Gadis dengan sebuah penawar dalam genggaman itu mencoba melangkahkan kaki secepat yang ia bisa. Apabila ada beberapa pria yang mengenalinya lantas mencoba untuk tak membiarkan si gadis melangkah lebih jauh lagi, maka ia akan mendorong bahu mereka sekuatnya agar bisa melenggang. Demikian pula jika pria lainnya menarik pergelangan tangan dia secara kasar, kakinya akan menginjak si pria yang menghentikannya. Tak ada yang bisa menghalangi seorang gadis dengan tekad bulat di hati. Ia pun berlari lagi dan lagi.
Jikalau tanah pun mencoba menjatuhkannya, ia akan bangkit. Api-api di kepala obor itu menari berulang kali menyaksikan langkah demi langkah si gadis menuju bukit Palatine. Pemandangan Roma dengan kesucian tercermin di setiap gedung-gedung putihnya pun meredup. Sementara itu, rintangan menanti di hadapan ketika si gadis mengambil jalan menanjak menuju kediaman sang kaisar.
Dengan mengepalkan tangan dan mempercepat langkahnya, gadis itu menerobos barisan pria bersenjata meskipun di situlah ia temukan ujung perjuangan. Tubuhnya dalam dekapan seseorang yang begitu kuat. Seluruh tubuhnya meronta bersama dengan tiap tetes keringat. Bibirnya berteriak, "Lepaskan aku, Dekanus!" Air matanya pun melongok melalui pelupuk itu. Kediaman Augustus tampak kabur sekarang apabila ia mencoba tegar untuk menatap.
"Atas perintah Pangeran Tiberius, Anda seharusnya tak meninggalkan penjara, Putri Fioretta! Bahkan, untuk menginjakkan kaki di atas kediaman kaisar saja sudah tak diizinkan!" Cukup. Itu cukup membisu seluruh tubuhnya. Bahkan setetes keringat pun tak ingin meluncur pasca mendengar perintah Tiberius kepada contubernium Romawi.
Meski demikian, air mata yang melongok di pelupuknya justru terjun melewati sepasang pipi. Bibirnya sukar terkatup dan hatinya merasa gersang. Dengan demikian, sang dekanus tak perlu mempererat cengkeraman pada pergelangan tangan si gadis. Sebab tampaknya, kepala yang tertunduk merupakan tanda menyerah.
Begitulah si gadis dengan tekad bulat di hati kehilangan kekuatan untuk melawan ketika sepasang tangannya diikat oleh seorang dekanus. Kepala yang tertunduk menumpahkan embun-embun di balik pelupuk. Namun, genggaman tangan tak sedikit pun kehilangan kekuatan untuk mempertahankan sebotol ramuan.
Ketika tubuhnya diputar ke arah yang sebaliknya untuk menjauhi kediaman kaisar tepat beberapa langkah saja, tenggorokannya diterjang rasa sakit sehingga bahunya terguncang. Air matanya meninggalkan jejak di atas tanah. Mereka berkata, "Jangan menangis sekarang, Fioretta. Octavianus harus selamat dan kau harus menyimpan kami."
Maka, Fioretta memblokir jalan air matanya melalui kedipan singkat sebelum kepala ditegakkan dan ia menarik sepasang tangan yang dikawal. Tubuhnya terputar untuk menemukan mimik sang dekanus yang terkejut. Ia berkata, "Kau harus membiarkanku masuk! Aku memiliki penawar dari racun yang menyerang Kaisar Augustus! Jika kau mengembalikanku ke penjara, setidaknya ambillah botol dalam genggamanku!"
Tatapan menantang yang Fioretta tunjukkan mempertegas sepasang alis dekanus di hadapannya. Merasa yakin bahwa wajah gadis dengan jejak tangisan tak menyimpan dusta, ia mencoba untuk menarik sebuah botol dalam genggamannya. Sayang, sepasang pria sudah tiba. Mereka berdiri di tengah-tengah tarian obor malam. Jalanan yang terbentang di sana pun tampak sunyi meski sebelumnya Fioretta dihadang lebih dari sepuluh pria.
