"Ti ... tidak kok, Oma. Hanya saja saat ini Faith sedang fokus menangani sebuah proyek besar di sana." sergah Daddy Heru, mencoba menjelaskan semuanya kepada sang ibu.
"Memangnya tidak ada orang lain yang bisa kamu percayai untuk menangani proyek itu, Heru?" ketus Oma Meri."A ... ada sih, Oma. Tapi kan Faith lebih unggul dari yang lainnya. Apalagi dia seorang CEO yang sangat handal dibidangnya." Tuan Heru terus berbicara mengenai proyek itu dan menjelaskan peran besar sang putra, dalam keberhasilan proyek itu.Sang istri, Nyonya Rara terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya. Melihat tingkah suaminya yang lebih mementingkan pekerjaan di perusahaan dibandingkan dengan kesehatan ibu kandungnya sendiri. Sementara Oma Meri menatap tajam ke arah putranya."Oh jadi kamu lebih mementingkan urusan perusahaan, Heru? Apakah kamu masih kekurangan uang?" sindir Oma Meri."Bu ... bukan begitu, Oma.""Jadi, apa? Atau kamu menunggu ibumu ini tidak ada lagi di dunia ini, baru kamu merasa lega?" isak tangis Oma Meri, mulai terdengar di ruangan itu.Seketika hati Tuan Heru diliputi rasa bersalah. Dia merasa jika dirinya saat ini terlalu egois."Apakah salah jika aku meminta untuk menemui cucu-cucuku untuk terakhir kalinya?" sedihnya semakin menyayat."Lovlyta sejak kuliah di London. Tidak pernah sekali pun menginjakkan kaki di Jakarta. Apalagi Faith, sejak menetap di New York, sudah sepuluh tahun lamanya. Dia juga tidak pernah kembali ke Indonesia! Heru ... sebenarnya apa yang kamu inginkan dari anak-anakmu? Apakah masih kurang kekayaan yang ayah mu wariskan, yang begitu berlimpah-limpah. Bahkan dapat membiayai hidup tujuh keturunan mu berikutnya! Apakah itu masih kurang?" Oma Meri, menjadi sangat sedih saat ini.Nyonya Rara juga ikut-ikutan menjadi sedih. Melihat ibu mertuanya yang sedang menangis. Tak terasa air matanya, ikut jatuh di pelupuk matanya.Nyonya Rara baru menyadari jika apa yang dikatakan oleh ibu mertuanya itu, ada benarnya. Kedua anaknya, sebagai cucu sang oma. Faith dan Lovlyta, tidak pernah sekalipun menjenguk nenek mereka.Pantas saja Oma Meri merasa sangat kesepian. Belum lagi kesibukan dari sang suami dan dirinya dalam mengurusi perusahaan. Membuat Oma Meri dirawat oleh keluarga Pak Danu.Nyonya Rara pun bertekad, akan mempertemukan kedua cucu sang Oma, dengan Beliau. Bagaimana pun caranya. Walau bagaimana pun Faith dan Lovlyta adalah cucu-cucu kesayangan, Oma Meri. Nyonya Rara mencoba menguatkan ibu mertuanya, sambil menepuk-nepuk punggungnya dengan pelan. Sembari berkata,"Oma, jangan bersedih hati begitu. Oma berhenti ya, menangis? Aku pastikan, baik Faith maupun Lovlyta akan pulang ke Indonesia dengan segera." janjinya, kepada ibu mertuanya."Mommy ... sebaiknya kita bicarakan ini lebih dulu." Ternyata Tuan Heru, masih mempertimbangkannya lagi. Oma Meri seketika menatap tajam ke arah putranya yang terlalu berambisi itu. Sang menantu, Nyonya Rara. Sudah dapat ditaklukkan oleh Oma Meri. Buktinya, dia menyetujui kepulangan Faith dan Lovlyta ke Indonesia. Sedangkan putranya sendiri, masih saja berkeras kepala. Sang Oma pun terlihat menekan salah satu tombol di ponselnya.Sambil terus dalam mode menangis. Seraya menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya."Daddy! Apalagi yang harus dibicarakan, sih? Apakah kamu nggak kasihan melihat kondisi Oma? Beliau hanya merindukan kedua cucunya. Apakah hal itu sangat susah untuk diwujudkan saat ini?" ketus sang istri, tetap bersikeras."Mommy, kamu juga harus mempertimbangkan, Lovlyta akan segera menyelesaikan gelar masternya. Sementara Faith sangat sibuk di perusahaan. Ada baiknya, kita atur lagi jadwal kepulangan mereka." tukas Daddy Heru, kepada istrinya.Kedua suami istri itu terus