Share

Bab 5

Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (5)

PoV IVAN

Untuk terakhir kalinya, aku menatap rumah yang menaungiku enam tahun lamanya. Rumah yang dulu didalamnya penuh cinta, tapi kini menjadi sengketa.

"Bodoh! Kenapa kau ambil uang itu? Seharusnya biarkan saja rumah itu dirubuhkan. Mama yakin, Aya cuma mengancam."

Dari jok belakang, Mama mengomel panjang pendek. Aku diam saja, berusaha tak peduli. Mama tak tahu siapa Ayara. Dia selalu saja membuatku terkejut. Dulu kukira, dia akan menolak mati-matian mengurus Cia, tapi sekarang, dia bahkan membawa kabur anakku. Ayara, perempuan api, nekad dan mudah terbakar dibalik sikap tenang menghanyutkan yang selama ini dia tampakkan. Aku telah salah perhitungan. Seharusnya, aku lebih berhati-hati.

"Tidak, Ma. Aya tidak sedang mengancam. Dia sungguh-sungguh."

"Kalau begitu, biarkan saja hancur. Kalau rumah itu hancur, kalian sama-sama tak bisa memilikinya, itu lebih bagus. Mama jadi nggak sakit hati."

Tidak. Rumah itu tak boleh hancur. Mama tak tahu arti rumah itu bagi aku dan Aya. Kami membangunnya bersama-sama. Bekerja keras mengumpulkan uang dan berhemat demi surga kecil yang akan kudapatkan sepulang kerja. Pembeli itu pastilah cuma karangan si pengacara. Aku akan membujuk Aya agar memberikan rumah itu padaku. Orang tuanya bisa memberi dia sepuluh rumah seperti itu. Aya tidak membutuhkannya kecuali hanya untuk membalas dendam padaku.

Tiba-tiba saja, sepercik sesal timbul di hatiku. Apa yang sudah aku lakukan? Menukar berlian itu dengan kerikil?

Aku melirik Gita, yang duduk diam di sampingku, menatap alat berat meninggalkan rumah setelah pengacara si-alan yang kutahu sahabat-sahabat Aya, menyegel tempat itu. Enam bulan belakang, aku mulai lagi tergoda untuk mengkhianati Ayara, setelah nyaris lima tahun menahan diri. Aku, lelaki yang mudah jatuh cinta dan tak setia ini, silau oleh tubuh seksi Gita, dan rayuan mautnya.

"Antarkan Ibumu, Mas, lalu kita pergi."

Gita akhirnya bersuara.

"Kemana?"

"Apa kau tak memikirkan cara merebut kembali semua dari calon mantan istrimu itu?"

Dadaku langsung berdebar kencang. Wajah Gita disampingku mengeras. Aku memang telah berjanji menikahinya setelah menceraikan Aya. Tapi, tentu saja itu cuma janji palsu yang biasa diucapkan lelaki untuk menggaet perempuan.

"Dan juga, merebut kembali putrimu…"

Aku menoleh dan tatapan kami bertemu.

Aya sangat menyayangi Lucia, sama sepertiku. Dia selangkah lebih maju dengan menggunakan Lucia untuk menyakitiku. Bagaimana kalau aku juga melakukan hal yang sama? Lucia darah dagingku, sementara dia, tak setetespun darahnya mengalir di tubuh anakku. Tapi kasih sayangnya tak perlu diragukan. Aya akan hancur jika aku merebut Lucia.

"Kita cari mereka."

***

"Kalian nggak bisa tinggal disini, Van."

Belum juga turun, Mama sudah memberi ultimatum. Sementara Diska melirik dengan kesal sebelum berlalu dan masuk ke dalam rumah.

Aku menoleh ke belakang, menatap Mama dengan kesal. Saat aku terpuruk karena harus kehilangan tempat tinggal, bisa-bisanya Mama berkata seperti itu.

"Aku hanya tinggal untuk sementara, Ma."

"Tidak!" ujar Mama tegas, "Kamu telah salah langkah, menghadapi satu perempuan seperti Ayara saja kau tak mampu. Jangan coba-coba mencari masalah baru."

"Apa aku yang Mama anggap masalah?"

Gita tiba-tiba menoleh ke belakang, ikut menatap Mama. Mama menghela napas keras-keras.

"Kalian belum menikah."

"Kemarin, Mama nggak mempermasalahkan itu." Gita tersenyum manis. Dia turun lebih dulu dari mobil dan membukakan pintu untuk Mama.

"Mama tenang saja, aku yang akan membantu Mas Ivan mengambil semuanya dari Aya. Memangnya Mama pikir aku mau menikah dengan Mas Ivan kalau dia tak punya apa-apa?"

Suara Gita yang sehalus bisikan itu masih terdengar. Aku tertegun sejenak, sesaat merasa tak mengenal perempuan ini. Padahal demi dia, aku telah menyakiti Aya. Mama menoleh, menggeleng-gelengkan kepala sebelum pergi dengan langkah cepat, masuk ke dalam rumah.

Gita kembali melompat naik ke atas mobil.

"Ayo kita mulai!" serunya.

"Mulai apa?"

"Mencari Ayara!"

Dia mengucapkan semua itu dengan ekspresi senang, seolah-olah kami akan berpetualang.

"Kamu tahu, Mas? Orang tua adalah kelemahan seorang anak. Seperti juga seorang anak adalah kelemahan orang tua. Ayo kita ke rumah orang tua Ayara. Mereka sudah tua, kan? Kita lihat saja apakah Ayara tak akan keluar dari sarangnya jika orangtuanya ada dalam genggaman kita."

Aku menelan ludah, menatap Gita dengan cemas.

***

Kecemasanku sangat beralasan. Gita memang belum tau siapa keluarga Ayara.

"Gila! Ternyata orang tuanya kaya raya. Bodoh banget kamu, Mas. Harusnya kamu bisa mengusai hartanya, apalagi dia anak tunggal."

Gita berseru saat menatap rumah dua lantai yang tinggi bercat putih itu. Gerbangnya, yang sepertinya cukup untuk membangun satu rumah lagi saking mahalnya, seperti memandang kami dengan angkuh.

Ya, bodoh sekali aku, menyia-nyiakan kesempatan menjadi menantu orang kaya.

"Tapi tak apa-apa. Mereka sudah tua kan? Ayo kita ancam mereka!"

Aku tak menyahut, melainkan sibuk menentramkan hatiku yang gentar. Gita benar-benar tak tahu siapa keluarga Ayara.

"Tunggulah di mobil. Mereka akan mengecapku buruk jika membawamu."

Gita menatapku dengan pandangan meremehkan.

"Memangnya, selama ini kamu sudah dianggao baik? Lelaki yang pulang membawa anak hasil selingkuhan, lalu dimaafkan, tapi mengulangi lagi perbuatannya. Hahaha … lucu kamu, Mas. Sudahlah, terlanjur basah, nyemplung sekalian. Yang jelas, Ayara nggak akan memaafkannya kamu. Kita hanya perlu tahu dimana dia."

Ragu, aku maju hendak memencet bel. Tapi baru saja tanganku terulur seorang satpam berpakaian lengkap, datang dan membuka pintu gerbang.

"Silakan masuk. Bapak sudah menunggu."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status