"Bodoh jika kau tak memercayainya," ucapnya mendorong Fioretta memutar tubuh untuk membelalakkan netra seperti yang para penjaga lakukan.
Bahkan, dekanus di hadapan Fioretta baru saja meneriakkan kata, "Bersiap!" sehingga seluruh contubernium berdiri dalam kuda-kuda bertahan bersama sebilah pedang menyambut.
"Dia tak berbohong. Dia memiliki penawar itu." Kini, pria itu mendorong tubuh semakin dekat sementara kegelapan malam menampakkan kebenarannya. Lebih dari sepuluh orang pula sudah menodongkan pedang ke arah punggung keduanya selagi mengikuti setiap langkah mereka.
Hingga pria itu hanya beberapa senti saja dari tempat Fioretta berdiri bersama netra yang masih membelalak, sang dekanus menampakkan ketidaksukaan yang begitu kentara terlukis di wajah. Namun, si pria tampaknya tak peduli. Ia menggerakkan jemarinya untuk menyelinap memasuki genggaman tangan Fioretta yang tersembunyi di balik punggung. Hal itu mendorong sang dekanus untuk segera mengarahkan pedangnya tepat di bawah dagunya. Tampak siap menggorok kerongkongan dia.
Di saat yang bersamaan pula, tangan Amun berkedut memegangi sarung belatinya sebelum mendorong belati itu untuk mengancam sang dekanus. Sementara para prajurit sudah sejak tadi memberikan tekanan kematian melalui pedang yang terarah pada sepasang pria Mesir ini.
Begitu si pria mendapatkan botol penawar itu dari genggaman Fioretta, ia menunjukkannya tepat di depan netra sang dekanus. Ia menambahkan kekehan sebelum berkata, "Ini asli dari Mesir. Seorang peramu membuatnya di depan mataku. Dia telah mencicipi sedikit dari isinya, dan ini akan menyembuhkan Augustus."
Dengan gerakan cepat, dekanus itu berusaha merebut sebotol penawar yang sayangnya sudah dulu disembunyikan dalam genggaman. Pria itu pun menarik sudut bibirnya sekilas. "Kau tak bisa mendapatkan ini secara cuma-cuma, Dekanus. Panggil putra kaisar. Mari mulai perundingan antara nyawa dan tahta."
"Jangan merencanakan sesuatu yang akan mengancam Romawi, Firaun. Rencanamu yang akan menggulingkanmu," jawab sang dekanus. Gigi saling bertarung mendetakkan kebencian. Namun, Caesarion justru memperhangat senyuman yang memuakkan bagi sang dekanus. Pria itu pun akhirnya mendorong pedangnya masuk ke dalam sarung dan pergi dari sana setelah memerintahkan prajuritnya untuk tak lengah.
Berkat perginya sang dekanus, Amun mendorong kembali belati ke dalam sarungnya. Sementara itu, Fioretta yang tak lagi terbelalak dan justru berkata, "Kau benar-benar menggunakanku demi keberhasilanmu."
"Jangan bicara demikian," jawabnya kemudian meraih sepasang tangan Fioretta untuk dilepaskan dari seikat tali. Sayang, seorang prajurit mencegahnya melakukan itu sehingga ia mengangkat sepasang tangan ke udara. "Tanpaku, kau tak akan di sini dan Octavianus akan mati besok."
"Bukankah itu jauh lebih baik untukmu?" Fioretta baru saja membenarkan posisi tangannya yang terasa panas akibat lilitan tali. Sementara Caesarion seketika menatapnya. "Bukankah kau ingin dia mati?"
"Ya," jawabnya seraya mengangguk. "Tapi tidak sekarang. Ini terlalu awal. Aku bahkan belum mendapatkan apa pun. Yang ada, mereka justru akan membunuhku setelah kematian Octavianus. Aku harus mendapatkan yang kuinginkan sebelum membunuhnya. Perundingan tampaknya cara yang ramah sebagai permulaan untuk mengirimnya ke neraka."
