"Nona-nona cantik? Tapi mata Lo, hanya mengarah kepada Kasih. Dasar gombal!" ketus, Vini.
"Ha-ha-ha." Robin tertawa renyah."Kasih memang lebih anggun dari Lo, Vin. Lo sih terkesan tomboy banget! Anggun dikit kek, kayak Kasih." celutuk Robin, lagi."Dih ... siapa Elo ngatur-ngatur, gue?" tutur Vini, tak suka dengan omongan rekannya, Robin.Vini, sahabat Kasih. Tak kalah menariknya, memiliki rambut panjang yang tergerai lurus dan wajah oriental yang memukau. Namun itu dulu. Sejak Vini putus cinta dan merasakan pahitnya patah hati. Dia pun merubah penampilannya, dab menjadi terkesan lebih tomboy saat ini. Sepertinya, Vini tidak mau mengenal pria lagi. Dia trauma dengan kisah cintanya yang kandas karena perselingkuhan. Untuk itu dia menutup diri untuk tidak mengenal cinta lagi.Ketiga dokter tersebut saat ini sedang sarapan di kafetaria yang ada di dekat lobi rumah sakit.Dari tadi, Robin mencuri-curi pandang melihat ke arah Kasih. Sepertinya dia sangat terpesona dengannya. Selain memiliki paras yang cantik. Kasih juga berkepribadian baik dan ramah kepada siapa pun. Sehingga banyak pasien-pasien di rumah sakit itu, yang menyukai dirinya."Kamu pulang jam berapa hari ini, Kas?" tanya Robin, tiba-tiba di sela-sela sarapannya, pagi ini."Hhmm, sepertinya agak pulang lebih cepat. Setelah visite, saya akan ke ruangan Oma Meri.""Terus kamu ngapain lagi, Kas?" Robin tetap ingin tahu, kegiatan kasih selanjutnya."Hei! Lo ngapain nanya-nanya apa yang hendak Kasih lakukan? Mau sensus penduduk, Lo?" tukas Vini, setengah mengejek kepada Robin."Apaan sih, Lo. Reseh banget! Gue bertanya kepada Kasih, bukan ke Lo!" Robin tak kalah sengit, menjawab perkataan Vini yang menohok."Waduh, apa-apaan sih kalian? Sudah-sudah jangan pada berdebat gitu. Di kafetaria ini juga ada keluarga pasien. Kalian nggak malu ketahuan berdebat." Kasih mencoba menasihati, kedua temannya itu."Robin tuh yang mulai duluan, Kas!""Enak, aja! Lo yang terus cari gara-gara ke gue!" Vini, tak mau kalah.Karena semakin pusing mendengar keduanya bertengkar tiada akhir. Kasih pun dengan sengaja meninggalkan keduanya di kafetaria itu.Vini yang menyadari Kasih yang beranjak pergi, segera berkata,"Kasih, tungguin gue! Mau ke mana sih Lo, kok buru-buru gitu?" tukas Vini, lalu bersiap-siap turut ikut meninggalkan tempat itu."Sudah waktunya visite kepada pasien, guys!" Kasih sengaja menghindar dari Robin yang terus saja bertanya-tanya hal yang bersifat pribadi dengannya."Kas ... tungguin gue! Kita bareng visitenya!" tukas Vini, menyeimbangkan langkah Kasih yang semakin cepat.Tersisa Robin sendiri di kafetaria itu."Kasih, kenapa kamu selalu menghindariku? Apakah sudah tidak ada lagi kesempatan untukku mendekatimu?" lirihnya, dalam hati.Robin telah lama menyukai Kasih. Sejak mereka masih berasa di bangku kuliah. Perasaan itu mulai timbul dalam hatinya. Namun sayangnya. Kasih tidak pernah memberinya kesempatan untuk mengungkapkan isi hatinya, yang sebenarnya.Kasih terkesan menghindar disaat Robin akan memulai pembicaraan tentang hal-hal yang bersifat pribadi.Padahal yang Robin tahu. Kasih tidak pernah dekat dengan pria mana pun dari dulu. Alhasil sikap Kasih itu membuatnya bingung sendiri. Akan tetapi, rasa cinta Robin masih tetap saja. Malah Semakin menggebu-gebu terhadap gadis itu.Setelah selesai visite. Kasih pun berpisah dengan rombongan tenaga kesehatan lainnya. Dia lalu berjalan menuju ruangan VVIP tempat di mana Oma Meri dirawat.Kasih mengetuk pintu dari luar, terdengar kata "masuk" dari dalam.Kasih pun segera masuk ke dalam ruangan mewah itu.Ternyata di ruangan itu telah ada dokter Roland dan beberapa perawat yang sedang memeriksa tekanan darah Oma Meri."Selamat pagi ... Oma. Pagi, dok." Kasih tak