saja berdebat. Membuat kepala Oma Meri yang mendengarnya semakin pusing saja."Aduh! Nggak Rara! Nggak Heru! Tetap saja berdebat tiada akhir. Kedua orang ini, tidak pernah berubah! Dari dulu sampai sekarang tetap saja adu argumen! Bisa-bisa kepalaku menjadi pecah mendengar ocehan mereka." gumam Oma Meri, dalam hatinya.Oma Meri pun kembali mengutak-atik ponsel pintarnya, dia sedikit gelisah. Kenapa para tim dokter tidak juga datang ke ruangannya. Padahal rumah sakit ini adalah salah satu aset pribadinya."Kenapa para dokter tidak datang juga? Aku ingin kedua orang ini segera disingkirkan dari hadapanku!" ketusnya, dalam hati.Telinga Oma Meri semakin panas mendengar perdebatan tiada akhir dari kedua pasangan suami istri itu. Tuan Heru dan Nyoya Rara.Bahkan kadang kala Oma Meri tak habis pikir dengan anak dan menantunya itu. Selalu saja memperdebatkan apa pun. Pikiran mereka tak pernah sejalan dalam hal apa pun. Akan tetapi pernikahan keduanya, tetap saja langgeng sampai saat ini. "Mungkin ini yang dinamakan dengan kekuatan cinta." pikir sang oma.Tak berapa lama, tim dokter pun datang ke ruang rawatan Oma Meri yang mewah itu.Semua para dokter spesialis berkumpul di ruangan itu. Mereka dipimpin oleh dokter Roland sebagai kepala rumah sakit."Selamat pagi, Tuan dan Nyonya Hoewar. Maaf menggangu pagi Anda, berdua." ucap dokter Roland, mengawali pembicaraan."Tidak masalah, dok. Kami sedang tidak sibuk, kok. Hanya saja, kami sedang mendiskusikan sesuatu." Ternyata, Tuan Heru merasa terganggu dengan datangnya banyak dokter di ruangan itu. Sehingga perdebatan sengitnya dengan sang istri. Mau tidak mau, terpaksa harus dihentikan dulu. Sang ibu, Oma Meri. Lagi-lagi menatap tajam ke arah putranya. Karena menyiratkan ketidaksukannya dengan kedatangan para dokter itu."Cepat katakan, ada apa dokter? Kenapa semua orang menjadi datang ke sini? Apakah ada sesuatu hal darurat yang sedang terjadi?" tukas Tuan Heru kepada dokter Roland.Melihat Tuan Heru yang terlihat keberatan, karena banyak orang yang ada di ruangan itu. Dokter Roland segera mengutarakan apa yang ingin dirinya katakan."Begini, Tuan Heru." Sang dokter pun mulai menjelaskan penyakit Oma Meri. Kedua suami istri itu, terlihat terdiam dan terus mendengarkan setiap penjelasan dari sang dokter. Sementara Oma Meri mulai terlihat lemah dan pura-pura tidur untuk lebih mendramatisir keadaan."Apa?" kaget kedua suami istri itu. Mendengar penjelasan dokter Roland.Tuan Heru ingin menyela perkataan dokter Roland, namun sang dokter segera berkata,"Penjelasan saya masih belum selesai, Tuan Hoewar." sela, dokter Roland."Baik, dokter. Silakan lanjutkan." tutur Tuan Heru."Jadi dengan kondisi Oma Meri sekarang ini. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Bisa saja sesuatu hal yang tidak diinginkan semua orang dapat terjadi.""Apa?" Lagi-lagi, kedua suami istri itu dibuat terkaget-kaget dengan diagnosa dari dokter Roland. Seorang dokter senior dan sangat disegani di rumah sakit itu.Tak terasa air mata Nyonya Rara kembali mengalir. Dia menatap sendu ke arah sang ibu mertua yang sedang tertidur itu."Dokter, apa yang harus kami lakukan saat ini. Agar kesehatan Oma Meri, cepat pulihnya?" lirih Nyonya Rara sedih.Wajah khawatir mulai muncul dari raut muka Tuan Heru. Dia juga ikut melihat ke arah ranjang berada. Di mana sang ibunda sedang tidur. Dengan lengan yang dipasangi infus, dan beberapa alat kesehatan lainnya. Tiba-tiba timbul rasa belas kasih di hatinya. Tuan Heru tidak mau terjadi sesuatu kepada orang tuanya satu-satunya, itu. Bahkan Tuan Heru tak kuasa menahan air matanya. Yang tiba-tiba saja keluar membasahi pipinya. Dia baru saja memikirkan bagaimana jika seandainya sesuatu yang tak diinginkan, terjadi kepada sang ibunda.Tentu saja Tuan Heru tidak mau jika semua itu kan terjadi di dalam dunia nyata. Pasti dia akan menyalahkan dirinya sendiri. Jika terjadi sesuatu kepada sang ibunda.Lalu dengan cepat, Tuan Heru berkata, "Dokter, tolong cepat katakan. Apa yang harus kami lakukan saat ini kepada Oma Meri?"Dokter Roland terlihat menghela napasnya panjang. Lalu berkata lagi,"Untuk meringankan beban Oma Meri. Ada baiknya, Tuan dan Nyonya menuruti setiap keinginan darinya. Beberapa
