Share

Bab 2. Jangan Jadi Buaya

KADO UNTUK PERNIKAHAN SUAMIKU 2

Aku masuk ke kamar hotel dengan senyum puas. Setelah ini acara di televisi pasti akan sibuk menggosipkan pernikahan anak konglomerat yang berakhir memalukan itu. Jelas saya, status Mas Argam yang ternyata sudah punya istri akan merusak namanya.

[Ci, mau pulang sekarang?] Pesan dari Daniel.

[Belum, lagi nunggu Laura.] Balasku.

Laura temanku sejak kecil. Gadis itu sedari dulu tak suka melihat Mas Argam, katanya tampang seperti itu pasti hoby selingkuh. Sempat kami marahan, karena sifat Laura yang blak-blakan mempermalukan Mas Argam. Dengan santai dia berkata didepan teman-teman Mas Argam kalau suamiku itu lelaki rendahan, hoby morotin cewek. Terang saja Mas Argam murka. Dan sejak saat itu aku tak dibolehkan lagi berteman dengan Laura.

Namun, Laura tak pernah benar-benar menjauhiku. Berawal dari paket misterius yang dia kirim kerumah ternyata berisi foto Mas Argam dengan perempuan disebuah pesta yang aku sendiri tak tahu dimana. Lalu, foto mesra Mas Argam dengan perempuan yang sekarang dia nikahi. Bukti itu membuat sudut pandangku terhadap Laura berubah 180 persen. Laura masih menganggapku teman, bahkan lebih.

Tok tok!

Aku berlari ke pintu dan membukanya.

"Sukses, Ra!" Pekikku senang.

Laura yang kalem tak menjawab, lalu duduk di sofa dengan mengangkat sebelah kakinya ke atas meja. Ga sopan memang, tapi sudah biasa.

"Jangan senang dulu, Ci. Pasti orang seperti Hadiyaksa akan mencari tau siapa pelakunya."

Nyaliku menciut. Gimana jika Pak Ibrahim yang kusewa untuk memutar proyektor dengan video pernikahanku dengan Mas Argam, tertangkap.

"Pak Ibrahim gimana , Ra?" Ujarku khawatir.

"Beliau sudah mengundurkan diri dari kemarin, sekarang kerja bersamaku. Namun, aku ada niat agar lelaki itu bekerja di kampung saja. Aku khawatir Hadiyaksa menemukan keberadaannya." ucap Laura dingin.

"Kamu sendiri, gimana? Baik-baik saja?" Tanyanya sambil menurunkan kakinya yang jenjang.

"Entahlah, Ra. Aku rasa sebaiknya aku segera menggugat cerai laki-laki pengkhianat itu." Kataku sayu.

Laura menepuk pundakku.

"Ci, jangan terlalu cepat berpikir cerai, cerai, cerai! Sepuluh tahun kamu mengabdikan diri hidup dengan laki-laki itu. Setidaknya kamu berpisah setelah mendapat ganjaran atas semua yang kamu lakukan untuknya." Laura tersenyum tipis.

Aku terdiam apa yang dikatakan Laura ada benarnya juga. Selama ini Mas Argam selalu irit memberikanku uang, dengan alasan lebih baik membeli tanah, rumah atau emas batangan yang dia simpan dalam brangkas rumah kami sebagai tabungan hari tua. Jadi wajar, aku sama sekali tak memiliki tabungan, bahkan tak pernah shopping demi menabung dihari tua kami nanti. Namun, setelah apa yang terjadi aku  memutuskan tak mau menua bersamanya. Tapi, aku berhak mendapatkan hakku selama sepuluh tahun menghabiskan usiaku melayaninya.

"Thanks, Ra. Aku tau sekarang apa yang harus aku lakukan." Ucapku mantap.

Hari itu juga aku pulang, keramaian di hotel pasca pernikahan yang kacau itu masih tercetak nyata. Wartawan hilir mudik mencari berita. Dari kejauhan aku dapat melihat Mas Argam dan Ibu mertua bicara serius. Sebelah tangannya berkacak pinggang, satunya terus memijit kening. 

