Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (3)
—--"Rumah sudah ada pembeli, tapi Ivan tidak mau keluar, Ay. Bahkan kini, dia mengajak Ibu dan calon istri barunya tinggal disana."Aku nyaris tertawa. Satu bulan sudah berlalu sejak hari aku meninggalkan rumah itu. Trisha sahabatku yang lain selain Angga, yang juga seorang pengacara memberi laporan. Aku memang menyerahkan semua pada Trisha. Salah satunya karena, aku tak ingin bertemu lagi dengan dia. Dan dia, juga tak boleh lagi bertemu dengan Lucia."Kalau begitu, rubuhkan saja!"Trisha terbelalak."Aya', kamu serius? Rumah itu kalian bangun bersama. Aku yang jadi saksi bagaimana kamu bekerja keras mencari uang membantu Ivan, juga berhemat demi bisa membangun rumah itu.""Dan karena itu, aku tidak rela Mas Ivan mendiaminya bersama calon istri barunya.""Kalau dirubuhkan, kerugianmu cukup besar, sekitar delapan ratus juta.""Mungkin aku perlu tiga tahun untuk mengumpulkannya lagi. Tapi tak apa. Aku ingin tahu, apa calon istrinya masih mau jika tahu bahkan untuk tinggal pun mereka harus mencari tempat."Trisha menatapku serius."Astaga. Memang betul, jangan coba-coba menyakiti hati wanita. Balas dendamnya mengerikan."Aku tertawa, lalu merangkulnya."Tapi, nggak semua lelaki seperti Mas Ivan, Tris. Kuharap kamu merubah keputusanmu untuk tidak menikah seumur hidup."Trisha menggelengkan kepala."Entahlah. Membaca berita-berita perselingkuhan membuatku ngeri. Setiap hari ada saja artis yang bercerai. Kamu tahu yang viral itu kan? Secantik itu saja masih diselingkuhi, padahal lakiknya buluk."Tawaku makin kencang. Trisha memang seperti itu, kadang bicaranya asal ceplos. Tapi aku berani bertaruh, hatinya baik sekali."Aku senang kamu masih bisa tertawa."Trisha meneguk minumannya, memandang keluar rumah. Beberapa ratus meter di depan kami, dihalangi jalan beraspal selebar dua meter, bibir pantai tampak jelas. Pantai itu baru akan dibuka untuk umum bulan depan. Tapi, warung-warung dan gazebo dari bambu sudah bermunculan bak jamur di musim hujan. Di halaman rumah yang berpasir, gadis kecilku asyik bermain bersama Mbak Atik. Pagi masih muda."Dia, yang menjagaku untuk tetap waras."Kami sama-sama menatap Lucia. Gadis kecil itu sedang tertawa-tawa, entah bercerita apa dengan pengasuh kesayangannya. Aku membutuhkan Mbak Atik untuk menjaga Cia, karena nyaris setengah dari waktuku kuhabiskan di depan laptop. Aku mencari uang dengan cara menulis novel untuk aplikasi online. Tak ada yang tahu bahwa penulis bernama pena Cahya Bintang adalah aku. Bahkan Mas Ivan sekalipun. Dia pikir, aku hanya seorang pedagang online, hingga dia menganggapku remeh. Menganggapku tak bisa hidup tanpa dirinya. Padahal, uang puluhan juta mengalir ke rekeningku setiap bulan. Mas Ivan memang tahu orang tuaku cukup kaya, tapi, dia juga tahu bahwa Ayah dan Ibu bukan tipe orang tua yang memanjakan anaknya. Meski semua milik mereka akhirnya akan menjadi milikku, tetap saja, aku harus punya sesuatu yang bisa kuandalkan untuk bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Hidup tak pernah ada yang tahu."Kapan sidang pembacaan talak? Aku sudah nggak sabar menyandang status baru yang seksi itu."Trisha tertawa, lalu tiba-tiba diam dan menatapku serius."Ay', kamu bener-bener udah sembuh?""Aku nggak sakit.""Fisikmu nggak. Tapi disini," Dia menunjuk dadaku. "Aku yakin lukamu masih basah."Aku menghela napas panjang, tiba-tiba merasa sakit. Ya. Siapa bilang aku tak sakit? Rasanya sungguh luar biasa. Tapi, tak ada yang bisa aku lakukan selain menyembuhkan sendiri luka itu, kan?"Karenanya, menyandang status baru sangat penting buatku. Aku bisa kembali ke dunia luar, dan bertemu dia dan