Share

VII. Harapan di Ujung Keputusasaan

Tinju tak terhindarkan dari Tiberius terpaksa membuat sepasang telapak tangan dinodai tanah di bawah kakinya. Meski puncak kepala Tiberius telah meletup meluapkan segala amarah, Caesarion tak tampak demikian. Uluran tangan Amun ditolak dan ia memutuskan untuk bangkit dengan usaha sendiri. Tangan pun sempat menendang beberapa debu dan butiran tanah yang terjebak di setelan Firaunnya.

Tercemin jelas dalam bola matanya keringat Tiberius mendidih setiap mereka menetes. Gigi pun bergeming sengit selagi otot-otot pada genggaman tangannya menceritakan perasaannya. Meskipun demikian, Caesarion masih setenang angin malam ini yang tak menyerbu mereka terburu-buru. Ia berkata, "Aku membusuk di neraka?" Ia mengembuskan napas kemudian. "Aku masih bisa bernapas, Tiberius. Tidakkah seharusnya kau katakan itu kepada Augustus yang—"

Begitu cepat genggaman tangan Tiberius memelintir kerah baju Caesarion. Itu bahkan membuat lehernya tercekik untuk melanjutkan kalimat. Sementara Tiberius selepasnya berteriak, "Bicara sesuatu yang membuatku jengkel lagi, akan kuseret kau besok ke tiang gantungan!"

Tak tampak seperti Tiberius yang biasanya, memang. Bahkan Fioretta pun terkejut menyaksikan pelipisnya mengguyurkan keringat lebih banyak ketika urat-uratnya menjembul di balik kulit putih dia. Amun pun tak mampu menodongkan belati lagi ketika Caesarion tampak seperti Caesarion—tak merasa takut maupun terancam. Sementara itu, dekanus di samping pewaris Romawi ini, baru saja menarik bahu Tiberius guna menenangkan gejolak di hati dia.

"Saya rasa sudah cukup, Pangeran. Kaisar Augustus tak akan senang Anda terjebak perdebatan dengan sang Firaun di saat seperti ini." Meski sudut bibirnya masih mengedutkan kekesalan, sentuhan dekanus pada bahunya membuat tangan itu menjauhi kerah Caesarion. Ia pun mencoba menelan semua amarah yang berkobar.

Amun menundukkan kepala sekilas ketika Caesarion merapikan pakaiannya sehingga Tiberius menatapnya jijik. Kemudian dekanus itu berkata, "Apakah saya harus memenjarakannya lagi?"

Tiberius mengangguk cepat, tapi Fioretta menjerit, "Jangan!" Jelas, tak seorang pun yang mendukung Augustus senang mendengar penolakan itu. "Aku tahu Tiberius telah memerintahkan para tabib meramu penawarnya, tapi bagaimana jika ucapan Caesarion benar? Jika hanya ada satu penawar yang mampu menyembuhkan Augustus dan itu miliknya."

Kini, Tiberius tampak mengembuskan napas kasar selagi menutup netra mencoba menahan amarahnya untuk bangkit. "Jangan membuatku menamparmu malam ini, Fioretta. Kau—"

"Jangan buat dirimu menyesali keputusanmu, Tiberius!" Nada tinggi itu segera menghentikan kata-kata Tiberius. Jelas, pemuda itu tak tampak senang. "Aku tahu terdengar imajiner jika tak ada penawar yang mampu menyembuhkan Augustus selain milik dia, tapi bukan berarti itu adalah keputusan akhir. Jika pada akhirnya semua ini persis seperti rencana Caesarion, apa yang akan kau lakukan? Menguburkan ayahmu?!"

Tangan terlambung tapi tak sampai mendarat di pipi Fioretta sebab Caesarion sudah dulu menggenggam pergelangan tangannya begitu kuat. Fioretta pun tampak siap jika pemuda itu sungguh-sungguh menamparnya sebab ia tak menutup sepasang netra. Dan Tiberius, ia segera menarik tangannya karena kontak kulit dengan sang Firaun.

