Share

bab 7. CCTV Sebagai Saksi

"Malah sekarang yang aneh kamu sama Mbak Sumi. Kok bisa sih mbak Sumi ngurusin kamu selingkuh atau nggak? Sebenarnya yang istri mu itu aku apa mbak Sumi?"

Mas Arif menelan ludah dan menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan.

"Nas, apa kamu mencintaiku?"

Aku semakin heran dan bingung dengan mas Arif. Dia yang selingkuh tapi dia yang meragukan cintaku. Apa semua lelaki yang berselingkuh menjadi aneh seperti ini?

"Kok kamu aneh sih, Mas? Kenapa nanyanya kek gitu?"

"Jawab saja, Nas. Apa kamu mencintaiku?"

Aku terdiam dan memalingkan muka.

"Nas, jawab dulu pertanyaanku. Apa kamu mencintaiku? Apa kamu memaafkan kalau aku khilaf?"

Aku terdiam. Apa mas Arif tahu kalau aku sudah menyadap wanya? Apa dia juga tahu kalau aku memergoki dia selingkuh?

"Apa kamu khilaf?! Khilaf yang seperti apa, Mas? Dan dengan siapa?! Sekedar chating, atau sudah tidur bersama?"

Mas Arif terdiam.

"Kok diam? Apa pertanyaan ku benar? Dengan siapa Mas? Jawab aku? Dengan teman kantormu kah? Atau ada yang lain?"

Suasana hening begitu lama. Kami saling menatap. Aku mencoba mencari cinta dalam pendar matanya yang dulu tampak meluap saat melihatku. Tapi sayangnya malam ini aku tak melihatnya lagi.

Mbak Sumikah yang telah merebut cintamu, Mas? Mantan kamu yang telah kubawa kemari? Mungkin aku ikut andil dalam rusaknya hubungan kita.

Hatiku terasa bagai diremas lagi. Mendadak tangan mas Arif terulur.

"Aku bercanda! Aku hanya ingin melihat reaksi mu saja." Dia tertawa lalu memelukku erat. "Aku tidak selingkuh. Dan tidak akan pernah selingkuh. Kamu begitu baik padaku dan Mami, Nas. Mana mungkin aku selingkuh?"

Mas Arif mengurai pelukannya. "Maaf ya, aku hanya ingin bercanda dengan mu. Sudah lama kan kita nggak bercanda bersama."

Mas Arif membelai pipiku. "Udah malam, ayo tidur. Besok kita kan kerja, Nas."

Mas Arif mengganti lampu kamar dengan lampu tidur. Lalu memelukku erat.

Aku melepaskan pelukannya. "Bercandamu nggak lucu, Mas!"

"Apa kamu marah, Nas?"

"Ya. Mas itu aneh, mendadak ngomongin selingkuh. Ya gimana aku nggak marah?"

"Aku cuma mau nguji reaksi mu kalau aku pura-pura selingkuh. Dan apakah kamu juga cemburu kalau aku ngomongin perempuan lain?"

"Ck, kek abege labil aja, Mas."

"Ya Mas cuma mau tahu saja apa kamu masih cinta sama Mas apa nggak?"

"Hm, ya sudah, Mas. Ayo tidur aja. Tapi karena mas tadi udah ngelucu yang nggak penting, mas tidur nya liat punggungku aja."

Aku membelakangi mas Arif. Dan mas Arif pun memelukku dari belakang serta mengelus rambut ku. Membuat perasaan ku semakin campur aduk, antara muak, kesal, marah, dan sedih.

*

Pagi ini suasana sarapan berlangsung biasa. Mas Arif bercerita banyak hal tentang pekerjaannya kecuali bonus penjualannya.

Aku baru saja merapikan kunciran Ana yang anteng duduk di kursi makan lalu membantunya memakai hijab saat mas Arif menegurku.

"Nas, kamu kenapa? Kok diam aja? Kamu sakit?" tanya mas Arif lalu mendadak meletakkan tangannya di keningku.