keluarganya dengan kepala tegak."Trisha berdiri, "Jadi, kamu yakin tentang merubuhkan rumah itu?""Emm… setelah kupikir-pikir, bagaimana kalau kamu tawarkan uang sepuluh juta supaya dia mau angkat kaki? Itung-itung, aku membantunya ngontrak rumah.""Kalau dia menolak?""Rubuhkan. Dia tak mungkin mau tidur di atas tanah."Trisha menghela napas."Baikah. Sidang pembacaan ikrat talakmu dua minggu lagi. Mungkin kamu mau datang.""Akan kupikirkan."Trisha kemudian pergi setelah menyapa Lucia dan Mbak Atik di halaman rumah. Ketika mobilnya sudah berlalu, aku melambaikan tangan, memanggil mereka berdua. Matahari mulai tinggi. Disini, aku harus benar-benar menjaga kulit dan kondisi tubuh Lucia karena udara panas dan lembab."Mama, jadi, kita benar-benar nggak akan pulang ke rumah Papa?" tanya Cia setelah selesai mencuci tangan dan duduk di depan meja menghadapi snack paginya.Aku tertegun sejenak. Sejak pergi waktu itu, baru kali ini putriku bertanya tentang Papanya. Kemarin-kemarin, dia terlalu asyik bermain dan mengexplore lingkungan hingga melupakan sang Papa. Atau mungkin, perhatian Mas Ivan yang berkurang selama ini, yang membuatnya lupa bahwa kami hanya berdua."Nggak, Sayang. Cia… apa Mama bisa bicara?"Kuputuskan untuk bicara jujur. Rasanya, aku tak akan tahan jika besok-besok, dia menanyakan Mas Ivan lagi. Dari sudut mata, dapat kurasakan Mbak Atik menatapku cemas."Bicara apa?"Aku terdiam sejenak, memilah kata agar dapat dimengerti oleh anak seusianya, sekaligus, meminamilisir luka yang mungkin dia rasakan.Tapi, adalah perceraian yang tak menimbulkan luka?"Cia, Mama dan Papa, akan berpisah. Jadi, Cia akan tinggal hanya sama Mama."Mata bulatnya melebar sejenak, pertanda bahwa dia terkejut. Mungkin dia pikir, kemarin kami hanya liburan."Papa akan tinggal sama siapa?"Aku menggigit bibir keras-keras sebelum bicara."Papa… akan tinggal bersama Oma, dan mungkin, istri barunya."Dia terkejut sempurna kini."Istri baru? Jadi, Cia mau punya Ibu lagi?"Aku buru-buru menggeleng."Nggak, sayang. Makanya kita pindah kesini, karena Mama nggak mau Cia punya Ibu baru. Ibu Cia hanya Mama. Benar kan? Cia sayang Mama kan?"Oh, mungkin tak bijak bicara seperti itu pada anak lima tahun. Aku telah mulai mendoktrinnya agar membenci Ayahnya. Aku akui, aku memang jahat. Tapi, siapa yang lebih jahat disini? Dia yang mengkhianati kami, atau aku, yang membawa lari putrinya?Cia langsung menelusup masuk dalam pelukanku."Cia sayang Mama, sayaaang banget, nomor satu!" serunya dengan kepolosan seorang anak.Sayang Mama nomor satu. Itu kata-kata yang selalu dia ucapkan. Mama nomor satu, dan Papa nomor empat, tanpa pernah dia sebutkan siapa yang nomor dua dan tiga.Aku menatapnya dengan mata mengembun. Dia adalah hidup dan matiku. Tak akan kubiarkan siapapun merenggutnya dariku. Bahkan tidak Ayahnya!***Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (4)___Pagi-pagi sekali, dua buah alat berat sudah berada di depan rumahku. Kompleks perumahan elit itu heboh. Dua orang polisi, dan aparat kompleks ikut pula ada disana. Kebetulan sekali, hari ini adalah hari minggu, dan aku bisa menyaksikan semua itu dengan tenang melalui layar ponsel. Trio Angga, Trisha dan Elena sahabatku sedang beraksi. Dan aku yakin kali ini Elena yang memegang kamera video, menyiarkannya langsung padaku.Trisha dan Angga, bersama dua aparat kompleks, memasuki halaman rumah, sementara dari dalam, Mas Ivan dan Mama mertuaku keluar. Juga Diska adik iparku, serta satu lagi wajah, yang mengingatkanku pada hari naas itu.Jadi, perempuan di kamar hotel waktu itu yang akan menjadi calon istri Mas Ivan? Mereka belum menikah tapi sudah tinggal satu rumah, dibawah persetujuan orang tua Mas Ivan. Hebat."Apa-apaan ini?"Mas Ivan meradang, sementara Mama mertuaku dan dua wanita lain memandang alat berat itu dengan wajah pucat."Rumah ini milik
