Share

IV. Hikayat Caesarion

Kaisar Augustus belum membuka mata. Meski demikian, jantungnya masih berdetak. Tabib Kekaisaran telah mencoba semampu mereka untuk menahan racun yang menggerogoti tubuh Augustus melalui sayatan pada lengan kirinya. Mereka memprediksi, racun itu akan terus menyebar hingga menggerogoti jantungnya dan tewaslah Augustus si Agung pencipta Pax Romana sekaligus kaisar pertama Romawi.

Sementara itu, Tiberius justru tak di sana menemani keluarganya menanti Augustus membuka mata. Ia disibukkan dengan rapat senat dadakan yang diciptakannya. Mencoba menemukan jalan keluar dari masalah ini serta menentukan hukuman yang akan diimbaskan kepada Fioretta. Ia juga mencoba memikirkan nasib Caesarion dan Amun yang akan mengganggu kedamaian Romawi yang telah dibangun sejak lama.

Di lain sisi, di balik dinginnya sel tahanan Romawi di mana Fioretta masih merengkuh tubuhnya dalam penyesalan, Caesarion justru menatap langit-langit sel tahanan yang membuatnya terjebak dalam imajinasi. Bukan sepenuhnya imajinasi bagi Caesarion, melainkan kenangan sebelum hari-hari gelapnya tiba setelah invasi Augustus lima tahun silam digelar di atas mahligai. Kemudian berita kepergian mendiang ibunya—Cleopatra VII—yang menembus daun telinganya membuat gemetar tubuhnya hadir bercampur emosi saat itu.

Ketika ia mengedipkan mata, pandangannya berubah seolah melihat mimpi-mimpi yang terputar dalam otaknya di mana wajah Cleopatra VII masih ia ingat setiap sisinya. Bibirnya pun kemudian bergerak mengukir aksara. "Terkadang aku tak ingin terjebak dalam situasi seperti ini yang justru membuatku kehilangan kebahagiaan." Ucapan itu mendorong Fioretta mengangkat kepala yang sebelumnya disembunyikan di balik sepasang lutut. "Tapi aku harus melakukannya demi ibuku dan sisa hidupku."

Mimik Fioretta yang melukiskan penyesalan justru kini berubah tampak ingin mendengarkan kisah Caesarion. "Katakan, Fioretta. Apakah aku jahat?" Fioretta tak menjawab. "Apabila aku tak berada di sini dan tetap tinggal di suatu tempat seperti beberapa tahun silam, aku akan kelaparan, kehausan, dan mati kemudian. Mesir akan tetap di bawah kekuasaan Romawi dan tak akan ada Firaun yang berdiadem lagi." Kepala Caesarion tertunduk sekilas.

Fioretta kemudian membenarkan posisi duduknya. Menyingkirkan penuh sepasang lututnya dari wajah dengan jejak tangisan di sepanjang pipi. Ketika itu pula, sepasang mata keduanya bertemu dan Caesarion melanjutkan, "Jika aku tak berusaha mengambil hakku, setiap hari aku akan kepanasan dan setiap malam aku akan kedinginan. Terkadang aku berpikir, kematian jauh lebih baik. Persis seperti keinginan Octavianus." Napas ia embuskan sesaat untuk membuang beban di pundaknya.

"Orang-orangku tak merasa dirugikan selama ini oleh Romawi. Namun, mereka tetap menerima keuntungan besar dengan membayar sangat sedikit uang. Aku ingin memimpin negeri yang merdeka. Negeri tunggal seperti masanya. Kemudian mereka akan memanggilku Sang Firaun. Maka jiwa ibuku akan selalu bersamaku. Duduk di samping singgasanaku." Sepasang sudut bibirnya terangkat secara natural. Netranya memandang langit-langit sesaat sebelum jatuh pada wajah Fioretta. "Katakan, Fioretta. Apakah aku jahat?"

Fioretta tak bisa menjawab pertanyaan singkat yang rumit dalam otaknya. Pertanyaan yang bisa dilihat melalui beberapa perspektif. Mendengar kilas hidup Caesarion yang menyedihkan, Fioretta ingin berkata, "Tidak, Caesarion. Kau tidak jahat." Namun, menyaksikan cara Caesarion membunuh Augustus perlahan-lahan dan membuatnya terbaring tak berdaya dalam kediamannya, termasuk membuat Fioretta sendiri meringkuh dalam sel tahanan, ia ingin berkata, "Ya, Caesarion! Kau jahat! Bahkan sangat!" Ia tak tahu kalimat mana yang harus dilontarkan.

Seolah tahu Fioretta tak akan menjawab pertanyaannya, Caesarion pun mengembuskan napas untuk kesekian kalinya. Ia membenarkan posisi duduknya sebelum bertanya, "Pernahkah kau kehilangan seseorang yang sangat berharga bagimu?" Fioretta hanya bisa menjawab melalui tatapan.