Namun belum sempat Bik Sani menjelaskan jika dokter cantik itu adalah anaknya, Oma Meri malah berkata,"Kasih ... cucu Oma yang cantik. Kamu sudah datang, Sayang?""Apa? Kasih?" tukas, Tuan dan Nyonya Hoewar secara serentak."Sini, Sayang. Kamu ke Oma. Sekalian bawa bekal makan siang itu. Sudah waktunya kamu menyuapi Oma. Oma sudah sangat kelaparan, saat ini." uucap Oma Meri senang, melihat Kasih yang telah datang di ruang rawatannya. "I ... iya, Oma." Lalu Kasih pun mengambil bekal makan siang dari ibunya. Lalu membawanya lebih dekat ke samping Oma Meri.Dengan telaten Kasih mempersiapkan makan siang untuk Oma Meri. Tuan dan Nyonya Hoewar tak henti-hentinya terus memandang ke arah Kasih. Sepertinya kedua orang tua itu terkagum-kagum kepada Kasih yang dengan sabar melayani setiap tingkah aneh dari Oma Meri.Bahkan Kasih dengan cepatnya, mampu merayu Oma Meri agar tidak memilih-milih makanan saat sakit.Lalu karena sangat penasaran, Nyonya Rara pun bertanya kepada Bik Sani."Bik, ap
Pak Danu yang ditanya mengenai pertanyaan menohok itu. Sejenak terdiam. Dia bingung akan menjawab apa. Semuanya serba tiba-tiba.Pak Danu belum sempat berdiskusi dengan istrinya. Apalagi yang menjadi calon suami putrinya, adalah anak majikan yang paling dirinya segani. Terlebih lagi Pak Danu juga belum sempat berbicara dengan anaknya, dokter Kasih. Mengenai perjodohan ini.Akan tetapi dilain sisi, Pak Danu berada di dalam ruang rawatan Oma Meri. Saat dokter Roland menjelaskan perjalanan penyakit sang oma. Yang membuat dirinya semakin dilema.Namun Keluarga Pak Danu bukanlah kacang yang lupa pada kulitnya. Dia sadar betul begitu banyak bantuan yang diberikan oleh keluarga majikannya, kepada mereka. Terlebih pada sekolah putrinya, Kasih. Dengan cuma-cuma Oma Meri membayar semua biaya sekolah Kasih sejak dirinya kecil, sampai dia menyandang gelar sarjana pada jurusan kedokteran.Pak Danu berpikir sudah waktunya keluarganya, membalas kebaikan majikan selama ini kepada mereka."Sa-ya meny
"Tapi ... Vin. Hanya aku yang cinta sendiri. Tidak dengannya." lirih Kasih, sedih."Hei, kamu jangan bersedih begitu, Kasih. Kamu kan sangat cantik. Kamu bisa menggodanya dengan paras cantikmu. Apalagi, semua orang mendukungmu. Keluarganya pun, sangat mendukung mu, kan?""Iya sih, tapi tetap saja. Aku masih ragu. Entah lah, Vin. Apalagi aku tuh, tidak pernah sekali pun ngobrol dengannya. Aku hanya melihatnya dari kejauhan saja." lirihnya, semakin sedih.Kasih pun semakin larut dalam kesedihannya. Dia tidak tahu harus berbuat apa untuk mengusir kegundahan hatinya.Malam hari pun tiba, semua anggota keluarga Pak Danu sedang berkumpul di sebuah ruangan di dalam rumah kecil milik majikannya, yang telah mereka tempati sejak dahulu kala.Bu Sani duduk di samping suaminya. Menunggu anak mereka Kasih yang masih berada di dalam kamar.Tak berapa lama, Kasih pun keluar dari kamarnya, dan mulai bergabung duduk di sofa sederhana yang ada di ruangan itu.Lalu sang ayah pun mulai angkat bicara,"Ma
