Share

bab 3. Sumi Jatuh dari Tangga

[Oke. Nas. Besok aku akan gantiin kamu dinas. Aku kan juga punya hutang dinas ke kamu.]

Rupanya belum tidur si Arum ini. Sejenak aku memutar ponsel dalam genggaman tangan. Ragu untuk memutuskan apakah aku akan cerita tentang perselingkuhan suamiku atau tidak.

Beberapa saat terdiam. Menimbang dan merenungkan apakah akan menceritakan tentang masalah rumah tangga ku atau tidak padahal masih dalam tahap dugaan.

[Rum, kamu belum tidur?]

[Belum. Ada apa, Nas?]

[Kalau suami kamu selingkuh, apa yang akan kamu lakukan?]

[Hm, ya sudah. Aku relain aja buat pelakor. Sampah emang cocok sama lalat. Tapi sepertinya mas Adin lempeng-lempeng saja. Ada apa sih?]

[Nggak. Nggak apa-apa. Emang menurut kamu, orang selingkuh itu apa karena kekurangan si istri?]

[Nggak juga. Ada laki-laki yang dianugerahi istri cantik, mandiri, dan sudah punya anak, mahir di ranjang, tapi tetap selingkuh. Itu karena lakinya aja yang matanya kelilipan jambul kalkun! Ada apa sih? Jangan bilang kalau suami kamu ...]

[Enggak. Aku lagi liat berita di sosmed. Masa ada suami yang selingkuh sama pembantunya? Padahal sudah punya anak istri yang cantik. Aneh kan?]

[Ye, nggak ada yang aneh. Jaman sekarang makanya kudu hati-hati kalau ngambil asisten rumah tangga. Kalau masih muda dan cantik lalu ketemu tiap hari, ya jelas oleng.]

[Apalagi kalau si ceweknya gatel. Makanya aku lebih memilih tinggal sama mertua aja untuk menjaga anakku saat kutinggal dinas. Daripada punya asisten rumah tangga yang mengkhawatirkan. Ih, amit-amit!]

[Emang kamu nggak ingin mempertahankan suami kamu kalau dia minta maaf? Kan demi anak juga?]

[Ck, nggak. Bagiku selingkuh itu nggak mungkin khilaf. Pasti niat. Dan pasti akan berulang lagi. Karena itu aku nggak akan memaafkannya.]

Aku menelan ludah. Lalu menoleh lagi pada mas Arif. Dibawah sorot lampu tidur, wajahnya tetap sangat mempesona. Hidungnya yang mancung dan rahang nya yang kokoh. Serta tubuhnya yang atletis terlihat jelas.

Entah siapa yang menggoda terlebih dahulu, yang jelas aku juga tidak ingin memberi kesempatan pada mas Arif lagi. Rasa cinta yang sedemikian besar seolah menguap berganti dengan rasa sesal dan kesal saat membayangkan perempuan lain tidur di ranjangku.

Sebelum aku memejamkan mata, aku melihat cara memasang cctv bentuk lampu bohlam di YouTube.

Semua bukti harus kukumpulkan baru aku bisa mengajukan gugatan ke pengadilan agama. Maaf Mas, tidak ada maaf bagimu.

*

Aku mengawasi mas Arif yang baru saja keluar dari kamar mandi dalam dengan handuk yang masih melilit di pinggang.

Wangi sabun dan shampo nya membuat candu. Dulu, mungkin aku langsung melompat ke pelukannya setelah mas Arif mandi. Tapi setelah Ana mengadu soal papanya yang hamil, entah kenapa aku tidak ingin memeluknya lagi.

"Tumben nggak meluk?" tanya mas Arif tersenyum menggoda. Tangannya terentang ke arah ku.

Aku tersenyum. "Nanti malah aku telat dinas. Ayo sarapan. Sudah kusiapkan nasi goreng sebelum mas ke mall. Ini daftar belanjaan yang harus Mas beli nanti."

Aku mengulurkan kertas berisi tulisan bahan sembako dan kebutuhan kamar mandi di atas nakas karena mas Arif sedang mencukur kumisnya yang mulai tumbuh.

"Mas, kamu kan ganteng. Apa nggak ada perempuan yang naksir padamu selain aku? Aku kadang merasa khawatir kalau mas selingkuh dengan perempuan lain," pancingku.

Aarrgh!

Aku tersenyum. Bukannya menjawab pertanyaanku, tapi mata cukuran yang sedang dipakainya justru menggores ujung bibir mas Arif. Tampak lecet kecil di sana dengan darah yang merembes setetes.

Aku menahan tawa. Rasain. Emang enak!

"Astaghfirullah, Mas! Maaf ya. Kok Mas bisa kena cukuran? Sakit ya? Diobatin dulu?" tanyaku meraih bet*dine di atas nakas.

"Pertanyaan kamu mendadak aneh sih. Aku sampai kaget. Aku nggak pernah macem-macem, Nas. Aku cuma semacam aja," sahut mas Arif menerima betadine dari ku.

"Hm, syukurlah. Ya sudah. Aku tunggu di ruang makan, Mas." Aku berlalu terlebih dahulu meninggalkan kamar tidur. Menahan senyum.

"Oke. Nyonya Nastiti." Mas Arif tersenyum begitu manis.

"Hm, aromanya enak sekali. Kelihatannya mantap ini!" seru mas Arif sambil menarik kursi di ruang makan.

Aku menuang nasi goreng ke dalam piring milik mas Arif dan milik Ana.

"Ya dong. Pasti enak. Ayo Ana, kamu juga makan yang banyak ya."

Aku tersenyum dan menuang susu UHT ke dalam gelas milik Ana. Kulihat dari ekor mata, Mbak Sumi baru saja turun dari lantai atas. Dia memang tadi kusuruh untuk mencuci sekaligus menjemur baju.

Lihat saja dasternya selutut nya yang berbe lahan da da rendah. Kalau dia menunduk sedikit saja, pasti akan memperlihatkan hartanya.

Mendadak sebuah ide muncul di kepala. Sepertinya seru kalau aku membuatnya cemburu sebelum mas Arif benar-benar kuserahkan padanya.

Aku sengaja meletakkan sebutir nasi di pipiku diam-diam.

"Ma."

Mas Arif menunjuk pipinya sendiri. Lalu sambil tersenyum aku mencium pipi mas Arif.

Cuuuppp!!!

Mas Arif tersipu dan Ana tertawa.

"Ih, Mama lucu. Tadi Papa mau bilang kalau di pipi mama ada nasi. Bukannya papa minta disun!"

"Oh, ya. Mana sih nasinya? Ambilin dong, Pa!"

Mas Arif tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arah pipiku lalu memungut nasi yang menempel. Mendadak terdengar suara benda jatuh dan suara mengaduh.

Gluduk.

Gluduk.

Aaaww!!

Rupanya Mbak Sumi entah terkilir, entah terpeleset ternyata terjatuh dari tangga dengan memeluk bak kosong!

Hm, pasti sakit. Makanya lain kali fokus kalau turun dari tangga ya, Mbak!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
kapok km Sumi namanya gak sesuai jadi pelakor wkwkwk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status