Empati yang sempat tumbuh dalam hati Fioretta gugur sudah. Bahkan, untuk menampakkan sedikit keramahan pun rasanya ia tak sudi. Maka ia berkata, "Kau terkutuk." Caesarion mengangkat sepasang alisnya karena ucapan itu. "Kau memanfaatkan segalanya untuk mendapatkan segalanya pula. Kau sungguh serakah."
Pria itu terkekeh sekilas. "Bukankah semua orang demikian? Akankah kau berkata demikian ketika kau di Mesir lima tahun silam selagi berdoa di bawah ancaman invasi Romawi? Akankah kau menyebut Octavianus terkutuk sebab dia memanfaatkan segalanya untuk mendapatkan segalanya pula? Aku bahkan hanya ingin membebaskan sedikit ruang dari genggaman Octavianus. Tapi dia—," Caesarion terdiam sekilas. Kepalanya sempat tertunduk.
Di samping pria itu, Amun meneduhkan pandangannya seolah kenangan kelam itu seketika memeluknya erat. Mungkin, jika tak ada orang lain di sini, tangan Amun sudah mendarat di bahunya untuk memperkuat tekad firaunnya.
Ketika kepalanya kembali terangkat, ia menampakkan senyuman. "Tapi dia merenggut semuanya dariku. Ibuku bunuh diri karenanya. Adik-adikku terpisah dan sekarang entah di mana. Tak cukup, dia beraliansi dengan orang-orang yang seharusnya setia padaku, tapi justru mencoba membunuhku. Hingga, tanah di mana semua kebahagiaan kutanam di sana, harus di bawah genggamannya pula. Siapa yang terkutuk sekarang, Fioretta?"
Gadis itu tak mampu menjawab. Sebagai gantinya, ia menundukkan kepala mencoba melupakan semua kata-kata berdarah yang telah ia lontarkan kepada pria tersakiti. Empati dalam hati pun kini bimbang akan diberikan padanya atau justru diubah menjadi kebencian akibat rencananya. Kedua sisi yang harus gadis ini pilih menyimpan dosa masing-masing. Kedua sisi yang harus gadis ini pilih telah dikutuk kekuasaan dan tahta.
Selagi Fioretta menundukkan kepala, sepasang netra Augustus mampu menangkap sosok sang dekanus mendekat dengan seorang pemuda di sisinya. Pemuda itu tak menampakkan keramahan sama sekali. Justru dari kedutan otot punggung tangannya, tampak ia ingin segera meluncurkan tinju ke pipi Caesarion yang seharusnya mati lima tahun silam. Mimiknya pun tampak sebisa mungkin untuk tak melakukan kehendak hati.
"Apa yang kau inginkan, Caesarion?!" bentaknya begitu lantang. Meski tersimpan amarah di balik nada bicaranya, Caesarion hanya menampakkan senyuman sehingga Tiberius merasa sedikit muak berdiri di hadapannya.
Ia pun mempertegas alisnya sekaligus memperuncing tatapan kepada pria itu. "Tidak perlu basa-basi! Katakan, apa yang kau inginkan?!"
"Tidak bisakah kita bicarakan ini di kediaman Augustus saja? Perundingan—"
"Katakan cepat!!" potong Tiberius seketika melalui bentakan. "Jangan anggap nyawa adalah lelucon. Kau mungkin berharap ayah meninggal malam ini, tapi kau bukanlah dewa yang memutuskan hidup dan mati seseorang!"
Caesarion mengangguk cepat. "Ya, aku yang putuskan. Karena aku memiliki penawar untuk racun yang menyerang ayahmu."
