Share

V. Manusia Tak Berjiwa dan Raja Tak Bertahta

Caesarion memahami ucapan Fioretta seketika. Ia menundukkan kepala singkat selagi gadis itu menatap kumpulan debu di bawah sapuan gaunnya. Kemungkinan ada beberapa emosi yang terjebak di balik kelopak mata gadis itu. Namun, Caesarion tak bisa melihatnya sehingga ia hanya berkata, "Mungkin, kau bisa mencoba berbicara dengannya dan memberikannya semangat untuk bangkit dari keterpurukan itu."

Kalimat itu menarik perhatian Fioretta. Sepasang matanya beralih dari kumpulan debu menuju wajah Caesarion dengan mimik hangatnya. Gadis itu sebenarnya tahu sejak awal kedatangan Caesarion beberapa jam lalu, ia memiliki kebaikan dalam hatinya. Dan semua tindakan jahatnya hanya semata untuk mengembalikan segala hal yang dicuri dari dia.

"Aku telah mencobanya, Caesarion." Ia menghela napas agak panjang setelah kalimat itu. Pandangan sempat dialihkan dari wajah Caesarion sebelum dikembalikan lagi padanya. "Tapi itu tak pernah berhasil. Wajar apabila aku merasa putus asa."

Caesarion terdiam sekilas. Jemarinya memilin sesuatu di balik pakaian Firaunnya. Namun, ia berakhir memberikan senyuman kepada Fioretta berharap hal itu akan membuatnya lebih baik. "Maka coba lagi dan lagi hingga kau berhasil."

Fioretta melempar tanggapan Caesarion jauh-jauh dari tempatnya berasal melalui putaran sepasang bola mata yang seterang bulan. "Mungkin aku tak akan memiliki kesempatan lagi. Setelah ini, kurasa aku tak akan kembali ke tempat asalku. Tiberius jelas akan memberikan hukuman yang berat dan memalukan sampai aku tak ingin berada di Roma lagi."

"Aku minta maaf." Fioretta tahu Caesarion memiliki kebaikan. Namun, ia tak memperkirakan permintaan maaf terlontar dari bibirnya. "Aku memang bermaksud melakukan itu dan Amun sepenuhnya bisa dipercaya. Tapi kau tahu, semua itu hanya untuk memberikanku kemenangan."

Ia terdiam sekilas dan Fioretta tak tahu harus mengatakan apa setelah kalimat terakhir Caesarion. Ketika Fioretta berpikir percakapan keduanya akan berakhir di sini, rupanya Caesarion kembali berucap. "Istirahatkan pikiranmu, Fioretta. Untuk melakukan pembelaan di hadapan para senator dan hukum Romawi, otakmu harus dalam kondisi yang baik. Jika kau merasa kehabisan akal sekarang, maka lupakan soal hukuman itu untuk sesaat."

Fioretta tersenyum dalam anggukannya. Rupanya malam ini tak terasa begitu buruk baginya. Bahkan selama Fioretta hidup di bawah atap Kekaisaran Romawi, ia belum pernah terjebak dalam percakapan yang membuatnya berhasil melepas kekhawatiran. Apabila malam ini ia terjebak dengan Tiberius, Cornelia, atau justru Julia, dapat dipastikan Fioretta akan dihantui bayang-bayang hukuman dengan metafora di dalamnya sehingga ia merasa lebih buruk.

Bersyukurlah Fioretta terjebak di dalam sel tahanan bersama orang yang diharapkan mati oleh Kekaisaran Romawi sendiri, meskipun sebenarnya mereka terlalu cepat menilai Caesarion yang malang. Nyatanya, Fioretta yang memiliki penilaian tersendiri terhadap Caesarion merasa tak harus menyembunyikan sedikit duka yang menghampirinya sekarang. Justru, ia berpikir Caesarion akan memahami perasaannya dan memberikan solusi—jika dia beruntung.

