Share

BAB. 5 Tak Ada Kesempatan Bicara

Pak Danu yang ditanya mengenai pertanyaan menohok itu. Sejenak terdiam. Dia bingung akan menjawab apa. Semuanya serba tiba-tiba.

Pak Danu belum sempat berdiskusi dengan istrinya. Apalagi yang menjadi calon suami putrinya, adalah anak majikan yang paling dirinya segani. Terlebih lagi Pak Danu juga belum sempat berbicara dengan anaknya, dokter Kasih. Mengenai perjodohan ini.

Akan tetapi dilain sisi, Pak Danu berada di dalam ruang rawatan Oma Meri. Saat dokter Roland menjelaskan perjalanan penyakit sang oma. Yang membuat dirinya semakin dilema.

Namun Keluarga Pak Danu bukanlah kacang yang lupa pada kulitnya. Dia sadar betul begitu banyak bantuan yang diberikan oleh keluarga majikannya, kepada mereka. Terlebih pada sekolah putrinya, Kasih. 

Dengan cuma-cuma Oma Meri membayar semua biaya sekolah Kasih sejak dirinya kecil, sampai dia menyandang gelar sarjana pada jurusan kedokteran.

Pak Danu berpikir sudah waktunya keluarganya, membalas kebaikan majikan selama ini kepada mereka.

"Sa-ya menyambut baik keinginan Nyonya Oma. Bagi saya semua tidak menjadi masalah. Apalagi Kasih sudah cukup dewasa untuk menikah." tutur, Pak Danu.

"Jadi kalian setuju dengan semuanya? Sani, cepat katakan apa isi hatimu." Oma Meri, tak sabar ingin mengetahui pandangan ibu kandung dari Kasih.

"Sejujurnya, ini sangat mendadak, Oma. Kami selaku orang tua Kasih, benar-benar sangat kaget dengan semua ini. Akan tetapi kami juga setuju-setuju saja. Te ... terima kasih, Nyonya Oma telah memilih putri kami menjadi calon menantu Keluarga Hoewar." ucap Bu Sani, merasa terenyuh dengan semuanya.

Oma Meri semakin berbinar wajahnya saat mendengar setiap ucapan dari semua orang yang ada di dalam ruangan itu. Yang mendukung keputusannya.

Namun sang Oma sedikit ragu dengan Kasih yang memilih berdiam diri dan terus menunduk dari tadi. Tangan Kasih yang berada digenggaman Oma Meri, juga terasa sangat dingin.

Sang Oma pun berpikir jika Kasih merasa sangat gugup saat ini. Oma Meri sangat yakin jika Kasih menyetujui perjodohan ini.

"Kasih ...." panggil Oma Meri.

"I ... iya, Oma." 

"Bagaimana pandanganmu dengan perjodohanmu dengan Faith? Oma harap kamu mau menyetujuinya, dan tidak mengecewakan Oma." tukas Oma Meri, lagi.

Namun nyonya Rara menduga, jika Kasih kurang menerima perjodohan ini. Mungkin saja terlalu tiba-tiba baginya. Atau dia masih merasa belum siap. Mungkin saja pun, Kasih telah memiliki seseorang yang dirinya cintai. 

Untuk itu, Nyonya Rara buru-buru berkata,

"Tentu saja, Kasih menerimanya, Oma." ucapnya Nyonya Rara, lalu mendekati Kasih lalu memegang kedua tangannya, sembari berkata lagi,

"Kamu adalah calon menantu Keluarga Hoewar satu-satunya. Untuk itu mulai sekarang, kamu panggil Mommy dan Daddy kepada kami berdua. Bukan Tuan dan Nyonya, lagi." ucap Nyonya Rara, lalu memeluk Kasih dengan penuh rasa sayang.

"Jawab dong, Sayang. Kamu kok diam saja?" tukas Mommy Rara, sambil mengusap pipi mulus milik Kasih.

"I ... iya, Nyo. Eh ... i-ya, Mommy." jawab Kasih terbata, dia lalu kembali menundukkan kepala. 

Sebenarnya tadi, Kasih ingin menolak perjodohan yang tiba-tiba itu. Apalagi dia dan Faith sama sekali tidak pernah berbicara satu sama lain. Bagaimana dia akan menikah dengan pria dingin dan angkuh itu.

Kasih seperti orang yang hendak di masukkan ke dalam gua singa. Tidak akan tahu nasibnya bagaimana. Apalagi kedua orang tuanya, juga menyetujui rencana perjodohan itu. Membuat Kasih semakin tak berdaya.

