Kaisar Augustus belum membuka mata. Meski demikian, jantungnya masih berdetak. Tabib Kekaisaran telah mencoba semampu mereka untuk menahan racun yang menggerogoti tubuh Augustus melalui sayatan pada lengan kirinya. Mereka memprediksi, racun itu akan terus menyebar hingga menggerogoti jantungnya dan tewaslah Augustus si Agung pencipta Pax Romana sekaligus kaisar pertama Romawi.
Sementara itu, Tiberius justru tak di sana menemani keluarganya menanti Augustus membuka mata. Ia disibukkan dengan rapat senat dadakan yang diciptakannya. Mencoba menemukan jalan keluar dari masalah ini serta menentukan hukuman yang akan diimbaskan kepada Fioretta. Ia juga mencoba memikirkan nasib Caesarion dan Amun yang akan mengganggu kedamaian Romawi yang telah dibangun sejak lama.
Di lain sisi, di balik dinginnya sel tahanan Romawi di mana Fioretta masih merengkuh tubuhnya dalam penyesalan, Caesarion justru menatap langit-langit sel tahanan yang membuatnya terjebak dalam imajinasi. Bukan sepenuhnya imajinasi bagi Caesarion, melainkan kenangan sebelum hari-hari gelapnya tiba setelah invasi Augustus lima tahun silam digelar di atas mahligai. Kemudian berita kepergian mendiang ibunya—Cleopatra VII—yang menembus daun telinganya membuat gemetar tubuhnya hadir bercampur emosi saat itu.
Ketika ia mengedipkan mata, pandangannya berubah seolah melihat mimpi-mimpi yang terputar dalam otaknya di mana wajah Cleopatra VII masih ia ingat setiap sisinya. Bibirnya pun kemudian bergerak mengukir aksara. "Terkadang aku tak ingin terjebak dalam situasi seperti ini yang justru membuatku kehilangan kebahagiaan." Ucapan itu mendorong Fioretta mengangkat kepala yang sebelumnya disembunyikan di balik sepasang lutut. "Tapi aku harus melakukannya demi ibuku dan sisa hidupku."
Mimik Fioretta yang melukiskan penyesalan justru kini berubah tampak ingin mendengarkan kisah Caesarion. "Katakan, Fioretta. Apakah aku jahat?" Fioretta tak menjawab. "Apabila aku tak berada di sini dan tetap tinggal di suatu tempat seperti beberapa tahun silam, aku akan kelaparan, kehausan, dan mati kemudian. Mesir akan tetap di bawah kekuasaan Romawi dan tak akan ada Firaun yang berdiadem lagi." Kepala Caesarion tertunduk sekilas.
Fioretta kemudian membenarkan posisi duduknya. Menyingkirkan penuh sepasang lututnya dari wajah dengan jejak tangisan di sepanjang pipi. Ketika itu pula, sepasang mata keduanya bertemu dan Caesarion melanjutkan, "Jika aku tak berusaha mengambil hakku, setiap hari aku akan kepanasan dan setiap malam aku akan kedinginan. Terkadang aku berpikir, kematian jauh lebih baik. Persis seperti keinginan Octavianus." Napas ia embuskan sesaat untuk membuang beban di pundaknya.
"Orang-orangku tak merasa dirugikan selama ini oleh Romawi. Namun, mereka tetap menerima keuntungan besar dengan membayar sangat sedikit uang. Aku ingin memimpin negeri yang merdeka. Negeri tunggal seperti masanya. Kemudian mereka akan memanggilku Sang Firaun. Maka jiwa ibuku akan selalu bersamaku. Duduk di samping singgasanaku." Sepasang sudut bibirnya terangkat secara natural. Netranya memandang langit-langit sesaat sebelum jatuh pada wajah Fioretta. "Katakan, Fioretta. Apakah aku jahat?"
Fioretta tak bisa menjawab pertanyaan singkat yang rumit dalam otaknya. Pertanyaan yang bisa dilihat melalui beberapa perspektif. Mendengar kilas hidup Caesarion yang menyedihkan, Fioretta ingin berkata, "Tidak, Caesarion. Kau tidak jahat." Namun, menyaksikan cara Caesarion membunuh Augustus perlahan-lahan dan membuatnya terbaring tak berdaya dalam kediamannya, termasuk membuat Fioretta sendiri meringkuh dalam sel tahanan, ia ingin berkata, "Ya, Caesarion! Kau jahat! Bahkan sangat!" Ia tak tahu kalimat mana yang harus dilontarkan.
