"I ... iya, Tu. Maksud saya, iya Daddy." lirihnya, sambil menundukkan kepalanya."Kas, kamu tenang saja. Jika Kak Faith macam-macam ke kamu. Aku nggak akan tinggal diam." ucap, Lovlyta kepada sang calon kakak ipar."Kasih, Oma harapkan kamu bisa menerima sikap Faith. Anak itu dari dulu terlihat sangat pendiam. Dia lebih suka menyendiri dan menghabiskan waktunya membaca buku. Faith kurang bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Makanya Oma memilih mu untuk menjadi pendamping Faith, karena Oma sangat yakin jika kamu mampu menjadi istri yang baik untuknya." jelas Oma Meri, panjang lebar."Benar kata sang Oma, Kas. Mommy juga sangat yakin kamu adalah wanita yang tepat untuk mendampingi Faith." Nyonya Rara, ikut meyakinkan Kasih."I ... iya, Mommy." jawab Kasih, singkat.Dukungan semua anggota Keluarga Hoewar untuknya. Semata-mata tidak membuat kegundahan hatinya sirna juga. Kasih sudah beberapa kali menghalaunya, namun tetap tidak bisa. Dia sedikit takut dengan sikap Faith yang sang
Setelah bertemu dengan dokter Roland. Hati Faith semakin ketar-ketir perihal kesehatan sang Oma.Dia sangat ingat semua pesan dan nasihat dari dokter Roland.Saat ini Faith diikuti oleh Max sedang melangkah menuju ke ruang rawatan Oma Meri.Seorang perawat sedang menuntun mereka menuju ke kamar di mana Oma Meri sedang dirawat."Di sini kamarnya, Tuan Muda. Saya permisi dulu." ucap perawat itu, lalu mulai meninggalkan mereka."Terima kasih, suster." sahut, Max. Sementara Faith segera membuka pintu kamar mewah itu.Oma Meri yang baru saja selesai sarapan disuapin oleh Kasih. Saat ini sedang santai menonton televisi. Sang Oma yang mendengar jika pintu kamarnya dibuka dari luar. Segera berkata,"Kamu kah itu, Kasih? Kok cepat banget kamu tebus obat untuk Oma?" ucap Oma Meri.Sang Oma berpikir jika yang datang kembali ke kamar rawatannya adalah Kasih. Soalnya dokter itu meminta izin kepada Oma Meri untuk mengambil obat di bagian farmasi, rumah sakit itu.Namun alangkah terkejutnya Oma Mer
Faith menjadi terdiam mendengar perkataan Oma Meri yang sangat menusuk itu.Lalu tiba-tiba dari arah luar pintu, Kasih datang dengan membawa obat untuk Oma Meri.Tiba-tiba dokter Kasih sangat kaget saat melihat Oma Meri yang sedang memegang dada kirinya, dan terlihat sedang menahan kesakitan."Oma! Anda kenapa?" ucapnya, panik. Lalu buru-buru berjalan menghampiri Oma Meri dan segera memeriksa sang Oma, dengan menggunakan stetoskop yang menggantung di lehernya.Kasih tidak sempat memperhatikan sekelilingnya. Bahkan kehadiran Faith dan Max di ruangan itu. Tidak menjadi fokusnya.Saat ini Kasih sedang memeriksa Oma Meri dengan sangat teliti. Sang dokter tak lupa juga mengukur tekanan darah Oma Meri dan menghitung detak jantungnya selama satu menit."Oma ... tekanan darah Oma kok bisa naik lagi? Padahal tadi pagi saat Oma bangun, semua hasil pemeriksaan masih normal." tutur Dokter Kasih.Faith yang dari tadi memperhatikan dokter yang sedang memeriksa sang Oma, tiba-tiba menjadi panik saa
"Ma ... maaf, Oma. A-ku ada keperluan lainnya dengan pasien." jawab Kasih, sekenanya."Pasien lain? Bukankah dokter Roland, menugaskan mu hanya merawat Oma, saja?" ucap Oma Meri, menusuk."Eh ... i-ya, Oma. Maksudnya, aku ada perlu sebentar dengan dokter Vini." sahut Kasih, tetap mencari cara agar bisa keluar dari ruang rawatan Oma Meri. Oma Meri tentu saja mengetahui, jika itu hanya akal-akalan Kasih untuk dapat keluar dari kamarnya. Sang Oma tidak tidak akan membiarkan itu terjadi. Oma Meri segera berkata,"Kamu tidak boleh ke luar dari ruangan ini, Kasih. Sebentar lagi, semua orang akan berkumpul di sini." tegas, sang Oma."I ... iya, Oma. Maaf." jawab, Kasih. Lalu, dia pun duduk di sofa sesuai perintah dari Oma Meri.Di sofa itu, Faith juga duduk, tepat di depan Kasih. Dia menatap gadis itu dari ujung kakinya sampai ke area wajahnya. Hal itu sontak membuat Kasih menjadi risih sendiri.Kasih pun mulai mereka-reka dalam hatinya,"Apakah Faith tahu jika kami akan dijodohkan? Kenapa