"Karena semua telah setuju. Mulai besok, akan dilakukan persiapan pernikahan antara Faith dan Kasih." tukas, sang Oma.

"Tapi, Oma. Kan Faith belum tahu jika dirinya akan menikah. Bisa saja dia menolaknya." tukas, Tuan Heru.

"Daddy tenang saja, Mommy yang akan menjelaskan semuanya kepada Faith. Yang penting Kasih setuju dengan perjodohan ini." Nyonya Rara kembali tersenyum, ke arah calon menantunya.

Setelah selesai mengurusi Oma Meri. Kasih pun bersusah payah memohon izin untuk melanjutkan pekerjaannya mengurusi pasien lainnya. 

Untung saja dia bisa meloloskan diri. Oma Meri memberinya kesempatan untuk melanjutkan pekerjaannya. Mungkin dua Minggu ke depan, Kasih harus mengambil cuti untuk mengurusi pernikahannya dengan Faith.

Dokter Kasih menyusuri koridor rumah sakit dengan tatapan kosong. Hatinya tak percaya dengan apa yang barusan terjadi di ruang rawatan Oma Meri.

Dengan cepat semua orang setuju dan merencanakan pernikahannya dengan Faith. Pria angkuh dan dingin yang pernah dirinya temui di dalam hidupnya.

Kasih menjadi ingat di masa lalu, dia selalu memandang ke arah Faith dari kejauhan. Selalu mengamati apa yang dilakukan olehnya. Baik disaat Faith sedang berolah raga basket, di halaman samping rumahnya. Atau disaat Faith sedang berenang. Kasih memperhatikannya secara diam-diam tanpa diketahui oleh orang lain.Walaupun pada kenyataannya, anak lelaki itu tidak pernah melihat ke arahnya.  

Tahun demi tahun, Kasih tetap memupuk rasa suka dan kagumnya kepada pria itu. Bahkan dia pernah berangan-angan, seandainya Faith menjadi suaminya kelak. 

Kasih tidak pernah menyangka khayalannya itu, sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Dia pun cukup senang akan hal itu.

Namun timbul sedikit  kekhawatiran di hatinya,

"Bagaimana jika Faith ternyata tidak menyetujui perjodohan itu?"

Apalagi tak sekalipun Faith melihatnya. Bahkan mungkin saja pemuda tidak mengenalnya sama sekali.

Kekhawatirannya itu, membuat dirinya menjadi tak bersemangat.

"Kasih, kamu kenapa? Kok melamun terus dari tadi?" tegur Vini, rekan sesama dokter. Sahabat, Kasih.

Saat ini keduanya sedang berada di kafetaria, rumah sakit itu.

"A ... aku nggak apa-apa kok, Vin." sahut Kasih, mencoba menghalau rasa bimbang di hatinya.

Namun Vini tahu jika kasih sedang berbohong,

"Ayo kamu jujur saja, deh. Aku tahu kamu sedang berbohong sekarang." tukas Vini, kepada Kasih.

Kasih terdiam dan tidak langsung menjawab perkataan Vini, sahabatnya. Dia menimbang-nimbang untuk jujur saja kepada sahabatnya, itu. Ataukah Kasih menyimpannya sendiri di dalam hatinya.

Namun Vini bukanlah orang yang mudah menyerah untuk mengorek sesuatu, terutama keduanya sudah sangat akrab. Sejak mereka masih sama-sama duduk di bangku sekolah menengah atas. Vini tahu betul tabiat Kasih jika memiliki sesuatu yang sedang dirinya pikirkan.

Lalu Kasih pun memilih jujur kepada sahabatnya, dari pada Vini yang ceriwis, terus saja bertanya kepadanya.

"Apa?" kaget Vini, sampai-sampai suaranya yang menggelegar itu, menyesakkan gendang telinga setiap orang yang ada di dalam kafetaria.

"Kasih, kamu jangan bercanda, dong?" Vini seakan tak percaya, dengan ucapan Kasih.

Kasih bagaikan putri di negeri dongeng yang akan dinikahi oleh pangeran impiannya, Faith Hoewar.

"Kasih, selamat untukmu! Akhirnya pria yang kamu idam-idamkan, segera akan menjadi suamimu." Saking antusiasnya Vini mendengar kabar gembira itu, dia segera memeluk Kasih dengan erat. Memberi selamat kepada sahabatnya.

Vini tidak tahu saja, apa yang sedang Kasih pikirkan saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status