lupa, menyapa keduanya."Pagi, Kasih." jawab, dokter Roland."Cucu mantuku .... kamu sudah datang, Sayang?"sahut Oma Meri, senang saat melihat dokter Kasih datang menemuinya saat ini."Dokter Kasih, selanjutnya. Perawatan Oma Meri, saya serahkan kepada Anda." tutur, Dokter Roland."Siap, dok." Jawab, Kasih."Dokter Roland, jangan lupa. Mulai Minggu depan dokter Kasih, Izin tidak bekerja di rumah sakit." Sang oma pemilik rumah sakit itu, memohon izin kepada dokter Roland selaku kepala rumah sakit."Tidak masalah, Oma. Akhir Minggu saya akan mengeluarkan surat cuti kepada dokter Kasih." ucap sang dokter, kepada Oma Meri."Terima kasih, Pak dokter." ucap Oma Meri. Sang dokter terlihat menganggukkan kepalanya. Lalu dokter Roland dan beberapa perawat lainnya, mulai keluar dari ruangan itu.Sepeninggal para tim dokter. Kasih lalu mempersiapkan sarapan untuk Oma Meri. Dia pun mulai menyuapi sang oma dengan telaten."Oma harus banyak makan, ya? Biar Oma lekas sembuh dan dapat menjalankan aktifitas sehari-hari lagi." ucap Kasih, lemah lembut."Pasti dong, Oma akan semakin sehat. Apalagi ada kamu yang selalu ada untuk Oma. Hal itu akan semakin membuat Oma menjadi semangat untuk sembuh." tutur sang Oma, senang.Pagi ini, Oma Meri menghabiskan semua sarapannya. Bahkan disaat waktu pemberian obat pun, Kasih tidak mengalami kesulitan apa pun seperti hari-hari sebelumnya.Oma Meri menjadi benar-benar menjadi penurut saat ini. Kasih benar-benar sangat bersyukur akan hal itu."Kasih ...." "I ... iya, ada apa Oma memanggilku? Apakah Oma membutuhkan sesuatu?" tanya Kasih, yang hendak siap-siap keluar dari ruang rawatan Oma Meri. Agar beliau dapat istirahat sejenak.Namun satu ucapan dari Oma Meri, menghentikan langkah Kasih.Dia pun kembali berjalan menuju ke ranjang di mana sang Oma sedang berbaring.Oma Meri dengan segera mengulurkan tangannya kepada Kasih, yang segara disambut olehnya. Sembari berkata,"Kamu temani Oma sebentar di sini.""Ba ... baiklah, Oma.""Terima kasih ya, Kasih kamu mau menerima perjodohanmu dan Faith."."Iya, Oma." jawabnya, singkat."Oma sudah tidak sabar menyaksikan kalian naik ke atas pelaminan." Binar-binar kebahagian mulai terpancar di mata Oma Meri.Kasih hanya bisa tersenyum dan mencoba menghindari kegalauannya dengan menggenggam tangan Oma Meri dengan erat."Mungkin Minggu depan Faith akan kembali ke Jakarta. Setelah semuanya beres kalian menikahlah secepatnya. Oma sudah tidak sabar menggendong cicit dari kalian berdua." tukas sang Oma, lagi."Deg-deg-deg!" Bunyi detak jantung Kasih mulai berpacu lebih cepat dari sebelumnya mendengar ucapan Oma Meri.Minggu depan yang dimaksud Oma Meri adalah tinggal beberapa hari lagi.Hal tersebut sontak membuat Kasih semakin gundah gulana. Hatinya mulai ketar-ketir menahan gejolak kegelisahan dari dalam jiwanya.Kasih sudah membayangkan kegugupannya jika Faith kembali ke Indonesia. Apalagi dia telah lama memendam perasaan suka kepada pria itu."Duh ... kenapa jantungku berdetak sangat kencang. Serasa mau copot saja. Apa yang harus ku lakukan jika Tuan Muda Faith pulang dari luar negeri?"Visite merupakan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter dan tenaga kesehatan lainnya.Sebagai dokter pribadi Oma Meri yang ditugaskan oleh pihak rumah sakit. Membuat waktu Kasih lebih banyak merawat Oma Meri. Seperti saat ini, Kasih sedang berada di ruang rawatan mewah itu. Sedang menjaga sang Oma yang sedang tidur.Dia pun mengisi waktunya dengan membaca sebuah artikel kesehatan. Sambil menunggu Oma Meri bangun.Lalu tiba-tiba pintu ruangan itu dibuka dari luar. Terlihat seorang gadis berparas cantik dan anggun yang tinggi semampai dengan body proposional layaknya model, bersama dengan sang ibunda. Yang sedang berjalan menuju ke dalam ruang rawatan Oma Meri."Hai, selamat siang. Kamu, Kasih kan?" ucapnya, mencoba mengenali teman masa kecilnya.Kasih sangat kaget. Melihat Lovlyta yang sudah berada di dekatnya. Duduk di sofa lalu menyambutnya dengan sebuah pelukan."Lo ... Lovlyta? Kamu Lovlyta, kan?" tutur Kasih, masih tak percaya. Jika sahabat masa kecilnya itu, telah berada di depannya saat ini."Ya ... ampun, Kasih ... masa kamu gak mengenaliku, sih? protes Lovlyta