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (5)PoV IVANUntuk terakhir kalinya, aku menatap rumah yang menaungiku enam tahun lamanya. Rumah yang dulu didalamnya penuh cinta, tapi kini menjadi sengketa."Bodoh! Kenapa kau ambil uang itu? Seharusnya biarkan saja rumah itu dirubuhkan. Mama yakin, Aya cuma mengancam."Dari jok belakang, Mama mengomel panjang pendek. Aku diam saja, berusaha tak peduli. Mama tak tahu siapa Ayara. Dia selalu saja membuatku terkejut. Dulu kukira, dia akan menolak mati-matian mengurus Cia, tapi sekarang, dia bahkan membawa kabur anakku. Ayara, perempuan api, nekad dan mudah terbakar dibalik sikap tenang menghanyutkan yang selama ini dia tampakkan. Aku telah salah perhitungan. Seharusnya, aku lebih berhati-hati."Tidak, Ma. Aya tidak sedang mengancam. Dia sungguh-sungguh.""Kalau begitu, biarkan saja hancur. Kalau rumah itu hancur, kalian sama-sama tak bisa memilikinya, itu lebih bagus. Mama jadi nggak sakit hati."Tidak. Rumah itu tak boleh hancur. Mama tak tahu arti rumah
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (6)Kami menapakkan kaki melintasi halaman yang di tumbuhi rumput swiss dengan hati-hati. Rumput hias berharga mahal, yang perawatannya rumit dan juga mahal ini, biasanya hanya tumbuh di halaman rumah orang kaya. Seperti disini, di halamannya yang luas, rumput ini tumbuh subur serupa permadani, pertanda ada tangan profesional yang merawatnya.Daun pintu yang berukir indah itu mengayun terbuka. Seorang wanita setengah baya menganggukkan kepala dan mempersilakan kami masuk. Aku menghela napas panjang, sebelum masuk setelah membuka alas kaki. Gita di sebelahku, menempel ketat. Berkali-kali dia bergumam memuji keindahan interior rumah ini.Enam tahun menikah dengan Ayara, aku baru enam kali datang saat lebaran. Mereka bukannya tak menerima, tapi aku yang rendah diri. Secara status sosial, keluargaku tak ada apa-apanya. Hanya saja aku berhasil menjadi manager operasional di sebuah perusahaan properti besar. Sesuatu yang membuatku berhasil menegakkan sedikit kepa
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (7)Dulu, semua baik-baik saja. Aku dan Mas Ivan menikah atas dasar cinta. Setidaknya itulah yang kurasakan. Entah, apakah aku kurang peka pada perasaannya yang tak sebesar cintaku, ataukah dia memang tipe lelaki yang mudah berpaling hati. Kami bertemu di acara reuni fakultas. Dia ternyata dua tingkat di atasku, tapi rasanya dulu, aku tak pernah mengenalnya. Maklum saja, aku bukan tipe gadis yang mudah bergaul. Sahabatku hanya tiga. Angga, Trisha dan Elena. Pertama sekali dia datang ke rumahku, esoknya dia langsung melamar. Karena itulah aku menerimanya. Kupikir, seperti itulah lelaki sejati.Tahun pertama yang kujalani manis bak gula, meski dibayangi rasa gelisah karena aku tak kunjung hamil. Dua bulan setelah menikah, Mas Ivan yang waktu itu hanya karyawan biasa, tiba-tiba diangkat menjadi manager operasional. Orang-orang bilang, itu rezeki menikah. Dia tampak semakin sayang padaku, meski berbarengan dengan itu, dia mulai sering pergi ke luar kota dengan