Kenapa, Bang? Capek ya? Sama! Aku juga. Bedanya aku puas ga kayak kamu, belum puas udah selesai duluan. Aku terkekeh, dengan memakai kaca mata hitam dan masker di wajah, aku yakin dia tak akan mengenaliku, apalagi baju yang kupakai bukan bajuku yang biasa.

****

"Mbok,  Bapak telpon ga?" Tanyaku. Karena aku mematikan ponselku seharian, dan mengunakan ponsel lain untuk menghubungi Daniel dan Laura.

"Nelpon Bu, Bapak nanyain Ibu. Lalu... Lalu..." Mbok Ina tampak gugup.

"Lalu apa?" Tanyaku memburu.

"Bapak nyuruh matikan WiFi dan motong kabel televisi, Bu. Juga minta ponsel Ibu direndam biar mati total." Jawab Mbok Ina takut-takut.

"Tapi, Bapak pesan jangan sampai Ibu tahu." desisnya dengan wajah menunduk.

Sejenak aku terpaku. Apa harus segitunya?pasti lelaki itu takut jika aku mendengar berita pernikahan keduanya itu. Aneh, mungkin dia mau memanfaatkan keluguan dan ke-gaptekanku. Apalagi aku bisa dibilang tak punya teman.

"Mbok, lakukan aja yang Bapak perintahkan. Tetap berlaku seperti biasa aja." Titahku.

Mbok Ina pun lega, mungkin dia khawatir jika aku marah. Tapi, tenang aja Mbok, aku bukan jenis makhluk yang memangsa yang bukan mangsaku.

Malamnya, Mbok Ina mengetuk pintu kamar.

"Bu, ada telpon dari Bapak." Katanya ketika aku membuka pintu kamar.

Mbok Ina menyerahkan ponsel jadulnya padaku. Aku tersenyum tipis.

"Ya Mas..." Sapaku terlebih dahulu.

"Sayang, ponselmu kenapa tak bisa dihubungi?" Lagaknya kura-kura dalam perahu, gue tenggelamin juga lu, eh!

"Ga tau, Mas. Ponselku tiba-tiba mati, televisi juga tiba-tiba tak bisa menyala. Jadi, aku hanya bisa rebahan sambil baca novel di kamar. Untung novelnya bagus, Mas. Karyanya Mutiara Sukma, aku senang banget deh. Jadi ga kesepian kamu tinggal trus dengan kondisi ga ada gawai dan televisi begini." Cerocosku panjang lebar.

"Wah, syukurlah, Mas ikut senang mendengarnya. Sabar ya, sayang. Nanti Mas belikan ponsel keluaran terbaru dan juga televisi yang lebih bagus lagi." Ujarnya, sangat jelas suara Mas Argam begitu lega.

"Oya, emang novel apa yang kamu baca sayang. Nanti biar Mas belikan yang banyak, sepertinya kamu lebih baik membaca dari pada main gawai terus." Tawarnya.

"Hmm... Janganlah Mas, aku mau gawai juga. Mau novel juga, ini judulnya 'Kacaunya pernikahan suamiku'. Ada lagi novelnya 'ulah istri polosku' pokoknya keren-keren novelnya, Mas." Seruku penuh semangat. 

Walau sebenarnya aku sedang tak baca novel itu, karena penulis tidak mencetaknya dalam bentuk buku, tapi hanya di sebuah platform.

"Uhuk, uhuk!" Mas Argam tersedak.

"Mas, Mas kenapa?" Tanyaku pura-pura tak paham.

Pasti tu buaya keselek ludah sendiri. Makanya jangan suka mangap, apa yang lewat di sambar. Aku terkekeh sendiri.

"Gapapa, Sayang. Mas mau minum dulu, udah ya Sayang, love you."

Tanpa menunggu jawabanku dia menutup panggilan itu sepihak.

Aku tersenyum puas. Nikmati kado pernikahan dariku, Mas.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status