"I ... iya, Tu. Maksud saya, iya Daddy." lirihnya, sambil menundukkan kepalanya."Kas, kamu tenang saja. Jika Kak Faith macam-macam ke kamu. Aku nggak akan tinggal diam." ucap, Lovlyta kepada sang calon kakak ipar."Kasih, Oma harapkan kamu bisa menerima sikap Faith. Anak itu dari dulu terlihat sangat pendiam. Dia lebih suka menyendiri dan menghabiskan waktunya membaca buku. Faith kurang bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Makanya Oma memilih mu untuk menjadi pendamping Faith, karena Oma sangat yakin jika kamu mampu menjadi istri yang baik untuknya." jelas Oma Meri, panjang lebar."Benar kata sang Oma, Kas. Mommy juga sangat yakin kamu adalah wanita yang tepat untuk mendampingi Faith." Nyonya Rara, ikut meyakinkan Kasih."I ... iya, Mommy." jawab Kasih, singkat.Dukungan semua anggota Keluarga Hoewar untuknya. Semata-mata tidak membuat kegundahan hatinya sirna juga. Kasih sudah beberapa kali menghalaunya, namun tetap tidak bisa. Dia sedikit takut dengan sikap Faith yang sang
Setelah bertemu dengan dokter Roland. Hati Faith semakin ketar-ketir perihal kesehatan sang Oma.Dia sangat ingat semua pesan dan nasihat dari dokter Roland.Saat ini Faith diikuti oleh Max sedang melangkah menuju ke ruang rawatan Oma Meri.Seorang perawat sedang menuntun mereka menuju ke kamar di mana Oma Meri sedang dirawat."Di sini kamarnya, Tuan Muda. Saya permisi dulu." ucap perawat itu, lalu mulai meninggalkan mereka."Terima kasih, suster." sahut, Max. Sementara Faith segera membuka pintu kamar mewah itu.Oma Meri yang baru saja selesai sarapan disuapin oleh Kasih. Saat ini sedang santai menonton televisi. Sang Oma yang mendengar jika pintu kamarnya dibuka dari luar. Segera berkata,"Kamu kah itu, Kasih? Kok cepat banget kamu tebus obat untuk Oma?" ucap Oma Meri.Sang Oma berpikir jika yang datang kembali ke kamar rawatannya adalah Kasih. Soalnya dokter itu meminta izin kepada Oma Meri untuk mengambil obat di bagian farmasi, rumah sakit itu.Namun alangkah terkejutnya Oma Mer
Faith menjadi terdiam mendengar perkataan Oma Meri yang sangat menusuk itu.Lalu tiba-tiba dari arah luar pintu, Kasih datang dengan membawa obat untuk Oma Meri.Tiba-tiba dokter Kasih sangat kaget saat melihat Oma Meri yang sedang memegang dada kirinya, dan terlihat sedang menahan kesakitan."Oma! Anda kenapa?" ucapnya, panik. Lalu buru-buru berjalan menghampiri Oma Meri dan segera memeriksa sang Oma, dengan menggunakan stetoskop yang menggantung di lehernya.Kasih tidak sempat memperhatikan sekelilingnya. Bahkan kehadiran Faith dan Max di ruangan itu. Tidak menjadi fokusnya.Saat ini Kasih sedang memeriksa Oma Meri dengan sangat teliti. Sang dokter tak lupa juga mengukur tekanan darah Oma Meri dan menghitung detak jantungnya selama satu menit."Oma ... tekanan darah Oma kok bisa naik lagi? Padahal tadi pagi saat Oma bangun, semua hasil pemeriksaan masih normal." tutur Dokter Kasih.Faith yang dari tadi memperhatikan dokter yang sedang memeriksa sang Oma, tiba-tiba menjadi panik saa