Sepasang kaki Fioretta yang ditekuk kini diluruskan untuk menopang tubuhnya. Kemudian langkah yang terambil menuntunnya untuk menatap dunia di balik sel tahanan Romawi melalui sepasang matanya. Fentilasi pada tembok belakang sel tahanan mengingatkannya pada suatu kisah. Kisah yang membuatnya tak pernah disentuh kasih sayang alami dan tulus dari hati seseorang.

Demi membuat pikirannya tak terkurung di balik tengkorak itu, Fioretta berbalik untuk menatap Caesarion yang membersihkan sisi sepatunya. "Apa kau pernah memimpikan kematian seseorang sebelum orang itu tiada?"

Caesarion yang kini menatap Fioretta seketika menggeleng. "Aku tak pernah diperingatkan para dewa dan dewi soal kematian ibuku. Meskipun demikian, hatiku berkata bahwa aku memang akan kehilangannya. Doa apa yang harus kupanjatkan lima tahun silam ketika pasukan Octavianus tiba di Aleksandria? Berharap pun rasanya tak berguna."

"Jika kau diperingatkan oleh dewa dan dewi soal kematian ibumu, kau pikir, apa kau akan berhasil meyakinkannya soal peringatan itu?"

"Aku tak tahu." Caesarion menambahkan gelengan. "Tapi kurasa ibuku akan memercayaiku karena berita soal invasi Octavianus sudah diprediksi."

Fioretta melangkah menjauh dari celah fentilasi itu dan kembali duduk di hadapan Caesarion. Sepasang mata Caesarion tak pernah terlepas darinya. "Bagaimana jika kau gagal meyakinkan ibumu soal kematiannya dan akhirnya ia tiada. Apakah kau akan menyalahkan dirimu sendiri?"

Kaki Caesarion yang tadinya diluruskan seketika ia tekuk dan tangannya tak lagi bergerak untuk membersihkan debu-debu itu. "Aku tak akan menyalahkan diriku sendiri. Itu bukan sepenuhnya salahku, tapi aku akan menyesal. Mengapa aku tak mencoba lebih keras agar ia tetap hidup? Tapi kembali lagi otakku akan berkata bahwa itulah takdir yang diciptakan. Kemungkinan aku tak bisa melawannya."

"Apa kau akan bersedih dan menangisinya sepanjang hidupmu?"

Ia menggeleng mantap. "Tidak. Justru aku harus melepasnya sehingga urusan duniawiku tak terabaikan."

"Dan jika kau terlanjur bersedih selama ini karena kematian ibumu, apakah ucapanku yang mencoba membuatmu bangkit akan berhasil?"

Kendati menjawab, Caesarion justru menyipitkan sepasang matanya. "Tunggu, apakah itu derita orang yang ingin kau rasakan kasih sayangnya?" Fioretta ingin menyanggah, tapi tampaknya ia tak bisa berakting untuk hal semacam ini sehingga ia mengangguk pasrah.

"Jika ucapanmu tak berhasil, maka bertindaklah. Ajak dia keluar melihat dunia. Ceritakan momen-momen yang telah ia lewatkan semenjak hari ia menutup diri. Kemungkinan membawanya ke makam orang yang telah tiada itu akan mencurahkan kerinduannya sehingga ia tahu bahwa dia masih hidup. Dan orang yang hidup memiliki banyak pilihan serta kesempatan."

Fioretta tertegun dan semua kata-kata dalam kepalanya seketika hilang. Namun, pandangan Fioretta yang sejak tadi menembus sepasang netra Caesarion mampu melihat sesuatu yang ingin Caesarion sembunyikan. "Kau ingin mendengar penilaianku soal dirimu?" Pengalihan topik itu membuat Caesarion kebingungan. Meski demikian, ia tampak bersemangat menyambut kejujuran sudut pandang Fioretta tentangnya.