Seolah tahu Fioretta tak akan menjawab pertanyaannya, Caesarion pun mengembuskan napas untuk kesekian kalinya. Ia membenarkan posisi duduknya sebelum bertanya, "Pernahkah kau kehilangan seseorang yang sangat berharga bagimu?" Fioretta hanya bisa menjawab melalui tatapan.
"Ayahku, Julius Caesar, tak pernah mengakuiku sebagai putranya. Kemungkinan karena pamornya sebagai diktator dan pandangan senat tentangku. Mereka bahkan tak pernah mempertimbangkanku menjadi penerus Caesar dan memilih menunjuk Octavianus—anak angkat yang diadopsi setelah kematiannya. Lalu aku memiliki ibuku. Satu-satunya pemimpin Mesir yang menjadikanku Firaun sejak usiaku tiga tahun. Kami melalui ini bersama, hingga invasi Octavianus yang membuatnya mengakhiri hidup. Dia hanyalah korban dari perselisihan antara Octavianus dan Markus Antonius."
Caesarion terdiam sesaat seolah kembali menyaksikan peristiwa kelam itu di hadapannya. Faktanya, ia membutuhkan waktu untuk kembali berkata. Sementara nada bicaranya yang begitu lembut di telinga Fioretta, membuat gadis itu menumbuhkan perasaan iba dalam hatinya. Tampak sekali Fioretta ingin—setidaknya—membuat pria ini merasa lebih baik melalui aksara. Namun, Caesarion tampak ingin melanjutkan kisahnya.
"Saat itu aku masih tujuh belas tahun. Usia yang sempurna untuk menjadi pemimpin tunggal. Ibuku secara tiba-tiba muncul di ruang belajar dan mengejutkan para pengajar. Ia memintaku meninggalkan Mesir. Aku bahkan tak sempat mendengar jawaban dari pertanyaanku untuk perintahnya itu. Para pengajar segera menarikku keluar ruangan dan mempersiapkan kepergianku. Aku—" Cesarion terdiam seketika. Sedikit kenangan masa lalu menghampirinya.
Pemandangan seberang sel tahanan yang menampakkan sel tahanan gelap dan dingin lainnya berubah menjadi secerah siang hari di gurun. Dengan deru angin yang bisa Caesarion rasakan menampar kulitnya cukup kencang. Kemudian ia merasakan sentuhan pasir yang menggelitik kelopak atau hanya bulu matanya. Ia pun mendengar seorang wanita dengan diadem ular melilit lingkar kepalanya berkata, "Kau akan segera kembali dan melihatku lagi, Caesarion."
Caesarion masih mengingat perasaan ketika ibunya perlahan menghilang di balik pintu tembaga itu sementara untanya mulai melaju dengan beberapa penjaga di kanan-kirinya. Ketika Caesarion hampir tiba di pusat nostalgianya, ia mendengar seseorang berkata, "Caesarion. Kau baik-baik saja?" Sehingga pria itu menggelengkan kepala berulang kali untuk meluruhkan ingatannya.
Ia mengangguk singkat. "Aku meninggalkan Mesir," ucapnya agak parau seolah emosi yang mencekiknya kini menumbuhkan benjolan di tenggorokan. "Kemudian aku mendengar berita kematian ibuku. Sungguh aku membutuhkan waktu untuk bersedih dan mengenang kepergiannya. Aku tak sanggup kembali ke Mesir. Namun, tampaknya para pengajar yang mengelilingiku memang tak bermaksud mengembalikanku ke Mesir."
Ia menundukkan kepala sekilas sebelum menatap Fioretta dengan tatapan serupa yang ditunjukkan para pengajar. "Mereka menatapku tajam dan penuh kepuasan. Lalu mereka mengangkat belati." Caesarion pun mengangkat belati yang ia gunakan untuk menyakiti Augustus. "Dan menusukkannya bertubi-tubi pada tubuhku." Ia mengakhirinya dengan mendorong belati itu lurus ke arah Fioretta sehingga gadis itu terkejut.
Beruntung masih ada cukup jarak antara keduanya sehingga ujung belati Caesarion hampir tak bisa menyentuh sehelai rambut Fioretta. Selanjutnya, ia mendorong belati itu kembali pada sarungnya. "Mereka pikir aku telah tiada. Tapi pengkhianatan itu justru membuatku tetap hidup dengan kemarahan dan kesedihan berpusat di hatiku. Aku membuka mata berpikir akan bertemu kematian atau ibuku. Tapi yang kulihat adalah seorang pria tua yang merawatku hingga sembuh untuk dijadikan budak. Dan berita soal kematian Ptolemy XV tersebar begitu cepat. Mereka tak lagi mengenaliku sebagai Firaun."