"Kau benar-benar sudah diracuni pria ini, Fioretta!" Telunjuknya menghardik Caesarion. "Atau kau memang sebenarnya sudah beraliansi dengannya sebelum dia muncul?!"

"Aku memikirkan risiko dari keputusanmu! Semua yang kulakukan demi Augustus, bukan untuk mendukungmu atau Caesarion!" Kini tangannya yang diikat tali terasa begitu gatal sebab ia ingin melambungkan telunjuk ke arah Tiberius. "Ini rencana pencegahan! Jika para tabib tak mampu menyembuhkan Augustus, kita tak memiliki pilihan lain!"

"Tapi dia—!"

Fioretta mengangguk cepat. "Aku tahu," Irisnya pun melirik Caesarion sekilas, "dia pasti menginginkan imbalan yang sulit kita setujui. Tapi pikirkan siapa yang lebih penting? Kekuasaan atau nyawa Augustus?! Sama sepertimu, aku tak ingin kehilangannya."

"Sial," Tiberius mendecih. Kepalanya pun tertunduk mencoba memikirkan sesuatu hingga irisnya melirik Caesarion dalam diam sebelum mencoba mengunci pergerakan pria itu dan merebut penawar di tangannya. Sayang, Caesarion menyadari itu dan berhasil mendorongnya menjauh hingga seorang dekanus harus menjadi landasan bagi punggung Tiberius agar tak menghantam tanah.

Seringai tampak ketika ia mendorong botol itu ke dalam saku pakaiannya. "Jangan bermain kotor, Tiberius." Caesarion mengetahui namanya sebab Fioretta sempat menyebut nama dia. "Mari mainkan permainan ini secara sehat. Kau dapatkan ayahmu kembali dan aku dapatkan hakku sebagai putra Julius Caesar. Bukankah ini adil? Kita sama-sama diuntungkan."

Tiberius yang telah bangkit segera berteriak, "Kau yang bermain kotor sejak awal! Kau meracuni ayah!"

Caesarion menggeleng dalam kekehan singkatnya. "Itu tanda mulai. Suatu permainan tak akan berlangsung tanpa tanda mulai. Jadi, mari buat ini singkat tanpa pertumpahan darah dan anggaran besar hanya untuk sesuatu yang bisa kita dapatkan secara gratis melalui kesepakatan. Kau berikan Romawi Timur padaku, maka akan kuberikan penawar itu padamu."

"Itu. Tak. Akan. Terjadi," jawabnya dengan penekanan kata. "Karena kau memulainya dengan kotor, aku akan mengakhirinya dengan kotor pula." Ia menampakkan seringai sebelum berkata, "Sekarang!" Dan seorang penjaga pun berhasil menusuk jantung Caesarion dari belakang.

Karena serangan itu, sepasang netranya memelotot manakala bibir memekik bersamaan dengan darah yang mengalir. Tangannya yang memegangi dada kirinya pun bersimbah darah sehingga Fioretta tampak ngeri jika harus bertatapan langsung dengan pembunuhan itu. Tiberius menyeringai di hadapan Caesarion ketika Amun dengan cepat menarik belati untuk menusuk si penjaga.

Tubuh Caesarion perlahan melemah ketika darah mengalir dari bibir dan dada kirinya. Sementara itu, penjaga lainnya mulai mendekat bersama pedang mereka dan Amun harus bertarung melawan lebih dari sepuluh penjaga. Mustahil untuk berhasil bertahan dengan segenggam belati, Tiberius pergi dari sana bersama dekanusnya setelah memerintah dua penjaga mengembalikan Fioretta ke penjara.

Ketika sebagian penjaga pergi mengikuti Tiberius untuk mengamankan komplek di bukit Palatine, Caesarion telah tengkurap bersama lautan darahnya. Botol penawar telah meninggalkan sakunya dan beralih di tangan seorang penjaga. Saat itulah Fioretta ditarik paksa untuk pergi ketika netra mendetakkan ketidakpercayaan dan sedikit rasa iba. Sementara Amun, mencoba bergelut dengan nyawa lebih dari sepuluh pedang yang menyerangnya secara bergantian.

