Sebelum ke luar dari sana, Mommy Rara mengingatkan kepada keduanya untuk segera mencari cincin nikah."Sudah, stop berdebatnya. Faith ... ayo kalian segera mencari cincin pernikahan. Tunggu apa lagi?" tutur, Mommy Rara.Faith hanya mengangguk. Karena dia belum bisa memutuskan kapan mereka akan berangkat. Karena Kasih masih sibuk menenangkan adiknya, Lovlyta."Mommy sama Daddy, pamit dulu. Segeralah kalian berangkat." Sang ibu kembali mengingatkan putranya."Bik Sani, Anda tinggal di sini, ya? Jagain Oma Meri." perintahnya, lagi."Baik, Nyonya." jawab, Bik Sani. Setelah Mommy Rara, rasa semua sudah beres. Sang ibu lalu menyusul suaminya keluar dari ruangan mewah itu.Setelah mengetahui jika sang sahabat sudah mulai tenang. Kasih pun angkat bicara."Oma, saya pamit sebentar mau mengambil tas saya di loker." tutur Kasih, kepada Oma Meri. Namun pandangannya juga mengarah kepada semua orang yang berada di dalam ruangan itu."Lho, Kasih. Kamu sama Tuan Muda Faith, bukannya mau mencari cinci
"Ba ... baiklah, Asisten Max." Kasih pun menutup pintu mobil itu. Lalu membuka pintu mobil di bagian kursi penumpang.Kasih lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Faith. Aura gelap dan mencekam mulai terasa di dalam mobil itu."Kalian menunggu lama, ya?" tanya Kasih polos.Faith diam, namun wajahnyq terlihat seperti orang marah."Sudah tahu, malah pakai nanya lagi!" gumamnya, dalam hati.Faith menatap tajam ke arah Max mengisyaratkan kepadanya agar berbicara."I ... iya, Nona. Dari tadi Tuan Muda menunggu Anda." ucap Max, ragu-ragu. Takut dirinya salah berbicara.Untung saja ekspresi Faith tidak berubah. Max bukan main senangnya. Ternyata dia tidak salah berbicara."Ma ... maaf, Mas Faith. Tadi aku bertemu Vini dulu." ujar, Kasih."Cih! Katanya dia bertemu Vini? Jelas-jelas yang dirinya jumpai adalah laki-laki. Memangnya ada pria bernama Vini? Yang ada mah, bencong!" gerutu Faith dalam hati, dengan muka yang semakin ditekuk.Kasih menjadi risih sendiri melihat wajah tak ramah
Kasih pun mulai menyeka air matanya dengan menggunakan sapu tangan pemberian Faith."Ternyata dia cengeng juga!" ucap Faith dalam hatinya.Setelah selesai menyeka air matanya. Kasih kembali merapikan penampilannya. Dia pun mengembalikan sapu tangan itu kepada Faith."Ini sapu tanganmu, Mas. Terima kasih." ucapnya seraya menyodorkan sapu tangan itu di hadapan Faith."Simpan saja. Siapa tahu berguna untukmu suatu saat." serunya, dingin."Ayo kita segera ke luar dari mobilnya." Lalu Faith lebih dulu ke luar dari dalam mobil itu. Hampir lima menit lamanya Faith menunggu, namun Kasih tak juga ke luar dari dalam mobil itu.Di dalam mobil, Kasih masih sibuk menenangkan degupan jantungnya yang lebih cepat dari sebelumnya. Sambil menggenggam sapu tangan milik Faith, pria yang selalu ada di dalam hatinya.Dia pun segera memasukan sapu tangan itu ke dalam tas miliknya. Bersamaan dengan itu bunyi ketukan dari kaca mobil mulai terdengar.Faith yang beranggapan jika Kasih kembali menangis. Mulai
Namun disaat sang manager mengatakan harga cincin itu. Membuat mata Kasih mulai membesar mendengar besaran harganya.Dengan segera Kasih menatap ke arah Faith, dan siap-siap untuk protes agar jangan memilih cincin itu. Karena harganya yang sangat mahal. Namun Faith malah membals tatapan Kasih dengan sangat tajam, lebih tajam dari mata seekor elang yang ingin memangsa binatang buruannya. "Bagaimana Tuan?" tanya sang manager memastikan. Karena dia dapat melihat selisih paham diantara keduanya saat ini."Tentu saja kami tetap memilih cincin ini!" tegasnya, lalu mengeluarkan kartu unlimited miliknya untuk segera melunasi cincin itu.Kasih seakan tak percaya Faith memilih cincin dengan harga termahal yang dijual di toko itu. Namun dia tidak dapat berbuat apa-apa saat ini. Bahkan untuk protes pun, bibirnya seakan terkunci. Dia sangat takut jika Faith nantinya akan kembali mengeluarkan kata-kata kasar yang mungkin dapat melukai perasaannya dan harga dirinya.Tiba saatnya mengukur cincin di
