Sore harinya, Nita mengajak serta Andika untuk bertemu dengan Om Herman--orang kepercayaan almarhum Ayahnya yang masih setia bekerja.
Di sebuah kafe yang ada di pusat kota, Nita dan Andika duduk di pojok ruangan, tetapi tetap saja dia tidak luput menjadi perhatian orang-orang hanya karena penampilannya yang bisa di bilang biasa saja.
Malahan ada orang yang secara terang-terangan mengejek ke arahnya. Nita sendiri tidak peduli, karena penampilan bukanlah segalanya. Nita yakin, orang-orang itu pasti akan terkejut, ketika mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.
"Nita, sudah menunggu lama?"
Sontak, Nita menoleh, menatap Om Herman yang baru saja datang, penampilannya cukup rapih, wajar saja dia adalah manager restoran ini.
"Tidak juga, Om."
Seperti orang-orang yang lainnya, Om Herman memperhatikan penampilan Nita dari atas hingga bawah, mulut dan matanya ikut membulat sempurna.
"Ya Tuhan, Nita ada denganmu? Ke-kenapa kamu menjadi seperti ini, apa yang terjadi denganmu?"
Nita terkekeh pelan, kemudian bangkit, menuntun Om Herman untuk duduk di hadapannya. Hal itu, membuat semua orang semakin melongo.
"Nita, kenapa seperti ini?" tanya Om Herman dengan nada rendah.
Nita tersenyum tipis, kemudian menggeleng pelan.
"Entahlah, Om, kenapa aku bisa seperti ini. A-aku benar-benar b*d*h telah bertahan dalam situasi seperti ini."
Om Herman menghela napas panjang, tatapannya begitu getir, sesekali dia menoleh ke arah Andika.
"Anakmu sudah besar, ya!" ucap Om Herman sambil mengelus rambut Andika. "Sudah lama, kita tidak berjumpa. Ibumu, benar-benar keras kepala, Dika. Dia bersikeras menjalani semuanya, tanpa ingin melibatkan Om di dalamnya, sekarang dia menyerah juga."
"Memangnya Om siapa?" Andika melontarkan sebuah pertanyaan pada Om Herman yang tengah tersenyum ke arahnya.
"Dulu Om adalah salah satu pekerjaan di keluargamu, ketika Kakekmu masih ada."
Andika mengangguk pelan, tetapi raut kebingungan masih tergambar jelas di wajahnya.
"Sudah kamu makan dulu, ya!" sambung Om Herman yang di jawab anggukan oleh Andika.
"Bagaimana Nita, apa kamu mau kembali lagi ke rumahmu dan meninggalkan orang yang katanya kamu cintai itu?"
Dibalik pertanyaan Om Herman, terselip sebuah sindiran yang memang dia tunjukkan pada Nita.
Herman sangat kesal sekaligus marah pada Nita, karena gara-gara pria yang dia cintai, Nita sampai rela melakukan segala hal, hingga dirinya harus tersiksa seperti ini.
Dari dulu, Herman selalu menawarkan bantuan untuknya, tetapi dengan keras kepalanya Nita selalu menolak, dia selalu berkata bisa melakukan segalanya sendiri.
"Om, tidak marah padaku?"
"Tentu saja aku marah, Nita!" seru Herman. "Kamu tidak mengabari Om selama beberapa tahun dan menjalani semuanya tanpa menginginkan bantu apapun, kamu pikir selama ini Om tidak pernah mengawasimu? Tapi, memang Om tidak bisa berbuat apa-apa."
Nita menunduk dalam, dia menghela napas panjang. Bagaimanapun itu, dia memang begitu menyesal.
Karena terlalu keras kepala, Nita jadi menjalani hidup yang tidak semestinya, penuh tekanan dan serba kekurangan. Andai saja, dulu Nita tidak keras kepala, mungkin semuanya tidak akan seperti ini.
Nita meremas daster yang dia gunakan, dia bahkan sudah lupa, kapan terakhir kali memakai baju yang sedikit mewah, karena memang selama suaminya bekerja di luar kota, dia jarang bisa membeli apa yang dia inginkan.
