KADO PERNIKAHAN UNTUK SUAMIKU 5
POV Suci.
Dari Daniel aku tau kalau Mas Argam begitu galau. Semua berita telah menjadikan topik pernikahan putri Hadiyaksa pengusaha terkenal itu dengan laki-laki yang masih berstatus suami orang sebagai berita utama. Gelar pelakor pun tersemat. Pasti malu sekali. Seharusnya dia tak main-main denganku, apalagi sampai mengambil milikku.
"Ci, aku disuruh Argam untuk mengantarkan kamu ke villa agar kamu tak bisa baca berita."
Daniel tergelak, aku tersedak.
"Ke villa bareng kamu? Ga salah, Dan?"
Daniel masih tertawa.
"Iya, suami kamu memang pinter nyari duit, tapi otaknya jongkok dalam hal ini. Apa ga takut istrinya aku ambil, ke puncak lho, nginep."
"Hahaha aku sudah tak punya rasa sama dia, Dan." Kelu lagi rasanya hati, tak menyangka suamiku tega melakukan ini.
"Kalau sama aku?"
Plak!
"Gak lucu!"
Bantal kursi terlempar tepat mengenai wajah Daniel. Aku tergelak puas.
"Aku tak ingin ke sana, Dan. Aku akan membuat laki-laki itu kejang-kejang setelah kembali kerumah ini."
Dengan cepat aku menyuruh Mbok Ina mengemasi semua barang-barangku, juga punyanya.
"Saya ikut Bu suci, saja." Katanya ketika aku menanyakan mau menetap disini mengabdi pada Mas Argam apa ikut denganku. Mbok Ina lebih memilih ikut denganku. Mbok Ina adalah asisten rumah tangga yang baik, anaknya sepantaran denganku, laki-laki sedang kuliah, tapi aku tak tau dimana. Demi, anaknya itu Mbok Ina bekerja keras.
Aku pun meraih ponselku, tentu saja ponsel pintar baru, bukan gawai jadul yang dia hadiahkan untukku.
"Buk, apa kabar?"
Setelah basa-basi dengan Ibuk, aku mengutarakan maksud hatiku. Ingin mengajak Ibuk dan Bapak ikut denganku, Liburan ke korea. Kali aja ketemu Lee min Ho atau Song Jong Ki disana.
Tapi, niat itu terpaksa di undur karena Ibu dan Bapak belum punya pasport.
"Biar aku yang urus semua. Yang jelas kalian harus segera sembunyi." Ujar Daniel, melegakan hati.
"Makasih, Dan. You're my best friend."
"Only friend?" Tanyanya.
Aku menatap lekat lelaki yang sedang menyetir itu. Dia menoleh lalu tersenyum.
"Just kidding!" Cetuknya.
"Kenapa tertawa?" Tanyanya ketika melihatku menutup mulut menahan tawa.
"Kamu kayak kumpulan suami-suami takut istri."
"Kalau istrinya kamu, aku memang takut. Takut kamu tersakiti dan takut kamu tak bahagia." Aku makin terkekeh.
"Makan tuh, gombal. Ga ada laki-laki yang benar-benar setia di dunia ini."
"Jangan salah, Kesetiaan Rasullullah kepada istrinya Khadijah melekat pada dirinya sepanjang hidup, bahkan ketika istri pertamanya tersebut sudah wafat dan beliau sudah tinggal di Madinah." Sahut Daniel.
"Iya! Tapi kamu bukan Nabi!" Cetusku. Daniel terkekeh.
Banyak yang ingin seperti manusia mulia itu, lelaki yang Allah telah sempurnakan penciptaan nya. Tapi, keinginan itu hanya ikrar dimulut, tak sampai meresap ke hati. Hasilnya, hanya yang mudah dan enaknya saja yang diambil, sedangkan bagaimana perjuangan seorang Rasul Allah melawan hawa nafsu, di skip dengan mudahnya.
Lama kami terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Setelah beberapa jam, mobil sampai di halaman rumahku dulu. Rumah yang masih sangat sederhana, padahal sang pemilik rumah mempunyai menantu seorang manager. Sungguh menyesal aku selalu menuruti kemauan Mas Argam, hingga aku tak diberi waktu untuk berbakti pada orangtua setelah diri ini menikah.
Tangis haru menyambut kedatanganku.
"Mana Argam, Nak?" Tanya Bapak heran, karena aku datang dengan laki-laki lain bukan dengan suami.
"Nanti Suci akan jelaskan pada Bapak dan Ibu. Kita harus buru-buru." Ucapku, setelah meminta Bapak dan Ibu mengemasi semua barang-barangnya. Tak lupa surat-surat berharga juga dibawa.
Aku harus menghilang dari Mas Argam, dia pasti akan mencari kesini jika tahu kalau brangkasnya sudah kosong. Salah besar jika selama ini dia menganggap aku tidak tau kode rahasia pembuka besi penyimpanan hartanya itu.
