Share

Rencana Busuk Titi dan Martin

"Apa Ibu percaya kalau Nita itu anak orang kaya?" tanya Martin pada Titi, ketika mereka berdua tengah menikmati goreng pisang pemberian tetangga.

Titi meraih segelas teh hangat yang ada di hadapannya, lalu meneguknya hingga tinggal setengahnya.

"Tentu saja tidak!" balas Titi sambil kembali menyimpan gelas ke atas meja dengan cukup keras. "Mana mungkin si Nita kaya, Ibu tahu betul kalau dia tinggal di kosan murah, bajunya juga kumuh, gak punya perhiasan. Palingan si Nita halu, cuma buat nakut-nakutin kita aja."

"Ibu, benar!"

Martin mengangguk pelan, kemudian kembali melahap sepotong goreng pisang. Tidak lama setelah itu, Bagas--anak laki-laki Martin menghampiri.

"Ayah, minta duit!" pinta Bagas, kemudian menengadahkan tangan di hadapan Martin.

"Duit untuk apa?" sungut Martin, matanya terbelalak, sementara itu mulutnya sedikit mengembung, belum sempat menelan goreng pisang.

Bagas menunduk, ketika tangannya hendak meraih goreng pisang yang tinggal satu lagi di piring. Titi langsung memukul lengan Bagas, kemudian meraih goreng pisang tersebut dan menggigitnya hingga tinggal setengahnya.

"Mau jajan cilok, Yah. Minta dua ribu."

Mendengar rengekan anaknya, Martin langsung menghela napas panjang, kemudian dia berdiri dari duduk, merogoh saku celananya.

"Gak ada, minta sama Ibu kamu aja, gih!" balas Martin sambil mengibaskan tangannya, mengusir Bagas untuk segera menemui Ibunya.

"Ibu, gak punya uang, katanya suruh minta sama Ayah aja."

"Bu, kasih dua ribu aja. Kasian, cucu Ibu mau jajan cilok."

Titi mendelik, bibirnya sedikit mengatup rapat. Dia begitu tidak suka dengan anak kecil yang suka merengek seperti ini.

Menjengkelkan saja!

Kalau saja Bagas bukan cucunya dan Martin tidak ada di hadapannya, Titi tidak akan sudi memberikan anak itu sepeserpun. 

Titi menghela napas, kemudian ikut merogoh saku celananya dan segera memberikan uang senilai dua ribu itu pada Bagas, tidak lebih.

"Nih! Makanya tabung uangnya, jangan dipake jajan Mulu," omel Titi, dari nada bicaranya saja sudah terlihat, kalau dia tampak berat memberikan uang tersebut.

"Oma, tambahin lagi, sekalian buat beli minuman sasetnya, soalnya suka haus."

Titi berdecak, kemudian mendaratkan bobot tubuhnya di kursi. Dia kembali melahap sisa goreng pisang yang tergeletak di piring.

"Gak ada, udah minta aja sama temen kamu minumnya, bilangin jangan pelit-pelit," sungut Titi dengan mulut penuh makanan. "Udah, sana pergi!" Kali ini Titi mengibaskan tangannya, mengusir Bagas untuk segera pergi.

Titi merasa semakin pusing saja, kalau anak itu ada di rumah. Kerjaannya hanya meminta uang saja, tidak ada yang lain. Membuat Titi semakin muak dan kesal pada Bagas.

Di sisi lain, Titi merasa bersyukur, karena hanya ada Bagas saja di rumahnya. Coba kalau Andika--anak dari Fahmi ada di sini, mungkin Titi sudah benar-benar gila, karena kedua cucunya pasti akan sangat merepotkannya saja.

"Ah, menyebalkan saja!" gumam Titi yang tidak sengaja terdengar oleh Martin.

"Siapa yang menyebalkan?" tanya Martin penuh selidik. 

Karena bagaimanapun itu, dia tidak suka kalau anak laki-lakinya sudah di omeli oleh Ibunya. Menurut Martin, Bagas adalah aset berharga untuknya.

"Si Nita," bohong Titi sambil memasang wajah sebal. Bisa bahaya, kalau dia berkata pada Martin, jika dia kesal dengan Bagas. "Soalnya kita lagi bahas si Nita, 'kan, tadi."

"Lalu, mau kita apakan bukti ini, Bu?"

Martin menyalakan ponselnya, menetap sebuah foto yang sedikit tidak jelas. Jujur saja, Martin merasa kalau itu tidak terlihat seperti foto Nita dan laki-laki lain, karena memang kualitas fotonya cukup buruk.

"Ah, lama-lama aku pusing melihat foto ini!" omel Martin sambil menyingkirkan ponsel tersebut dari pandangannya. "Bu, bisa belikan aku ponsel baru? Ini ponsel bekas Fahmi tiga tahun yang lalu, aku sudah muak."

Tidak anaknya, tidak cucunya keduanya sama-sama meresahkan dan merepotkan saja. 

Titi semakin sebal saja berada di rumah, tidak ada satupun orang yang bisa di andalkan, semuanya benar-benar memusingkan.

"Ya, kita cari ponsel bekas saja, banyak dan lebih murah."

"Bu, uang dari Fahmi itu banyak, bahkan tidak Ibu berikan pada Nita sedikitpun, masa untuk membeli ponsel senilai dua juta saja sulitnya minta ampun." 

Karena merasa sangat pusing, Titi hanya mengangguk saja, dia tidak ingin terlibat pertengkaran dengan Martin. Sudah cukup, kepalanya berdenyut seharian ini.

"Tapi, Bu, bukannya bagus, ya, kalau si Nita kaya, kita bisa pura-pura baik sama dia, terus porotin hartanya." Martin menuturkan ide gilanya pada Titi dengan bibir yang menyunggingkan senyuman.

"Sudahlah! Lagipula si Nita itu tidak kaya! Dia hanya mau menipu kita saja, dia pikir kita mampu di b*d*hi olehnya, padahal pada nyatanya tidak."

Titi begitu yakin, kalau menantunya itu hanya mau menipu dirinya dan Martin saja. Agar dirinya mau memberikan uang bulanan dari Fahmi.

"Lalu, soal pria paruh baya itu, Ibu gak curiga?"

Titi menoleh, menatap Martin dengan begitu tajam.

"Tentu saja tidak!" Titi sedikit mendekatkan wajahnya ke hadapan Martin. "Si Nita itu cantik, pasti Om-om itu mau membantunya karena ada maunya saja. Baguskan, kalau misalnya si Nita di jual sama tuh Om-om."

"Benar juga! Ibu, memang pintar! Diam-diam kita memang harus menemui pria itu," sambung Martin yang langsung di balas anggukan oleh Titi.

"Kita sepemikiran, Martin!"

Tanpa mereka ketahui, bahwa sedari tadi ada yang merekam percakapan keduanya melalui rekaman suara.

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status