"Sudahlah, Nita, jangan menyesali semuanya. Sekarang kamu sudah sadar, 'kan?"
"Iya, Om."
Tanpa basa-basi, Om Herman langsung meraih dompet dari saku celananya, kemudian menyimpan tiga kartu ATM di atas meja.
"Gunakan uang ini, jangan terus berpura-pura tidak mampu. Ingat, kamu adalah pewaris perusahaan Ayahmu, termasuk restoran ini."
Entah di sengaja atau bagaimana, tetapi Om Herman berkata dengan nada tinggi, membuat beberapa orang yang mendengar hal tersebut, langsung terbelalak.
Bahkan, orang yang sedari tadi secara terang-terangan mengejak Nita, langsung menelan ludah susah payah sambil menunduk dalam.
Tidak mereka sangka, orang yang tadi mereka rendahkan bukanlah sembarang orang.
"Baiklah, Om. Aku ambil ini semua dan mulai hari ini, aku akan ambil alih restoran ini."
"Lakukan semaumu, Nita. Om, akan dukung semua keputusanmu."
Di saat Nita dan Om Herman tengah mengobrol, tiba-tiba saja dari pintu masuk datang dua orang yang cukup Nita kenal.
"Akhir kita bisa makan enak," ucap seorang pria yang tidak lain adalah Martin.
Nita menoleh, kemudian melangkah ke arah Martin dan Titi.
"Sebelum kalian makan enak, tolong berikan dulu uang bulanan yang suamiku titipkan pada kalian."
Sontak, Martin dan Titi langsung mendongak, kemudian menatap Nita dengan tatapan merendahkan.
"Ngapain kamu di sini? Penampilan udah kaya g*mb*l aja so-soan makan di restoran."
"Biarin kaya g*mb*l yang terpenting, aku adalah pemilik restoran tempat kalian makan ini."
Mendengar penuturan Nita, Martin dan Titi langsung tertawa terbahak-bahak. Mereka pikir, semua yang Nita ucapankan adalah lelucon.
"Halu kamu, Nita!"
"Tidak, semuanya itu benar!" Tiba-tiba Om Herman datang, mengatakan kata-kata yang mampu membuat Martin dan Titi saling pandang.
Tanpa di duga-duga, Titi langsung melongo, kemudian tubuhnya ambruk ke lantai. Wanita itu pingsan di hadapan para pelanggan.
"Semua ini gara-gara kamu, Nita!" Tiba-tiba saja Martin langsung menyalahkan Nita atas semua yang telah menimpa Martin. "Kalau saja kamu tidak berkata sebuah kebohongan seperti itu, Ibuku pasti tidak akan pingsan!"Martin berteriak sambil terus menggerakkan tubuh Ibunya yang masih tergeletak di lantai. Sedari tadi, Nita dan Om Herman sudah memanggil pegawai untuk mengangkat tubuh Titi, tetapi Martin marah mendorong tubuh pegawai itu, hingga dia terjatuh.Dengan penuh dramanya, Martin malah terus menangis tersedu-sedu sambil memeluk tubuh Ibunya.Akan tetapi, ada sedikit yang menarik perhatian Nita. Dia mana mata Titi sesekali bergetar, dia seperti pura-pura pingsan.Nita tidak banyak bicara, dia membiarkannya terlebih dahulu, ingin tahu langkah apa yang akan Titi ambil selanjutnya. Karena Nita tahu, Nenek Lampir itu begitu licik, di kepalanya kadang bersarang ide-ide gila yang tidak pernah Nita pikiran sebelumnya."Pokoknya aku minta ganti rugi!" raung Martin sambil bangkit, menatap