Berakhirnya kisah Caesarion lima tahun silam, ia memilih untuk terdiam selagi mengizinkan gadis di hadapannya memikirkan kata yang tepat untuk ia lontarkan. Penantian Caesarion tak berlangsung lama, Fioretta kemudian bertanya, "Kau kehilangan ibumu, bukan?" Caesarion mengangguk setuju. "Bagaimana caramu bangkit dari keterpurukan itu?"
"Pengkhianatan mereka yang membuatku harus bangkit. Pengkhianatan mereka yang mengingatkanku tentang kehidupan duniawi yang pantas kudapatkan seperti kembali memimpin Mesir sebagai seorang Firaun."
Kendati menjawab, Fioretta kembali terdiam sehingga Caesarion mengambil bagiannya untuk bertanya, "Apakah kau mencoba bangkit setelah kehilangan seseorang?"
Kepala Fioretta yang tertunduk, terangkat seketika. Netranya lurus memandang sepasang netra gelap Caesarion. "Bukan aku, tapi seseorang yang ingin kurasakan kasih sayangnya."
Caesarion memahami ucapan Fioretta seketika. Ia menundukkan kepala singkat selagi gadis itu menatap kumpulan debu di bawah sapuan gaunnya. Kemungkinan ada beberapa emosi yang terjebak di balik kelopak mata gadis itu. Namun, Caesarion tak bisa melihatnya sehingga ia hanya berkata, "Mungkin, kau bisa mencoba berbicara dengannya dan memberikannya semangat untuk bangkit dari keterpurukan itu."
Gadis dengan sebuah penawar dalam genggaman itu mencoba melangkahkan kaki secepat yang ia bisa. Apabila ada beberapa pria yang mengenalinya lantas mencoba untuk tak membiarkan si gadis melangkah lebih jauh lagi, maka ia akan mendorong bahu mereka sekuatnya agar bisa melenggang. Demikian pula jika pria lainnya menarik pergelangan tangan dia secara kasar, kakinya akan menginjak si pria yang menghentikannya. Tak ada yang bisa menghalangi seorang gadis dengan tekad bulat di hati. Ia pun berlari lagi dan lagi. Jikalau tanah pun mencoba menjatuhkannya, ia akan bangkit. Api-api di kepala obor itu menari berulang kali menyaksikan langkah demi langkah si gadis menuju bukit Palatine. Pemandangan Roma dengan kesucian tercermin di setiap gedung-gedung putihnya pun meredup. Sementara itu, rintangan menanti di hadapan ketika si gadis mengambil jalan menanjak menuju kediaman sang kaisar. Dengan mengepalkan tangan dan mempercepat langkahnya, gadis itu menerobos barisan pria bersenja
Tinju tak terhindarkan dari Tiberius terpaksa membuat sepasang telapak tangan dinodai tanah di bawah kakinya. Meski puncak kepala Tiberius telah meletup meluapkan segala amarah, Caesarion tak tampak demikian. Uluran tangan Amun ditolak dan ia memutuskan untuk bangkit dengan usaha sendiri. Tangan pun sempat menendang beberapa debu dan butiran tanah yang terjebak di setelan Firaunnya. Tercemin jelas dalam bola matanya keringat Tiberius mendidih setiap mereka menetes. Gigi pun bergeming sengit selagi otot-otot pada genggaman tangannya menceritakan perasaannya. Meskipun demikian, Caesarion masih setenang angin malam ini yang tak menyerbu mereka terburu-buru. Ia berkata, "Aku membusuk di neraka?" Ia mengembuskan napas kemudian. "Aku masih bisa bernapas, Tiberius. Tidakkah seharusnya kau katakan itu kepada Augustus yang—" Begitu cepat genggaman tangan Tiberius memelintir kerah baju Caesarion. Itu bahkan membuat lehernya tercekik untuk melanjutkan kalimat. Sementara Tiberiu
Tiberius terdiam menatap si wanita yang menggenggam pergelangan tangannya. Untuk seperkian menit, ia hanya mendentangkan gigi hingga akhirnya menarik paksa tangan itu. Ia berkata, "Apa yang Ibu katakan?!" Seluruh penjaga yang mendengar perintah Livia Drussila pun belum mengambil tindakan sebab menurut mereka, perintah semacam ini bukanlah hal yang Augustus harapkan. Bibir Amun tak mampu dikatupkan setelah mendengar perintah itu. Bola matanya pun membulat menatap Livia Drussila yang menampakkan ketenangan di wajah meskipun Tiberius telah memberikan tatapan nyalang angkara. Hingga ia tersadar tindakannya taklah sopan, Amun menundukkan kepala menyudahi acara tatap wajah Livia Drussila. "Mereka ini menyakiti ayah! Mengapa Ibu mengizinkan mereka masuk?! Aku bahkan tak sudi menatap wajah keduanya masih berkeliaran di Roma!" Selama kalimat itu dilontarkan, tak sekalipun Tiberius menurunkan telunjuk ke arah Amun. Livia menundukkan kepala singkat untuk embusan napas.