Tiberius mendecih kecil. Ingin rasanya ia menumpuk sepasang tangan di depan dada pula. "Jangan beranggapan penawarmu itu akan berguna. Kau pikir tak ada tabib Romawi yang mampu membuat penawar untuk racunnya? Kau pikir, hanya dirimu yang bisa menyembuhkannya?"
"Ya!" jawabnya lantang. "Racun itu akan membunuhnya besok pagi. Apa kau ingin menunggu hingga besok pagi untuk memastikan kemampuan penawar yang dikerjakan tabibmu? Dia akan mati lebih dulu."
"Tak perlu begitu percaya diri, Caesarion," ucapnya tampak meremehkan pernyataan yang baru saja Caesarion lontarkan. "Kami memiliki ilmu pengetahuan untuk menyembuhkan segala jenis penyakit. Terlebih, itu hanya menemukan penawar untuk racun. Begitu mudah dan mereka hampir menyelesaikannya. Kutebak, kau hanya membuang-buang waktuku."
"Baiklah," Caesarion mengangguk, "aku akan menyimpan penawar ini hingga besok pagi. Mari kita lihat seberapa hebat penawar temuan tabib Romawi. Mereka pasti akan memantau kemajuan kesembuhan Augustus. Dan mereka pula akan tahu bahwa temuan mereka tak berguna."
Merasa muak dengan percakapan yang tercipta antara dirinya dan Caesarion, sepasang irisnya berlari untuk menatap Fioretta. "Untuk apa kau di sini?! Kau seharusnya tetap membusuk di penjara! Kesalahanku memercayaimu, mulai dari tebakanmu bahwa mereka—" Tiberius menunjuk Caesarion dan Amun, "—memiliki penawar, hingga aku harus pergi ke penjara dan menemui Caesarion untuk memastikan penawar itu bukanlah racun! Kau seharusnya tak pernah merangkak keluar dari penjara! Jika kau dibiarkan keluar, maka itu untuk menghadiri pengadilan besok di Forum Romawi!"
Bibir Fioretta bergetar mendengar kalimat terakhir yang Tiberius lontarkan dengan penuh amarah. Namun, Caesarion justru menjawab, "Jangan menyalahkan intuisinya." Iris Tiberius pun segera menatap dia. "Benar adanya jika aku memiliki penawar dan tak salah jika dia memastikan kebenaran dari isi botol itu. Kau yang bodoh sebab memerintahkan tabibmu untuk menciptakan penawar. Itu percuma!"
Tiberius pun mendorong langkahnya untuk mendekati Caesarion hingga keduanya bertatapan dan ia bisa melihat keseluruhan wajah Caesarion yang saat ini menyimpan kebencian serupa.
"Jangan remehkan tabib kami. Jangan tipu aku karena itu percuma. Aku tahu kau bermaksud menjebakku melalui penawar itu. Bisa jadi itu justru racun sebab penawar yang asli telah kau habiskan."
"Kau berpikir demikian?" Tiberius mengangguk sehingga Caesarion membuka penutup ramuannya dan meluncurkan setetes cairan berwarna ungu itu pada lidahnya. Setelahnya, ia menutup botol itu kembali.
"Kau masih berpikir ini racun?"
"Sekalipun bukan, aku tahu kau menginginkan sesuatu di balik kemurahan hatimu itu."
Caesarion mengangguk cepat. "Tentu saja. Aku akan memberikan penawar ini padamu untuk menyembuhkan Augustus asalkan Romawi Timur secara resmi menjadi milikku."
Tepat setelah itu, kepalan tangan Tiberius semakin kuat hingga ia tak bisa menahan tangannya untuk meninju pria di hadapannya hingga ia tersungkur ke belakang. "Membusuklah di neraka, Caesarion!!"