Perlahan, kelopak Caesarion meneduh dan hampir menutup ketika Amun tak gentar meneriakkan nama dia. Netra Fioretta masih memerhatikan kedua pria Timur Tengah itu manakala iris Amun untuk sesaat berkata, "Kumohon, bantu aku." Meski sangat samar sebab pria itu juga menyibukkan diri untuk bertarung dan meneriakkan nama Firaunnya.

Namun, Fioretta bukanlah wanita petarung yang bisa melumpuhkan dua pria di belakangnya untuk merebut pedang mereka dan membantu Amun. Ia hanya mampu menundukkan kepala selagi hati bergumam, "Maafkan aku."

"Jangan tunjukkan jalannya, kumohon, Ratu saya!" teriak Amun manakala tubuhnya berusaha ditarik menghindari serangan pedang yang meninggalkan luka sayatan di bahunya. Ia sempat meringis sekilas dengan napas tak beraturannya. Namun, ia tak memiliki waktu untuk beristirahat, bukan? Otaknya pun menyimpulkan serangan ini akan berakhir apabila ia mati atau justru para penyerang yang mati.

Pilihan kedua jelas sulit untuk dilakukan. Namun, pria ini tak menyerah dan sempat menukar belatinya dengan pedang setelah menusuk perut seorang penjaga. Setelahnya, ia berteriak, "Kembalikan sang Firaun, Anubis!" manakala kaki bergerak untuk menyerang, bukan lagi menghindar.

Suara pertemuan antar dua mata pedang atau lebih tak lagi didengarkan telinga Tiberius. Ia berjalan dengan kebanggaan menuju ruangan di mana Augustus terbaring lemah sementara beberapa tabib sedang berjuang di sana untuk mengembalikan kesehatannya.

Cornelia sempat berkata, "Apa kau mendapatkan sesuatu?" Kalimatnya mendorong Tiberius untuk menatap wanita itu. "Mungkin petunjuk?"

"Lebih baik, aku dapatkan satu-satunya penawar yang menurut Caesarion bisa menyembuhkan ayah," jawabnya.

"Benarkah?" Wajah terkejut Cornelia bertemu dengan anggukan mantap Tiberius. "Bahkan, aku mendapatkannya secara gratis. Sekaligus, aku mendapat keuntungan karena menyudahi drama perebutan tahta ini."

Meski tak mengetahui jelas maksud di balik perkataan Tiberius, Cornelia menampakkan senyuman lega. Tiberius pun kesulitan menurunkan tarikan sudut bibir untuk sementara waktu hingga seorang penjaga berdiri di hadapannya dan memberikan hormat. Pria itu menyampaikan beberapa kalimat yang menuntun senyuman Tiberius untuk dipertinggi. Cornelia sempat melirik keduanya selagi tangan menyilang di depan dada. Sementara itu, Livia Drussila dan Julia tampaknya tak menemukan celah untuk mengembuskan napas lega.

Tanpa sepatah kata pun, Tiberius pergi dari sana bersama penjaga tersebut. Cornelia secara diam-diam menatap punggung pemuda itu hingga menghilang di pertigaan. Sedangkan sepanjang langkah itu, Tiberius menyeruakkan kegembiraan di dalam hati. Bahkan si penjaga yang bertatapan dengan punggung dia, mampu melihat itu.

Tepat di pelataran kediaman Augustus, Amun bersimpuh menyambutnya sementara Caesarion tengkurap tak berdaya di samping si tangan kanan. Wajah Amun tampak berantakan; tampak goresan mata pisau di pipi kanannya sehingga darah mengalir dari sana hingga saat ini belum berhenti, sisi dagunya yang lebam kemungkinan karena dia tersungkur ketika mencoba menghindar atau sengaja diserang, dan terakhir noda-noda di wajahnya yang membuktikan bahwa wajah itu telah mencium tanah berulang kali. Tak cukup di sana, salah satu tangannya yang menekan perut bagian bawahnya pun menampakkan bahwa Amun memiliki luka tusuk. Di samping itu, napasnya yang terbata-bata menampakkan batas stamina si pria Timur Tengah ini.