"Ma ... maaf, Oma. A-ku ada keperluan lainnya dengan pasien." jawab Kasih, sekenanya."Pasien lain? Bukankah dokter Roland, menugaskan mu hanya merawat Oma, saja?" ucap Oma Meri, menusuk."Eh ... i-ya, Oma. Maksudnya, aku ada perlu sebentar dengan dokter Vini." sahut Kasih, tetap mencari cara agar bisa keluar dari ruang rawatan Oma Meri. Oma Meri tentu saja mengetahui, jika itu hanya akal-akalan Kasih untuk dapat keluar dari kamarnya. Sang Oma tidak tidak akan membiarkan itu terjadi. Oma Meri segera berkata,"Kamu tidak boleh ke luar dari ruangan ini, Kasih. Sebentar lagi, semua orang akan berkumpul di sini." tegas, sang Oma."I ... iya, Oma. Maaf." jawab, Kasih. Lalu, dia pun duduk di sofa sesuai perintah dari Oma Meri.Di sofa itu, Faith juga duduk, tepat di depan Kasih. Dia menatap gadis itu dari ujung kakinya sampai ke area wajahnya. Hal itu sontak membuat Kasih menjadi risih sendiri.Kasih pun mulai mereka-reka dalam hatinya,"Apakah Faith tahu jika kami akan dijodohkan? Kenapa
"Jadi karena semua telah setuju, pernikahan akan dilangsungkan akhir pekan depan." ucap sang Oma, lagi."Apa?" seru Kasih, tak percaya.Lagi-lagi semua mata menatap ke arahnya, mereka seakan kaget dengan respon dari Kasih."Ma ... maaf." ucapnya, terbata."Pak Danu, Bik Sani. Bagaimana pendapat kalian?" tanya Oma Meri, ingin mendengarkan pendapat orang tua Kasih."Kami setuju-setuju saja, Oma Nyonya. Mana yang terbaik, untuk semuanya." jawab Pak Danu, bijak. Yang dibarengi dengan anggukkan sang istri. Pertanda jika dia sependapat dengan suaminya."Bagaimana, Faith?" Oma Meri, kembali bertanya kepada cucunya."Apa pun itu, asalkan kesehatan Oma cepat pulihnya. Saya setuju." jawab Faith, bijak.Mendengar jawaban dari Faith, membuat Kasih yang tadi terus menunduk. Segera menegakkan kepalanya. Dia sungguh tak percaya. Tanpa beban, pria itu menyetujui tanggal pernikahan yang ditetapkan oleh keluarga.Faith juga menatap ke arah Kasih tapi tanpa ekspresi. "Rara, kamu aturlah kapan mereka mu
Sebelum ke luar dari sana, Mommy Rara mengingatkan kepada keduanya untuk segera mencari cincin nikah."Sudah, stop berdebatnya. Faith ... ayo kalian segera mencari cincin pernikahan. Tunggu apa lagi?" tutur, Mommy Rara.Faith hanya mengangguk. Karena dia belum bisa memutuskan kapan mereka akan berangkat. Karena Kasih masih sibuk menenangkan adiknya, Lovlyta."Mommy sama Daddy, pamit dulu. Segeralah kalian berangkat." Sang ibu kembali mengingatkan putranya."Bik Sani, Anda tinggal di sini, ya? Jagain Oma Meri." perintahnya, lagi."Baik, Nyonya." jawab, Bik Sani. Setelah Mommy Rara, rasa semua sudah beres. Sang ibu lalu menyusul suaminya keluar dari ruangan mewah itu.Setelah mengetahui jika sang sahabat sudah mulai tenang. Kasih pun angkat bicara."Oma, saya pamit sebentar mau mengambil tas saya di loker." tutur Kasih, kepada Oma Meri. Namun pandangannya juga mengarah kepada semua orang yang berada di dalam ruangan itu."Lho, Kasih. Kamu sama Tuan Muda Faith, bukannya mau mencari cinci
"Ba ... baiklah, Asisten Max." Kasih pun menutup pintu mobil itu. Lalu membuka pintu mobil di bagian kursi penumpang.Kasih lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Faith. Aura gelap dan mencekam mulai terasa di dalam mobil itu."Kalian menunggu lama, ya?" tanya Kasih polos.Faith diam, namun wajahnyq terlihat seperti orang marah."Sudah tahu, malah pakai nanya lagi!" gumamnya, dalam hati.Faith menatap tajam ke arah Max mengisyaratkan kepadanya agar berbicara."I ... iya, Nona. Dari tadi Tuan Muda menunggu Anda." ucap Max, ragu-ragu. Takut dirinya salah berbicara.Untung saja ekspresi Faith tidak berubah. Max bukan main senangnya. Ternyata dia tidak salah berbicara."Ma ... maaf, Mas Faith. Tadi aku bertemu Vini dulu." ujar, Kasih."Cih! Katanya dia bertemu Vini? Jelas-jelas yang dirinya jumpai adalah laki-laki. Memangnya ada pria bernama Vini? Yang ada mah, bencong!" gerutu Faith dalam hati, dengan muka yang semakin ditekuk.Kasih menjadi risih sendiri melihat wajah tak ramah