*dekanus = sebutan untuk pemimpin contubernium
*contubernium = unit tentara terorganisir terkecil di Angkatan Darat Romawi.Tinju tak terhindarkan dari Tiberius terpaksa membuat sepasang telapak tangan dinodai tanah di bawah kakinya. Meski puncak kepala Tiberius telah meletup meluapkan segala amarah, Caesarion tak tampak demikian. Uluran tangan Amun ditolak dan ia memutuskan untuk bangkit dengan usaha sendiri. Tangan pun sempat menendang beberapa debu dan butiran tanah yang terjebak di setelan Firaunnya. Tercemin jelas dalam bola matanya keringat Tiberius mendidih setiap mereka menetes. Gigi pun bergeming sengit selagi otot-otot pada genggaman tangannya menceritakan perasaannya. Meskipun demikian, Caesarion masih setenang angin malam ini yang tak menyerbu mereka terburu-buru. Ia berkata, "Aku membusuk di neraka?" Ia mengembuskan napas kemudian. "Aku masih bisa bernapas, Tiberius. Tidakkah seharusnya kau katakan itu kepada Augustus yang—" Begitu cepat genggaman tangan Tiberius memelintir kerah baju Caesarion. Itu bahkan membuat lehernya tercekik untuk melanjutkan kalimat. Sementara Tiberiu
Tiberius terdiam menatap si wanita yang menggenggam pergelangan tangannya. Untuk seperkian menit, ia hanya mendentangkan gigi hingga akhirnya menarik paksa tangan itu. Ia berkata, "Apa yang Ibu katakan?!" Seluruh penjaga yang mendengar perintah Livia Drussila pun belum mengambil tindakan sebab menurut mereka, perintah semacam ini bukanlah hal yang Augustus harapkan. Bibir Amun tak mampu dikatupkan setelah mendengar perintah itu. Bola matanya pun membulat menatap Livia Drussila yang menampakkan ketenangan di wajah meskipun Tiberius telah memberikan tatapan nyalang angkara. Hingga ia tersadar tindakannya taklah sopan, Amun menundukkan kepala menyudahi acara tatap wajah Livia Drussila. "Mereka ini menyakiti ayah! Mengapa Ibu mengizinkan mereka masuk?! Aku bahkan tak sudi menatap wajah keduanya masih berkeliaran di Roma!" Selama kalimat itu dilontarkan, tak sekalipun Tiberius menurunkan telunjuk ke arah Amun. Livia menundukkan kepala singkat untuk embusan napas.
Bola mata yang berdetak itu mencerminkan ruangan kosong melompong. Tak ada seorang pun di sana. Bahkan keadaan kasur yang telah rapi seolah mengatakan seseorang yang sempat singgah kini pergi untuk jangka waktu lama. Knop pintu itu pun berkeringat karena genggaman Augustus yang begitu erat. Seperginya dia dari sana, bibir segera berkata, "Inilah akibatnya terlalu banyak memiliki belas kasih!" Saat itu, Livia masih terdiam menatap ruangan yang seharusnya disinggahi Caesarion. Hingga Augustus melangkah lebih jauh, barulah wanita itu mengikutinya meninggalkan ruangan tersebut masih dengan pintu yang terbuka. "Caesarion pasti pergi untuk kembali. Dan sekembalinya dia pasti akan membawa masalah. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan?!" Livia menundukkan kepala sepanjang langkah keduanya menuju pintu utama. "Lagi pula, dia tak akan memedulikan ikatan apa pun lagi. Sekali dia menginginkan sesuatu yang merujuk pada tahta dan kekuasaan, ia akan melupakan segalan