"Ci, kebun kita gimana?"
"Tak usah dipikirkan, Pak. Bapak ga usah berkebun lagi. Kita berdagang saja ditempat yang baru." Ujarku sembari menggenggam tangan tua Bapak.
Mobil mulai menjauh, mata tua bapak menatap kebun disamping rumah dengan nanar. Ada sayur mayur ditanam disana, suasana pedesaan yang membuatku sebenarnya betah tinggal disini, Namun mungkin ini adalah jejak terakhir. Memulai hidup baru dengan harapan baru. Aku telah memutuskan untuk membawa Bapak dan Ibu hijrah ke Jogja. Daerah pegunungan yang lumayan jauh dari Ibu kota, dan asri juga pemandangannya.
"Maafkan Suci, Pak."
"Sebenarnya apa yang terjadi, Nak."
Aku menghela nafas panjang. Wajar jika orangtuaku tidak tau, disini akses komunikasi ataupun internet masih minim. Apalagi kedua orangtuaku bukan orang-orang yang suka ngerumpi. Jadi, kemungkinan ini mereka mendapat informasi terkini itu sangat sedikit.
"Ya Allah, suci..." Tangis Ibu pecah saat mendengar ceritaku.
"Tak usah menangis, Buk. Suci gapapa, kok."
Aku harus bersikap santai, walau kenyataannya hati ini juga sedang tak baik-baik saja.
***
Sudah empat hari kami di Jogja itu artinya jadwal Mas Argam pulang, entah dia akan pulang atau akan menyusulku ke villa seperti yang dia katakan, aku tak peduli.
Kami tinggal disebuah desa yang begitu rindang pemandangannya. Aku membeli sepetak sawah tak jauh dari rumah. Sepertinya Bapak tak bisa jika tidak mencangkul, walau dirumah juga kubuat sebuah warung kelontong yang lengkap dengan seorang karyawan.
Ternyata uang cash yang disimpan di brangkas itu lumayan banyak. Mas Argam memang pandai berhemat.
Rencananya aku akan kembali ke kota. Mengurus semuanya, statusku masih ngambang saat ini.
Ting!
[Ci, suami kamu pulang, dia mengamuk, sepertinya dia sudah tau brangkas kamu gasak sampai licin.]
Aku terkekeh, membayangkan reaksi mas Argam.
[Kamu sekarang dimana, memangnya?]
[Suamimu minta di antar ke puncak. Edun dah, hahaha.]
Demi kelancaran, Daniel masih harus pura-pura agar tak ketahuan.
[Makanya buruan jadi bos, jadi ga harus pura-pura begitu.]
[Tenang, sebentar lagi aku akan membuat suami kamu itu terpental.]
Aku mengernyitkan dahi, maksudnya apa nih bocah.
[Udah dulu, ya. Aku mau bertugas.]
Aku membalas dengan emoticon jempol. Tak lama ponsel jadul yang hanya ada nomor Mas Argam didalamnya, berbunyi. Sengaja ga aku angkat, tapi ponsel itu terus saja bersuara.
"Ya, Mas."
"Dek, kamu masih di villa 'kan?"
"Maaf, aku lupa ngabarin. Aku pulang, Mas. Mau ngurus rumah Ibuk."
"Lho? Kapan? Emang rumah Ibu kamu kenapa?" Rentetan pertanyaan dia lontarkan
"Kemarin aku pulang naik travel. Rumah Ibu rusak, Mas. Mau dijual aja."
"Kok kamu ga ngasih tau, Mas."
"Aku takut ganggu kamu, Mas. Kamu pasti sibuk."
Terdengar helaan napas Mas Argam.
"Mas, aku butuh uang. Kemarin aku kesini pakai uang Mbok Ina. Mbok Ina butuh cepat untuk biaya kuliah anaknya. Aku boleh pinjam dulu tidak tabungan kita."
Aku mencoba memancingnya.
"Oh, boleh, Sayang. Kamu butuh berapa?"
"Aku pinjam 50juta aja, Mas. Aku mau nambahin Ibu beli rumah. Sejak nikah aku tak pernah bantu Ibu. Bolehkan, sayang."
Lama tak ada jawaban.
"Kalau tak boleh tak apa, Mas. Ga usah. Aku mau istirahat dulu, ya."
"Eh, sayang. Oke, oke nanti Mas transfer, ya."
Aku tersenyum samar. Aku harus mulai morotin laki-laki itu, cukup sudah selama ini menjadi pembantu gratis buat dia.
"Makasih, sayang, love you, Mas."
"Love you, too sayang. Cepat pulang, ya. Jangan lama-lama disana."
Tentu, Mas. Aku akan pulang untuk membuat perhitungan dengan kamu. Tunggu saja kedatanganku.