Aku tersenyum dan menggeleng. "Aku nggak apa-apa, Mas."

"Tapi kok lemes? Kalau lemes, mending cuti kerja."

"Hhh, kalau jadi tenaga medis, nggak boleh ijin mendadak, Mas. Nggak ada yang nggantiin dinas nanti."

"Hm, ya sudah. Aku tahu apa yang bikin kamu semangat."

"Emang apaan?"

"Bentar ya, kamu tutup mata dulu."

"Ish, apa-apaan sih Mas, tutup mata segala?!"

"Sudahlah. Tutup mata dulu gih."

Mau tidak mau, aku pun menutup mata. Tak berapa lama terdengar suara tawa Ana.

"Hai, kalian mencurigakan deh. Ada apa sih? Mama boleh membuka mata nggak?"

"Oke. Boleh."

Aku membuka mata dan tercengang saat melihat kotak besar berwarna merah di hadapanku.

"Apa ini Mas?"

"Buka aja."

Aku pun membukanya.

"Mas! Ini cantik sekali!" Aku mengangkat sehelai gamis berwarna marun dari kain satin lengkap dengan hijabnya. Tak lupa tas handmade rajut. Cantik sekali.

"Ini untukku?" tanyaku tak percaya.

Mas Arif menganggukkan kepalanya. "Kemarin di mall, aku melewati gerai baju muslimah. Dan kupikir baju itu cocok dengan kamu."

Andai mas Arif tidak selingkuh dengan mantannya sekaligus asisten rumah tanggaku mungkin hal ini akan menjadi salah satu hal termanis yang pernah kudapatkan. Karena sebenarnya mas Arif adalah tipe suami yang romantis dan suka memberikan kejutan kecil, seperti saat ini.

"Nanti kita dinner. Sudah lama kan kita nggak diner?"

"Berdua? Gimana dengan Ana?"

"Ana biar sama mbak Sumi atau Mami. Ana mau kan nanti ke rumah Eyang?"

Mata Ana berbinar. "Wah, mau banget, Pa!"

Ana memang senang sekali ke rumah mami, karena banyak tetangga mami yang mempunyai anak seusia Ana.

"Kenapa kamu ngajak dinner, Mas? Kamu nggak lagi berbuat kesalahan kan? Atau jangan-jangan kamu merayu aku karena ingin nikah lagi?" bisikku.

Mas Arif tampak terkejut tapi tak lama kemudian dia tersenyum.

"Untuk merefresh hubungan kita. Bagaimana? Kamu mau kan?"

Aku mengangguk. 'Baiklah, aku mau Mas. Kita akan lihat apa permainan yang kamu sembunyikan kali ini.'

*

"Kamu kayak orang susah aja, Nas. Ada apa sih?" tanya mbak Eni, kepala ruanganku, ruang bersalin.

Aku menatap mbak Eni. "Susah apaan dulu Mbak? Susah buat dilupain atau susah buat dihutangin?" tanyaku tertawa.

"Hahaha. Kamu bisa saja. Enak ya jadi kamu. Selalu beruntung. Keluarga bahagia.

Mertua dan ipar baik, suami ganteng, punya pekerjaan bagus dan setia, anak juga sehat. Beda sama aku yang mertuanya nyinyir," tukas mbak Eni sendu.

Aku tersenyum. Andai dia tahu kelakuan mas Arif mungkin dia tidak akan berkata seperti itu.

"Mbak, aku ke apotek dulu ambil obat pasien."

"Oke."

Aku pun berjalan melalui koridor rumah sakit menuju ke apotek.

"Duh, antriannya banyak banget," gumamku lalu aku pun duduk di kursi tunggu pasien.

Iseng-iseng kubuka ponsel untuk memeriksa rekaman cctv dan beberapa saat kemudian aku mendapati pemandangan yang sangat mengejutkan.

Mas Arif berada di kamar Sumi. Mereka berdua di atas ranjang milik perempuan itu dengan baju yang acak-acakan!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status