Republik Romawi tak sepenuhnya berduka setelah kabar kepergian Julius Caesar—diktator seumur hidup Republik Romawi—pada 15 Maret 44 SM. Namun, kepergian Julius Caesar menjadi penyebab kekosongan kekuasaan Republik Romawi. Maka Cleopatra VII mencoba mendapatkan dukungan dari para senat Romawi untuk menjadikan Caesarion—satu-satunya putra kandung Julius Caesar—sebagai pemimpin Romawi berikutnya. Usaha Cleopatra VII gagal, sehingga ia kembali ke Mesir bersama putra dan kekasihnya—Markus Antonius—Triumvir kepercayaan Julius Caesar. Octavianus, kemenakan jauh Julius Caesar yang dianggap memiliki hubungan baik dengannya berhasil mendapatkan tahta Romawi. Dirinya dan Markus Antonius menjalin hubungan baik selama memimpin Romawi sehingga kekuasaan Romawi dibagi menjadi dua.
Senja lainnya menyentuh setiap sisi tanah Roma dengan aroma kedamaiannya yang mengikat hati. Masa-masa kelam pasca Perang Akhir Republik Romawi tak lagi menghantui tanah Roma. Bayang-bayang yang sempat bergelantung di knop pintu menuju mimpi tengah malam pun telah sirna sepenuhnya. Dimulai dari Kaisar Augustus mendeklarasikan Pax Romana (kedamaian Romawi) hingga entah kapan hati nurani meneriakkan ketidakadilan dan ingin merayap keluar dari lubang kelinci. Meski tak mudah untuk mencapai kedamaian bagi seantero Romawi, tapi akhirnya mereka bisa memahat patung tanpa memukul alat penyongkel ke arah yang salah ataupun menyelesaikan arsitektur Mausoleum tanpa memikirkan tempat untuk berlindung akibat invasi bangsa lain. Adakah celah di balik kedamaian Romawi yang diciptakan Augustus si Agung? Apabila ada pun, Augustus akan m
Kedatangan Ptolemy XV Philopator Philometor Caesar (atau yang dijuluki Caesarion) tanpa undangan justru menarik perhatian dewan angin dan dedaunan di luar sana. Mereka seketika meronta-ronta ingin bergabung dalam perjamuan Augustus untuk bertatapan langsung dengan Caesarion putra Julius Caesar. Berbeda dengan angin yang bersusah payah menyelinap masuk dan mengintip pertemuan mereka, Augustus justru kehilangan kata-katanya. Bahkan ketika Caesarion kembali memberikan salam penghormatan, Augustus pun belum merespons. Sementara seorang pria di samping Caesarion merasa tak nyaman berada di bawah atmosfer kediaman Augustus. Ia berpikir bahwa kedatangan tuannya tak akan pernah disambut dengan baik meskipun mereka menawarkan perdamaian. Sayang, ia hanyalah tangan kanan yang tak bisa memutuskan segalanya tanpa pertimbangan orang lain. Tak ingin memberikan kesan buruk
Dalam hitungan menit saja, sekujur tubuh Augustus dibanjiri keringat dingin. Otot dan sendinya lumpuh untuk sementara sehingga Augustus hanya mampu menutup mata selagi memanjatkan doa kepada dewa-dewi yang melindungi Pax Romana. Kentara sekali kekhawatiran terlukis di wajah Livia Drusilla—istri kesayangan Augustus yang dicintainya dari awal pertemuan mereka—begitu pula putra dan putri Augustus sementara Fioretta Giulia Caesonia menghilang bak ditelan kegelapan. Untuk seperkian detik, Julia sempat berpikir Fioretta mencuri kesempatan demi menuliskan namanya pada perkamen kampanye Pax Romana berikutnya agar ia bisa meninggalkan Roma untuk sementara. Namun, prasangka Julia salah ketika Tiberius—putra tiri Augustus—berkata, "Kuharap kemba
Kaisar Augustus belum membuka mata. Meski demikian, jantungnya masih berdetak. Tabib Kekaisaran telah mencoba semampu mereka untuk menahan racun yang menggerogoti tubuh Augustus melalui sayatan pada lengan kirinya. Mereka memprediksi, racun itu akan terus menyebar hingga menggerogoti jantungnya dan tewaslah Augustus si Agung pencipta Pax Romana sekaligus kaisar pertama Romawi. Sementara itu, Tiberius justru tak di sana menemani keluarganya menanti Augustus membuka mata. Ia disibukkan dengan rapat senat dadakan yang diciptakannya. Mencoba menemukan jalan keluar dari masalah ini serta menentukan hukuman yang akan diimbaskan kepada Fioretta. Ia juga mencoba memikirkan nasib Caesarion dan Amun yang akan mengganggu kedamaian Romawi yang telah dibangun sejak lama. Di lain sisi, d
Caesarion memahami ucapan Fioretta seketika. Ia menundukkan kepala singkat selagi gadis itu menatap kumpulan debu di bawah sapuan gaunnya. Kemungkinan ada beberapa emosi yang terjebak di balik kelopak mata gadis itu. Namun, Caesarion tak bisa melihatnya sehingga ia hanya berkata, "Mungkin, kau bisa mencoba berbicara dengannya dan memberikannya semangat untuk bangkit dari keterpurukan itu."
Gadis dengan sebuah penawar dalam genggaman itu mencoba melangkahkan kaki secepat yang ia bisa. Apabila ada beberapa pria yang mengenalinya lantas mencoba untuk tak membiarkan si gadis melangkah lebih jauh lagi, maka ia akan mendorong bahu mereka sekuatnya agar bisa melenggang. Demikian pula jika pria lainnya menarik pergelangan tangan dia secara kasar, kakinya akan menginjak si pria yang menghentikannya. Tak ada yang bisa menghalangi seorang gadis dengan tekad bulat di hati. Ia pun berlari lagi dan lagi. Jikalau tanah pun mencoba menjatuhkannya, ia akan bangkit. Api-api di kepala obor itu menari berulang kali menyaksikan langkah demi langkah si gadis menuju bukit Palatine. Pemandangan Roma dengan kesucian tercermin di setiap gedung-gedung putihnya pun meredup. Sementara itu, rintangan menanti di hadapan ketika si gadis mengambil jalan menanjak menuju kediaman sang kaisar. Dengan mengepalkan tangan dan mempercepat langkahnya, gadis itu menerobos barisan pria bersenja
Tinju tak terhindarkan dari Tiberius terpaksa membuat sepasang telapak tangan dinodai tanah di bawah kakinya. Meski puncak kepala Tiberius telah meletup meluapkan segala amarah, Caesarion tak tampak demikian. Uluran tangan Amun ditolak dan ia memutuskan untuk bangkit dengan usaha sendiri. Tangan pun sempat menendang beberapa debu dan butiran tanah yang terjebak di setelan Firaunnya. Tercemin jelas dalam bola matanya keringat Tiberius mendidih setiap mereka menetes. Gigi pun bergeming sengit selagi otot-otot pada genggaman tangannya menceritakan perasaannya. Meskipun demikian, Caesarion masih setenang angin malam ini yang tak menyerbu mereka terburu-buru. Ia berkata, "Aku membusuk di neraka?" Ia mengembuskan napas kemudian. "Aku masih bisa bernapas, Tiberius. Tidakkah seharusnya kau katakan itu kepada Augustus yang—" Begitu cepat genggaman tangan Tiberius memelintir kerah baju Caesarion. Itu bahkan membuat lehernya tercekik untuk melanjutkan kalimat. Sementara Tiberiu