"Nona-nona cantik? Tapi mata Lo, hanya mengarah kepada Kasih. Dasar gombal!" ketus, Vini."Ha-ha-ha." Robin tertawa renyah."Kasih memang lebih anggun dari Lo, Vin. Lo sih terkesan tomboy banget! Anggun dikit kek, kayak Kasih." celutuk Robin, lagi."Dih ... siapa Elo ngatur-ngatur, gue?" tutur Vini, tak suka dengan omongan rekannya, Robin.Vini, sahabat Kasih. Tak kalah menariknya, memiliki rambut panjang yang tergerai lurus dan wajah oriental yang memukau. Namun itu dulu. Sejak Vini putus cinta dan merasakan pahitnya patah hati. Dia pun merubah penampilannya, dab menjadi terkesan lebih tomboy saat ini. Sepertinya, Vini tidak mau mengenal pria lagi. Dia trauma dengan kisah cintanya yang kandas karena perselingkuhan. Untuk itu dia menutup diri untuk tidak mengenal cinta lagi.Ketiga dokter tersebut saat ini sedang sarapan di kafetaria yang ada di dekat lobi rumah sakit.Dari tadi, Robin mencuri-curi pandang melihat ke arah Kasih. Sepertinya dia sangat terpesona dengannya. Selain memil
Sebagai dokter pribadi Oma Meri yang ditugaskan oleh pihak rumah sakit. Membuat waktu Kasih lebih banyak merawat Oma Meri. Seperti saat ini, Kasih sedang berada di ruang rawatan mewah itu. Sedang menjaga sang Oma yang sedang tidur.Dia pun mengisi waktunya dengan membaca sebuah artikel kesehatan. Sambil menunggu Oma Meri bangun.Lalu tiba-tiba pintu ruangan itu dibuka dari luar. Terlihat seorang gadis berparas cantik dan anggun yang tinggi semampai dengan body proposional layaknya model, bersama dengan sang ibunda. Yang sedang berjalan menuju ke dalam ruang rawatan Oma Meri."Hai, selamat siang. Kamu, Kasih kan?" ucapnya, mencoba mengenali teman masa kecilnya.Kasih sangat kaget. Melihat Lovlyta yang sudah berada di dekatnya. Duduk di sofa lalu menyambutnya dengan sebuah pelukan."Lo ... Lovlyta? Kamu Lovlyta, kan?" tutur Kasih, masih tak percaya. Jika sahabat masa kecilnya itu, telah berada di depannya saat ini."Ya ... ampun, Kasih ... masa kamu gak mengenaliku, sih? protes Lovlyta
"I ... iya, Tu. Maksud saya, iya Daddy." lirihnya, sambil menundukkan kepalanya."Kas, kamu tenang saja. Jika Kak Faith macam-macam ke kamu. Aku nggak akan tinggal diam." ucap, Lovlyta kepada sang calon kakak ipar."Kasih, Oma harapkan kamu bisa menerima sikap Faith. Anak itu dari dulu terlihat sangat pendiam. Dia lebih suka menyendiri dan menghabiskan waktunya membaca buku. Faith kurang bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Makanya Oma memilih mu untuk menjadi pendamping Faith, karena Oma sangat yakin jika kamu mampu menjadi istri yang baik untuknya." jelas Oma Meri, panjang lebar."Benar kata sang Oma, Kas. Mommy juga sangat yakin kamu adalah wanita yang tepat untuk mendampingi Faith." Nyonya Rara, ikut meyakinkan Kasih."I ... iya, Mommy." jawab Kasih, singkat.Dukungan semua anggota Keluarga Hoewar untuknya. Semata-mata tidak membuat kegundahan hatinya sirna juga. Kasih sudah beberapa kali menghalaunya, namun tetap tidak bisa. Dia sedikit takut dengan sikap Faith yang sang
Setelah bertemu dengan dokter Roland. Hati Faith semakin ketar-ketir perihal kesehatan sang Oma.Dia sangat ingat semua pesan dan nasihat dari dokter Roland.Saat ini Faith diikuti oleh Max sedang melangkah menuju ke ruang rawatan Oma Meri.Seorang perawat sedang menuntun mereka menuju ke kamar di mana Oma Meri sedang dirawat."Di sini kamarnya, Tuan Muda. Saya permisi dulu." ucap perawat itu, lalu mulai meninggalkan mereka."Terima kasih, suster." sahut, Max. Sementara Faith segera membuka pintu kamar mewah itu.Oma Meri yang baru saja selesai sarapan disuapin oleh Kasih. Saat ini sedang santai menonton televisi. Sang Oma yang mendengar jika pintu kamarnya dibuka dari luar. Segera berkata,"Kamu kah itu, Kasih? Kok cepat banget kamu tebus obat untuk Oma?" ucap Oma Meri.Sang Oma berpikir jika yang datang kembali ke kamar rawatannya adalah Kasih. Soalnya dokter itu meminta izin kepada Oma Meri untuk mengambil obat di bagian farmasi, rumah sakit itu.Namun alangkah terkejutnya Oma Mer