Di bawah pimpinan dekanus yang sama, dua kontubernium mengitari setiap sisi pusat pemerintahan Romawi. Melewati Tabularium hingga mengitari Rostra di tengah komplek pemerintahan Romawi, jelas sekali menarik perhatian warga sipil yang mengantongi urusan. Tak sekalipun kontubernium tersebut diacuhkan. Sambil bertanya-tanya; mengapa pasukan berkuda mengadakan defile tanpa peringatan sebelumnya? Atau justru, tidakkah berbahaya berlatih formasi kavaleri di pusat kota?—mereka tetap mengambil langkah menuju kuil-kuil di pagi hari yang tak terlalu damai. Hingga kontubernium selesai mengecek setiap sisi Rostra, kuda-kuda itu dibiarkan istirahat untuk sementara waktu selagi sebagian pasukan mengisi kuil Saturnus. Beberapa warga sipil yang menuju tempat serupa pun harus terhambat kegiatannya. Mereka dilarang memasuki area hingga pasukan itu meninggalkan kuil. Lalu di sanalah kuda sang dekanus memekik. Tak jauh dari kuil Divus Iulius, sepasang interniran tampaknya telah ditemuka
Augustus kehilangan kata-kata dalam kepala. Kebenaran ini mendorong dewan angin untuk berkumpul mengisi kesunyian di antara banyak orang. Mengingat ucapan ibunya semalam, Tiberius enggan untuk memberi keputusan ketika Augustus tenggelam dalam pemikiran dia. Dua kontubernium pun tak melontarkan isi pikiran meskipun seringai Caesarion belum sirna di sana. "Bagaimana, Augustus? Masalahnya hanya soal identitasku, bukan? Yang kita cari hanyalah kebenaran." Tiberius mengerang mendengar kalimat itu terlontar berdampingan dengan seringai. Namun, Augustus hanya menatap Caesarion lurus tanpa ekspresi yang mampu diduga. Tampak pria itu mengembuskan napas. Kedipan sepasang netra pun tampaknya untuk meredakan emosi dalam dada. "Tawaranmu bisa dimanipulasi. Aku tak bisa memercayai kepalsuan yang dibenarkan. Siapa pun bisa membukakan jalan menuju tempat peristirahatan Khufu." "Tapi tak seorang pun mengetahui jalan itu kecuali mereka bekerja untuk memindahkan jasad firaun at
Surya meninggi mencoba meraih singgasananya di puncak langit. Tanah Romawi pun dibanjiri sinar sang surya yang menyeruakkan kehangatan. Meskipun tak cukup hangat untuk mendekap seorang gadis di sudut penjara, sinar itu menyaksikan senyuman beberapa orang merekah di bawah atap kediaman Augustus. Entah kedamaian itu berencana singgah untuk sementara atau justru selamanya, tak seorang pun tahu. Setidaknya hari yang hampir digerogoti pertukaran suku kata berdarah dapat diselamatkan oleh sang pencipta Pax Romana.
Surya kini telah menduduki singgasananya. Tepat di atas kepala, ia menyaksikan seorang gadis berpangku tangan di sepanjang pagar. Angin bertiup menarikan anak-anak rambutnya begitu pula dedaunan yang mencoba menarik perhatian. Namun, tak ada apa pun di dalam netra yang mencerminkan pemandangan kota Roma. Meski pikiran jauh berkelana entah ke mana. Begitulah tenang Roma siang hari ini. Persis seperti hari-hari sebelum Caesarion tiba di sini.
Lima tahun silam, beberapa ratus meter menuju Pelabuhan Berenice. Panas terik menyulut keringat luruh di seluruh tubuh yang beradu dengan pasir. Tak ada kesadaran. Itu hilang entah bagaimana. Meski netra seperempat terbuka menantang sinar sang surya di singgasana, daksa tak kuasa digeser meski sedikit saja. Goresan luka memuntahkan darah menodai pasir sebagai alas berbaringnya. Sungguh tak ada yang menyenangkan dari hal itu selain aroma setiap luka yang menusuk indra penciumannya. Hanya dengan demikian ia tahu bahwa dirinya masih bernyawa. Sebab apabila seseorang menusuknya dengan jarum sekalipun, rasa sakit enggan membangunkannya. Mungkin jiwanya mengira ada di limbo, tapi langkah unta menarik perhatian pemiliknya untuk mendekat. Sekiranya ia bertanya-tanya mengapa si unta bersedia berjalan ke arah yang tak seharusnya ia datangi. Namun, ketika tungkainya mendekat, bola mata itu pun mel