Caesarion sendiri sulit untuk diamati. Sebab ia tengkurap, tak banyak yang bisa dilihat selain bekas luka di punggung akibat tusukan seorang penjaga. Separo wajahnya yang tampak pun, menunjukkan bercak darah menuruni sudut bibirnya.

Tiberius tak bisa lebih senang lagi melihat itu. Walaupun Amun masih menggenggam pedang di tangannya, ia tak merasakan tekanan membunuh membebani bahunya. Dan ketika seorang penjaga memberikan sebuah botol ramuan itu padanya, tarikan sudut bibir menuju angkasa tampak tak terbantahkan. Saat itulah Amun menatapnya sengit.

"Pemberontak Romawi yang didapatkan hidup-hidup tak boleh mati malam ini. Setidaknya salah satu di antara mereka." Seringai menampar tatapan Amun dan pria itu berdesis begitu pelan. "Jika Caesarion mati, kremasi dia segera, tapi untuk dia—" telunjuknya terulur ke arah Amun, "—mari siapkan defile besok menuju tiang gantungan. Untuk sekarang, jaga dia di penjara."

Sepasang penjaga tepat di belakang Amun segera mengangguk dan mencoba menyeret sepasang lengannya. Namun, sisa stamina Amun ia gunakan untuk menarik lengan yang seharusnya diseret oleh dua penjaga itu. Sebagai gantinya, dia berteriak, "Jika kau dapatkan yang kau inginkan, bayar pula dengan sesuatu yang lebih berharga daripada tahta!" Irisnya mendetakkan kemarahan manakala sepasang tangan mengepal erat. Salah satunya tampak bersiap memberikan kekuatan pada pedang dia.

"Kau selamatkan ayahmu untuk memiliki segalanya. Kau membiarkan Ptolemy XV meninggal untuk tak memiliki segalanya. Apabila Kaisar Augustus tiada malam ini, beliau masih memiliki orang-orang yang akan menangis untuknya dan memujanya. Bahkan kepergiannya masih menjamin kesejahteraan rakyat dia.

"Lantas, bagaimana dengan Ptolemy XV?! Apakah kau sebagai pewaris Kaisar Augustus akan menjamin kesejahteraan orang-orang sepertiku ketika kami mengirim lebih banyak bahan pangan untuk Romawi ketimbang untuk perut kami sendiri? Siapa pula yang akan menangis untuk seorang Firaun ketika kaisar Romawi berhasil mendapatkan kepercayaan mereka untuk mendukungnya?!"

Napasnya memburu ketika meneriakkan semua kalimat itu. Bahkan emosi yang mengalir melalui kata-katanya tak kuasa mendorong Tiberius untuk memotong ucapan dia. Ketika Amun terdiam setelah guntur ia lontarkan, ia bersimpuh untuk membungkuk di hadapan Tiberius sehingga seluruh pria di sana terkejut menatap kesetiaan tangan kanan Caesarion.

"Aku tak peduli jika harus mati besok pagi. Aku bahkan tak peduli dengan defile yang akan mempermalukanku. Tapi kumohon," suaranya mengecil di akhir kalimat. Ketika kepalanya terdongak, Tiberius mampu melihat emosi menggenangi pelupuk matanya, "kumohon selamatkan Ptolemy XV. Dialah satu-satunya harapan kami untuk bisa sejahtera lagi."

Tiberius kehilangan kata-katanya. Irisnya melebar mencerminkan mimik penuh derita dari seorang pria Timur Tengah. Sementara itu, entah apa yang membangunkan pria tengkurap ini, ia baru saja bergumam, "Amun," ketika sepasang alis Amun dipertegas menatap Tiberius.

Hampir, pemuda itu hampir memenuhi permintaan Amun. Namun, kesadaran Caesarion membuatnya menggelengkan kepala sekali. Tangan pun segera terlambung bermaksud memberikan perintah. Sayang, sebelum pria itu berhasil menuturkan sepatah perintah, seorang wanita sudah dulu memegangi pergelangan tangannya. Ia berkata, "Bawa Ptolemy XV ke dalam sekarang." Perintah itu membulatkan sepasang netra Tiberius seketika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status