Wajah Titi memerah sempurna, tangannya terkepal dengan cukup keras. Tanpa aba-aba, Titi langsung melangkah, hendak melayangkan tamparan pada Nita.Akan tetapi, dengan cepat Herman langsung mencekal tangan Titi, hingga perempuan itu meringis kesakitan.Martin yang melihat hal tersebut, bukannya membantu Ibunya yang terus meringis, dia malah mundur beberapa langkah, ketika secara tidak sengaja dia saling bertatapan dengan Herman."Martin, mau ke mana kamu? Bantu, Ibu!" pekik Titi, membuat beberapa orang menatap ke arahnya. Tapi, tidak seorangpun yang mau membantunya."Jangan pernah berani menyentuh Nita sedikitpun, kalau kamu tidak ingin berurusan dengan saya!" ucap Herman dengan penuh penekanan. Sebelum akhirnya, melepas cengkraman tangannya.Titi mendelik, tatapan kebencian dia layangkan pada Nita yang tengah tersenyum sinis."Memangnya siapa kamu? Saya Ibu mertuanya dan saya lebih berhak dari pada kamu," teriak Titi sambil mengarahkan jari telunjuknya ke dada Herman, kemudian mendoro
"Apa Ibu percaya kalau Nita itu anak orang kaya?" tanya Martin pada Titi, ketika mereka berdua tengah menikmati goreng pisang pemberian tetangga.Titi meraih segelas teh hangat yang ada di hadapannya, lalu meneguknya hingga tinggal setengahnya."Tentu saja tidak!" balas Titi sambil kembali menyimpan gelas ke atas meja dengan cukup keras. "Mana mungkin si Nita kaya, Ibu tahu betul kalau dia tinggal di kosan murah, bajunya juga kumuh, gak punya perhiasan. Palingan si Nita halu, cuma buat nakut-nakutin kita aja.""Ibu, benar!"Martin mengangguk pelan, kemudian kembali melahap sepotong goreng pisang. Tidak lama setelah itu, Bagas--anak laki-laki Martin menghampiri."Ayah, minta duit!" pinta Bagas, kemudian menengadahkan tangan di hadapan Martin."Duit untuk apa?" sungut Martin, matanya terbelalak, sementara itu mulutnya sedikit mengembung, belum sempat menelan goreng pisang.Bagas menunduk, ketika tangannya hendak meraih goreng pisang yang tinggal satu lagi di piring. Titi langsung memuku
[Nita, apa yang mereka katakan tentangmu benar?]Tari--isrti Martin mengirimkan rekaman suara yang baru saja dia dapatkan pada Nita. Tari dan Nita cukup dekat, bisa di bilang mereka memiliki nasib yang sama.Hanya saja, tari lebih parah dari pad Nita, karena dia harus mendekam di rumah ini, merasakan ketidakadilan yang menimpa hidupnya.Tidak lama kemudian, sebuah balasan dari Nita muncul di layar ponsel Tari yang sudah pecah, bahkan tulisan di layarnya pun tampak tidak jelas.[Itu obrolan mereka barusan, Mbak?]Dengan cepat Tari langsung mengetikkan sebuah balasan, karena dari kejauhan terdengar sebuah derap langkah yang semakin mendekat ke arahnya.[Ya, itu rekaman yang baru saja aku dapatkan.]Krett ....Pintu terbuka, memperlihatkan Martin yang tengah memandang ke arah Tari."Kenapa, Mas?"Tanpa banyak bicara, Martin langsung menghampiri ranjang, lalu menghempaskan tubuhnya dengan sedikit kasar."Aku ngantuk, mau tidur.""Mas, gak bekerja?" cicit Tari, dia takut kalau suaminya itu
"Ada apa, Ibu, menelponku sore-sore seperti ini?" tanya Fahmi melalui sambungan telepon. Sementara itu, tepat di samping Titi, ada Martin yang tengah menikmati tayangan sepakbola."Fahmi," lirih Titi, kembali berakting seperti biasanya."Lah, Ibu, kenapa?" Dari nada bicaranya saja sudah terdengar, kalau Fahmi begitu khawatir dengan Ibunya. Tetapi, dia tidak tahu kalau sebenarnya Ibunya itu tengah berpura-pura."Ibu, habis kecopetan, Fahmi. Tadi, Ibu, baru dari bank, ambil uang dari ATM, tapi ketika di angkot Ibu malah kecopetan."Titi berpura-pura menagis tersedu-sedu, hal itu dia lakukan agar Fahmi bisa percaya dengan semua akal bulusnya."Ya Tuhan, memangnya Ibu baru mengambil berapa?""Lima juta, untuk Ibu berikan pada istrimu. Tapi, uangnya malah raib."Mendengar Fahmi terdiam sejenak, Titi langsung menoleh ke arah Martin yang masih fokus menonton pertandingan sepakbola dengan volume Kecil.Merasa di perhatikan oleh Ibunya, Martin menoleh, kemudian menggeleng pelan."Fahmi, kenap