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (8)"Saya Banyu, Banyu Biru."Aku mengulurkan tangan, menjabatnya sekilas. Jabatan tangannya mantap dan terasa hangat di telapak tanganku yang dingin oleh air laut. Masih dengan Cia dalam dekapan, aku berdiri."Saya berhutang nyawa padamu. Terima kasih banyak. Semoga Allah membalasmu dengan seribu kebaikan."Aku mundur, berbalik dan setengah berlari menuju rumah. Mungkin aku kurang sopan karena tidak mempersilahkan dia ikut ke rumah sebagai ucapan terima kasih. Tapi, di rumah, kami hanya bertiga, perempuan semua, dan dengan statusku yang belum jelas seperti ini, rasanya tak enak bertemu dengan lelaki lain."Ya Allah, ini kenapa, Non?!"Mbak Atik terkejut melihat aku berlari pulang sambil menggendong Cia dalam keadaan basah kuyup dan kusut masai. Aku terdiam sesaat, berusaha menentramkan jantung yang terasa meledak akibat berlari sambil menggendong. Sementara Cia, memeluk leherku erat. Dia tahu bagaimana cemasnya aku tadi."Ayo sama Mbak, kita mandi. Biar Ma
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (9)Banyu Biru, dia seperti alien, yang dengan massif, menelusup masuk dan mendekat langsung ke sasaran. Cia, yang selama ini kehilangan sosok Ayah yang hobi bertualang, seperti mendapatkan penawar atas dahaganya. Usianya memang baru lima tahun. Biasanya di usia itu, gadis kecil sepertinya mencari figur lelaki idola dari Sang Papa."Om Banyu bawa apa?"Aku berdiri di balik gorden, menatap keluar, membiarkan pintu rumah terbuka hingga suaranya menelusup masuk. Di teras, Mbak Atik sedang menyapu. Disini kami harus rajin membersihkan lantai. Angin laut amat suka menerbangkan pasir-pasir halus hingga ke dalam rumah kalau kau membuka pintu. Tapi kali ini, kubiarkan pintu terbuka, ingin mendengar percakapan mereka."Ayo kita lihat!"Mbak Atik sibuk melirik-lirik ke dalam rumah, dan ketika mata kami bertemu, aku menyilangkan telunjuk di bibir, menyuruhnya diam."Wow!"Teriakan takjub Cia terdengar. Dari sini, aku dapat melihat Banyu menggelar tikar dari pandan, d
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (10)Dulu, saat aku menerima Cia dalam hidupku, Ibu menentang habis-habisan. Cia yang lahir diluar nikah, dari benih Mas Ivan dan selingkuhannya yang entah siapa itu, membuat Ibu marah besar. "Pokoknya Ibu nggak setuju, Aya. Kenapa harus ambil anak orang yang tak jelas asal usulnya?""Tapi dia anak Mas Ivan, Ma.""Lalu siapa Ibunya? Bagaimana kalau Ibunya ternyata seorang PSK?""Anak itu nggak bersalah. Dia nggak boleh menanggung dosa orang tuanya.""Kalau dia punya penyakit bawaan atau turunan dari Ibunya?""Artinya, aku harus punya hati seluas samudra untuk merawatnya. Dan semoga karena hal itu, Allah mau memberiku keturunan dari rahimku sendiri."Ibu menggeleng-gelengkan kepala."Dasar keras kepala!"Aku bersimpuh, meletakkan kepala di atas pangkuan Ibu. Sementara Ayah hanya tersenyum menatap kami. Sejak dulu, keputusan Ibu akan menjadi keputusan Ayah, tapi bukan berarti Ayah kalah dari Ibu. Bagi Ayah, seperti itulah caranya menghormati istri yang dia
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (11)Kami saling tatap, matanya yang dulu pernah kukagumi karena berwarna coklat gelap, indah dan tajam itu, kini menatap dengan sorot marah. Aku berbalik, melanjutkan langkah memasuki gedung pengadilan. Setengah jam lagi, sidang akan dimulai, dan ketiga sahabatku belum juga muncul. Tapi, aku tak perlu gelisah. Aku mengenal mereka, nyaris seperti aku mengenal diriku sendiri."Jadi, kamu benar-benar akan cerai dengan Ivan?"Mama menahanku di depan pintu. Dapat kulihat bagaimana dia berusaha menahan diri untuk tidak mengamuk melihat perseteruan aku dan putranya.Aku mengangguk, mengambil tangan Mama dan menciumnya sekilas. Biarlah kutunjukkan adab yang baik padanya untuk terakhir kali. Meski nyatanya, aku tahu, di belakangku, Mama kerap menghina karena aku tak juga hamil."Iya, Ma. Maafkan aku selama ini kalau ada salah."Mama mendesah, sementara aku sama sekali tak mau menoleh pada Diska, yang menatap dengan pandangan sinis. Adik bungsu Mas Ivan ini mungkin