanapun itu, Fahmi sudah menikah, dia memiliki anak dan istri, bukan lagi bujangan seperti dulu lagi."Lah, katanya Ibu habis kecopetan tadi, uangnya raib. Katanya juga kamu yang menyuruhnya untuk mengambil uang ke bank."Sontak, Nita langsung membulatkan mata ketika mendengar penuturan Ibu mertuanya yang bisa di bilang cukup keterlaluan.Diam-diam, Nita berdoa dalam hati, semoga saja uangnya
"Mas Martin, kamu jangan kasar seperti itu pada Mbak Tari!"Nita berusaha melerai, tetapi percuma saja karena Martin sama sekali tidak mengindahkan ucapannya.Mendengar teriakan Tari, beberapa orang yang kebetulan sedang mengobrol di teras rumah Bu Mala--tetangga Nita, langsung mengalihkan pandangan, menatap keberutalan Martin.Tidak ada satupun dari mereka yang berusaha memisahkan atau sebagainya, mereka tidak ingin ikut campur dalam urusan keluarga Titi."Mas!" Nita kembali berteriak dan di saat itu pula, seorang pemuda menghampirinya."Mbak, ada apa?"Nita menoleh, menatap pemuda yang sudah berdiri di sampingnya. Nita ingat betul dengan pemuda itu, dia yang kemarin sempat membantunya ketika dimarahi oleh Ibu mertuanya."Itu Kakak iparku, dia di seret oleh suaminya," jawab Nita sambil menunjuk ke arah Tari yang sudah semakin menjauh. Jujur saja, Nita ingin berbuat lebih, hanya saja dia juga takut jadi bulan-
[Om, bisa transfer uang ke rekeningku sekarang?]Tulis Nita dalam pesan singkatnya. Kemudian, dia langsung menekan tombol kirim.Tidak butuh waktu lama, bagi Om Herman membalas pesan Nita. Buktinya hanya dalam hitungan detik saja, pesan tersebut sudah muncul di layar ponsel Nita.[Baik, berapa yang kamu butuhkan, Nita?][Lima juta saja dulu, aku mau memberikannya sebagian pada Kakak iparku dan sisanya akan aku pakai untung modal warung.]Centang biru langsung terlihat di layar, ketika Nita baru mengirimkan pesan tersebut. Tidak lama setelah itu, sebuah panggilan dari Om Herman tampak di layar ponsel."Ya, Om, ada apa?""Kamu yakin ini menjalani ini semua, Nita?" tanya Herman melalui sambungan telepon.Cukup lama Nita terdiam, memikirkan semua yang telah dia perbuat selama ini. Sejah ini, Fahmi belum mengetahui siapa Nita sebenarnya.Rencananya, Nita akan memberitahu semuanya ketika Fahmi pulang, tetapi
Siang harinya, Nita segera pergi ke bank untuk mengambil uang yang baru saja Om Herman transfer. Tidak lupa, dia juga menyempatkan diri untuk pergi ke pasar yang kebetulan tidak jauh dari pasar, membeli beberapa barang yang akan dia gunakan untuk mengisi warungnya.Sedari kemarin malam, Fahmi tidak bisa di hubungi. Entah pria itu tertidur karena kelelahan atau apa, tetapi Nita benar-benar tidak cukup tenang.Ketika Nita tengah memilah-milah sayuran, tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing dari belakangnya. Nita menoleh, menatap Ibu mertuanya yang tengah berdiri di depan toko emas sambil mengobrol bersama seseorang."Aduh, Jeng, udah beli emas baru lagi, nih!" sahut wanita bertubuh gempal yang berdiri di samping Ibu mertuanya."Iya, dong, Jeng. Mumpung ada uang kiriman dari anak saya," balas Titi dengan begitu bangga, dia membolak-balik emas yang ada di tangannya."Eh, Jeng Titi, aku mau tanya dong, bener gak sih rumor yang se
"Lah, jadi Jeng Ima percaya sama siapa? Jeng, saya tuh tersiksa sama Nita. Udah deh, jangan percaya sama dia dan si Salma, mereka sama aja!" sungut Titi dan tentu saja, hal itu langsung menjadi perhatian orang-orang.Jeng Ima terdiam saja, kemudian memasukkan dompetnya ke dalam tas. Dia tidak menghiraukan Titi dan lebih memilih menatap Nita dan Salma."Kasian banget kamu, Nita. Jadi, selama ini gosip tentangmu itu benar." Bu Ima menepuk bahu Nita selama beberapa kali, membuat Titi terbelalak.Dia langsung menggertakkan gigi, ketika secara sengaja melihat Nita menoleh ke arahnya, kemudian menyunggingkan senyum sinis.Titi tidak menyangka, kalau Nita sudah berani melakukan itu padanya. Pokoknya Titi tidak akan tinggal diam, dia akan membalas semua perbuatan Nita kali ini."Awas saja, Nita!" batin Titi."Iya, Jeng. Kasian banget Nita, udah lama ngalamin ketidakadilan itu," balas Bu Salma sambil sesekali melirik Titi."Benar
Tidak lama kemudian, Nita dan Salma sampai di depan gang. Salma segera menepikan kendaraannya di pinggir jalan."Bu Salma, boleh tunggu di sini sebentar?""Iya, Nita. Kamu tenang saja, memangnya kamu akan bertemu di mana?" Nita keluar dari mobil, kemudian mengambil sebuah kantong keresek berukuran sedang yang ada di kursi belakang."Di sini, Bu. Sengaja aku menyuruh Mbak Tari berjalan sedikit. Aku takut, kalau Mas Martin sampai melihatnya."Tanpa sepengetahuan Bu Salma, Nita meraih kantong plastik hitam berukuran kecil dari tumpukan belanjaannya, kemudian memasukkannya ke dalam keresek hitam yang akan di serahkan pada Tari.Tidak ada seorangpun yang tahu, kalau keresek kecil itu berisi uang senilai lima juta. Kebetulan kemarin Nita meminta tambahan uang pada Herman, dia ingin memberikannya pada Tari sedikit lebih banyak lagi. Ketika keluar dari dari mobil, Nita mendapati layar ponselnya menyala, di mana nama
"Ah, i-itu saya tidak tahu, Bu," dalih Nita dengan sedikit terbata-bata. Padahal dia tahu dengan pasti, siapa pemilik mobil itu.Sesudah sampai di depan rumahnya, beberapa kali Nita menoleh ke arah mobil tersebut dan untungnya tidak ada seorangpun yang turun dari mobil tersebut.Nita semakin mempercepat aksinya. Takut tiba-tiba orang yang ada di mobil itu keluar dan yang lebih parahnya lagi, Bu Salma akan menanyakan perihal kedatangan pria itu."Aduh, Bu Nita, mau saya bantuin?" tawar Bu Salma, tetapi langsung ditolak oleh Nita."Tidak usah, Bu. Lagipula ini hanya sedikit, saya bisa sendiri."Wanita itu tampak begitu terburu-buru, membuat Salma langsung memicingkan mata, dia merasa ada yang aneh dengan Nita.Akan tetapi, tidak lama kemudian Salma menggeleng pelan, dia tidak seharusnya mencurigai Nita, siapa tahu ada hal mendesak yang tidak Nita ceritakan pada Salma."Ah, kalau begitu saya permisi dulu."Ketika Salma hendak masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba Nita datang, dadanya tampak