"Wow! Bro Faith Hoewar. Ngapain Anda di sini?" tanya Gilang sambil mengulurkan tangannya, ingin menjabat tangan Faith."Apa kabar, Bro?" ucapnya lagi. Alih-alih menjawab sapaan Gilang. Faith malah meraih cepat tangan Kasih dan mencoba menjauhkannya dari pria itu."Hei ... ada apa ini?" tutur Gilang dalam hati. Saat melihat Faith dengan sedikit memaksa menarik Kasih begitu saja, dari hadapannya.Tangannya yang menggantung beberapa saat di udara segera dirinya turunkan. Gilang semakin penasaran dengan tingkah Faith yang sangat berbeda dengan Kasih."Kalian berdua telah akrab?" tanyanya lagi. Karena setahunya, baik Kasih maupun Faith, dulunya tidak pernah bertegur sapa. Bahkan sama sekali tidak pernah berbicara sedikit pun.Keduanya memilih diam dan tidak menjawab ucapan dari Gilang. Sementara Kasih sangat kaget saat Faith menggenggam tangannya dengan sangat erat saat ini.Membuat dirinya menjadi semakin gugup.Kasih tak menyangka Faith seolah-olah takut, Gilang akan membawanya pergi ja
"A ... aku ...." Belum sempat Kasih menjelaskan jika yang mengirim pesan kepadanya adalah ibunya. Dengan paksa Faith, malah merebut ponsel gadis itu lalu memeriksanya sendiri."Mas Faith!" tegur Kasih.Dia tak menyangka pria itu merebut paksa ponselnya.Faith lalu memeriksa dengan seksama isi ponsel gadis itu. Dia merasa lega, saat mengetahui jika Kasih sedang berkirim pesan dengan ibunya."Cih! Bikin curiga saja!" ucapnya dalam hati. Lalu Faith pun mengembalikan ponsel Kasih kepadanya."Bunda yang berkirim pesan denganku, Mas. Bunda menyuruhku untuk berbelanja ke swalayan untuk acara nanti sore." tuturnya kepada pria itu."Bilang dong, jika Bunda Sani yang mengirim pesan kepada mu! Bikin bt saja." kesalnya sendiri."Ma ... maaf, Mas." serunya lagi."Jadi kita sekarang ke swalayan?""Iya Mas, boleh." Lalu keduanya pun memasuki sebuah supermarket yang ada di mall itu. Sementara di dalam restoran, Gilang sedang menelepon seseorang dan memastikan jika semua yang telah dirinya rencanakan
"Oh karena neneknya mantan pasienmu. Jadi kamu dengan cuma-cuma memberikan nomor ponselmu kepadanya?""Martin bilang kalau Oma Nina, kangen ke aku, Mas. Oma sekarang tinggal di Surabaya." serunya lagi."Alah! Banyak alasan, Lo!" Faith tetap tak mau kalah, terus saja menyudutkan Kasih.Kasih mencoba menghela napasnya panjang. Dia pun berkata lagi, "Mas Faith ... aku kan sudah berkata jujur kepada mu, Mas. Jadi apa lagi?" Kasih hampir kehilangan akal sehatnya menghadapi Faith yang terus saja marah kepadanya."Dasar gampangan!" Kata-kata menusuk itu, keluar begitu saja dari bibir pemuda itu.Kasih seketika menatap Faith dengan tatapan terluka. "Ka ... kamu jangan ngomong sembarangan begitu, Mas. Siapa yang gampangan? Tega banget kamu ngomong seperti itu kepadaku!" Tak terasa, air mata Kasih kembali menetes. Dia benar-benar tak habis pikir dengan semua ucapan Faith kepadanya.Ada rasa penyesalan di hati pria itu saat melihat Kasih menangis. Dia menjadi tidak tega melihatnya. Namun amara
Ternyata di dalam rumah telah banyak orang yang datang. Sayup-sayup keduanya mulai mendengar suara Oma Meri dan juga suara seorang pria yang paling Faith benci saat ini."Oma Meri?" tutur Faith."Kak Gilang ....!" ucap Kasih.Mendengar sang calon istri menyebut nama orang yang dirinya benci, Faith segera menatap tak suka ke arah pemuda itu."Hai, Bro! Ternyata kita bertemu lagi, ya? Apakah ini berarti kita memang jodoh?" canda Gilang sambil tersenyum penuh kemenangan."Cih! Jangan gila, Lo!" serunya, lalu duduk dengan sembarangan di sofa ruang keluarga itu.Sementara Kasih segera memapah Oma Meri untuk kembali duduk dengan sempurna."Oma ... kok Oma buru-buru banget ke luar dari rumah sakit?" Kasih sedikit khawatir dengan kondisi kesehatan Sang Oma. Pasti Beliau memaksa dokter Roland agar bisa ke luar dari rumah sakit dengan segera.Naluri merawat dari dalam diri Kasih sebagai seorang dokter mulai muncul. Dia segera membuka tasnya, lalu mengeluarkan stetoskop dan mulai memeriksa Oma M