Bola mata yang berdetak itu mencerminkan ruangan kosong melompong. Tak ada seorang pun di sana. Bahkan keadaan kasur yang telah rapi seolah mengatakan seseorang yang sempat singgah kini pergi untuk jangka waktu lama. Knop pintu itu pun berkeringat karena genggaman Augustus yang begitu erat. Seperginya dia dari sana, bibir segera berkata, "Inilah akibatnya terlalu banyak memiliki belas kasih!" Saat itu, Livia masih terdiam menatap ruangan yang seharusnya disinggahi Caesarion. Hingga Augustus melangkah lebih jauh, barulah wanita itu mengikutinya meninggalkan ruangan tersebut masih dengan pintu yang terbuka. "Caesarion pasti pergi untuk kembali. Dan sekembalinya dia pasti akan membawa masalah. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan?!" Livia menundukkan kepala sepanjang langkah keduanya menuju pintu utama. "Lagi pula, dia tak akan memedulikan ikatan apa pun lagi. Sekali dia menginginkan sesuatu yang merujuk pada tahta dan kekuasaan, ia akan melupakan segalan
Di bawah pimpinan dekanus yang sama, dua kontubernium mengitari setiap sisi pusat pemerintahan Romawi. Melewati Tabularium hingga mengitari Rostra di tengah komplek pemerintahan Romawi, jelas sekali menarik perhatian warga sipil yang mengantongi urusan. Tak sekalipun kontubernium tersebut diacuhkan. Sambil bertanya-tanya; mengapa pasukan berkuda mengadakan defile tanpa peringatan sebelumnya? Atau justru, tidakkah berbahaya berlatih formasi kavaleri di pusat kota?—mereka tetap mengambil langkah menuju kuil-kuil di pagi hari yang tak terlalu damai. Hingga kontubernium selesai mengecek setiap sisi Rostra, kuda-kuda itu dibiarkan istirahat untuk sementara waktu selagi sebagian pasukan mengisi kuil Saturnus. Beberapa warga sipil yang menuju tempat serupa pun harus terhambat kegiatannya. Mereka dilarang memasuki area hingga pasukan itu meninggalkan kuil. Lalu di sanalah kuda sang dekanus memekik. Tak jauh dari kuil Divus Iulius, sepasang interniran tampaknya telah ditemuka
Augustus kehilangan kata-kata dalam kepala. Kebenaran ini mendorong dewan angin untuk berkumpul mengisi kesunyian di antara banyak orang. Mengingat ucapan ibunya semalam, Tiberius enggan untuk memberi keputusan ketika Augustus tenggelam dalam pemikiran dia. Dua kontubernium pun tak melontarkan isi pikiran meskipun seringai Caesarion belum sirna di sana. "Bagaimana, Augustus? Masalahnya hanya soal identitasku, bukan? Yang kita cari hanyalah kebenaran." Tiberius mengerang mendengar kalimat itu terlontar berdampingan dengan seringai. Namun, Augustus hanya menatap Caesarion lurus tanpa ekspresi yang mampu diduga. Tampak pria itu mengembuskan napas. Kedipan sepasang netra pun tampaknya untuk meredakan emosi dalam dada. "Tawaranmu bisa dimanipulasi. Aku tak bisa memercayai kepalsuan yang dibenarkan. Siapa pun bisa membukakan jalan menuju tempat peristirahatan Khufu." "Tapi tak seorang pun mengetahui jalan itu kecuali mereka bekerja untuk memindahkan jasad firaun at
Surya meninggi mencoba meraih singgasananya di puncak langit. Tanah Romawi pun dibanjiri sinar sang surya yang menyeruakkan kehangatan. Meskipun tak cukup hangat untuk mendekap seorang gadis di sudut penjara, sinar itu menyaksikan senyuman beberapa orang merekah di bawah atap kediaman Augustus. Entah kedamaian itu berencana singgah untuk sementara atau justru selamanya, tak seorang pun tahu. Setidaknya hari yang hampir digerogoti pertukaran suku kata berdarah dapat diselamatkan oleh sang pencipta Pax Romana.