Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (1)"Atas nama Bapak Ivan? Ibu siapa ya?""Saya istrinya."Wanita di meja recepsiont itu terlihat agak gugup. Aku menghela napas, jadi hotel mewah bintang lima ini yang menjadi tempat kamu berkencan, Mas?"Maaf, kami tidak bisa memberitahu. Ini privasi pelanggan."Dia menangkupkan kedua tangan di depan dada dengan sikap sopan yang mengagumkan. Aku tersenyum."Jangan khawatir, Mbak. Saya datang atas permintaan suami saya. Dan saya tahu dengan siapa dia disini."Dan kini, aku berdiri di depan pintu kamarnya, sesaat menata hati. Sekuat tenaga kutahan debaran jantung yang menggi-la, dan berdoa semoga air mataku tidak tumpah di depannya.Pintu terbuka setelah aku menekan bel. Wajah lelaki yang sudah menjadi suamiku selama enam tahun lamanya itu menyembul dari balik pintu."Mana berkasnya?"Aku mengulurkan tas kerjanya yang tadi ketinggalan. Dia menghubungi lewat ponsel, memintaku mengantarkannya kesini karena meeting akan segera diadakan dua jam lagi di aula ho
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (2)Perjanjian itu akhirnya benar-benar dibuat di kantor notaris, dengan disaksikan kedua orang tuaku dan kedua orang tuanya. Kutahan omongan miring dan cibiran mereka, yang mengatakan aku gila harta, sementara aku sendiri mandul. Ya, meski tak satupun tahu hasil lab yang kusembunyikan itu, satu tahun pernikahan tanpa tanda-tanda kehamilan, telah membuat keluarga Mas Ivan mengecapku mandul."Nggak masalah kalau Cahaya mandul, aku akan tetap mencintainya," Ujar Mas Ivan waktu itu.Tentu saja tak apa-apa. Perempuan mana yang mau menerima dan mengurus anak hasil hubungan gelapnya dengan perempuan lain? Sementara Mama mertua dan ipar-iparku, justru memandang bayi itu dengan pandangan ngeri."Sembarangan sekali Ivan cari perempuan. Harusnya kalau dia ingin anak dan Aya tak bisa memberi, dia bilang Mama. Lira belum menikah sampai sekarang, dan Mama yakin dia bersedia mengandung benih Ivan."Sungguh, Mama mertuaku menganggap anaknya seumpama hewan, yang boleh-bol
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (3)—--"Rumah sudah ada pembeli, tapi Ivan tidak mau keluar, Ay. Bahkan kini, dia mengajak Ibu dan calon istri barunya tinggal disana."Aku nyaris tertawa. Satu bulan sudah berlalu sejak hari aku meninggalkan rumah itu. Trisha sahabatku yang lain selain Angga, yang juga seorang pengacara memberi laporan. Aku memang menyerahkan semua pada Trisha. Salah satunya karena, aku tak ingin bertemu lagi dengan dia. Dan dia, juga tak boleh lagi bertemu dengan Lucia. "Kalau begitu, rubuhkan saja!"Trisha terbelalak."Aya', kamu serius? Rumah itu kalian bangun bersama. Aku yang jadi saksi bagaimana kamu bekerja keras mencari uang membantu Ivan, juga berhemat demi bisa membangun rumah itu.""Dan karena itu, aku tidak rela Mas Ivan mendiaminya bersama calon istri barunya.""Kalau dirubuhkan, kerugianmu cukup besar, sekitar delapan ratus juta.""Mungkin aku perlu tiga tahun untuk mengumpulkannya lagi. Tapi tak apa. Aku ingin tahu, apa calon istrinya masih mau jika tahu
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (4)___Pagi-pagi sekali, dua buah alat berat sudah berada di depan rumahku. Kompleks perumahan elit itu heboh. Dua orang polisi, dan aparat kompleks ikut pula ada disana. Kebetulan sekali, hari ini adalah hari minggu, dan aku bisa menyaksikan semua itu dengan tenang melalui layar ponsel. Trio Angga, Trisha dan Elena sahabatku sedang beraksi. Dan aku yakin kali ini Elena yang memegang kamera video, menyiarkannya langsung padaku.Trisha dan Angga, bersama dua aparat kompleks, memasuki halaman rumah, sementara dari dalam, Mas Ivan dan Mama mertuaku keluar. Juga Diska adik iparku, serta satu lagi wajah, yang mengingatkanku pada hari naas itu.Jadi, perempuan di kamar hotel waktu itu yang akan menjadi calon istri Mas Ivan? Mereka belum menikah tapi sudah tinggal satu rumah, dibawah persetujuan orang tua Mas Ivan. Hebat."Apa-apaan ini?"Mas Ivan meradang, sementara Mama mertuaku dan dua wanita lain memandang alat berat itu dengan wajah pucat."Rumah ini milik
