Share

Bab 4

Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (4)

___

Pagi-pagi sekali, dua buah alat berat sudah berada di depan rumahku. Kompleks perumahan elit itu heboh. Dua orang polisi, dan aparat kompleks ikut pula ada disana. Kebetulan sekali, hari ini adalah hari minggu, dan aku bisa menyaksikan semua itu dengan tenang melalui layar ponsel. Trio Angga, Trisha dan Elena sahabatku sedang beraksi. Dan aku yakin kali ini Elena yang memegang kamera video, menyiarkannya langsung padaku.

Trisha dan Angga, bersama dua aparat kompleks, memasuki halaman rumah, sementara dari dalam, Mas Ivan dan Mama mertuaku keluar. Juga Diska adik iparku, serta satu lagi wajah, yang mengingatkanku pada hari naas itu.

Jadi, perempuan di kamar hotel waktu itu yang akan menjadi calon istri Mas Ivan? Mereka belum menikah tapi sudah tinggal satu rumah, dibawah persetujuan orang tua Mas Ivan. Hebat.

"Apa-apaan ini?"

Mas Ivan meradang, sementara Mama mertuaku dan dua wanita lain memandang alat berat itu dengan wajah pucat.

"Rumah ini milik klien kami, Nona Ayara, dan telah deal oleh calon pembeli. Tapi Pak Ivan dan keluarga bersikeras tak mau pindah. Jadi, klien kami memutuskan untuk merubuhkan rumah ini."

"APA? AYARA SUDAH BENAR-BENAR GILA!"

Ughh, bahkan telingaku rasanya sakit mendengarnya. Padahal jarak kami jauh sekali. Aku meringis melihat wajah murka itu, agak sedikit khawatir kalau-kalau dia kena serangan jantung. Ah, tapi seingatku, aku selalu memberinya makanan sehat, memperhatikan kalori yang masuk ke dalam tubuhnya dengan cermat. Mas Ivan juga rutin kuantar untuk general chek up.

"Tidak! Tidak bisa, ini rumah kami berdua yang akan masuk ke dalam harta gono gini. Biarkan saya bertemu Aya untuk menyelesaikan urusan ini."

"Maaf Pak, anda tentu bisa membaca, bahwa semua harta milik Bapak telah menjadi milik klien kami, seperti apa yang tertera dalam dokumen yang telah disahkan oleh notaris, sebagai konsekuensi karena anda melanggar perjanjian."

"Tapi.. Tapi…"

"Ivan! Bagaimana ini? Masa rumah ini mau dirubuhkan? Aduh istrimu itu, mengerikan sekali!"

Teriakan Mama membuatku tersenyum.

"Mas, jangan diam saja. Aku mau tinggal di rumah ini…" Si perempuan ikut merengek.

"Diamlah Gita!" bentak Mas Ivan. Dia lalu menoleh pada Pak RT.

"Pak, tolong bantu saya untuk jadi penengah. Bapak kan sudah kenal saya dan Aya sejak lama."

Pak RT berdehem sejenak.

"Menurut pengacara Mbak Aya, kalian akan segera bercerai, betul itu Pak? Saya juga sudah membaca semua dokumen dan yakin bahwa Mbak Aya benar. Jadi maaf, saya tidak bisa membantu. Sebaiknya, Pak Ivan segera keluar dari rumah ini seperti yang diinginkan Mbak Aya."

"Apa?!"

"Dan oh ya, siapa perempuan ini? Saya hanya mengenal Bu Risna Ibu anda dan adik anda."

Pak RT menunjuk perempuan selingkuhan Mas Ivan yang tadi dipanggilnya Gita.

"Dia… emm… dia calon istri saya."

"Hemm… dan kalian sudah tinggal bersama sebelum menikah? Astaga." Kali ini kulihat Trisha menggeleng-gelengkan kepala.

Keempat orang itu tampak salah tingkah. Mas Ivan lalu memandang Trisha.

"Saya perlu bertemu dengan Ayara."

"Dia tidak mau ditemui. Kami tim pengacaranya diberi wewenang mutlak untuk mengatur semua urusannya."

"Astaga. Dasar pengecut!" umpat Mas Ivan.