"Ayahku, Julius Caesar, tak pernah mengakuiku sebagai putranya. Kemungkinan karena pamornya sebagai diktator dan pandangan senat tentangku. Mereka bahkan tak pernah mempertimbangkanku menjadi penerus Caesar dan memilih menunjuk Octavianus—anak angkat yang diadopsi setelah kematiannya. Lalu aku memiliki ibuku. Satu-satunya pemimpin Mesir yang menjadikanku Firaun sejak usiaku tiga tahun. Kami melalui ini bersama, hingga invasi Octavianus yang membuatnya mengakhiri hidup. Dia hanyalah korban dari perselisihan antara Octavianus dan Markus Antonius."

Caesarion terdiam sesaat seolah kembali menyaksikan peristiwa kelam itu di hadapannya. Faktanya, ia membutuhkan waktu untuk kembali berkata. Sementara nada bicaranya yang begitu lembut di telinga Fioretta, membuat gadis itu menumbuhkan perasaan iba dalam hatinya. Tampak sekali Fioretta ingin—setidaknya—membuat pria ini merasa lebih baik melalui aksara. Namun, Caesarion tampak ingin melanjutkan kisahnya.

"Saat itu aku masih tujuh belas tahun. Usia yang sempurna untuk menjadi pemimpin tunggal. Ibuku secara tiba-tiba muncul di ruang belajar dan mengejutkan para pengajar. Ia memintaku meninggalkan Mesir. Aku bahkan tak sempat mendengar jawaban dari pertanyaanku untuk perintahnya itu. Para pengajar segera menarikku keluar ruangan dan mempersiapkan kepergianku. Aku—" Cesarion terdiam seketika. Sedikit kenangan masa lalu menghampirinya.

Pemandangan seberang sel tahanan yang menampakkan sel tahanan gelap dan dingin lainnya berubah menjadi secerah siang hari di gurun. Dengan deru angin yang bisa Caesarion rasakan menampar kulitnya cukup kencang. Kemudian ia merasakan sentuhan pasir yang menggelitik kelopak atau hanya bulu matanya. Ia pun mendengar seorang wanita dengan diadem ular melilit lingkar kepalanya berkata, "Kau akan segera kembali dan melihatku lagi, Caesarion." 

Caesarion masih mengingat perasaan ketika ibunya perlahan menghilang di balik pintu tembaga itu sementara untanya mulai melaju dengan beberapa penjaga di kanan-kirinya. Ketika Caesarion hampir tiba di pusat nostalgianya, ia mendengar seseorang berkata, "Caesarion. Kau baik-baik saja?" Sehingga pria itu menggelengkan kepala berulang kali untuk meluruhkan ingatannya.

Ia mengangguk singkat. "Aku meninggalkan Mesir," ucapnya agak parau seolah emosi yang mencekiknya kini menumbuhkan benjolan di tenggorokan. "Kemudian aku mendengar berita kematian ibuku. Sungguh aku membutuhkan waktu untuk bersedih dan mengenang kepergiannya. Aku tak sanggup kembali ke Mesir. Namun, tampaknya para pengajar yang mengelilingiku memang tak bermaksud mengembalikanku ke Mesir."

Ia menundukkan kepala sekilas sebelum menatap Fioretta dengan tatapan serupa yang ditunjukkan para pengajar. "Mereka menatapku tajam dan penuh kepuasan. Lalu mereka mengangkat belati." Caesarion pun mengangkat belati yang ia gunakan untuk menyakiti Augustus. "Dan menusukkannya bertubi-tubi pada tubuhku." Ia mengakhirinya dengan mendorong belati itu lurus ke arah Fioretta sehingga gadis itu terkejut.

Beruntung masih ada cukup jarak antara keduanya sehingga ujung belati Caesarion hampir tak bisa menyentuh sehelai rambut Fioretta. Selanjutnya, ia mendorong belati itu kembali pada sarungnya. "Mereka pikir aku telah tiada. Tapi pengkhianatan itu justru membuatku tetap hidup dengan kemarahan dan kesedihan berpusat di hatiku. Aku membuka mata berpikir akan bertemu kematian atau ibuku. Tapi yang kulihat adalah seorang pria tua yang merawatku hingga sembuh untuk dijadikan budak. Dan berita soal kematian Ptolemy XV tersebar begitu cepat. Mereka tak lagi mengenaliku sebagai Firaun."

Berakhirnya kisah Caesarion lima tahun silam, ia memilih untuk terdiam selagi mengizinkan gadis di hadapannya memikirkan kata yang tepat untuk ia lontarkan. Penantian Caesarion tak berlangsung lama, Fioretta kemudian bertanya, "Kau kehilangan ibumu, bukan?" Caesarion mengangguk setuju. "Bagaimana caramu bangkit dari keterpurukan itu?"

"Pengkhianatan mereka yang membuatku harus bangkit. Pengkhianatan mereka yang mengingatkanku tentang kehidupan duniawi yang pantas kudapatkan seperti kembali memimpin Mesir sebagai seorang Firaun."

Kendati menjawab, Fioretta kembali terdiam sehingga Caesarion mengambil bagiannya untuk bertanya, "Apakah kau mencoba bangkit setelah kehilangan seseorang?"

Kepala Fioretta yang tertunduk, terangkat seketika. Netranya lurus memandang sepasang netra gelap Caesarion. "Bukan aku, tapi seseorang yang ingin kurasakan kasih sayangnya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status