Kepala gadis itu tertunduk sekilas sebelum tarikan sudut bibir dicerminkan bola mata Caesarion. "Menurutku, kau bukanlah pria yang jahat. Hanya saja, obsesimu, Caesarion. Itu bisa mengubahmu menjadi seseorang yang sungguh berbeda dengan malam ini. Jika suatu hari nanti kau sungguh kehilangan dirimu, ingatlah aku mengatakan terima kasih malam ini atas nasihatmu. Kuharap itu akan mengingatkanmu pada pertemuan kita di bawah hukum Romawi."

Tarikan sudut bibir yang sama Caesarion tunjukkan kepada gadis itu. Hingga ia secara mengejutkan bangkit dari duduknya, ia berkata, "Mari bengkokkan hukum Romawi, Fioretta. Aku tahu kau tak ingin dipermalukan hukuman hanya karena kesalahpahaman antara dirimu dan pemuda tadi. Dan obsesi, ini bukan obsesi melainkan pembebasan diri. Untuk ibuku dan rakyatku."

Saat itu, sepasang alis Fioretta mengerutkan tanda tanya hingga tangan kanan Caesarion yang tersembunyi di balik punggunggnya menampakkan sebuah botol kecil seukuran botol penawar yang telah Caesarion habiskan. Bibir gadis itu melebar manakala sang Firaun mendorong diri mendekat dan menarik lengan Fioretta untuk meletakkan botol itu di telapaknya.

Ia pun seketika mengedipkan kelopak guna mengembalikan kesadarannya. "Bagaimana bisa kau masih memilikinya?!"

Begitu Caesarion kembali menegakkan kakinya sehingga kepala harus ditundukkan untuk menatap wajah Fioretta yang menengadah mempertanyakan kebenaran. "Kau berkata aku menggertak Octavianus melalui racunku. Kau pikir, aku tak menduga pria itu akan menjadikanku interniran kemudian mendapatkan penawar secara cuma-cuma? Memang dia akan segera mendapatkan penawar itu dariku, tapi dia akan membayarnya dengan sesuatu yang setara nyawa."

Jelas sekali dalam irisnya, Fioretta masih tak percaya tangannya menggenggam sesuatu yang mampu menyelamatkan kaisar Romawi. Begitu Caesarion terduduk di hadapannya, pria itu berkata, "Panggil penjaga. Perintahkan dia untuk membebaskanmu. Aku tahu kau tak ingin berada di sini sebab kau harus membangkitkan seseorang dari keterpurukan."

Kalimat terakhir yang Caesarion lontarkan berhasil melebarkan iris sang gadis yang kini berlinang dihadapkan ketidakpercayaan. Iris Fioretta pun sempat melebar ketika bergantian menatap Caesarion dan botol kecil dalam genggaman.

Meski air muka keterkejutan Fioretta tak terbantahkan, masih ada sedikit kewaspadaan menggandrungi hatinya. Namun, Caesarion justru memajang senyuman lembut manakala tangan gadis itu didorong cepat untuk mengembalikan botol penawar.

"Tunggu." Sepasang alis Fioretta hampir bersatu sekarang. Kepala pun sempat digelengkan sekali. "Kau tak bermaksud menggunakanku demi keberhasilanmu, bukan?"

Pria itu menundukkan kepala menatap sebuah penawar dalam genggaman. Namun, seolah tak memiliki masalah serius dalam hidupnya, ia enggan menurunkan tarikan sudut bibir. Justru, ia menjawab, "Aku bisa saja memberikan ini sendiri, tapi seorang penjaga tak akan memercayaiku. Aku membutuhkan bantuanmu untuk memberikan penawar itu kepada Octavianus dan menyelamatkannya, karena mereka akan mendengarkanmu."

Kecurigaan Fioretta semakin tumbuh semenjak kalimat itu didengarkan. Sementara Caesarion menatap botol penawar itu di atas telapaknya, Fioretta bertanya, "Apakah ini sungguh penawar?" Pria itu mengangguk cepat. "Tak mungkin kau seketika menjadi baik dan menyelamatkannya."