Bersambung.
"
KADO UNTUK PERNIKAHAN SUAMIKU 6"Pa, saya belum ada bukti yang kuat jika video itu hoax, apa Papa akan terus melarang saya mendekati istri saya, Calista sudah sah menjadi istri saya Pa."Aku berusaha memohon pengertian dari mertuaku itu."Tidak mungkin ada asap tanpa api, walau kamu adalah seorang manager hebat sekalipun, saya akan tetap bersikap sebagaimana sikap seorang ayah pada anaknya. Saya tidak mau Calista di cap sebagai pelakor." Ucapnya tegas.Aku hampir putus asa. Tiba-tiba Calista muncul dari balik pintu."Izinkan Calista mencari tahu sendiri, Pa. Jika Mas argam terbukti berbohong, Calista akan pastikan dia menyesal seumur hidup."Senyum tersungging di bibirku, ini awal yang baik. Aku yakin bisa meluluhkan hati Calista.Mertuaku itu menatap tajam putrinya."Apa kamu sudah siap deng
"Muka kamu kusut gitu, Gam?" Tanya Ibu pagi itu.Selain tak mendapat uang, aku juga dapat ceramah dari Calista. "Suami yang sejati itu, suami yang tidak mengandalkan uang istri, modal minjem tapi tak dibayar! Setelah dapat uang mendadak amnesia, pura-pura tak berdosa karena tak bayar hutang, bulan depan pinjam lagi!"Aku tercenung mendengar kata-kata pedas itu dari bibir tipis Calista. Mood mendadak ambyar, padahal dalam ekspektasi, Calista akan meminjamkan uangnya dan aku bisa melancarkan rayuanku biar segera tertunaikan hajat sebagai pengantin baru.Namun, apalah. Ibarat undian aku masih harus sabar untuk "coba lagi"."Heh! Malah ngelamun!" Sentak Ibu."Eh, anu, apa, Bu?""Cieee, Abang, baru saja punya istri dua mendadak linglung gitu, sih? Abang ga lupakan sama permintaan Rasti kemarin?"Rasti menaikan alis matanya. "Ibu juga, Gam. Ibu juga butuh uang. Minggu depan ada pengajian, Ibu harus beli seragam baru juga cincin dan kalung baru, yang agak panjang biar keliatan walau ibu pa
KADO UNTUK PERNIKAHAN SUAMIKU 8"Hari ini Daniel saya angkat menjadi manager mengantikan Pak Argam. Pak Argam sendiri akan dipindahkan ke bagian administrasi."Ucapan Pak Irfan seperti petir ditengah hari. "Tapi, Pak!" Kataku berusaha membantah."Keputusan ini bersifat mutlak! Tak bisa diganggu gugat."Rahangku mengeras, kenapa harus Daniel? Dia hanya staff umum biasa yang aku angkat sebagai orang kepercayaan disini."Pak Daniel ini lulusan ekonomi terbaik di Universitas Indonesia, saya harap kinerja Pak Daniel, juga sesuai dengan apa yang saya baca diresumenya ya, Pak."Daniel mengangguk cepat. Sedangkan aku melongo, bagaimana mungkin Daniel bisa menjadi seorang manager sementara aku baca sendiri resumenya waktu itu hanya lulusan SMA. Apa ada yang Daniel sembunyikan dariku?"Dan ingat! Saya tidak mentolerir kebohongan dan kecurangan!" Pak Irfan menatapku tajam.Dari pandangannya aku bisa menebak ada hal yang tak dia sukai. Apa Pak Irfan tau jika aku melakukan korupsi? Atau karena me
Ada apa sih, Bu?" Aku merangsek masuk rumah. Ibu bermuka masam sedangkan Rasti betah dengan muka juteknya."Bagus ya, kamu! Jual rumah ga bilang-bilang. Takut Ibu minta?""Ya ampun, Bu. Jual rumah apaan? Kan kemarin Argam udah bilang sertifikat rumah dan semua isi brangkas sudah kosong, hilang!""Kalau hilang, kenapa kamu tidak lapor polisi?""Hu'um, malah cuek aja, kayak hilangnya itu sengaja ya, Bu! Masa harta hilang Bang Argam ga cemas, masih sibuk ngamar sama istri muda. Biasa aja, santuy, kan aneh!"Aku menggaruk kepala yang tak gatal. "Memang Abang ga lapor polisi. Karena ribet, nanti urusan bolak balik ke sana. Tapi, Abang minta tolong Pak Darno, tukang kebunnya Pak aries. Katanya dia punya dukun sakti yang bisa menerawang dimana surat dan uang itu berada.""Trus sudah ketemu?"Aku menggeleng lemah."Tadi dia minta tambahan uang 10juta, katanya ada yang nutupin perawangannya. Jadi harus dibuang dulu penghalangnya itu.""Sepuluh juta, Bang? Banyak amat! Jangan-jangan Abang diti