"Jadi karena semua telah setuju, pernikahan akan dilangsungkan akhir pekan depan." ucap sang Oma, lagi."Apa?" seru Kasih, tak percaya.Lagi-lagi semua mata menatap ke arahnya, mereka seakan kaget dengan respon dari Kasih."Ma ... maaf." ucapnya, terbata."Pak Danu, Bik Sani. Bagaimana pendapat kalian?" tanya Oma Meri, ingin mendengarkan pendapat orang tua Kasih."Kami setuju-setuju saja, Oma Nyonya. Mana yang terbaik, untuk semuanya." jawab Pak Danu, bijak. Yang dibarengi dengan anggukkan sang istri. Pertanda jika dia sependapat dengan suaminya."Bagaimana, Faith?" Oma Meri, kembali bertanya kepada cucunya."Apa pun itu, asalkan kesehatan Oma cepat pulihnya. Saya setuju." jawab Faith, bijak.Mendengar jawaban dari Faith, membuat Kasih yang tadi terus menunduk. Segera menegakkan kepalanya. Dia sungguh tak percaya. Tanpa beban, pria itu menyetujui tanggal pernikahan yang ditetapkan oleh keluarga.Faith juga menatap ke arah Kasih tapi tanpa ekspresi. "Rara, kamu aturlah kapan mereka mu
Sebelum ke luar dari sana, Mommy Rara mengingatkan kepada keduanya untuk segera mencari cincin nikah."Sudah, stop berdebatnya. Faith ... ayo kalian segera mencari cincin pernikahan. Tunggu apa lagi?" tutur, Mommy Rara.Faith hanya mengangguk. Karena dia belum bisa memutuskan kapan mereka akan berangkat. Karena Kasih masih sibuk menenangkan adiknya, Lovlyta."Mommy sama Daddy, pamit dulu. Segeralah kalian berangkat." Sang ibu kembali mengingatkan putranya."Bik Sani, Anda tinggal di sini, ya? Jagain Oma Meri." perintahnya, lagi."Baik, Nyonya." jawab, Bik Sani. Setelah Mommy Rara, rasa semua sudah beres. Sang ibu lalu menyusul suaminya keluar dari ruangan mewah itu.Setelah mengetahui jika sang sahabat sudah mulai tenang. Kasih pun angkat bicara."Oma, saya pamit sebentar mau mengambil tas saya di loker." tutur Kasih, kepada Oma Meri. Namun pandangannya juga mengarah kepada semua orang yang berada di dalam ruangan itu."Lho, Kasih. Kamu sama Tuan Muda Faith, bukannya mau mencari cinci
"Ba ... baiklah, Asisten Max." Kasih pun menutup pintu mobil itu. Lalu membuka pintu mobil di bagian kursi penumpang.Kasih lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Faith. Aura gelap dan mencekam mulai terasa di dalam mobil itu."Kalian menunggu lama, ya?" tanya Kasih polos.Faith diam, namun wajahnyq terlihat seperti orang marah."Sudah tahu, malah pakai nanya lagi!" gumamnya, dalam hati.Faith menatap tajam ke arah Max mengisyaratkan kepadanya agar berbicara."I ... iya, Nona. Dari tadi Tuan Muda menunggu Anda." ucap Max, ragu-ragu. Takut dirinya salah berbicara.Untung saja ekspresi Faith tidak berubah. Max bukan main senangnya. Ternyata dia tidak salah berbicara."Ma ... maaf, Mas Faith. Tadi aku bertemu Vini dulu." ujar, Kasih."Cih! Katanya dia bertemu Vini? Jelas-jelas yang dirinya jumpai adalah laki-laki. Memangnya ada pria bernama Vini? Yang ada mah, bencong!" gerutu Faith dalam hati, dengan muka yang semakin ditekuk.Kasih menjadi risih sendiri melihat wajah tak ramah
Kasih pun mulai menyeka air matanya dengan menggunakan sapu tangan pemberian Faith."Ternyata dia cengeng juga!" ucap Faith dalam hatinya.Setelah selesai menyeka air matanya. Kasih kembali merapikan penampilannya. Dia pun mengembalikan sapu tangan itu kepada Faith."Ini sapu tanganmu, Mas. Terima kasih." ucapnya seraya menyodorkan sapu tangan itu di hadapan Faith."Simpan saja. Siapa tahu berguna untukmu suatu saat." serunya, dingin."Ayo kita segera ke luar dari mobilnya." Lalu Faith lebih dulu ke luar dari dalam mobil itu. Hampir lima menit lamanya Faith menunggu, namun Kasih tak juga ke luar dari dalam mobil itu.Di dalam mobil, Kasih masih sibuk menenangkan degupan jantungnya yang lebih cepat dari sebelumnya. Sambil menggenggam sapu tangan milik Faith, pria yang selalu ada di dalam hatinya.Dia pun segera memasukan sapu tangan itu ke dalam tas miliknya. Bersamaan dengan itu bunyi ketukan dari kaca mobil mulai terdengar.Faith yang beranggapan jika Kasih kembali menangis. Mulai