Aku meradang. Dia mengataiku pengecut, apa dia tak pernah bercermin? Apa dia tak pernah memikirkan bagaimana sakitnya aku dengan segala pengkhianatannya selama ini? Melihat bagaimana dekatnya Gita dengan keluarga Mas Ivan, aku taksir mereka telah lama membohongiku.

Aku tidak pernah dilahirkan jadi orang pengecut, Mas. Tapi, setiap langkah yang kuambil selalu penuh dengan perhitungan. Rasa sakit itu adalah cambuk bagiku untuk bisa melangkah sambil mengangkat kepala. Tunggu saja, kita pasti akan bertemu lagi, tapi tidak sekarang.

"Maaf Pak Ivan, saya sebagai ketua RT, tidak mengizinkan kompleks kami dikotori oleh praktek perzinahan. Silakan meninggalkan tempat ini dengan baik atau mungkin anda lebih suka menyelesaikan di kantor polisi."

Wajah Mas Ivan memucat.

"Katakan dimana Ayara sekarang?"

Dia masih bersikeras.

"Ayara akan menemui anda, tapi tidak sekarang. Tingkah anda benar-benar mempermalukan kaum lelaki." Angga rupanya tak tahan lagi.

"Oh ya, klien saya yang baik hati, menitipkan ini," Trisha mengeluarkan amplop dari dalam tasnya, "Anda boleh mengambilnya jika setuju untuk pergi."

"Kalau tidak?"

"Alat berat kami siap untuk menghancurkan rumah ini."

"Gila! Gila!"

Mas Ivan mengumpat-umpat seperti orang kerasukan. Aku tertawa geli.

Kamu benar-benar salah karena mengira aku lemah, Mas. Setelah semua harta ini, hal paling menyakitkan yang akan kamu rasakan adalah, kehilangan Lucia.

Di layar ponsel, aku melihat Mama mertuaku merebut amplop dari tangan Trisha dan menghitung isinya.

"Sepuluh juta Ivan. Ayara benar-benar menghinamu!"

Mama memban-ting ampop itu ke lantai. Mas Ivan terlihat bingung, sementara Trisha langsung mengambil ponsel dan menghubungi sopir eskavator.

"Masuk, Pak, silakan mulai hancurkan saja."

Semua mata terbelalak, menatap alat berat yang mulai bergerak itu. Disini, jantungku juga mulai berdetak kencang. Kukuatkan hati melihat kehancuran istana tempatku bernaung selama ini.

"STOOPPPP! oke oke! Kami akan pergi! Dasar sialan! Awas kau Ayara. Aku tahu kau melihat! Tunggu saja pembalasan dariku! Perempuan sun-dal!"

Aku menekap dada, menenangkan jantungku yang gemuruh. Astaga mulutmu Mas, jadi itulah aslinya dirimu. Rupanya selama ini, kau memakai topeng di depanku.

Angga mengangkat tangan, menahan sopir alat berat.

"Hati-hati dengan mulut anda, Pak. Jika klien kami tidak berkenan, anda bisa dituntut atas pasal perbuatan tidak menyenangkan." tukas Trisha dengan suara tenang.

Mas Ivan sepertinya menyerah. Dia memungut amplop di atas lantai.

"Beri kami waktu dua jam untuk membereskan semuanya."

"Oke. Dan ingat, anda tidak diperkenankan membawa barang apapun kecuali pakaian dan benda pribadi."

"Aarrgghh!"

Teriakan marah Mas Ivan yang kudengar sebelum akhirnya aku mematikan layar ponsel. Kutarik napas dalam-dalam. Lakukan saja apapun yang ingin kamu lakukan. Aku telah bersiap.

"Mama!"

Suara teriakan Cia membuatku terkejut bukan kepalang. Adrenalin terasa mengalir lagi secara mendadak, membuat dadaku berdenyut aku berlari keluar dan mendapati Lucia berdiri di teras.

"Lautnya Banjir!"

Aku mengerutkan kening. Laut banjir? Oh, ternyata, laut sedang pasang. Pantai yang landai tidak terlihat karena air laut meninggi. Tapi, karena ada pembatas dari batu dan semen, air laut tidak meluap keluar. Padahal pemandangan itu nyaris setiap pagi kami lihat, tapi tetap saja membuat Cia takjub.

Maafkan Mama, Nak. Mama membawamu ke tempat ini. Tapi Mama pastikan kamu nggak akan kekurangan apapun. Dan Mama janji, ini nggak akan selamanya.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status