Mataku membola, sungguh kurang azar, selama ini dia selalu aku kasih uang tanpa perhitungan. Sekarang berani membentakku begitu."Pak, apa nanti benar ada, sekretaris baru yang akan menjadi orang kepercayaan, Bapak?"Daniel menatapku, lekat."Apa urusannya dengan Anda!" Bentaknya."Maaf, kalau tidak keberatan saya mengajukan diri. Saya tak betah di bagian administrasi. Saya berjanji akan profesional dan membantu Pak Daniel sekuat tenaga."Daniel berdecih, lalu menyengir."Saya mau sekretaris perempuan, kali saja nanti bisa jadi istri saya. Maaf, permintaan kamu hanya buang-buang waktu saya, saja!"Dia pergi dengan angkuh. Desas-desus ada sekretaris cantik yang akan masuk beberapa hari lagi sudah terdengar olehku. Entah kenapa aku sangat penasaran. Lagi pula seharusnya Daniel memilihku jadi orang kepercayaannya. Tapi, laki-laki itu seperti
"Mbak Suci, kelanjutannya gimana nih? Uang Mas Argam yang berhasil saya ambil baru 35juta. Saya udah minta 10juta lagi tapi Mas Argam tak mau ngasih, katanya ga punya uang segitu.""Gapapa, Mang. Uangnya Mang Darno pakai untuk kebutuhan Mamang dan keluarga, sisanya sedekahkan ke panti asuhan yang ada di kampung, Mamang aja.""Tapi, Mbak...!""Udah ambil aja, itu hak saya selama sepuluh tahun ini. Anggap aja untuk membersihkan harta Mas Argam." Selaku langsung. Mang Darno tukang kebun Pak Aries yang kini sudah pulang kampung, ke daerah Sukabumi itu, sangat senang. "Seumur hidup belum pernah megang duit sebanyak ini saya, Mbak. Terima kasih banyak, Mbak. Semoga Mbak Suci Allah berikan kesehatan, umur yang panjang juga suami yang setia."Aku terkekeh, tak ada niat lagi hendak nikah lagi saat ini.Setelah menyuruh Mang Darno membuang semua nomor telepon yang pernah berhubungan dengan Mas Argam, aku pun mengakhiri percakapan. Satu persatu rencanaku berjalan lancar.Kini aku sudah kembali
Hari ini ketika aku sedang duduk santai di apartemen yang kubeli dari uang milik Mas Argam. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Panggilan dari Ibu mertua tercinta."Suci ini Ibu. Kamu ada di mana?""Suci masih ada di kampung, Bu. Ada apa Ibu, tumben menelpon Suci? kabar Ibu sehatkan?Aku masih berusaha bersikap biasa saja pada mertuaku itu."Baik! kabar Ibu baik. Ibu cuma mau menanyakan, apa kamu yang menjual rumah?"Jawaban Ibu masih terdengar ketus."Menjual rumah? Rumah yang mana ya Bu?" Aku pura-pura tidak tahu. Padahal rumah itu sudah dilimpahkan kepada notaris karena sudah ada yang berminat untuk membelinya. Dalam waktu 2 atau 3 bulan ini rumah itu akan segera berpindah tangan."Ya, rumah kamu dan Argam. Rumah siapa lagi? bukannya sertifikat rumah itu kamu yang pegang?""Bukan, Bu. Rumah itu tak mungkin dijual, itu kan rumah satu-satunya milik kami. Lagipula sertifikatnya disimpan Mas Argam dalam brankasnya, bahkan Suci tidak tahu kode untuk membuka brankas itu.""Jangan-jangan Argam
POV Argam.Keadaan kantor tak lagi nyaman, ibarat menjadi seorang raja tiba-tiba turun tahta, rasanya menyakitkan sekali. Terlebih sindiran dari teman-teman-teman membuat semangat bekerjaku menurun drastis.Sementara karier Daniel makin menanjak, sering keluar negeri. Tentu saja uangnya juga makin banyak.Sedangkan aku berkutat dengan kertas-kertas laporan yang biasanya tidak aku pegang kini menjadi tulisan-tulisan yang begitu membosankan. Waktuku lebih banyak gunakan untuk tidur, melamun, bermain ponsel dengan game online yang kudownload disana.Gaji yang biasa kuterima banyak, kini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Juga kebutuhan ibu dan Rasti yang separuhnya saja tidak sampai."Bang, Aku tidak pernah lagi memberiku uang? Semenjak Abang punya istri dua, Abang semakin pelit!" Protes dari Rasti kuabaikan. Saat ini aku benar-benar bergantung kepada kemurahan hati Calista. Gajiku hanya cukup untuk membayar cicilan kartu kredit, itupun yang sering pakai adalah Ibu."Iya