"Mas, Ibu, tidak lagi memberikan uang bulanan padaku, sementara itu banyak pembayaran sekolah Andika yang harus segera aku lunasi."Untuk yang kesekian kalinya, Nita mengadukan perbuatan jahat Ibu mertuanya pada Fahmi yang merupakan anak kandungnya. Bisa saja memang, Nita tidak melaporkan semuanyanya pada Fahmi dan meminta uang pada Om Herman untuk menutupi keuangannya.Hanya saja, Nita sudah cukup geram dengan Ibu mertuanya. Lagipula, Nita adalah istri Fahmi, dia lebih berhak akan uang tersebut. Fahmi bekerja memang untuk keluarga, tapi yang paling utama adalah dirinya dan Andika .Karena bagaimanapun itu, Fahmi sudah menikah, dia memiliki anak dan istri, bukan lagi bujangan seperti dulu lagi."Lah, katanya Ibu habis kecopetan tadi, uangnya raib. Katanya juga kamu yang menyuruhnya untuk mengambil uang ke bank."Sontak, Nita langsung membulatkan mata ketika mendengar penuturan Ibu mertuanya yang bisa di bilang cukup keterlaluan.Diam-diam, Nita berdoa dalam hati, semoga saja uangnya
"Mas Martin, kamu jangan kasar seperti itu pada Mbak Tari!"Nita berusaha melerai, tetapi percuma saja karena Martin sama sekali tidak mengindahkan ucapannya.Mendengar teriakan Tari, beberapa orang yang kebetulan sedang mengobrol di teras rumah Bu Mala--tetangga Nita, langsung mengalihkan pandangan, menatap keberutalan Martin.Tidak ada satupun dari mereka yang berusaha memisahkan atau sebagainya, mereka tidak ingin ikut campur dalam urusan keluarga Titi."Mas!" Nita kembali berteriak dan di saat itu pula, seorang pemuda menghampirinya."Mbak, ada apa?"Nita menoleh, menatap pemuda yang sudah berdiri di sampingnya. Nita ingat betul dengan pemuda itu, dia yang kemarin sempat membantunya ketika dimarahi oleh Ibu mertuanya."Itu Kakak iparku, dia di seret oleh suaminya," jawab Nita sambil menunjuk ke arah Tari yang sudah semakin menjauh. Jujur saja, Nita ingin berbuat lebih, hanya saja dia juga takut jadi bulan-
[Om, bisa transfer uang ke rekeningku sekarang?]Tulis Nita dalam pesan singkatnya. Kemudian, dia langsung menekan tombol kirim.Tidak butuh waktu lama, bagi Om Herman membalas pesan Nita. Buktinya hanya dalam hitungan detik saja, pesan tersebut sudah muncul di layar ponsel Nita.[Baik, berapa yang kamu butuhkan, Nita?][Lima juta saja dulu, aku mau memberikannya sebagian pada Kakak iparku dan sisanya akan aku pakai untung modal warung.]Centang biru langsung terlihat di layar, ketika Nita baru mengirimkan pesan tersebut. Tidak lama setelah itu, sebuah panggilan dari Om Herman tampak di layar ponsel."Ya, Om, ada apa?""Kamu yakin ini menjalani ini semua, Nita?" tanya Herman melalui sambungan telepon.Cukup lama Nita terdiam, memikirkan semua yang telah dia perbuat selama ini. Sejah ini, Fahmi belum mengetahui siapa Nita sebenarnya.Rencananya, Nita akan memberitahu semuanya ketika Fahmi pulang, tetapi