"Jika aku bisa mengambil keuntungan dari situ, mengapa tidak? Lagi pula, sejauh ini semuanya berjalan mulus. Bahkan, aku tak ingin rencanaku terlalu mulus karena aku bisa terpeleset. Jadi, menjadi interniran untuk sementara tampaknya tak akan merugikanku.

"Dengar, Fioretta. Satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan Octavianus adalah penawar ini. Entah seberapa hebat tabib yang Kekaisaran miliki, mereka tak akan mampu menyembuhkannya. Kau benar jika mencurigaiku, tapi dengan cara ini, kami semua akan diuntungkan." Ia pun mengulurkan lengan sebagai izin bagi Fioretta merebut penawar itu darinya.

Keraguan sempat menyelimuti hatinya hingga keringat meluncur berulang kali dari pelipis. Tatapan intens penuh waspada pun Fioretta layangkan pada pria itu sebab tampaknya ia ingin menarik penilaiannya bahwa Caesarion tidak jahat. Nyatanya, air muka Caesarion menampakkan kelicikan mutlak. Namun, sekuat apa pun keraguan menggelitik jemarinya agar ia tak bersekutu dengan musuh Kekaisaran, nyatanya Fioretta menarik penawar itu juga dari tangan Caesarion.

Diterimanya penawar itu sebagai awal persekutuan keduanya, Fioretta akhirnya bangkit untuk menarik perhatian seorang penjaga melalui teriakannya. Hingga seorang penjaga tiba dan mempertanyakan maksudnya, penjaga yang bertatapan dengan penawar itu segera membukakan pintu jeruji besi hingga ia bisa berlari secepatnya.

Sementara itu, dengan gerakan cepat setelah penjaga itu kembali mengunci pintu tahanan, Caesarion menggapai tangannya kemudian menarik lengan pria itu begitu kencang hingga kepala terbentur si jeruji besi. Ia pun bersimpuh untuk merebut sekumpulan kunci yang dikelompokkan bersama. Setelah mencoba beberapa kunci, akhirnya ia bisa sebebas burung dan menyelamatkan tangan kanannya—Amun.

Begitu keduanya berdiri berdampingan di lorong gelap penjara bawah tanah itu, ia berkata, "Kerja bagus, Amun. Sekarang, mereka akan memberikan apa yang kuinginkan." Seringai tumbuh disinari cahaya kecil dari fentilasi atap.

Amun pun tampaknya meninggikan tarikan sudut bibir ketika separo wajahnya terblokir bayangan. "Sesuai perintah Anda, Firaun yang Agung."

Namun, ketika keduanya mulai mengambil langkah untuk meninggalkan penjara itu, lutut Caesarion tiba-tiba saja melemah sehingga ia tersungkur. Beruntung Amun segera membantunya terduduk dan menyangga tubuh renta yang kini terbatuk berulang kali hingga darah meluncur melalui sudut bibirnya.

"Firaun saya, Anda baik-baik saja?"

Ia pun terpaksa menghentikan batuknya manakala tangan menopang tubuh agar kembali bangkit meski dengan bantuan Amun.

"Aku baik-baik saja, Amun. Aku tak bisa mati sekarang. Tak boleh. Semuanya baru dimulai."

Amun mengangguk mengerti kemudian membantu pria itu berjalan meninggalkan seorang penjaga yang terkapar di atas tanah penjara. Pria itu sempat membuka mata dan tangannya berusaha meraih Caesarion dan Amun yang punggungnya semakin mengecil di ujung lorong. Namun, sesuatu mendekati si pria dan mencekik lehernya hingga bola mata itu sempat memelotot parah sebelum kelopaknya tertutup dan kesadarannya dibawa pergi angin malam.

*interniran = tahanan

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status