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (5)PoV IVANUntuk terakhir kalinya, aku menatap rumah yang menaungiku enam tahun lamanya. Rumah yang dulu didalamnya penuh cinta, tapi kini menjadi sengketa."Bodoh! Kenapa kau ambil uang itu? Seharusnya biarkan saja rumah itu dirubuhkan. Mama yakin, Aya cuma mengancam."Dari jok belakang, Mama mengomel panjang pendek. Aku diam saja, berusaha tak peduli. Mama tak tahu siapa Ayara. Dia selalu saja membuatku terkejut. Dulu kukira, dia akan menolak mati-matian mengurus Cia, tapi sekarang, dia bahkan membawa kabur anakku. Ayara, perempuan api, nekad dan mudah terbakar dibalik sikap tenang menghanyutkan yang selama ini dia tampakkan. Aku telah salah perhitungan. Seharusnya, aku lebih berhati-hati."Tidak, Ma. Aya tidak sedang mengancam. Dia sungguh-sungguh.""Kalau begitu, biarkan saja hancur. Kalau rumah itu hancur, kalian sama-sama tak bisa memilikinya, itu lebih bagus. Mama jadi nggak sakit hati."Tidak. Rumah itu tak boleh hancur. Mama tak tahu arti rumah
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (6)Kami menapakkan kaki melintasi halaman yang di tumbuhi rumput swiss dengan hati-hati. Rumput hias berharga mahal, yang perawatannya rumit dan juga mahal ini, biasanya hanya tumbuh di halaman rumah orang kaya. Seperti disini, di halamannya yang luas, rumput ini tumbuh subur serupa permadani, pertanda ada tangan profesional yang merawatnya.Daun pintu yang berukir indah itu mengayun terbuka. Seorang wanita setengah baya menganggukkan kepala dan mempersilakan kami masuk. Aku menghela napas panjang, sebelum masuk setelah membuka alas kaki. Gita di sebelahku, menempel ketat. Berkali-kali dia bergumam memuji keindahan interior rumah ini.Enam tahun menikah dengan Ayara, aku baru enam kali datang saat lebaran. Mereka bukannya tak menerima, tapi aku yang rendah diri. Secara status sosial, keluargaku tak ada apa-apanya. Hanya saja aku berhasil menjadi manager operasional di sebuah perusahaan properti besar. Sesuatu yang membuatku berhasil menegakkan sedikit kepa
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (7)Dulu, semua baik-baik saja. Aku dan Mas Ivan menikah atas dasar cinta. Setidaknya itulah yang kurasakan. Entah, apakah aku kurang peka pada perasaannya yang tak sebesar cintaku, ataukah dia memang tipe lelaki yang mudah berpaling hati. Kami bertemu di acara reuni fakultas. Dia ternyata dua tingkat di atasku, tapi rasanya dulu, aku tak pernah mengenalnya. Maklum saja, aku bukan tipe gadis yang mudah bergaul. Sahabatku hanya tiga. Angga, Trisha dan Elena. Pertama sekali dia datang ke rumahku, esoknya dia langsung melamar. Karena itulah aku menerimanya. Kupikir, seperti itulah lelaki sejati.Tahun pertama yang kujalani manis bak gula, meski dibayangi rasa gelisah karena aku tak kunjung hamil. Dua bulan setelah menikah, Mas Ivan yang waktu itu hanya karyawan biasa, tiba-tiba diangkat menjadi manager operasional. Orang-orang bilang, itu rezeki menikah. Dia tampak semakin sayang padaku, meski berbarengan dengan itu, dia mulai sering pergi ke luar kota dengan
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (8)"Saya Banyu, Banyu Biru."Aku mengulurkan tangan, menjabatnya sekilas. Jabatan tangannya mantap dan terasa hangat di telapak tanganku yang dingin oleh air laut. Masih dengan Cia dalam dekapan, aku berdiri."Saya berhutang nyawa padamu. Terima kasih banyak. Semoga Allah membalasmu dengan seribu kebaikan."Aku mundur, berbalik dan setengah berlari menuju rumah. Mungkin aku kurang sopan karena tidak mempersilahkan dia ikut ke rumah sebagai ucapan terima kasih. Tapi, di rumah, kami hanya bertiga, perempuan semua, dan dengan statusku yang belum jelas seperti ini, rasanya tak enak bertemu dengan lelaki lain."Ya Allah, ini kenapa, Non?!"Mbak Atik terkejut melihat aku berlari pulang sambil menggendong Cia dalam keadaan basah kuyup dan kusut masai. Aku terdiam sesaat, berusaha menentramkan jantung yang terasa meledak akibat berlari sambil menggendong. Sementara Cia, memeluk leherku erat. Dia tahu bagaimana cemasnya aku tadi."Ayo sama Mbak, kita mandi. Biar Ma